Sementara itu Adam terus memijat keningnya, gusar. Situasi malah semakin rumit dan dia bahkan tak bisa keluar dengan mudah. Adam sadar jika pada akhirnya nanti situasi seperti ini akan muncul, namun dia tak mengira akan secepat ini. Sejujurnya Adam belum siap. “Kamu belum tidur, Dam?” Risma yang terbangun hendak mengambil segelas air dapur saat dia menemukan Adam sedang duduk dalam gelap. Khawatir dengannya, Risma memilih duduk setelah menyalakan lampu di ruang tengah itu. Diperhatikannya raut wajah Adam yang kusut, tak sengaja embusan napasnya malah meluncur begitu saja. “Maaf kalau aku jadi bikin Mama cemas.” “Ah, rupanya kamu peka juga ya sama perasaan Mama, Dam.” Sejak obrolan penting yang tak diduga-duga itu mencuat di rumah sakit, Risma memang terus kepikiran. Keputusan Adam yang disadari Risma juga dipicu oleh paksaan dari keadaan memang cukup membuat Risma was-was. Entah mengapa, Risma sekarang malah tak ingin Adam segera menikah dengan Maya. Berbeda dengan sebelumnya keti
“La? Lila? Ada kiriman nih, La. Lila?”Lila memperhatikan angka di jam dinding dengan kening berkerut, keheranan. Rasanya masih terlalu pagi baginya untuk menerima tamu saat ini. Meskipun tamu itu adalah ibu kost-nya sendiri, tapi Lila juga butuh waktu sendiri. Apalagi ini masih terlampau pagi bagi orang untuk memanggilnya dengan setengah berteriak seperti itu.Tanpa sadar embusan napasnya keluar begitu saja. Bukannya dia tak menghormati sang ibu kost, namun ini bukan waktunya, kan?Meski enggan Lila tetap membuka pintu. Dan kali ini kerutan di keningnya menebal dua kali lipat. Bu Indri yang tampak sangat khawatir menjadi satu-satunya pemandangan di mata Lila sekarang.“Ah, akhirnya kamu keluar juga.”Lila yang kikuk hanya bisa mengulas senyum yang terpaksa.“Ada apa, Bu?” Sebisa mungkin Lila bersikap sopan.“Itu loh.” Bu Indri langsung menunjuk ke arah area utama rumah itu. Tepatnya ke halaman depan rumah besar tersebut.Lila masih belum mengerti. Tetapi sebelum Lila menanyakan kejel
“Kamu yakin enggak apa-apa?”Entah untuk ke berapa kalinya Kala terus menanyakan hal yang sama. Awalnya Lila pikir jika Kala akan berhenti jika dia tak menggubrisnya. Tetapi, hingga tiba di kampus pun Kala masih saja tak menyerah. Bahkan, pria itu rela mengekori Lila naik angkutan umum padahal biasanya motor tunggangannya yang setia menemani.Jika sejak tadi Lila hanya diam saat duduk di pojokan angkutan itu meski malu terus ditanyai, sekarang kesabarannya sudah semakin menipis untuk menghadapi Kala. Lila menarik napasnya cukup panjang. Sesaat memejamkan mata untuk mengisi kembali stok kesabarannya.“La, kalau memang kamu kurang enak badan, enggak apa-apa kok kalau memang enggak masuk kelas. Nanti biar aku-““Bisa enggak kamu diam?!” sela Lila akhirnya.Sungguh, sisa kesabarannya sudah menguap habis. Tampaknya Kala pun kaget mendengar nada bicara tinggi Lila.Mungkin di dalam benak Kala sekarang, dia tengah terheran-heran. Lila yang biasanya diam dan kalem bisa bicara nge-gas seperti
“Kamu ngomong apaan sih?”Nindy tak terima dengan informasi dadakan dari Kala. Bagaimana bisa tanpa ada angin atau hujan, berita buruk itu tiba-tiba saja menggelegar di gendang telinganya?Bukan hanya Nindy yang kaget bukan main, Lila yang tadinya hendak pergi saja dari sana malah mengernyit bingung. Sekilas dia memperhatikan wajah Kala yang tampak serius. Meski Lila berdiri di belakang tubuh tegap itu, namun Lila bisa melihat kesungguhan dari tatapan Kala pada Nindy.‘Dia pasti udah gila,’ batin Lila. ‘Bisa-bisanya dia ngarang cerita begitu.’“Biar gue ulangi lagi dan kali ini pastiin kalau kuping loe itu dipake.”Keterkejutan Lila masih berlanjut. Kala yang semula berdiri membelakanginya, mengubah posisi. Pria muda itu berbalik, mundur, lantas berdiri di samping Lila. Belum selesai dengan semua itu, Kala ‘memercikan api lain’. Satu lengan Kala merangkul bahu Lila tepat di hadapan Nindy.Wajah Nindy berubah geram. Lila bisa melihat semburat merah yang perlahan semakin tampak jelas pa
“Apa yang Mas lakuin di sini?”Kaget, bingung, namun sejujurnya Lila bahagia. Sosok yang selama ini hanya bisa ditemui di dalam mimpi, sekarang berdiri nyata tepat di hadapan. Hampir saja Lila lepas kendali. Tubuhnya hendak memeluk Adam untuk mengungkapkan kerinduan yang tak terbilang.“Syukurlah. Mas pikir kamu kenapa-napa karena enggak ngejawab telepon sama chat dari Mas.”Perkataan serta perhatian Adam seperti ini yang selalu membuat bingung. Jika sebelumnya dia masih memiliki harapan jika Adam memang memiliki perasaan lain kepadanya, namun sekarang pria yang sudah lama dianggap orang sebagai layaknya seorang kakak kandung itu sudah memiliki calon pendamping.“La? Kamu beneran enggak apa-apa, kan? Kok diam aja? Lagi sakit?”Adam maju selangkah lantas tangannya berlabuh di kening Lila. Sepertinya Adam sedang memastikan kondisi Lila dari suhu tubuhnya. Lila terlambat bereaksi. Dia baru bergerak mundur setelah Adam menurunkan tangannya.“Mas ngapain di sini?” Lila kembali menanyakan h
Jika sebelumnya Lila seperti kehilangan separuh hatinya saat melihat Adam tengah berduaan dengan Maya, lalu semakin diperparah oleh asumsinya sendiri saat membayangkan Adam yang tengah bercumbu dengan wanita itu. Maka sekarang saat Adam mengungkapkan fakta lain tentang satu wanita lagi di hidup pria itu, rasanya Lila tak bisa menemukan celah untuk bernapas.Bagaimana bisa pria yang dia cintai melukainya sedalam ini? Begitu terang-terangan tanpa memberinya jangka waktu untuk mencerna.“Mas kejam banget sih!” ketus Lila dengan teriakannya yang tertahan.Untung saja kewarasan Lila tak sepenuhnya hilang. Dia masih tahu diri tengah berada di tempat orang lain. Meskipun paviliun itu hanya ia tinggali sendirian, namun sudah pasti orang yang tinggal di rumah utama akan mendengar suaranya jika dia berteriak lantang.“Kamu pikir begitu, ya?” balas Adam dengan pertanyaan yang sejujurnya ditujukan untuk dirinya sendiri. “Ya, Mas memang enggak punya hati. Tapi Mas sama sekali enggak bermaksud nyak
“Aku pasti bermimpi.”Masih dengan menatap langit-langit kamar Lila terus bergumam yang sama. Ya, semua yang dia dengar dan alami hari ini memang seperti mimpi. Ilusi yang hanya muncul saat kedua matanya terpejam erat.Bahkan untuk meyakinkan dirinya, Lila mencubit pipinya berkali-kali hingga kemerahan. Nyerinya nyata sekali. Sama seperti kisah indah tadi. Nyata terjadi.“Jantungku enggak bisa berhenti berdegup kencang seperti ini. Dari tadi tiap kali aku ngucapin nama Mas Adam di dalam hati, debarannya malah makin enggak terkendali. Duh, mulai lagi kan.”Telapak tangannya Lila taruh tepat di depan dada. Bisa dirasakannya setiap degup itu. Semakin bertalu rasanya semakin merdu baginya. Inikah rasanya cinta itu?“Kenapa beda rasanya? Waktu aku dekat sama Mas Ridwan aja enggak kayak gini. Malah sampe nikah dan…” Lila menghentikan kalimatnya.Bayangan kelam itu dengan cepat menyerbu hati dan ingatannya lagi. Tidak, Lila tak ingin kembali ke titik terendahnya itu lagi.Buru-buru Lila meng
“KAMU SADAR APA YANG BARUSAN KAMU BILANG, DAM?”Seruan itu lebih mirip pekikan lantang di telinga Adam. Sebelumnya Adam memang bisa memperkirakan kemarahan Maya atas keputusannya tersebut. Tetapi, ternyata beda halnya saat dia harus menghadapinya langsung. Teramat melelahkan.“Apa sih yang bikin kamu tiba-tiba buat keputusan gila kayak gini? Jelasin sama aku, Dam! Terus-terang sama aku! KENAPA?”Maya masih saja terus berteriak. Setiap kali Adam bicara satu kalimat pendek, maka balasan Maya sudah seperti kereta patas yang tak kunjung berhenti sebelum sampai tujuan akhir. Pengang sekali rasanya telinga Adam saat ini.“Gimana aku mau jelasin kalau kamu terus nyela ucapanku, May? Kayak gini.”Adam berusaha bersikap setenang mungkin menghadapi kemarahan Maya sekarang. Jika dia sama kerasnya seperti sikap Maya saat ini, permasalahannya pasti akan bertambah rumit. Adam hanya perlu mengatakan jika rencana pernikahan mereka adalah ide yang hanya akan menyakiti perasaan mereka masing-masing, te