“Jadi bener gosip dari Bu Miranti kalo kamu jalan sama petinggi Kandjaya Company? Pak Ace?” Dua alis tipis Clary menyatu. Ditatapnya Pamela yang mencengkeram boneka Berlian sebagai pengingat bahwa ia sudah mempunyai anak sambung.Pamela mengiyakan dengan senyum tertahan. “Aku terjebak dalam situasi rumit yang menyebabkan kita berdua menjalani hubungan yang saling menguntungkan. Tapi aku suka, Ace... ya ampun, Cla... dia ganteng banget—” “Dan tua.” timpal Clary dengan lugas sampai menghentikan pujian Pamela untuk suaminya. Tak marah, Pamela memanyunkan bibirnya seraya tertawa. “Ace memang tua, tapi aku nggak masalah sama usianya atau statusnya. Dia baik banget, royal, cuma masalahnya...” Pamela menggerak-gerakkan mulutnya seraya menatap langit-langit kamar dan Clary sudah dapat mengira-ngira ia kenapa.“Masalah keluarga? Atau mantan aaa... aku nggak mau nebak-nebak sih, kamu bilang ajalah situasinya, kayak sama siapa aja harus pakai rahasia-rahasiaan.” “Kamu sepupunya Damian, ya ka
Mobil yang membawa Pamela berhenti di depan fasad kafe Spanish food di daerah Setiabudi One Building. Kafe yang menyatukan tangan Pamela dan Damian untuk pertama kalinya hingga menjadikannya tempat langganan mereka mencuci waktu sambil berandai-andai bagaimana hubungan mereka kelak berakhir.‘Keputusanku main ke sini nggak bener sih, tapi di rumah aku tambah stres. Oh, Ace... Di mana kamu sayang...”Pamela memandangi kafe itu dengan semangat yang meleleh. Segalanya terasa berbeda, meski kafe yang mengusung tema Spanish culture dan membungkus kenangannya bersama Damian itu masih sama seperti saat terakhir kali ia berkunjung di malam perayaan penganugerahan kenaikan jabatan Damian.Kursi-kursi merah itu, lampu hiasnya, pelayan kafe, dan chef-nya...“Mau ngapain sih kita ke kafe ini, Cla? Aku malu banget lho keluar rumah hari ini, rasanya nggak banget gagal nikah tapi keluyuran.” keluh Pamela setelah keluar dari kendaraan.Terdengar pintu mobil tertutup berbarengan dengan celetukan Clary
Hati Pamela rasanya ingin komat-kamit begitu tahu mobil yang dikemudikan Clary perlahan-lahan menyerah dan berhenti di bahu jalan setelah memaksa satu ban kempes tetap jalan menemukan tambal ban.Clary menepuk keningnya seraya memasang wajah menyesal. “Aku gagal bawa kamu pulang jam sembilan tepat, Mel. Kayaknya kamu sewa taksi aja, ya. Tapi tunggu... biar aku yang pesan taksinya.” “Gak... gak usah... Aku bisa sendiri.” Buru-buru Pamela menolaknya. “Ini bukan salahmu, Cla. Aku tinggal kirim barang bukti ban kempesnya dan mereka bakal ngerti.”Clary tersenyum lega sambil menunjukkan ponselnya. Entah foto siapa yang diberikan Damian, Clary hanya perlu menunjukkan isi pesannya. “Udah... udah dapat. Agya merah, kita turun yuk. Aku temani kamu sampai mobilnya sampai.” Clary meletakkan ponselnya di dekat persneling seraya mendorong pintu mobil.Pamela meraih lengannya. ”Kamu emangnya nggak ikut sekalian? Nanti aku minta orang Papa urus mobilmu.” Tampak gagap, Clary menggeleng cepat. “Aku
Damian membopong tubuh Pamela ke dalam villa eksklusif yang terletak di balik rimbunnya pohon pinus dan damar setelah melalui tiga jam perjalanan ke daerah pegunungan nun jauh dari hiruk-pikuk kota Jakarta. Sebelum Damian masuk, lampu-lampu taman dan ruangan sudah menyala setelah seorang pengurus villa membuka unit villa sambil membantunya membawa barang-barangnya. Damian meletakkan tubuh Pamela ke ranjang bulan madu mereka sebelum menutup pintu kamar untuk menghalau masuknya udara dini hari yang berkabut ke dalam ruang kesedihannya.Ya, bukan tanpa alasan Damian membawa Pamela jauh-jauh ke villa yang mereka reservasi bersama untuk menikmati bulan madu di tengah-tengah masa cuti yang tidak seberapa lamanya Di tempat itu, Damian ingin berbicara dari hati ke hati permasalahan dan perasaannya terhadap Pamela dengan bebas tanpa campur tangan orang lain. Damian melepas jaketnya seraya mencuci sapu tangan yang sudah ia beri cairan obat bius di wastafel. Alih-alih segera menyusul Pamela k
“Ini gila.” Pamela memandangi tubuhnya yang berbalut kebaya modern di depan cermin walk in closet villa yang sudah ia pastikan sebagai villa bulan madunya.“Apa aku akan menikah dengan Damian hari ini? Apa Damian tetap nekad kami menikah tanpa orang tua kami? Apa orang tuaku dan Ace tidak segera menyadari kepergianku? Clary... Tuhan... kenapa cobaan ini terlalu berat?” Jantungnya berpacu dengan cepat, bahunya bergetar karenanya, sementara matanya memandangi dirinya sendiri dengan lekat. “Ke mana Ace? Ke mana perginya suamiku? Apa dia tidak tahu aku dalam bahaya, apa dia memang tidak sesayang itu sama aku sampai dia nggak sadar aku kenapa-napa?”Pamela menggigit bibirnya kuat-kuat. Wajahnya terlihat gamang. Tidak ada penjelasan lain raibnya Ace kecuali ia sedang meratapi spermanya yang lelet itu di tempat rahasianya. “Ace mungkin emang nggak peka, tapi dia sayang sama aku. Dia sayang sama aku. Papa... Wulan... Om Burhan... Dengan konsentrasi pecah, marah pada Damian, merasa bersala
Pamela menyeka sudut bibir Damian dengan sapu tangan bersih meski ia tidak yakin apakah ia sudah melakukan hal yang benar sehubungan dengan Damian. Kamuflase dusta itu tidak membuatnya baik-baik saja, Pamela tetap tidak bisa melupakan Damian dan rasa sakitnya tidak berkurang juga.“Kamu makannya mirip anak kecil, belepotan.”Pamela mendesis selagi Damian terpaku memandangi sikapnya yang tidak menjaga jarak. “Matamu nanti keluar lho melotot terus gitu. Udah.” Pamela menjentikkan jarinya, memancing Damian kembali pada realita dan pria itu mengerjapkan mata sedetik kemudian. Damian menundukkan kepala, tangannya yang memegangi pisau dan garpu kembali bergerak memotong beef steak sebelum melahapnya. Sengaja, ia menyisakan saus jamur di sudut bibirnya. Pamela mendesis, rasa tidak suka menjarah dadanya. Kurang kerjanya banget sih, aku itu cuma akting baik sama kamu, gerutunya dalam hati sebelum menghela napas.“Nggak gitu juga kali, Dam. Kamu cari perhatian aku terus.” keluhnya meski teta
Meninggalkan dua insan yang menempuh jalur penerimaan dengan saling merangkul kebersamaan dalam penyesalan yang merenggut sejatinya kebahagiaan yang pernah terjalin dengan baik. Pesawat yang ditumpangi Ace mendarat di landasan pacu dengan mulus di tengah guyuran hujan yang melanda Jakarta. Senyumnya mengembang, perjalanan bisnis yang dilakukan di timur tengah untuk mengembangkan usaha perminyakan sekaligus untuk melakukan observasi medis alat reproduksinya berjalan lancar.Hari ini ia akan menemui Pamela, menerima marahnya, manjanya, dan tubuhnya yang betul-betul ia rindukan selama beberapa hari berpisah demi menguji perasaannya dan ia bahagia, seluruh tubuhnya telah mendambanya.“Di rumah mana Pamela saat ini?” tanya Ace kepada Burhan yang bergeming di sebelahnya. “Han...” Ace menoleh.Burhan membatu saat memantau tabletnya dengan serius. “Di mana Pamela?” Ace bertanya dengan suara mendesak. “Apa yang kamu lihat sebenarnya?” Ace meraih tabletnya, menggulirkan layarnya dan menekan k
“Sekarang aku bertanya kepadamu, Ace.” Anang Brotoseno memutari tubuhnya dengan sorot mata menyelidik. “Apa kamu bersedia mengeluarkan uang 600 juta untuk menebus kekasihmu?” Ace belum tahu harus menjawab apa, pasalnya selain ayah mertuanya mengintrogasi di luar gedung, perjalanan bisnis ke timur tengah kemarin sudah mengeluarkan dana pribadi sebesar 10M dan ekspansi bisnis itu masih membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit baik dari uang perusahaan dan pribadi.Ace mendongak. “Bagaimana kalau kita iuran, Pa? 300juta, 300juta.”Anang Brotoseno menabok lengannya dengan muka terhibur. “Jangan mengajariku tawar-menawar!”Ace mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Anang Brotoseno sudah lumayan bersahabat daripada tadi, tapi lihatlah pria itu masih berkuasa. Merasa paling jantan di sana hanya karena senjata apinya di kantong celana kainnya. Andai tidak ada senjata itu kemungkinan besar akan terjadi duel bebas, tapi ia tetap tidak berani melawan orang tua. Nanti jatuhnya durhaka. “A