Rombongan dari Jakarta itu menginap di villa terdekat dengan villa yang ditinggali oleh Pamela dan Damian saat pagi telah menunjukkan pukul lima. Tapi begitu sampai lokasi, alih-alih segera menyergap lokasi sandera, mereka langsung berkumpul di dapur, membuat kopi dan sebangsanya untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya udara khas pegunungan.“Harusnya tadi kita bawa istri, lumayan buat anget-angetan dan bobok di villa selagi target masih tidur manis.”“Minimal kalo nggak ada istri bawa bandrek sachet, lumayan menghangat tubuh dari dalam.” “Daripada beli bandrek, mending beli gorengan. Jauh-jauh nginep di villa mewah nggak ada makanan. Ini menyiksa. Aku tersiksa kedinginan dan kelaparan.”Anang Brotoseno menghela napas setelah mendengar ketiga anak buahnya menggerutu dan berkhayal setinggi-tingginya.“Satu di antara kalian pergi cari sarapan dan makanan daripada asam lambung tinggi.”Ketiga junior Anang Brotoseno itu segera meributkan siapa yang harus pergi mencari sarapan sementara
Empat puluh delapan jam telah berlalu sejak penculik itu, Pamela masih terguncang dengan pengalaman yang luar biasa memabukkan sampai ia mulai bertanya-tanya masihkah ia terlihat waras menghadapi dunia di luar villa?Pamela membiarkan Damian menyisir rambutnya di depan cermin walk in closet villa di hari terakhirnya menikmati sensasi mematikan tinggal bersama psikopat sebelum pindah ke lokasi yang lebih murah. ‘Papa mulai lelet banget cari informasi kayaknya atau si Clary kabur dari Jakarta setelah kejadian kemarin. Lama banget nemuin aku!’ gerutu Pamela dalam hati. Damian memasang pita di rambut Pamela sebelum mencium puncak kepalanya. “Sudah rapi. Aku harus mandi dulu.” Pamela tersenyum sembari mengelus jemari Damian yang hinggap di bahunya. “Makasih.” Namun terima kasih saja tidak cukup membuat Damian puas karena sudah melayaninya, Pamela perlu menambahinya dengan melayaninya juga. Pamela beranjak, ia pergi menyiapkan air hangat dalam bathtub dan selagi airnya terus mengisi ba
“Kalian tidak bisa mengambil Pamela dariku. Pamela milikku. Dia slalu menjadi milikku. Lepas sialan... Lepaskan aku.” Damian memberontak sekuat tenaga di tengah pegangan tangan dua pengawal Anang Brotoseno yang mengapitnya ke villa.Damian mencondongkan tubuhnya, berusaha menggigit lengan kekar Burhan, akan tetapi keterkejutan Pamela akan penyergapan itu sudah sirna. Damian justru terpancing untuk meneriakinya agar tidak berlari ke arah Anang Brotoseno yang memanggil namanya berulang kali dengan suara baritonnya. “Jangan ke sana, Mela... Jangan pergi atau kamu menyiksaku... Kamu menyakitiku... Mela... Mela...” Damian berteriak dengan suara parau yang menyiksa.Pamela berhenti berlari di tengah undakan taman ia menoleh dengan napas yang tersengal-sengal. Tetapi seulas senyum ia berikan manakala inilah kebahagiaan yang sesungguhnya ia rasakan mengapa sejak tadi ia memilih untuk berbahagia.“Aku harus pulang ke rumahku, Dam. Aku punya rumah sendiri dan aku punya keluarga kecil yang slal
“Aku berani sumpah pocong kalau apa yang terjadi di malam penculikan itu nggak ada hubungan seksual, Pa.” Pamela menggeram frustasi karena setibanya di rumah, Ace memilih tidur terpisah dengannya. Ace beristirahat di kamar tamu sementara ia masih terjebak menghadapi Anang Brotoseno di ruang keluarga.“Aku sudah jujur, Pa. Cuma ini yang belum aku tau pasti.” Pamela segera menceritakan perkelahiannya dengan Damian di dalam mobil sebelum dirinya dibius. “Aku nggak sadar dari Jakarta ke Bogor, sampai pagi. Tolong yang ini Papa tanya sendiri ke Damian apa yang di lakukan.” Pamela mengurut keningnya sembari menunduk kepala. “Aku harap dia nggak melecehkan aku, Pa. Aku jijik sama diriku sendiri.”Anang Brotoseno mendongak, “Papa harap juga begitu. Tapi kamu lanjut, ceritakan apa saja yang terjadi kemarin kalau tidak ada hubungan seksual?”“Aku datang bulan waktu di culik kemarin, cuma... cuma...” Pamela tampak ragu sesaat sewaktu menatap ayahnya dan ia mendekat untuk berbisik...“Apa Papa m
Ace mengeringkan rambutnya yang basah sembari memandangi Pamela pergi menggunakan mobilnya dari jendela kamar yang terbuka sedikit. Ia hanya mengintip karena merasa masih terlalu malas harus menghadapi Pamela dan sejuta ceritanya dengan Damian.“Dia benar-benar akan melakukannya?” Ace mengalungkan handuknya ke leher seraya memegangi kedua ujungnya. “Tujuh sumur sakral? Aku rasa besok dia baru selesai mandi.”Ace perlahan-lahan menyunggingkan senyum geli saat membayangkan bagaimana Pamela perlu mendatangi satu persatu sumur keramat yang tidak hanya di wilayah Jakarta. “Apapun kelakuanmu slalu saja bisa membuatku tersenyum, Mel. Bahkan ketika aku merasa semua sedang tidak sesuai keinginanku.” Ace pergi keluar kamar, gegas ia menemui Anang Brotoseno di ruang kerjanya di lantai dua.“Apa yang Pampam katakan, Pa?” Anang Brotoseno menyerahkan tabletnya. “Kamu baca saja catatannya, Papa ngantuk.” Ia pura-pura menguap dan memejamkan mata. Ace memperhatikan catatan Anang Brotoseno yang ser
Pamela tidak tahu kenapa ia diminta datang ke rumah hantu setibanya dari lawatan membersihkan diri di tujuh sumur sakral yang ia datangi sampai ke kota Cirebon.“Ace... Ace...” Wanita dengan muka masam itu mendorong kasar semua pintu yang ada di rumah untuk mencari keberadaan suaminya, untuk kemudian menghapus seluruh perasaan yang terlanjur babak belur oleh rasa bersalah dengan memberitahunya bahwa semua permintaannya sudah lunas terlaksana.Pamela menutup pintu gudang seraya berbalik. “Ace ngumpet di mana sih, katanya masih ada di rumah. Kok tubuhnya nggak kelihatan.”Rambut bondolnya yang di cat dengan warna merah muda dan silver itu berayun-ayun seiring dengan langkah cepat Pamela ke halaman belakang rumah. Tempat terakhir yang belum ia kunjungi.“Ace...” Pamela berhenti melangkah, wajahnya berubah lesu. Lengkap sudah nasibnya pagi itu. Sudah nyaris masuk angin, tas dan hpnya hilang, kini suaminya sedang duduk di atas matras, di belakang seorang wanita yang hanya memakai sport bra
“Apa dia nggak tahu aku cemburu? Apa dia tidak tahu aku butuh perhatian yang lebih besar dan secara ugal-ugalan ia berikan hingga mengalahkan posisi Damian?” Ace menggerutu sembari menarik pintu mobil dengan kencang.“Sudah tahu aku lagi gengsi, harusnya Pamela dengan peka dan memaksa aku sarapan sampai aku luluh dan mau duduk bersamanya di meja makan. Ini... aku justru di usir, di suruh kerja banting tulang! Sial...” Pamela menyeringai sewaktu bunyi klakson terdengar sahut-sahutan di halaman rumah. Ia jelas sangat bersyukur memiliki Ace yang hidup tanpa penyangkalan lagi. Ini perjalanan yang juga ia nanti-nanti selama mengencaninya. Rasa cemburu itu, orang bilang cemburu tandanya sayang? Dan demi meluluhkan hatinya yang merajuk karena rupanya Ace tidak kunjung pergi dari pelataran rumah. Pamela membawa sarapan Ace ke sana.Pamela menempelkan wajahnya di jendela mobil. Menubruk lirikan mata Ace yang enggan curi-curi pandang kepadanya. “Buka dong.” Pamela menunjukkan barang bawaannya
Pamela berpangku tangan di depan meja kerja Ace sembari memandangi penguasa itu lekat-lekat. “Kenapa?” Ace menatap Pamela yang tersenyum selama beberapa detik. Instingnya mengadakan ada hal penting yang aneh dari sikap Pamela Khandita Kilmer.“Dengar, aku mengharapkan yang tidak kamu harapkan!” Ace menegaskan dengan serius. “Hentikan kelakuanmu dan pergilah keluar kantor!”“Apa maksudmu?” Pamela membasahi bibirnya sembari bersedekap. Tidak suka dengan perintahnya, namun sadar ia tidak bisa membantahnya terang-terangan. Tidak untuk sekarang.“Apa kamu nggak tau kalo kamu lagi kerja gitu kamu terlihat sangat berkharisma dan tak tersentuh, Ace?” Pamela mengulur waktu dengan bergulat dengan matanya.“Aku jatuh cinta berkali-kali padamu setiap aku melihatmu serius bekerja. Kamu menakjubkan, Ace. Terlihat luar biasa.”Pamela tersenyum malu, tapi ia juga takut karena harus menggodanya setelah pertempuran kemarin. Ia takut Ace berpikir macam-macam tentangnya. “Aku serius, Ace. Aku beruntung