Meninggalkan dua insan yang menempuh jalur penerimaan dengan saling merangkul kebersamaan dalam penyesalan yang merenggut sejatinya kebahagiaan yang pernah terjalin dengan baik. Pesawat yang ditumpangi Ace mendarat di landasan pacu dengan mulus di tengah guyuran hujan yang melanda Jakarta. Senyumnya mengembang, perjalanan bisnis yang dilakukan di timur tengah untuk mengembangkan usaha perminyakan sekaligus untuk melakukan observasi medis alat reproduksinya berjalan lancar.Hari ini ia akan menemui Pamela, menerima marahnya, manjanya, dan tubuhnya yang betul-betul ia rindukan selama beberapa hari berpisah demi menguji perasaannya dan ia bahagia, seluruh tubuhnya telah mendambanya.“Di rumah mana Pamela saat ini?” tanya Ace kepada Burhan yang bergeming di sebelahnya. “Han...” Ace menoleh.Burhan membatu saat memantau tabletnya dengan serius. “Di mana Pamela?” Ace bertanya dengan suara mendesak. “Apa yang kamu lihat sebenarnya?” Ace meraih tabletnya, menggulirkan layarnya dan menekan k
“Sekarang aku bertanya kepadamu, Ace.” Anang Brotoseno memutari tubuhnya dengan sorot mata menyelidik. “Apa kamu bersedia mengeluarkan uang 600 juta untuk menebus kekasihmu?” Ace belum tahu harus menjawab apa, pasalnya selain ayah mertuanya mengintrogasi di luar gedung, perjalanan bisnis ke timur tengah kemarin sudah mengeluarkan dana pribadi sebesar 10M dan ekspansi bisnis itu masih membutuhkan sokongan dana yang tidak sedikit baik dari uang perusahaan dan pribadi.Ace mendongak. “Bagaimana kalau kita iuran, Pa? 300juta, 300juta.”Anang Brotoseno menabok lengannya dengan muka terhibur. “Jangan mengajariku tawar-menawar!”Ace mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Anang Brotoseno sudah lumayan bersahabat daripada tadi, tapi lihatlah pria itu masih berkuasa. Merasa paling jantan di sana hanya karena senjata apinya di kantong celana kainnya. Andai tidak ada senjata itu kemungkinan besar akan terjadi duel bebas, tapi ia tetap tidak berani melawan orang tua. Nanti jatuhnya durhaka. “A
Rombongan dari Jakarta itu menginap di villa terdekat dengan villa yang ditinggali oleh Pamela dan Damian saat pagi telah menunjukkan pukul lima. Tapi begitu sampai lokasi, alih-alih segera menyergap lokasi sandera, mereka langsung berkumpul di dapur, membuat kopi dan sebangsanya untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya udara khas pegunungan.“Harusnya tadi kita bawa istri, lumayan buat anget-angetan dan bobok di villa selagi target masih tidur manis.”“Minimal kalo nggak ada istri bawa bandrek sachet, lumayan menghangat tubuh dari dalam.” “Daripada beli bandrek, mending beli gorengan. Jauh-jauh nginep di villa mewah nggak ada makanan. Ini menyiksa. Aku tersiksa kedinginan dan kelaparan.”Anang Brotoseno menghela napas setelah mendengar ketiga anak buahnya menggerutu dan berkhayal setinggi-tingginya.“Satu di antara kalian pergi cari sarapan dan makanan daripada asam lambung tinggi.”Ketiga junior Anang Brotoseno itu segera meributkan siapa yang harus pergi mencari sarapan sementara
Empat puluh delapan jam telah berlalu sejak penculik itu, Pamela masih terguncang dengan pengalaman yang luar biasa memabukkan sampai ia mulai bertanya-tanya masihkah ia terlihat waras menghadapi dunia di luar villa?Pamela membiarkan Damian menyisir rambutnya di depan cermin walk in closet villa di hari terakhirnya menikmati sensasi mematikan tinggal bersama psikopat sebelum pindah ke lokasi yang lebih murah. ‘Papa mulai lelet banget cari informasi kayaknya atau si Clary kabur dari Jakarta setelah kejadian kemarin. Lama banget nemuin aku!’ gerutu Pamela dalam hati. Damian memasang pita di rambut Pamela sebelum mencium puncak kepalanya. “Sudah rapi. Aku harus mandi dulu.” Pamela tersenyum sembari mengelus jemari Damian yang hinggap di bahunya. “Makasih.” Namun terima kasih saja tidak cukup membuat Damian puas karena sudah melayaninya, Pamela perlu menambahinya dengan melayaninya juga. Pamela beranjak, ia pergi menyiapkan air hangat dalam bathtub dan selagi airnya terus mengisi ba
“Kalian tidak bisa mengambil Pamela dariku. Pamela milikku. Dia slalu menjadi milikku. Lepas sialan... Lepaskan aku.” Damian memberontak sekuat tenaga di tengah pegangan tangan dua pengawal Anang Brotoseno yang mengapitnya ke villa.Damian mencondongkan tubuhnya, berusaha menggigit lengan kekar Burhan, akan tetapi keterkejutan Pamela akan penyergapan itu sudah sirna. Damian justru terpancing untuk meneriakinya agar tidak berlari ke arah Anang Brotoseno yang memanggil namanya berulang kali dengan suara baritonnya. “Jangan ke sana, Mela... Jangan pergi atau kamu menyiksaku... Kamu menyakitiku... Mela... Mela...” Damian berteriak dengan suara parau yang menyiksa.Pamela berhenti berlari di tengah undakan taman ia menoleh dengan napas yang tersengal-sengal. Tetapi seulas senyum ia berikan manakala inilah kebahagiaan yang sesungguhnya ia rasakan mengapa sejak tadi ia memilih untuk berbahagia.“Aku harus pulang ke rumahku, Dam. Aku punya rumah sendiri dan aku punya keluarga kecil yang slal
“Aku berani sumpah pocong kalau apa yang terjadi di malam penculikan itu nggak ada hubungan seksual, Pa.” Pamela menggeram frustasi karena setibanya di rumah, Ace memilih tidur terpisah dengannya. Ace beristirahat di kamar tamu sementara ia masih terjebak menghadapi Anang Brotoseno di ruang keluarga.“Aku sudah jujur, Pa. Cuma ini yang belum aku tau pasti.” Pamela segera menceritakan perkelahiannya dengan Damian di dalam mobil sebelum dirinya dibius. “Aku nggak sadar dari Jakarta ke Bogor, sampai pagi. Tolong yang ini Papa tanya sendiri ke Damian apa yang di lakukan.” Pamela mengurut keningnya sembari menunduk kepala. “Aku harap dia nggak melecehkan aku, Pa. Aku jijik sama diriku sendiri.”Anang Brotoseno mendongak, “Papa harap juga begitu. Tapi kamu lanjut, ceritakan apa saja yang terjadi kemarin kalau tidak ada hubungan seksual?”“Aku datang bulan waktu di culik kemarin, cuma... cuma...” Pamela tampak ragu sesaat sewaktu menatap ayahnya dan ia mendekat untuk berbisik...“Apa Papa m
Ace mengeringkan rambutnya yang basah sembari memandangi Pamela pergi menggunakan mobilnya dari jendela kamar yang terbuka sedikit. Ia hanya mengintip karena merasa masih terlalu malas harus menghadapi Pamela dan sejuta ceritanya dengan Damian.“Dia benar-benar akan melakukannya?” Ace mengalungkan handuknya ke leher seraya memegangi kedua ujungnya. “Tujuh sumur sakral? Aku rasa besok dia baru selesai mandi.”Ace perlahan-lahan menyunggingkan senyum geli saat membayangkan bagaimana Pamela perlu mendatangi satu persatu sumur keramat yang tidak hanya di wilayah Jakarta. “Apapun kelakuanmu slalu saja bisa membuatku tersenyum, Mel. Bahkan ketika aku merasa semua sedang tidak sesuai keinginanku.” Ace pergi keluar kamar, gegas ia menemui Anang Brotoseno di ruang kerjanya di lantai dua.“Apa yang Pampam katakan, Pa?” Anang Brotoseno menyerahkan tabletnya. “Kamu baca saja catatannya, Papa ngantuk.” Ia pura-pura menguap dan memejamkan mata. Ace memperhatikan catatan Anang Brotoseno yang ser
Pamela tidak tahu kenapa ia diminta datang ke rumah hantu setibanya dari lawatan membersihkan diri di tujuh sumur sakral yang ia datangi sampai ke kota Cirebon.“Ace... Ace...” Wanita dengan muka masam itu mendorong kasar semua pintu yang ada di rumah untuk mencari keberadaan suaminya, untuk kemudian menghapus seluruh perasaan yang terlanjur babak belur oleh rasa bersalah dengan memberitahunya bahwa semua permintaannya sudah lunas terlaksana.Pamela menutup pintu gudang seraya berbalik. “Ace ngumpet di mana sih, katanya masih ada di rumah. Kok tubuhnya nggak kelihatan.”Rambut bondolnya yang di cat dengan warna merah muda dan silver itu berayun-ayun seiring dengan langkah cepat Pamela ke halaman belakang rumah. Tempat terakhir yang belum ia kunjungi.“Ace...” Pamela berhenti melangkah, wajahnya berubah lesu. Lengkap sudah nasibnya pagi itu. Sudah nyaris masuk angin, tas dan hpnya hilang, kini suaminya sedang duduk di atas matras, di belakang seorang wanita yang hanya memakai sport bra