“Kenapa bisa begini, Ace? Katamu tadi hanya ketemu klien sambil makan siang di PI. Kamu bohong, ya? Kamu bertengkar sama siapa?”Ace mengigit bibirnya kuat-kuat, menahan rasa perih saat kapas beralkohol menyentuh luka di tulang pipinya setelah aksi tonjok-tonjokan dengan Damian berlangsung dengan alot.Ace memukul, Damian juga memukul. Mereka saling menendang, mencengkeram, membanting dan menekan sampai Hanung perlu turun tangan untuk memisahkan keduanya. Tetapi Burhan hanya menonton keributannya sambil geleng-geleng kepala. Ace sempat berpikir Burhan hanyalah berpihak pada Pamela karena ia sama sekali tidak membantunya bahkan sekarang.“Ace bertengkar dengan Damian. Di kantor Hanung.” jawab Burhan, mewakili bosnya untuk melegakan adik manisnya.“Mereka bertengkar seperti remaja merebutkan cinta. Merebutkan kamu.” Burhan melemparkan ponselnya ke arah Pamela, sigap wanita itu menangkap setelah menghentikan diri merawat Ace.‘Pamela milikku.’ ‘Kamu hanya kebetulan menyelamatkannya, Ac
“Baru ada penebalan dinding rahim, Ibu, Bapak. Kemungkinan ini akan datang bulan, atau memang sedang mempersiapkan rahim untuk kehamilan. Kami sarankan untuk mengecek kembali dua Minggu lagi karena ini terlalu cepat melakukan pendeteksian kehamilan dari tanggal perkawinan kalian. Bagaimana?” Pernyataan dokter spesialis kandungan itu membawa Pamela dan Ace ke pemeriksaan selanjutnya. Ace ingin memeriksa kesuburannya untuk memastikan benih-benih premiumnya tidak kosong setelah sekian lama tidak diperbaharui. Karena itu, Pamela menunduk dalam-dalam sambil menjalin kedua jemari tangannya.Pamela berharap lantai yang ia pijak meleleh, menelannya bulat-bulat untuk menyembunyikan wajahnya yang semakin malu ketika Ace menanyakan perihal sunat dewasa.“Sunat kedua kali untuk keperluan kesehatan atau apa, Bapak? Sudah alot itu kulupnya, nanti tambah sakit kalau di bedah.” goda Si Dokter. Pasien datang dengan kondisi babak belur dan riwayat usia diri dan pernikahan yang lumayan bikin cengar-ce
Damian menggaruk perutnya yang terasa gatal imbas dari mengeringnya luka hasil perkelahiannya dengan Ace di balkon rumah orang tuanya yang jauh dari pusat kota.Sudah seminggu ia menetap di rumah dia lantai untuk menjalani isolasi mandiri setelah Hanung mengantarnya pulang sebagai reaksi dari ancaman Ace yang akan membuat perusahaannya kolaps jika masih menggunakannya sebagai alat perusak rumah tangganya. Damian tidak sepenuhnya yakin Ace tega melakukan teror ke perusahaan Hanung mengingat mereka memiliki ikatan yang sempat terjalin dengan sempurna. Walau memang bisa saja ucapan Ace hanya berupa gertakan untuk menakut-nakuti Hanung jika ia bisa menguasai segalanya dengan tega tanpa mempedulikan segitiga persaudaraan antara ia, Berlian dan kakeknya.“Kamu itu sudah banyak masalah, Dam. Boleh Mama kasih saran dan minta tolong ke kamu sebelum kamu balik kerja?” Ribka—ibunya menghampiri sembari membawa secangkir teh dan pisang goreng. Cemilan kesukaan Damian ketika pulang ke rumah.“Mam
Perjalanan ke kota lamat-lamat mendekatkan kembali persoalan yang akan dihadapi Damian baru-baru ini. Empat puluh delapan jam lagi hari pernikahannya hanya akan menggauli kesedihan yang melambung bersama angin. Mengangkat kembali berita hangat atas gagalnya pernikahannya dengan Pamela hingga menjadi gosip-gosip yang nikmat dibicarakan, direka-reka dan dikeluhkan di sela-sela kegiatan oleh kalangan perusahaan Miranti dan para tamu undangan. Damian berhenti di depan ruko souvernir tempatnya memesan buah tangan untuk tamu pernikahannya kendati tak akan pernah sanggup menyimpan dua ratus gelas keramik bergambar wajahnya dan Pamela dalam bentuk kecerdasan buatan seorang diri.“Saya dan Pamela kemarin sudah membayar DP sebesar 80%, saya akan mengambil souvernir itu sejumlah uang yang akan kami berikan karena pasti kalian sudah memproduksi pesanan kami.” Damian tersenyum ramah dan tenang saat membalas tatapan tidak percaya seorang gadis yang melayaninya. ”Panggil atasanmu jika kamu tidak b
“Jadi bener gosip dari Bu Miranti kalo kamu jalan sama petinggi Kandjaya Company? Pak Ace?” Dua alis tipis Clary menyatu. Ditatapnya Pamela yang mencengkeram boneka Berlian sebagai pengingat bahwa ia sudah mempunyai anak sambung.Pamela mengiyakan dengan senyum tertahan. “Aku terjebak dalam situasi rumit yang menyebabkan kita berdua menjalani hubungan yang saling menguntungkan. Tapi aku suka, Ace... ya ampun, Cla... dia ganteng banget—” “Dan tua.” timpal Clary dengan lugas sampai menghentikan pujian Pamela untuk suaminya. Tak marah, Pamela memanyunkan bibirnya seraya tertawa. “Ace memang tua, tapi aku nggak masalah sama usianya atau statusnya. Dia baik banget, royal, cuma masalahnya...” Pamela menggerak-gerakkan mulutnya seraya menatap langit-langit kamar dan Clary sudah dapat mengira-ngira ia kenapa.“Masalah keluarga? Atau mantan aaa... aku nggak mau nebak-nebak sih, kamu bilang ajalah situasinya, kayak sama siapa aja harus pakai rahasia-rahasiaan.” “Kamu sepupunya Damian, ya ka
Mobil yang membawa Pamela berhenti di depan fasad kafe Spanish food di daerah Setiabudi One Building. Kafe yang menyatukan tangan Pamela dan Damian untuk pertama kalinya hingga menjadikannya tempat langganan mereka mencuci waktu sambil berandai-andai bagaimana hubungan mereka kelak berakhir.‘Keputusanku main ke sini nggak bener sih, tapi di rumah aku tambah stres. Oh, Ace... Di mana kamu sayang...”Pamela memandangi kafe itu dengan semangat yang meleleh. Segalanya terasa berbeda, meski kafe yang mengusung tema Spanish culture dan membungkus kenangannya bersama Damian itu masih sama seperti saat terakhir kali ia berkunjung di malam perayaan penganugerahan kenaikan jabatan Damian.Kursi-kursi merah itu, lampu hiasnya, pelayan kafe, dan chef-nya...“Mau ngapain sih kita ke kafe ini, Cla? Aku malu banget lho keluar rumah hari ini, rasanya nggak banget gagal nikah tapi keluyuran.” keluh Pamela setelah keluar dari kendaraan.Terdengar pintu mobil tertutup berbarengan dengan celetukan Clary
Hati Pamela rasanya ingin komat-kamit begitu tahu mobil yang dikemudikan Clary perlahan-lahan menyerah dan berhenti di bahu jalan setelah memaksa satu ban kempes tetap jalan menemukan tambal ban.Clary menepuk keningnya seraya memasang wajah menyesal. “Aku gagal bawa kamu pulang jam sembilan tepat, Mel. Kayaknya kamu sewa taksi aja, ya. Tapi tunggu... biar aku yang pesan taksinya.” “Gak... gak usah... Aku bisa sendiri.” Buru-buru Pamela menolaknya. “Ini bukan salahmu, Cla. Aku tinggal kirim barang bukti ban kempesnya dan mereka bakal ngerti.”Clary tersenyum lega sambil menunjukkan ponselnya. Entah foto siapa yang diberikan Damian, Clary hanya perlu menunjukkan isi pesannya. “Udah... udah dapat. Agya merah, kita turun yuk. Aku temani kamu sampai mobilnya sampai.” Clary meletakkan ponselnya di dekat persneling seraya mendorong pintu mobil.Pamela meraih lengannya. ”Kamu emangnya nggak ikut sekalian? Nanti aku minta orang Papa urus mobilmu.” Tampak gagap, Clary menggeleng cepat. “Aku
Damian membopong tubuh Pamela ke dalam villa eksklusif yang terletak di balik rimbunnya pohon pinus dan damar setelah melalui tiga jam perjalanan ke daerah pegunungan nun jauh dari hiruk-pikuk kota Jakarta. Sebelum Damian masuk, lampu-lampu taman dan ruangan sudah menyala setelah seorang pengurus villa membuka unit villa sambil membantunya membawa barang-barangnya. Damian meletakkan tubuh Pamela ke ranjang bulan madu mereka sebelum menutup pintu kamar untuk menghalau masuknya udara dini hari yang berkabut ke dalam ruang kesedihannya.Ya, bukan tanpa alasan Damian membawa Pamela jauh-jauh ke villa yang mereka reservasi bersama untuk menikmati bulan madu di tengah-tengah masa cuti yang tidak seberapa lamanya Di tempat itu, Damian ingin berbicara dari hati ke hati permasalahan dan perasaannya terhadap Pamela dengan bebas tanpa campur tangan orang lain. Damian melepas jaketnya seraya mencuci sapu tangan yang sudah ia beri cairan obat bius di wastafel. Alih-alih segera menyusul Pamela k
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep