“Baru ada penebalan dinding rahim, Ibu, Bapak. Kemungkinan ini akan datang bulan, atau memang sedang mempersiapkan rahim untuk kehamilan. Kami sarankan untuk mengecek kembali dua Minggu lagi karena ini terlalu cepat melakukan pendeteksian kehamilan dari tanggal perkawinan kalian. Bagaimana?” Pernyataan dokter spesialis kandungan itu membawa Pamela dan Ace ke pemeriksaan selanjutnya. Ace ingin memeriksa kesuburannya untuk memastikan benih-benih premiumnya tidak kosong setelah sekian lama tidak diperbaharui. Karena itu, Pamela menunduk dalam-dalam sambil menjalin kedua jemari tangannya.Pamela berharap lantai yang ia pijak meleleh, menelannya bulat-bulat untuk menyembunyikan wajahnya yang semakin malu ketika Ace menanyakan perihal sunat dewasa.“Sunat kedua kali untuk keperluan kesehatan atau apa, Bapak? Sudah alot itu kulupnya, nanti tambah sakit kalau di bedah.” goda Si Dokter. Pasien datang dengan kondisi babak belur dan riwayat usia diri dan pernikahan yang lumayan bikin cengar-ce
Damian menggaruk perutnya yang terasa gatal imbas dari mengeringnya luka hasil perkelahiannya dengan Ace di balkon rumah orang tuanya yang jauh dari pusat kota.Sudah seminggu ia menetap di rumah dia lantai untuk menjalani isolasi mandiri setelah Hanung mengantarnya pulang sebagai reaksi dari ancaman Ace yang akan membuat perusahaannya kolaps jika masih menggunakannya sebagai alat perusak rumah tangganya. Damian tidak sepenuhnya yakin Ace tega melakukan teror ke perusahaan Hanung mengingat mereka memiliki ikatan yang sempat terjalin dengan sempurna. Walau memang bisa saja ucapan Ace hanya berupa gertakan untuk menakut-nakuti Hanung jika ia bisa menguasai segalanya dengan tega tanpa mempedulikan segitiga persaudaraan antara ia, Berlian dan kakeknya.“Kamu itu sudah banyak masalah, Dam. Boleh Mama kasih saran dan minta tolong ke kamu sebelum kamu balik kerja?” Ribka—ibunya menghampiri sembari membawa secangkir teh dan pisang goreng. Cemilan kesukaan Damian ketika pulang ke rumah.“Mam
Perjalanan ke kota lamat-lamat mendekatkan kembali persoalan yang akan dihadapi Damian baru-baru ini. Empat puluh delapan jam lagi hari pernikahannya hanya akan menggauli kesedihan yang melambung bersama angin. Mengangkat kembali berita hangat atas gagalnya pernikahannya dengan Pamela hingga menjadi gosip-gosip yang nikmat dibicarakan, direka-reka dan dikeluhkan di sela-sela kegiatan oleh kalangan perusahaan Miranti dan para tamu undangan. Damian berhenti di depan ruko souvernir tempatnya memesan buah tangan untuk tamu pernikahannya kendati tak akan pernah sanggup menyimpan dua ratus gelas keramik bergambar wajahnya dan Pamela dalam bentuk kecerdasan buatan seorang diri.“Saya dan Pamela kemarin sudah membayar DP sebesar 80%, saya akan mengambil souvernir itu sejumlah uang yang akan kami berikan karena pasti kalian sudah memproduksi pesanan kami.” Damian tersenyum ramah dan tenang saat membalas tatapan tidak percaya seorang gadis yang melayaninya. ”Panggil atasanmu jika kamu tidak b
“Jadi bener gosip dari Bu Miranti kalo kamu jalan sama petinggi Kandjaya Company? Pak Ace?” Dua alis tipis Clary menyatu. Ditatapnya Pamela yang mencengkeram boneka Berlian sebagai pengingat bahwa ia sudah mempunyai anak sambung.Pamela mengiyakan dengan senyum tertahan. “Aku terjebak dalam situasi rumit yang menyebabkan kita berdua menjalani hubungan yang saling menguntungkan. Tapi aku suka, Ace... ya ampun, Cla... dia ganteng banget—” “Dan tua.” timpal Clary dengan lugas sampai menghentikan pujian Pamela untuk suaminya. Tak marah, Pamela memanyunkan bibirnya seraya tertawa. “Ace memang tua, tapi aku nggak masalah sama usianya atau statusnya. Dia baik banget, royal, cuma masalahnya...” Pamela menggerak-gerakkan mulutnya seraya menatap langit-langit kamar dan Clary sudah dapat mengira-ngira ia kenapa.“Masalah keluarga? Atau mantan aaa... aku nggak mau nebak-nebak sih, kamu bilang ajalah situasinya, kayak sama siapa aja harus pakai rahasia-rahasiaan.” “Kamu sepupunya Damian, ya ka
Mobil yang membawa Pamela berhenti di depan fasad kafe Spanish food di daerah Setiabudi One Building. Kafe yang menyatukan tangan Pamela dan Damian untuk pertama kalinya hingga menjadikannya tempat langganan mereka mencuci waktu sambil berandai-andai bagaimana hubungan mereka kelak berakhir.‘Keputusanku main ke sini nggak bener sih, tapi di rumah aku tambah stres. Oh, Ace... Di mana kamu sayang...”Pamela memandangi kafe itu dengan semangat yang meleleh. Segalanya terasa berbeda, meski kafe yang mengusung tema Spanish culture dan membungkus kenangannya bersama Damian itu masih sama seperti saat terakhir kali ia berkunjung di malam perayaan penganugerahan kenaikan jabatan Damian.Kursi-kursi merah itu, lampu hiasnya, pelayan kafe, dan chef-nya...“Mau ngapain sih kita ke kafe ini, Cla? Aku malu banget lho keluar rumah hari ini, rasanya nggak banget gagal nikah tapi keluyuran.” keluh Pamela setelah keluar dari kendaraan.Terdengar pintu mobil tertutup berbarengan dengan celetukan Clary
Hati Pamela rasanya ingin komat-kamit begitu tahu mobil yang dikemudikan Clary perlahan-lahan menyerah dan berhenti di bahu jalan setelah memaksa satu ban kempes tetap jalan menemukan tambal ban.Clary menepuk keningnya seraya memasang wajah menyesal. “Aku gagal bawa kamu pulang jam sembilan tepat, Mel. Kayaknya kamu sewa taksi aja, ya. Tapi tunggu... biar aku yang pesan taksinya.” “Gak... gak usah... Aku bisa sendiri.” Buru-buru Pamela menolaknya. “Ini bukan salahmu, Cla. Aku tinggal kirim barang bukti ban kempesnya dan mereka bakal ngerti.”Clary tersenyum lega sambil menunjukkan ponselnya. Entah foto siapa yang diberikan Damian, Clary hanya perlu menunjukkan isi pesannya. “Udah... udah dapat. Agya merah, kita turun yuk. Aku temani kamu sampai mobilnya sampai.” Clary meletakkan ponselnya di dekat persneling seraya mendorong pintu mobil.Pamela meraih lengannya. ”Kamu emangnya nggak ikut sekalian? Nanti aku minta orang Papa urus mobilmu.” Tampak gagap, Clary menggeleng cepat. “Aku
Damian membopong tubuh Pamela ke dalam villa eksklusif yang terletak di balik rimbunnya pohon pinus dan damar setelah melalui tiga jam perjalanan ke daerah pegunungan nun jauh dari hiruk-pikuk kota Jakarta. Sebelum Damian masuk, lampu-lampu taman dan ruangan sudah menyala setelah seorang pengurus villa membuka unit villa sambil membantunya membawa barang-barangnya. Damian meletakkan tubuh Pamela ke ranjang bulan madu mereka sebelum menutup pintu kamar untuk menghalau masuknya udara dini hari yang berkabut ke dalam ruang kesedihannya.Ya, bukan tanpa alasan Damian membawa Pamela jauh-jauh ke villa yang mereka reservasi bersama untuk menikmati bulan madu di tengah-tengah masa cuti yang tidak seberapa lamanya Di tempat itu, Damian ingin berbicara dari hati ke hati permasalahan dan perasaannya terhadap Pamela dengan bebas tanpa campur tangan orang lain. Damian melepas jaketnya seraya mencuci sapu tangan yang sudah ia beri cairan obat bius di wastafel. Alih-alih segera menyusul Pamela k
“Ini gila.” Pamela memandangi tubuhnya yang berbalut kebaya modern di depan cermin walk in closet villa yang sudah ia pastikan sebagai villa bulan madunya.“Apa aku akan menikah dengan Damian hari ini? Apa Damian tetap nekad kami menikah tanpa orang tua kami? Apa orang tuaku dan Ace tidak segera menyadari kepergianku? Clary... Tuhan... kenapa cobaan ini terlalu berat?” Jantungnya berpacu dengan cepat, bahunya bergetar karenanya, sementara matanya memandangi dirinya sendiri dengan lekat. “Ke mana Ace? Ke mana perginya suamiku? Apa dia tidak tahu aku dalam bahaya, apa dia memang tidak sesayang itu sama aku sampai dia nggak sadar aku kenapa-napa?”Pamela menggigit bibirnya kuat-kuat. Wajahnya terlihat gamang. Tidak ada penjelasan lain raibnya Ace kecuali ia sedang meratapi spermanya yang lelet itu di tempat rahasianya. “Ace mungkin emang nggak peka, tapi dia sayang sama aku. Dia sayang sama aku. Papa... Wulan... Om Burhan... Dengan konsentrasi pecah, marah pada Damian, merasa bersala