Aku mengusap darah yang mulai mengering di ujung bibirku yang bengkak akibat penganiayaan yang hampir setiap hari kuterima.
Sudah hampir 2 minggu kami terkurung di sini. Berbagai macam perlakuan kejam dan tak layak menderaku serta ketiga anakku.Kami hampir tak diberi makan sama sekali. Dalam waktu sekitar 2 minggu ini kami hanya mendapatkan dua bungkus biskuit dan dua liter air mineral. Tak ada makanan berat, kecuali nasi yang kadang sudah agak basi. Kami menderita kelaparan yang hebat. Dan kedua anakku yang paling kecil jadi sering rewel karena lapar.“Mama sakit?” tanya Andra saat melihatku meringis menahan sakit di area intimku akibat pelecehan brutal yang dilakukan penjahat itu. Sudah empat kali ia menggauliku dengan kasar dan menyakitkan. Badanku terasa remuk karena setiap kali ia melampiaskan nafsunya, selalu menghajarku hingga babak belur.“Mama nggak apa. Andra lapar? Mau biskuit?” tanyaku, agar ia tak terlalu khawatir.Andra seperti ragu menjawab. “Nanti aja sama-sama Kak Nurul, Ma.”Aku tersenyum. Kulihat di depanku Nurul sedang menepuk punggung Melina. Anak sulungku itu memang telaten menjaga adik-adiknya meski baru berumur 12 tahun.“Ma, nanti kalau Om Jahat datang lagi mau nyeret Mama keluar, Andra akan lawan. Andra akan hajar Om Jahat biar nggak nyakitin Mama.”Aku mengelus kepalanya. “Nggak usah Sayang, nanti malah kamu yang dipukul sama dia. Jangan ya.”“Kok gitu Ma? Biarin, Andra nggak takut. Andra kan anak laki-laki, harus bisa lindungin Mama kan?”“Iya, tapi jangan mukul Om itu, soalnya dia jahat biarpun sama anak kecil,” kataku.Belum selesai pembicaraan kami, pintu terbuka. Lelaki itu lagi-lagi datang dalam keadaan mabuk.Tanpa berkata apa-apa dia datang mendekatiku, menampar dan meninju perutku berulang kali. Bibirku yang tadinya sudah mengering, kini mengeluarkan darah lagi.Aku sudah tak berdaya. Tenagaku benar-benar terkuras habis. Makanan yang sangat sedikit dan tak layak untuk dimakan membuat aku tak punya kekuatan sama sekali untuk melawannya.Dia menyeretku lagi, kali ini ia menarik kakiku. Aku berusaha menggapai apa pun yang ada di sekitar, namun tak kutemukan sesuatu yang bisa kutangkap.“Jangan bawa Mamaku!!” kudengar teriakan Andra. Kulihat dengan samar ia berusaha meninju dan menendang, dan lelaki itu berteriak saat Andra menggigit tangannya. Ia melepaskan kakiku, ku rasa emosinya terpancing dengan kelakuan Andra. Kini kulihat ia mendekati Andra dan mulai menampar dengan keras anak lelakiku itu.“Andra... Jangan... Jangan pukul anakku... Aku akan ikut kamu... Jangan...” Kataku lemah. Sekuat tenaga aku berusaha bangun. Mendekatinya yang kini sedang menginjak-injak perut dan kepala Andra dengan ganas. Nurul menjerit-jerit, berusaha menolong adiknya, namun baru saja mendekat ia sudah ditampar dan didorong.“Bang jangan Bang... Tolong lepaskan anakku. Aku akan ikut..” Aku memeluk Andra yang sudah tak bergerak, sepertinya ia pingsan karena masih bisa kurasakan ia bernapas meski sangat lemah.Pria itu membabi-buta memukuliku yang melindungi tubuh Andra. “Hahh...!!! Bikin nafsuku hilang saja!” katanya sambil melengos pergi.Aku lega saat ia membanting pintu dan keluar. Kugoyangkan badan Andra, ia sama sekali tak bergerak. “Andra, Sayang Mama... Bangun Nak. Om Jahat udah pergi. Andra nggak pa-pa kan?” tangisku.Mata Andra lebam, bibirnya pecah dan hidungnya mengeluarkan darah. Kubuka kaos yang melekat di tubuhnya, kuraba perut dan dada Andra. Tanganku berhenti saat merasa sebuah keadaan di dadanya yang aneh. “Ya Allah, apa tulang rusuk Andra patah? Kenapa seperti ini?” pikirku. Aku meraba tulang rusukku sendiri. Benar-benar sepertinya tulang rusuk Andra patah. Aku menangis. Keras sekali. Aku sungguh takut. Keadaan Andra sekarang bahkan lebih parah daripada keadaanku.***Aku berbaring di samping Andra. Sudah dua hari Andra masih belum begitu sadar. Dan badannya panas. Matanya yang tidak tertutup sempurna membuat aku selalu menangis setiap kali melihatnya.Aku berulang kali memohon pada orang yang telah menyekap kami untuk membawa Andra ke rumah sakit, agar mendapatkan pertolongan secepatnya karena aku sangat yakin kalau Andra banyak mendapatkan luka dalam. Namun ia tak menggubris permintaanku, dia bilang takut aku akan melarikan diri.Kini aku hanya bisa pasrah memandang Andra. Menangis tanpa mengenal waktu, menyesali segala hal yang terjadi.“Andra, jangan tinggalkan Mama. Mama nggak bisa hidup tanpa Andra. Janji ya sama Mama, Andra akan sembuh.” Hanya kalimat itu yang berulang kali kuucapkan setiap kali berbisik di telinganya.“Ma... Ma...” aku terkejut merasa mendengar sebuah bisikan yang sangat kecil saat baru saja aku terlelap. Aku membuka mata dan melihat Andra yang menggerakkan bibirnya.Dengan cepat aku bangun, meletakkan kepalanya di pangkuanku. Sementara Nurul yang melihat adiknya sadar langsung mendekat.“Andra udah sadar Sayang? Andra mau apa? Mau makan biskuit? Masih ada yang sakit?”Tak satu pun pertanyaanku yang dijawab Andra. Ia hanya menatapku dengan tatapan redup, seolah cahaya itu akan menghilang. Bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada satu kata pun yang keluar. Ia hanya menggerakkan tangannya, cepat kutangkap dan kugenggam. Seulas senyum ia perlihatkan. Apa ini? Kenapa aku merasa dia seolah-olah mengatakan,” Ma, Andra udah berusaha melindungi Mama kan? Andra udah menjalankan kewajiban Andra sebagai anak laki-laki yang menjaga Mama kan? Sekarang Andra mau pamit.”Kenapa?? Kenapa aku merasa Andra sedang berkata seperti itu? Tangisku pecah dan aku berteriak-teriak seperti orang gila, saat kulihat Andra menutup matanya perlahan dan tak lagi kulihat perutnya yang turun naik seperti sebelumnya. Ia menghembuskan nafas terakhirnya, di pangkuanku.Aku berguling-guling. Menjerit, menangis, menjambak dan memukul dadaku sendiri. Tak kupedulikan rasa sakit di badanku setiap kali aku menghempaskan tubuh ini di lantai. Sungguh hatiku jauh lebih sakit.Nurul menangis, antara karena melihat keadaanku yang seperti kesetanan, atau karena kepergian Andra untuk selamanya. Atau mungkin karena keduanya. Melina yang masih kecil menangis ketakutan. Keadaan sungguh sangat kacau. Kami semua menangis.“Apa sih ini, ribut banget! Nggak bisa biarkan orang istirahat apa?!” penjahat itu muncul di pintu.Aku melihatnya dengan nafsu membunuh yang sangat besar dalam diriku. Karena dia, anakku meninggal. Kudekati ia dan kupukul badannya berulang kali.“Lihat apa yang kau lakukan bajingan! Kau membunuh anakku! Kau membunuhnya!!” aku terus mengamuk seperti orang gila. Ia tak membalas pukulanku, bahkan ia terlihat tertegun melihat tubuh Andra yang sudah terbujur kaku.“Anakmu... Mati?” katanya seperti orang yang ketakutan. Ia pun sepertinya tak menyangka kalau Andra akan meninggal akibat perbuatannya kemarin, saat sedang mabuk.“Kembalikan anakku... Kembalikan anakku kau manusia brengsek!”***“Kamu ini bodoh atau apa sih, Redy? Gimana kejadiannya kalau udah kayak gini? Belum apa-apa kamu udah bunuh anaknya.” Kudengar seorang wanita bicara dengan nada protes. Ah, ternyata nama lelaki itu adalah Redy?“Aku nggak sengaja. Aku nggak sadar, kan lagi mabuk.”“Makanya mabuk aja terus. Bego kok dipelihara. Bereskan kekacauan ini! Kuburin tuh anaknya. Jangan cuma diliatin doang!”“Nggak bisa. Tuh Emaknya ngamuk tiap kudeketin.”“Pinter dikit lah. Masa’ hal kayak gini aja kamu nggak bisa?”“Iya nanti aku kubur anaknya.”“Jangan nanti-nanti... Aku mau pergi dulu, uang kamu di atas meja.”“Iya, bawel!”Kudengar suara langkah kaki wanita itu menjauh. Dan lelaki bernama Redy itu berjalan mendekatiku yang pura-pura tidur.“Heh, bangun! Kita harus nguburin anak kamu. Udah jadi bangkai itu, bau banget!”“Pergi!!!” teriakku. Membuat lelaki itu terkejut dan spontan terlonjak ke belakang. Namun tak lama ia kembali mendekat dan menarik tubuh yang sejak tadi ku peluk.“Nggak... Jangan bawa dia pergi!” kataku sambil memeluk erat tubuh kaku anakku.“Sadar heh, orang gila! Anak kamu itu udah mati! Lepaskan tanganmu, aku mau menguburkannya.”Terjadi tarik-menarik antara kami. Hingga aku mendapatkan sebuah tamparan di pipiku, yang membuatku terdiam.“Heh, dengar,” katanya sambil menjentikkan jari beberapa kali di depanku. “ Anakmu ini udah empat hari mati. Baunya menganggu banget, dan aku nggak mau dia jadi arwah gentayangan di rumah ini kalau nggak dikuburkan secepatnya.”Aku seperti mendapatkan sedikit kesadaran dan ingatanku. Air mataku meleleh. Aku ingat, Andra telah pergi. Dan memang kini sudah saatnya bagiku untuk melepas jasadnya, membiarkannya dikubur.Melihatku diam tanpa respon, ia menggulung tubuh Andra dengan menggunakan tikar pandan.“Nggak perlu mengucapkan perpisahan lagi kan? Aku udah beri waktu empat hari,” katanya sambil meletakkan tubuh Andra yang terbungkus tikar ke atas pundaknya.“Tolong...” suaraku menghentikan langkahnya yang hendak keluar dari kamar. “Tolong kuburkan ia dengan layak.” Kataku disertai air mata yang kembali jatuh.Aku termenung memeluk lutut. Pikiranku terasa kosong. Yang kuingat hanya Andra. Beberapa kali Nurul dan Melina datang mendekatiku, tapi kuacuhkan. “Ma, sadar Ma. Mama belum ada makan. Kami takut kalau Mama seperti ini terus. Kasihan Melina Ma,” tangis Nurul. Tapi aku tetap diam seribu bahasa. Aku selalu saja mengulang memori dari sejak kami kabur dari rumah, hingga saat Andra meninggal. Kalau sudah begitu, akan selalu berakhir dengan jeritan frustasiku.“Ma, Melina demam Ma. Biskuitnya udah nggak ada lagi. Ma, kami harus gimana?” Diam. Hanya itu yang kulakukan. Aku tak akan makan, tak akan melakukan apa-apa sampai aku mati menyusul Andra.“Ma, Nurul capek. Melina nangis terus, dia rewel. Nurul harus gimana Ma? Tolong Ma, sadarlah. Nurul perlu Mama di samping kami.” Nurul menangis sambil menggoyang tanganku, tapi aku diam saja.Kubiarkan ia terus menangis. Aku tak ingin hal lain, kecuali cepat bertemu dengan Andra. ***“Ma, bangun. Sekarang Mama pulang ya.”Aku menggeleng. “
“Mmm... Aku mendengarnya dari perempuan yang pernah datang ke sini,” kataku ragu.Redy diam. Sepertinya ia tak suka kalau aku mengetahui identitasnya. “Dan apa kau tahu siapa perempuan itu?” tanyanya penuh selidik.Aku menggeleng. “Aku nggak lihat orangnya, cuma dengar suara aja,” kataku.Redy terlihat manggut-manggut.“Makasih sekali lagi ya Bang.” Kataku lagi.“Iya. Jaga benar-benar kesehatannya, jangan sampai sakit lagi. Aku nggak mau keluar uang terus.”“Iya Bang,” kataku pendek dengan senyum mengembang. Aku kembali memeluk Melina. Tak henti kuucapkan syukur karena kali ini aku bisa menyelamatkan anakku. “Oh iya, dia belum terlalu sembuh. Masih dalam masa pemulihan. Ini obatnya, jangan lupa diminumkan.” Redy memberiku sebuah kantong plastik. Dia bilang isinya adalah obat Melina, tapi kenapa seperti agak besar dan berat? Setelah kubuka, ternyata ada dua pak roti isi. Aku langsung memandang heran padanya. “Itu aku belikan buat dia makan, biar bisa minum obat.”“Makasih
“Tunggu Mama di sini ya. Mama nggak lama kok,” kataku pada Nurul dan Melina. “Jaga adikmu ya Rul. Mama keluar sebentar.” Nurul menahan tanganku. Ada kecemasan yang terlihat di wajahnya. “Ma, jangan pergi dari sini tanpa kami ya,” katanya, membuatku hampir menitikkan air mata. Tak mungkin aku akan meninggalkan mereka. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Cepat!” kata Redy. Aku berdiri dan cepat melangkah mendekatinya. Jangan sampai karena gerakku yang lambat membuat Redy berubah pikiran dan tak jadi membiarkan aku memasak. Ini satu-satunya kesempatanku untuk keluar dari kamar ini, membaca keadaan sekitar sambil menyusun rencana untuk kabur dan membalas dendam. “Ingat ya, kalau ada yang datang ke rumah ini kau cepat-cepat masuk lagi ke kamar. Kalau nggak, anakmu kuhajar lagi,” ancamnya. “Iya Bang.” Kataku patuh. Redy membawaku ke dapur. Aku sempat terperangah melihat keadaan tempat memasak yang terlihat sangat kacau dan berantakan. “Ngapain bengong?! Nggak pernah lihat dapur bera
“Ma, kira-kira hari ini kita makan nasi lagi nggak ya?” tanya Nurul dengan nada penuh harap.“Semoga aja ya, Sayang,” jawabku. “Semoga aja nanti Mama disuruh masak lagi.”“Kok semalam Mama nggak disuruh masak ya? Emangnya Om itu nggak makan malam?” tanyanya penasaran. Kasihan anakku. Mungkin semalam ia berharap bisa makan dengan nasi lagi. Tapi setelah wanita misterius itu pergi, Redy belum ada datang ke kamar ini sampai sekarang. Jadi terpaksa kami makan malam dengan biskuit.“Mungkin dia beli makanan di luar, Rul. Lagi pula dia kayaknya belum sepenuhnya bisa percaya sama Mama untuk keluar dari kamar ini,” kataku.Nurul memonyongkan bibir. Aku tertawa kecil melihatnya. “Sabar ya Rul. Nanti juga lama-lama kita akan keluar dari sini,” hiburku.“Kapan Ma?”“Mama nggak tahu sayang, tapi Mama akan terus berusaha. Mama cuma minta, jangan terlalu sering ngomongin soal keluar dari sini ya. Biar ini jadi rahasia kita aja,” kataku. Aku takut Nurul keceplosan dan Redy tahu niatku yang hen
Hari mungkin sudah sangat malam. Namun aku tak tahu jam berapa ini. Aku sedang menggendong Melina yang terlihat sudah mulai mengantuk. Sementara Nurul sejak tadi sudah tidur sambil menahan lapar. Aku benar-benar menyesal karena tadi tak sempat mengambil makanan dari dapur.Keadaan rumah terasa sangat sepi. Redy belum pulang sejak tadi dua orang yang kutebak adalah temannya menjemput. Saat tadi siang ada yang datang ke sini, aku tak berani bersuara, apalagi berteriak. Awalnya ku pikir akan meminta pertolongan dengan membuat suara bising. Namun setelah menimbang lagi, hal itu sangat berisiko. Bagaimanapun, aku tak tahu siapa yang datang. Bisa saja mereka adalah komplotan Redy. Kalau aku berbuat macam-macam, aku takut nyawaku dan anak-anakku terancam.Aku akan berpikir sendiri bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini. Aku akan tetap pada rencana semula, yaitu mendekati Redy, mendapatkan kepercayaannya dan membalas dendam.“Ma, lapar. Nurul boleh makan biskuitnya sekeping
“Ella, apa maksud semua ini? Apa aku nggak salah lihat? Kau yang merencanakan ini? Kenapa?” tanyaku dengan terbata-bata. Aku sungguh tak menyangka, kalau Ella, wanita yang kuanggap teman, ternyata adalah orang yang menjadi dalang penyekapanku dan anak-anakku. Aku bahkan tak pernah terpikir kalau dia yang mengatur penculikan ini. Dialah yang kemarin mencarikan dan menawarkan mobil travel untuk membawaku pulang ke rumah orang tuaku. Kupikir dia tak ada hubungannya dengan semua ini. Namun ternyata perempuan yang membayar Redy adalah Ella.Ella bukanlah orang yang kukenal baik. Dia hanyalah pelanggan yang kadang datang berbelanja di minimarket yang setiap hari ku jaga. Dan beberapa waktu sebelum aku kabur dari rumah, aku sempat akrab dengannya karena dia sering menemaniku mengobrol di meja kasir. Aku juga sering curhat tentang masalah rumah tanggaku padanya. Jadi aku sekarang benar-benar sangat terkejut mengetahui kenyataan kalau ternyata dia adalah musuh dalam selimut.“Redy, bisa kau
“Hah....” Redy membuang napas. “Aku sebenarnya nggak mau terlibat terlalu dalam untuk urusan kalian berdua. Aku hanya mau bayaran. Hanya mau uang. Tapi karena aku udah bertindak sejauh ini, sepertinya aku mau tak mau harus menuruti kemauannya lagi.” “Maksud Abang?!” “Dia menyuruhku untuk melenyapkan kalian bertiga. Tepat setelah dia berhasil menikahi suamimu,” kata Redy, membuat darahku bergolak panas saat mendengarnya. Aku memang sudah mendengar tentang rencananya yang mau melenyapkanku dan ketiga anakku. Tapi tetap saja aku sakit hati saat mendengarnya secara langsung. “Dan Abang akan melaksanakan perintahnya? Menuruti kemauannya?” tanyaku. “Aku belum memutuskan. Tapi bisa jadi.” Aku menghela napas. Menyiapkan kalimat yang mungkin akan membuat dia marah. “Kalau Abang menuruti kemauannya, Abang adalah orang yang bodoh!” kataku dengan berani. “Hei, apa maksudmu?! Berani-beraninya kau mengataiku seperti itu? Kau mau kubunuh sekarang?!” ancamnya. Tapi aku tak takut. Aku justru sen
“Gila kamu La! Bisa-bisanya nyuruh aku ngelakuin hal yang kayak gitu. Aku mesti bunuh orang dan melakukan hal jahat pada anak-anak, trus kamu diam aja nggak ngapa-ngapain? Pinter kamu ya, biar aku masuk penjara sendiri?” Jawaban telak dari Redy membuatku puas. Tepat seperti yang aku bilang padanya. Ternyata masuk juga ke otak.“Heh! Apa maksud kamu bilang kayak gitu Redy? Aku kan cuma kasi solusi aja kalau emang sekarang kamu butuh uang banget. Mereka udah nggak kuperlukan lagi. Kalau bebas, mereka akan lapor polisi.”“Aku butuh uangku yang ada sama kamu, La. Bukan berarti aku akan melakukan hal lain yang bisa membahayakan hidupku ke depannya. Aku nggak mau masuk penjara. Ini semua ide kamu, dan aku cuma bertugas menahan mereka kan awalnya? Kenapa sekarang pake acara bunuh-bunuhan? Nggak waras kamu!”“Ya kalau kamu mau nunggu uang dariku, sabar dong jangan banyak nuntut. Aku juga lagi mikir nih. Lagi berusaha!” “Ya udah kalau gitu aku minta sejuta aja, aku udah nggak ada pegan
“Ke mana kau saat kami menghilang? Kenapa kau justru menikah lagi, sementara di tempat lain aku dan anak-anakmu sedang mengalami beragam siksaan menyakitkan?”“Kau sendiri yang kabur dari rumah dengan membawa anak-anak! Kau lari dengan laki-laki lain.” Mas Edar menyanggah omonganku, tak mau disalahkan sendiri.“Aku kabur karena sudah tak tahan dengan sifatmu yang pelit. Apalagi kau malah selingkuh di belakangku. Sekarang aku tanya, apakah ada usahamu mencari kami ketika aku lari dari rumah? Adakah niatmu mencari tahu di mana keberadaan kami, meski itu hanya untuk memastikan alasanku pergi darimu? Tidak ada! Kau justru sepertinya sangat senang ketika aku dan ketiga anakmu menghilang! Seolah memang itulah yang kau harapkan, agar bisa melanjutkan hubunganmu dengan Ella dan menikahinya! Iya kan?!” Mas Edar diam, tak menjawab. Sepertinya memang apa yang aku tuduhkan semua benar adanya.“Aku pikir kau pasti akan kembali,” ujarnya lemah.“Bohong! Kalau kau pikir aku akan kembali, tak m
PoV Laras“Laras, kau ke sini?” Aku hanya tersenyum menyeringai ketika Redy tampak terkejut melihat kedatanganku. Sekilas kulihat keadaan di balik jeruji tempat ia sekarang meringkuk siang dan malam.Keadaannya begitu kotor. Dengan lantai berdebu dan hanya ada lembaran koran yang mungkin ia gunakan sebagai alas duduk dan tidur. Redy hanya sendiri di dalam ruangan kecil ini, tak ada narapidana lain yang kulihat.“Tentu saja aku harus ke sini. Aku harus memastikan kalau berita gembira dari Bang Yunan kalau kau telah ditangkap polisi itu benar adanya,” ujarku dingin.“Jadi Yunan yang telah membantumu kabur? Sudah kuduga.” Redy tertawa sekilas. “Bagaimana rasanya, Redy? Dikurung di sebuah tempat sempit, dengan ruang gerak yang sangat terbatas? Aku tak tahu apakah kau mendapatkan penyiksaan atau tidak, tapi aku harap kau dikurung di sini, jauh lebih lama dari saat kau mengurung aku dan anak-anakku.”“Aku memang pantas mendapatkannya, Laras. Aku sadar akan hal itu. Hanya saja seben
PoV Author “Bagaimana sekarang?” Yunan yang sedang mengelap darah di tangannya dengan menggunakan saputangan bertanya pada Laras. Wanita itu tampak menatap dingin ke arah tubuh Ella yang sudah tak bernyawa. Keadaan mayat wanita yang telah menikah dengan suaminya itu terlihat mengerikan, wajahnya dipenuhi darah. Sepertinya Yunan benar-benar meluapkan emosinya dengan memakai seluruh tenaga untuk menghajar bagian wajah Ella. Lelaki itu seakan tak peduli, bahwa yang dipukulinya adalah seorang wanita. Rasa dendam membuatnya gelap mata. “Kita keluar dulu. Tak lama lagi Mas Edar pasti pulang. Kita tunggu sambil bersiap menelepon polisi. Tapi sebelum itu, pastikan kalau tak ada jejak kita yang tertinggal. Sebisa mungkin semua bukti hanya menjurus pada Mas Edar.” “Kita buang ke mana barang bukti ini?” Yunan menunjukkan sebuah hiasan di kamar terbuat dari besi yang tadi ia gunakan juga untuk memukul Ella. “Tak perlu dibuang. Biarkan saja di sini.” “Tapi bukankah ada sidik jariku? Kita bis
“Mau ke mana kau, Ella? Bukankah kau sudah hidup enak di sini setelah menikah dengan orang kaya? Kenapa sepertinya kau mau melarikan diri lagi? Sudah dapat mangsa baru?”“Yunan, bagaimana kau bisa berada di sini?” aku benar-benar takut, sampai suaraku bergetar.“Tentu saja bisa, karena aku pernah bersumpah akan menemukanmu bagaimanapun caranya.”Aku meneguk ludah. Apakah kini tamat riwayatku?“Aku--- akan membayar hutangku padamu. Aku punya uangnya meski belum cukup. Tapi akan aku berikan semua padamu, Yunan. Tapi tolong jangan bunuh aku. Berikan aku kesempatan untuk mencari sisanya.” Aku memohon, semoga saja dia mau menurutiku. “Membayar hutang dan membunuhmu itu adalah dua hal yang berbeda Ella. Meski kau membayar lunas hutangmu dan menambahkan bunganya, kau akan tetap kuhabisi.” Yunan menyeringai, aku ngeri melihatnya.“Kenapa seperti itu? Bukankah kau mengejarku karena hutang? Kalau sudah dibayar, seharusnya kau tak perlu memperlakukanku dengan buruk.”“Lalu bagaimana deng
“Mereka tak pernah ke sini Redy. Aku yakin, karena tak ada sedikit pun tanda-tanda kalau pernah ada yang datang semalam.” Aku semakin panik saat tahu tak ada siapa-siapa di makam Andra. Bisa dilihat dari rumput tinggi yang berdiri tegak. Kalau memang Laras datang ke sini bersama anak-anaknya, maka sudah pasti semua semak belukar itu akan rebah karena diinjak.“Aku juga tak tahu, Ella.” Redy menggaruk kepala, membuatku geram.“Ini semua gara-gara kamu!” aku memukul tangannya dengan keras.“Kamu kenapa sih?!” Redy mengelus lengannya yang sudah pasti terasa sakit akibat pukulanku tadi.“Lihat apa yang kamu lakukan! Mereka kabur dan kita tak bisa menangkapnya lagi. Mereka tak mungkin datang ke sini malam-malam. Laras tak akan berani membawa dua anaknya melewati semak dan pohon-pohon mengerikan di hutan ini. Sekarang, kita mau cari ke mana lagi?”“Ya mana aku tahu! Jangan hanya menyalahkan aku. Mereka sudah lari sejak semalam. Bisa jadi sekarang sudah ada d
“Apa yang terjadi Redy? Ke mana mereka semua?!”Aku berjalan menyusuri rumah Redy dalam keadaan panik sambil membuka satu persatu pintu kamar yang ada. Merasa tak ada tanda-tanda Laras dan kedua anaknya di dalam, aku berlari keluar, melihat sekeliling. Redy yang juga terlihat panik, langsung mengitari rumah. “Mereka nggak ada.” Nafas Redy terengah-engah begitu ia kembali. “Aku rasa mereka kabur dari semalam.” Tebaknya.“Kamu gimana sih, kok malah ninggalin mereka?! Aku kan bayar kamu buat jagain biar nggak lari! Bisa-bisanya kamu malah biarkan mereka sendirian!” Aku benar-benar marah. Padahal hari ini aku sudah siap menghabisi Laras dan kedua anaknya, baru kemudian kabur dengan membawa tabungan hasil dari kerja kerasku selama ini.Tapi saat aku sampai di rumah Redy pagi ini, mereka sudah tak ada. Bahkan, Redy juga baru tiba ketika aku datang. Kami terkejut saat melihat pintu depan dan pintu kamar tempat Laras dikurung sudah rusak, terbuka lebar.“Ibuku datang, Ella! Nggak mung
PoV Ella“Kamu kenapa nggak masak hari ini?” Mas Edar menatapku dengan kilatan emosi.Namun aku tak menggubris, hanya meliriknya sekali kemudian kembali fokus menatap layar ponsel. Aku sedang berselancar di salah satu marketplace online , mengincar beberapa baju dan tas keluaran terbaru.“Ella! Kamu nggak dengar aku ngomong apa?!” nada suaranya naik lagi satu oktaf, namun tentu saja itu tak mempengaruhiku, apalagi membuat takut. Mungkin karena kami sudah keseringan bertengkar dari sejak menikah karena masalah ekonomi.Ya, tak disangka semua usahaku yang habis-habisan merebut Mas Edar dari istri dan anaknya, tak juga mengubah hidupku yang menyedihkan.Aku pikir, dengan menikahi orang kaya seperti Mas Edar akan membuatku hidup enak bak seorang ratu, atau minimal wanita sosialita. Kenyataannya, malah lebih enak hidup sendiri dibandingkan punya suami super pelit seperti dia.Lahir dari keluarga kaya dan berpengaruh, punya beberapa cabang minimarket dan aset di mana-mana, tak otomatis
Bagaimana Abang bisa kenal sama Ella? Dan apa yang udah dia lakukan sampai Abang berniat seperti itu kalau ketemu dengan dia?” tanyaku penasaran.“Ella itu, dulunya adalah anak buah Mak Nyah.”Kalimat pertama Bang Yunan membuatku tercengang. Sungguh ini suatu hal yang sama sekali tak kuduga.“Dia kerja di warkop Mak Nyah?” aku memastikan.“Iya. Seperti yang kau kerjakan kemarin. Cuma bedanya, Ella itu memang panjang tangan. Tapi dia cukup pintar sampai-sampai semua uang yang dia gelapkan tak terendus Mak Nyah.”“Trus apa hubungannya dengan Abang?”“Waktu Ella yang pegang warkop, kami memang cukup akrab. Aku, Ella dan Redy.”“Bang Redy?” mataku menyipit.Bang Yunan mengangguk. “Waktu itu Redy masih jadi simpanan Mak Nyah. Kami selalu nongkrong dari malam hingga ketemu pagi. Lalu, suatu hari Ella diam-diam menemuiku di rumah. Dia datang dengan memohon-mohon supaya dipinjamkan uang sebesar 50 juta. Dia bilang, untuk operasi ibu kandungnya yang sedang sakit keras. Waktu itu, karen
“Dari mana Abang tahu tentang kami? Bagaimana Abang menemukan tempat ini?” Aku memberondong pertanyaan pada Bang Yunan yang menenteng semua tas yang dulu kubawa saat kabur dari rumah.Lelaki itu sempat mengomel saat aku memintanya untuk mendobrak kamar depan, tempat di mana Redy menyimpan semua barangku. Wajar saja, waktu kami memang terbatas karena takut Redy sewaktu-waktu bisa saja pulang ke rumah. Sedangkan aku, tak mungkin mau meninggalkan semua barang bawaanku. Selain karena aku membutuhkannya, di dalam tas-tas itu juga ada banyak barang milik Andra.Kalau aku meninggalkannya, sama saja aku meninggalkan Andra. Aku pasti akan membawa dan menyimpan pakaian atau barang peninggalan Andra, sebagai kenang-kenangan.“Sebaiknya kau diam dulu! Simpan dulu semua pertanyaanmu itu sampai kita sudah berada di tempat yang lebih aman. Kalau kita sudah bisa menjauh dari sini, aku pasti akan menjawab semuanya.”Bang Yunan memasukkan semua tas ke dalam mobil. Saat aku dan anak-anakku mas