Aku mengusap darah yang mulai mengering di ujung bibirku yang bengkak akibat penganiayaan yang hampir setiap hari kuterima.
Sudah hampir 2 minggu kami terkurung di sini. Berbagai macam perlakuan kejam dan tak layak menderaku serta ketiga anakku.Kami hampir tak diberi makan sama sekali. Dalam waktu sekitar 2 minggu ini kami hanya mendapatkan dua bungkus biskuit dan dua liter air mineral. Tak ada makanan berat, kecuali nasi yang kadang sudah agak basi. Kami menderita kelaparan yang hebat. Dan kedua anakku yang paling kecil jadi sering rewel karena lapar.“Mama sakit?” tanya Andra saat melihatku meringis menahan sakit di area intimku akibat pelecehan brutal yang dilakukan penjahat itu. Sudah empat kali ia menggauliku dengan kasar dan menyakitkan. Badanku terasa remuk karena setiap kali ia melampiaskan nafsunya, selalu menghajarku hingga babak belur.“Mama nggak apa. Andra lapar? Mau biskuit?” tanyaku, agar ia tak terlalu khawatir.Andra seperti ragu menjawab. “Nanti aja sama-sama Kak Nurul, Ma.”Aku tersenyum. Kulihat di depanku Nurul sedang menepuk punggung Melina. Anak sulungku itu memang telaten menjaga adik-adiknya meski baru berumur 12 tahun.“Ma, nanti kalau Om Jahat datang lagi mau nyeret Mama keluar, Andra akan lawan. Andra akan hajar Om Jahat biar nggak nyakitin Mama.”Aku mengelus kepalanya. “Nggak usah Sayang, nanti malah kamu yang dipukul sama dia. Jangan ya.”“Kok gitu Ma? Biarin, Andra nggak takut. Andra kan anak laki-laki, harus bisa lindungin Mama kan?”“Iya, tapi jangan mukul Om itu, soalnya dia jahat biarpun sama anak kecil,” kataku.Belum selesai pembicaraan kami, pintu terbuka. Lelaki itu lagi-lagi datang dalam keadaan mabuk.Tanpa berkata apa-apa dia datang mendekatiku, menampar dan meninju perutku berulang kali. Bibirku yang tadinya sudah mengering, kini mengeluarkan darah lagi.Aku sudah tak berdaya. Tenagaku benar-benar terkuras habis. Makanan yang sangat sedikit dan tak layak untuk dimakan membuat aku tak punya kekuatan sama sekali untuk melawannya.Dia menyeretku lagi, kali ini ia menarik kakiku. Aku berusaha menggapai apa pun yang ada di sekitar, namun tak kutemukan sesuatu yang bisa kutangkap.“Jangan bawa Mamaku!!” kudengar teriakan Andra. Kulihat dengan samar ia berusaha meninju dan menendang, dan lelaki itu berteriak saat Andra menggigit tangannya. Ia melepaskan kakiku, ku rasa emosinya terpancing dengan kelakuan Andra. Kini kulihat ia mendekati Andra dan mulai menampar dengan keras anak lelakiku itu.“Andra... Jangan... Jangan pukul anakku... Aku akan ikut kamu... Jangan...” Kataku lemah. Sekuat tenaga aku berusaha bangun. Mendekatinya yang kini sedang menginjak-injak perut dan kepala Andra dengan ganas. Nurul menjerit-jerit, berusaha menolong adiknya, namun baru saja mendekat ia sudah ditampar dan didorong.“Bang jangan Bang... Tolong lepaskan anakku. Aku akan ikut..” Aku memeluk Andra yang sudah tak bergerak, sepertinya ia pingsan karena masih bisa kurasakan ia bernapas meski sangat lemah.Pria itu membabi-buta memukuliku yang melindungi tubuh Andra. “Hahh...!!! Bikin nafsuku hilang saja!” katanya sambil melengos pergi.Aku lega saat ia membanting pintu dan keluar. Kugoyangkan badan Andra, ia sama sekali tak bergerak. “Andra, Sayang Mama... Bangun Nak. Om Jahat udah pergi. Andra nggak pa-pa kan?” tangisku.Mata Andra lebam, bibirnya pecah dan hidungnya mengeluarkan darah. Kubuka kaos yang melekat di tubuhnya, kuraba perut dan dada Andra. Tanganku berhenti saat merasa sebuah keadaan di dadanya yang aneh. “Ya Allah, apa tulang rusuk Andra patah? Kenapa seperti ini?” pikirku. Aku meraba tulang rusukku sendiri. Benar-benar sepertinya tulang rusuk Andra patah. Aku menangis. Keras sekali. Aku sungguh takut. Keadaan Andra sekarang bahkan lebih parah daripada keadaanku.***Aku berbaring di samping Andra. Sudah dua hari Andra masih belum begitu sadar. Dan badannya panas. Matanya yang tidak tertutup sempurna membuat aku selalu menangis setiap kali melihatnya.Aku berulang kali memohon pada orang yang telah menyekap kami untuk membawa Andra ke rumah sakit, agar mendapatkan pertolongan secepatnya karena aku sangat yakin kalau Andra banyak mendapatkan luka dalam. Namun ia tak menggubris permintaanku, dia bilang takut aku akan melarikan diri.Kini aku hanya bisa pasrah memandang Andra. Menangis tanpa mengenal waktu, menyesali segala hal yang terjadi.“Andra, jangan tinggalkan Mama. Mama nggak bisa hidup tanpa Andra. Janji ya sama Mama, Andra akan sembuh.” Hanya kalimat itu yang berulang kali kuucapkan setiap kali berbisik di telinganya.“Ma... Ma...” aku terkejut merasa mendengar sebuah bisikan yang sangat kecil saat baru saja aku terlelap. Aku membuka mata dan melihat Andra yang menggerakkan bibirnya.Dengan cepat aku bangun, meletakkan kepalanya di pangkuanku. Sementara Nurul yang melihat adiknya sadar langsung mendekat.“Andra udah sadar Sayang? Andra mau apa? Mau makan biskuit? Masih ada yang sakit?”Tak satu pun pertanyaanku yang dijawab Andra. Ia hanya menatapku dengan tatapan redup, seolah cahaya itu akan menghilang. Bibirnya bergerak-gerak, namun tak ada satu kata pun yang keluar. Ia hanya menggerakkan tangannya, cepat kutangkap dan kugenggam. Seulas senyum ia perlihatkan. Apa ini? Kenapa aku merasa dia seolah-olah mengatakan,” Ma, Andra udah berusaha melindungi Mama kan? Andra udah menjalankan kewajiban Andra sebagai anak laki-laki yang menjaga Mama kan? Sekarang Andra mau pamit.”Kenapa?? Kenapa aku merasa Andra sedang berkata seperti itu? Tangisku pecah dan aku berteriak-teriak seperti orang gila, saat kulihat Andra menutup matanya perlahan dan tak lagi kulihat perutnya yang turun naik seperti sebelumnya. Ia menghembuskan nafas terakhirnya, di pangkuanku.Aku berguling-guling. Menjerit, menangis, menjambak dan memukul dadaku sendiri. Tak kupedulikan rasa sakit di badanku setiap kali aku menghempaskan tubuh ini di lantai. Sungguh hatiku jauh lebih sakit.Nurul menangis, antara karena melihat keadaanku yang seperti kesetanan, atau karena kepergian Andra untuk selamanya. Atau mungkin karena keduanya. Melina yang masih kecil menangis ketakutan. Keadaan sungguh sangat kacau. Kami semua menangis.“Apa sih ini, ribut banget! Nggak bisa biarkan orang istirahat apa?!” penjahat itu muncul di pintu.Aku melihatnya dengan nafsu membunuh yang sangat besar dalam diriku. Karena dia, anakku meninggal. Kudekati ia dan kupukul badannya berulang kali.“Lihat apa yang kau lakukan bajingan! Kau membunuh anakku! Kau membunuhnya!!” aku terus mengamuk seperti orang gila. Ia tak membalas pukulanku, bahkan ia terlihat tertegun melihat tubuh Andra yang sudah terbujur kaku.“Anakmu... Mati?” katanya seperti orang yang ketakutan. Ia pun sepertinya tak menyangka kalau Andra akan meninggal akibat perbuatannya kemarin, saat sedang mabuk.“Kembalikan anakku... Kembalikan anakku kau manusia brengsek!”***“Kamu ini bodoh atau apa sih, Redy? Gimana kejadiannya kalau udah kayak gini? Belum apa-apa kamu udah bunuh anaknya.” Kudengar seorang wanita bicara dengan nada protes. Ah, ternyata nama lelaki itu adalah Redy?“Aku nggak sengaja. Aku nggak sadar, kan lagi mabuk.”“Makanya mabuk aja terus. Bego kok dipelihara. Bereskan kekacauan ini! Kuburin tuh anaknya. Jangan cuma diliatin doang!”“Nggak bisa. Tuh Emaknya ngamuk tiap kudeketin.”“Pinter dikit lah. Masa’ hal kayak gini aja kamu nggak bisa?”“Iya nanti aku kubur anaknya.”“Jangan nanti-nanti... Aku mau pergi dulu, uang kamu di atas meja.”“Iya, bawel!”Kudengar suara langkah kaki wanita itu menjauh. Dan lelaki bernama Redy itu berjalan mendekatiku yang pura-pura tidur.“Heh, bangun! Kita harus nguburin anak kamu. Udah jadi bangkai itu, bau banget!”“Pergi!!!” teriakku. Membuat lelaki itu terkejut dan spontan terlonjak ke belakang. Namun tak lama ia kembali mendekat dan menarik tubuh yang sejak tadi ku peluk.“Nggak... Jangan bawa dia pergi!” kataku sambil memeluk erat tubuh kaku anakku.“Sadar heh, orang gila! Anak kamu itu udah mati! Lepaskan tanganmu, aku mau menguburkannya.”Terjadi tarik-menarik antara kami. Hingga aku mendapatkan sebuah tamparan di pipiku, yang membuatku terdiam.“Heh, dengar,” katanya sambil menjentikkan jari beberapa kali di depanku. “ Anakmu ini udah empat hari mati. Baunya menganggu banget, dan aku nggak mau dia jadi arwah gentayangan di rumah ini kalau nggak dikuburkan secepatnya.”Aku seperti mendapatkan sedikit kesadaran dan ingatanku. Air mataku meleleh. Aku ingat, Andra telah pergi. Dan memang kini sudah saatnya bagiku untuk melepas jasadnya, membiarkannya dikubur.Melihatku diam tanpa respon, ia menggulung tubuh Andra dengan menggunakan tikar pandan.“Nggak perlu mengucapkan perpisahan lagi kan? Aku udah beri waktu empat hari,” katanya sambil meletakkan tubuh Andra yang terbungkus tikar ke atas pundaknya.“Tolong...” suaraku menghentikan langkahnya yang hendak keluar dari kamar. “Tolong kuburkan ia dengan layak.” Kataku disertai air mata yang kembali jatuh.Aku termenung memeluk lutut. Pikiranku terasa kosong. Yang kuingat hanya Andra. Beberapa kali Nurul dan Melina datang mendekatiku, tapi kuacuhkan. “Ma, sadar Ma. Mama belum ada makan. Kami takut kalau Mama seperti ini terus. Kasihan Melina Ma,” tangis Nurul. Tapi aku tetap diam seribu bahasa. Aku selalu saja mengulang memori dari sejak kami kabur dari rumah, hingga saat Andra meninggal. Kalau sudah begitu, akan selalu berakhir dengan jeritan frustasiku.“Ma, Melina demam Ma. Biskuitnya udah nggak ada lagi. Ma, kami harus gimana?” Diam. Hanya itu yang kulakukan. Aku tak akan makan, tak akan melakukan apa-apa sampai aku mati menyusul Andra.“Ma, Nurul capek. Melina nangis terus, dia rewel. Nurul harus gimana Ma? Tolong Ma, sadarlah. Nurul perlu Mama di samping kami.” Nurul menangis sambil menggoyang tanganku, tapi aku diam saja.Kubiarkan ia terus menangis. Aku tak ingin hal lain, kecuali cepat bertemu dengan Andra. ***“Ma, bangun. Sekarang Mama pulang ya.”Aku menggeleng. “
“Mmm... Aku mendengarnya dari perempuan yang pernah datang ke sini,” kataku ragu.Redy diam. Sepertinya ia tak suka kalau aku mengetahui identitasnya. “Dan apa kau tahu siapa perempuan itu?” tanyanya penuh selidik.Aku menggeleng. “Aku nggak lihat orangnya, cuma dengar suara aja,” kataku.Redy terlihat manggut-manggut.“Makasih sekali lagi ya Bang.” Kataku lagi.“Iya. Jaga benar-benar kesehatannya, jangan sampai sakit lagi. Aku nggak mau keluar uang terus.”“Iya Bang,” kataku pendek dengan senyum mengembang. Aku kembali memeluk Melina. Tak henti kuucapkan syukur karena kali ini aku bisa menyelamatkan anakku. “Oh iya, dia belum terlalu sembuh. Masih dalam masa pemulihan. Ini obatnya, jangan lupa diminumkan.” Redy memberiku sebuah kantong plastik. Dia bilang isinya adalah obat Melina, tapi kenapa seperti agak besar dan berat? Setelah kubuka, ternyata ada dua pak roti isi. Aku langsung memandang heran padanya. “Itu aku belikan buat dia makan, biar bisa minum obat.”“Makasih
“Tunggu Mama di sini ya. Mama nggak lama kok,” kataku pada Nurul dan Melina. “Jaga adikmu ya Rul. Mama keluar sebentar.” Nurul menahan tanganku. Ada kecemasan yang terlihat di wajahnya. “Ma, jangan pergi dari sini tanpa kami ya,” katanya, membuatku hampir menitikkan air mata. Tak mungkin aku akan meninggalkan mereka. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Cepat!” kata Redy. Aku berdiri dan cepat melangkah mendekatinya. Jangan sampai karena gerakku yang lambat membuat Redy berubah pikiran dan tak jadi membiarkan aku memasak. Ini satu-satunya kesempatanku untuk keluar dari kamar ini, membaca keadaan sekitar sambil menyusun rencana untuk kabur dan membalas dendam. “Ingat ya, kalau ada yang datang ke rumah ini kau cepat-cepat masuk lagi ke kamar. Kalau nggak, anakmu kuhajar lagi,” ancamnya. “Iya Bang.” Kataku patuh. Redy membawaku ke dapur. Aku sempat terperangah melihat keadaan tempat memasak yang terlihat sangat kacau dan berantakan. “Ngapain bengong?! Nggak pernah lihat dapur bera
“Ma, kira-kira hari ini kita makan nasi lagi nggak ya?” tanya Nurul dengan nada penuh harap.“Semoga aja ya, Sayang,” jawabku. “Semoga aja nanti Mama disuruh masak lagi.”“Kok semalam Mama nggak disuruh masak ya? Emangnya Om itu nggak makan malam?” tanyanya penasaran. Kasihan anakku. Mungkin semalam ia berharap bisa makan dengan nasi lagi. Tapi setelah wanita misterius itu pergi, Redy belum ada datang ke kamar ini sampai sekarang. Jadi terpaksa kami makan malam dengan biskuit.“Mungkin dia beli makanan di luar, Rul. Lagi pula dia kayaknya belum sepenuhnya bisa percaya sama Mama untuk keluar dari kamar ini,” kataku.Nurul memonyongkan bibir. Aku tertawa kecil melihatnya. “Sabar ya Rul. Nanti juga lama-lama kita akan keluar dari sini,” hiburku.“Kapan Ma?”“Mama nggak tahu sayang, tapi Mama akan terus berusaha. Mama cuma minta, jangan terlalu sering ngomongin soal keluar dari sini ya. Biar ini jadi rahasia kita aja,” kataku. Aku takut Nurul keceplosan dan Redy tahu niatku yang hen
Hari mungkin sudah sangat malam. Namun aku tak tahu jam berapa ini. Aku sedang menggendong Melina yang terlihat sudah mulai mengantuk. Sementara Nurul sejak tadi sudah tidur sambil menahan lapar. Aku benar-benar menyesal karena tadi tak sempat mengambil makanan dari dapur.Keadaan rumah terasa sangat sepi. Redy belum pulang sejak tadi dua orang yang kutebak adalah temannya menjemput. Saat tadi siang ada yang datang ke sini, aku tak berani bersuara, apalagi berteriak. Awalnya ku pikir akan meminta pertolongan dengan membuat suara bising. Namun setelah menimbang lagi, hal itu sangat berisiko. Bagaimanapun, aku tak tahu siapa yang datang. Bisa saja mereka adalah komplotan Redy. Kalau aku berbuat macam-macam, aku takut nyawaku dan anak-anakku terancam.Aku akan berpikir sendiri bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini. Aku akan tetap pada rencana semula, yaitu mendekati Redy, mendapatkan kepercayaannya dan membalas dendam.“Ma, lapar. Nurul boleh makan biskuitnya sekeping
“Ella, apa maksud semua ini? Apa aku nggak salah lihat? Kau yang merencanakan ini? Kenapa?” tanyaku dengan terbata-bata. Aku sungguh tak menyangka, kalau Ella, wanita yang kuanggap teman, ternyata adalah orang yang menjadi dalang penyekapanku dan anak-anakku. Aku bahkan tak pernah terpikir kalau dia yang mengatur penculikan ini. Dialah yang kemarin mencarikan dan menawarkan mobil travel untuk membawaku pulang ke rumah orang tuaku. Kupikir dia tak ada hubungannya dengan semua ini. Namun ternyata perempuan yang membayar Redy adalah Ella.Ella bukanlah orang yang kukenal baik. Dia hanyalah pelanggan yang kadang datang berbelanja di minimarket yang setiap hari ku jaga. Dan beberapa waktu sebelum aku kabur dari rumah, aku sempat akrab dengannya karena dia sering menemaniku mengobrol di meja kasir. Aku juga sering curhat tentang masalah rumah tanggaku padanya. Jadi aku sekarang benar-benar sangat terkejut mengetahui kenyataan kalau ternyata dia adalah musuh dalam selimut.“Redy, bisa kau
“Hah....” Redy membuang napas. “Aku sebenarnya nggak mau terlibat terlalu dalam untuk urusan kalian berdua. Aku hanya mau bayaran. Hanya mau uang. Tapi karena aku udah bertindak sejauh ini, sepertinya aku mau tak mau harus menuruti kemauannya lagi.” “Maksud Abang?!” “Dia menyuruhku untuk melenyapkan kalian bertiga. Tepat setelah dia berhasil menikahi suamimu,” kata Redy, membuat darahku bergolak panas saat mendengarnya. Aku memang sudah mendengar tentang rencananya yang mau melenyapkanku dan ketiga anakku. Tapi tetap saja aku sakit hati saat mendengarnya secara langsung. “Dan Abang akan melaksanakan perintahnya? Menuruti kemauannya?” tanyaku. “Aku belum memutuskan. Tapi bisa jadi.” Aku menghela napas. Menyiapkan kalimat yang mungkin akan membuat dia marah. “Kalau Abang menuruti kemauannya, Abang adalah orang yang bodoh!” kataku dengan berani. “Hei, apa maksudmu?! Berani-beraninya kau mengataiku seperti itu? Kau mau kubunuh sekarang?!” ancamnya. Tapi aku tak takut. Aku justru sen
“Gila kamu La! Bisa-bisanya nyuruh aku ngelakuin hal yang kayak gitu. Aku mesti bunuh orang dan melakukan hal jahat pada anak-anak, trus kamu diam aja nggak ngapa-ngapain? Pinter kamu ya, biar aku masuk penjara sendiri?” Jawaban telak dari Redy membuatku puas. Tepat seperti yang aku bilang padanya. Ternyata masuk juga ke otak.“Heh! Apa maksud kamu bilang kayak gitu Redy? Aku kan cuma kasi solusi aja kalau emang sekarang kamu butuh uang banget. Mereka udah nggak kuperlukan lagi. Kalau bebas, mereka akan lapor polisi.”“Aku butuh uangku yang ada sama kamu, La. Bukan berarti aku akan melakukan hal lain yang bisa membahayakan hidupku ke depannya. Aku nggak mau masuk penjara. Ini semua ide kamu, dan aku cuma bertugas menahan mereka kan awalnya? Kenapa sekarang pake acara bunuh-bunuhan? Nggak waras kamu!”“Ya kalau kamu mau nunggu uang dariku, sabar dong jangan banyak nuntut. Aku juga lagi mikir nih. Lagi berusaha!” “Ya udah kalau gitu aku minta sejuta aja, aku udah nggak ada pegan