“Gila kamu La! Bisa-bisanya nyuruh aku ngelakuin hal yang kayak gitu. Aku mesti bunuh orang dan melakukan hal jahat pada anak-anak, trus kamu diam aja nggak ngapa-ngapain? Pinter kamu ya, biar aku masuk penjara sendiri?” Jawaban telak dari Redy membuatku puas. Tepat seperti yang aku bilang padanya. Ternyata masuk juga ke otak.“Heh! Apa maksud kamu bilang kayak gitu Redy? Aku kan cuma kasi solusi aja kalau emang sekarang kamu butuh uang banget. Mereka udah nggak kuperlukan lagi. Kalau bebas, mereka akan lapor polisi.”“Aku butuh uangku yang ada sama kamu, La. Bukan berarti aku akan melakukan hal lain yang bisa membahayakan hidupku ke depannya. Aku nggak mau masuk penjara. Ini semua ide kamu, dan aku cuma bertugas menahan mereka kan awalnya? Kenapa sekarang pake acara bunuh-bunuhan? Nggak waras kamu!”“Ya kalau kamu mau nunggu uang dariku, sabar dong jangan banyak nuntut. Aku juga lagi mikir nih. Lagi berusaha!” “Ya udah kalau gitu aku minta sejuta aja, aku udah nggak ada pegan
“Untuk sekarang aku masih belum tahu pekerjaan apa yang akan kuberikan padamu. Beri aku waktu beberapa hari, aku akan coba bertanya pada teman-temanku.” Ujar Redy.“Apa aku boleh membawa anak-anakku saat nanti aku bekerja, Bang?”“Kau sekarang sedang bercanda? Kau mau membawa anakmu keluar dari sini agar nantinya dengan mudah kau melarikan diri? Aku nggak semudah itu kau bodohi, Laras. Kau akan kubawa keluar untuk bekerja, dan anak-anakmu akan tetap di sini. Paham?”Aku mengangguk takut. Tapi ada sedikit perasaan lega, karena dia mau memberiku pekerjaan di luar. Kesempatanku untuk melarikan diri semakin besar. Meski mungkin akan membutuhkan waktu agak lama karena anakku tak mungkin bisa bersamaku saat bekerja.“Sekarang kalau udah nggak ada lagi yang mau kau omongkan, masuklah ke dalam,” perintahnya. Aku menurut. Dengan semangat yang kembali muncul aku membawa nasi dan sisa lauk ke dalam kamar.Kulihat senyum sumringah yang mengembang dari bibir Nurul saat melihatku masuk dengan memba
“Kau akan bekerja di warung kopi milik temanku.”“Warung kopi?” tanyaku setengah bergumam, seolah sedang bicara sendiri.“Kenapa? Kau nggak mau?”Aku menggeleng cepat. “Mau Bang. Aku pikir pekerjaan apa yang akan Abang berikan padaku. Ternyata menjaga warung kopi,” kataku senang.“Memang kau pikir apa? Aku akan menjualmu? Jangan terlalu sering berpikir macam-macam, kau nggak semenarik itu untuk menjual tubuhmu,” katanya dengan nada menyebalkan.Aku membulatkan mataku. Kalimatnya membuatku tersinggung. Biar seperti ini aku cantik, sekarang terlihat jelek karena aku tak pernah lagi memoleskan bedak dan lipstik di wajahku.“Kapan aku mulai kerja Bang?” tanyaku.“Mulai besok. Jadi sebaiknya sekarang kau mulai berkemas. Bawa baju-bajumu. Hari ini bersihkan rumah ini serapi mungkin. Kau hanya akan kuajak pulang seminggu atau dua minggu sekali. Aku juga nggak bisa memastikan, bisa jadi kau baru bisa pulang sebulan sekali.”Aku terkejut. Kenapa sekarang jadi seperti ini? Bagaimana mungkin ak
“Pakai itu. Tutupi matamu!” perintah Redy.“Kenapa aku harus memakai ini Bang?” tanyaku.“Nggak usah banyak tanya, pakai aja.” Katanya dengan sedikit menggertak.Tanpa bicara lagi aku menuruti perintahnya. Aku agak kesal, padahal aku sudah bersiap untuk menghapal jalan dan keadaan sekitar, agar kalau nantinya aku melarikan diri, aku bisa menjemput anak-anakku. Namun ternyata Redy lebih pintar dan sudah memperhitungkan semuanya. Ia sengaja membuat aku menutup mata selama perjalanan agar aku tak tahu aku berada di daerah mana dan akan di bawa ke mana.Cukup jauh perjalanan dan sangat panjang waktu yang ku rasa untuk sampai ke tempat tujuan kami. Naik mobil dengan mata tertutup membuatku merasa pusing dan mabuk kendaraan. Berkali-kali aku menutup mulutku menahan muntah.“Kau kenapa?” tanya Redy. Aku rasa melihatku sudah kepayahan sejak tadi.“Aku mual Bang,” kataku singkat.“Hhh… Ngerepotin aja,” sungutnya. Ia menghentikan mobil. “Tunggu di sini, jangan macam-macam. Jangan coba untuk mem
“Berapa umurmu?” tanya perempuan yang biasa dipanggil Mak Nyah. Rambutnya pendek dan kulitnya putih bersih. Meski matanya tak terlalu sipit, dapat ku pastikan kalau dia punya darah Tionghoa.“Tiga puluh tiga tahun Mak Nyah.” Jawabku jujur.“Redy, kenapa kamu bawa yang tua? Klo kerja di sini harus yang muda dan segar. Buat narik pelanggan.” Katanya protes. Aku agak tersinggung dengan kalimatnya, yang mengatakan kalau aku tua.“Haduh Mak Nyah, jangan bilang kayak gitu lah. Biar dia agak tua tapi kerjanya rajin dan cekatan. Mak Nyah cari yang muda selama ini juga nggak pernah bertahan lama kan? Sebentar-sebentar berhenti, yang nggak sanggup lah, yang nggak betah lah. Mereka masih terlalu muda untuk kerja terlalu keras seperti di sini. Dia ini kalau disuruh dandan juga nggak kalah cantik kok. Malah yang matang gini bisa jadi selera orang, dibandingkan dengan anak bau kencur.” Redy berbicara seolah-olah sedang mempromosikan aku.“Tapi gimana kalau ternyata dia nggak bagus kerjanya?” tanya
Aku bingung harus menjawab apa. Sebenarnya mungkin ini adalah kesempatanku untuk mengatakan kalau aku punya dua anak yang saat ini sedang disekap oleh Redy. Mungkin aku bisa minta tolong dengan mengatakan semuanya. Hanya saja hatiku diliputi keraguan.Aku tak bisa menjamin kalau Mak Nyah akan mempercayai ceritaku. Aku takut kalau Mak Nyah justru akan mengadukanku pada Redy. Aku baru bertemu dan mengenal Mak Nyah hari ini, sementara Redy mungkin sudah mengenalnya jauh lebih lama. Maka pastilah Mak Nyah akan lebih mempercayai kata-kata Redy dari pada aku.“Laras…?” Mak Nyah menegurku yang termenung karena bimbang memikirkan jawaban.“Eh, aku udah pernah menikah Mak Nyah, tapi udah cerai. Dan semua anakku sekarang ikut sama Ayahnya,” kataku berbohong.Aku sungguh tak mau mengambil resiko. Aku harus waspada. Jangan sampai hanya karena salah langkah karena meminta tolong pada orang yang salah membuat rencana pelarianku jadi gagal.“Oh, kenapa bisa sampai cerai? Suamimu selingkuh?” tanyanya
“Aku nggak punya hubungan apa-apa dengannya Mak Nyah. Hanya sekedar kebetulan kenal karena aku minta dicarikan pekerjaan,” jawabku, lagi-lagi berbohong. “Tapi setahuku Redy itu bukan orang yang mau repot-repot mencarikan pekerjaan untuk orang lain. Kecuali dia mendapat manfaat dari apa yang dia lakukan. Sejak dulu dia itu nggak pernah mau kerja. Waktu masih jadi simpananku hidupnya enak. Tapi sepertinya dia mengalami kesulitan belakangan ini.” “Berapa lama dia jadi… Emm, pacar Mak Nyah?” tanyaku hati-hati. “Hampir dua tahunan. Tapi dia bilang mau berhenti sekitar dua bulan lalu. Sejak itu dia nggak pernah lagi datang ke sini. Hanya beberapa kali, itu pun aku memerintahkan Aldo dan Diko untuk menjenguk dia ke rumahnya, beberapa waktu yang lalu. Aku khawatir terjadi apa-apa padanya.” Aku berpikir sambil merenung. Ternyata Redy berhenti menjadi simpanan Mak Nyah sejak ia mulai menyekapku. Aku jadi bertanya-tanya, sebesar apa bayaran yang diberikan Ella sehingga mampu membuat Redy berh
“Nanti akan aku jelaskan setelah membuatkan pesanan orang itu Mak Nyah,” kataku berusaha mengulur waktu.Aku sengaja tak langsung menjawab pertanyaannya karena takut salah bicara. Aku tak mau bercerita pada orang yang salah. Aku takut kalau aku jawab sejujurnya justru akan membuatku susah di kemudian hari.Bagaimanapun untuk sementara ini aku harus berhati-hati pada orang baru. Tak ada yang bisa dipercaya selain diriku sendiri.Sambil membuat kopi aku sibuk memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan Mak Nyah. Aku tak boleh memberi jawaban yang sekiranya dapat membuat ia curiga.Setelah aku mengantarkan pesanan kopi, ku lihat Mak Nyah memberiku isyarat untuk kembali duduk di sampingnya.“Jadi sekarang katakan, apa alasan sebenarnya Redy mau membantumu? Apa lagi dia sampai mempertaruhkan bayarannya kalau sampai kau kerja tak sesuai dengan kemauanku.”Aku berdehem. “Aku punya hutang padanya Mak Nyah. Sebenarnya bukan hutangku, tapi hutang suamiku. Entah bagaimana mantan suamiku bisa pun
“Ke mana kau saat kami menghilang? Kenapa kau justru menikah lagi, sementara di tempat lain aku dan anak-anakmu sedang mengalami beragam siksaan menyakitkan?”“Kau sendiri yang kabur dari rumah dengan membawa anak-anak! Kau lari dengan laki-laki lain.” Mas Edar menyanggah omonganku, tak mau disalahkan sendiri.“Aku kabur karena sudah tak tahan dengan sifatmu yang pelit. Apalagi kau malah selingkuh di belakangku. Sekarang aku tanya, apakah ada usahamu mencari kami ketika aku lari dari rumah? Adakah niatmu mencari tahu di mana keberadaan kami, meski itu hanya untuk memastikan alasanku pergi darimu? Tidak ada! Kau justru sepertinya sangat senang ketika aku dan ketiga anakmu menghilang! Seolah memang itulah yang kau harapkan, agar bisa melanjutkan hubunganmu dengan Ella dan menikahinya! Iya kan?!” Mas Edar diam, tak menjawab. Sepertinya memang apa yang aku tuduhkan semua benar adanya.“Aku pikir kau pasti akan kembali,” ujarnya lemah.“Bohong! Kalau kau pikir aku akan kembali, tak m
PoV Laras“Laras, kau ke sini?” Aku hanya tersenyum menyeringai ketika Redy tampak terkejut melihat kedatanganku. Sekilas kulihat keadaan di balik jeruji tempat ia sekarang meringkuk siang dan malam.Keadaannya begitu kotor. Dengan lantai berdebu dan hanya ada lembaran koran yang mungkin ia gunakan sebagai alas duduk dan tidur. Redy hanya sendiri di dalam ruangan kecil ini, tak ada narapidana lain yang kulihat.“Tentu saja aku harus ke sini. Aku harus memastikan kalau berita gembira dari Bang Yunan kalau kau telah ditangkap polisi itu benar adanya,” ujarku dingin.“Jadi Yunan yang telah membantumu kabur? Sudah kuduga.” Redy tertawa sekilas. “Bagaimana rasanya, Redy? Dikurung di sebuah tempat sempit, dengan ruang gerak yang sangat terbatas? Aku tak tahu apakah kau mendapatkan penyiksaan atau tidak, tapi aku harap kau dikurung di sini, jauh lebih lama dari saat kau mengurung aku dan anak-anakku.”“Aku memang pantas mendapatkannya, Laras. Aku sadar akan hal itu. Hanya saja seben
PoV Author “Bagaimana sekarang?” Yunan yang sedang mengelap darah di tangannya dengan menggunakan saputangan bertanya pada Laras. Wanita itu tampak menatap dingin ke arah tubuh Ella yang sudah tak bernyawa. Keadaan mayat wanita yang telah menikah dengan suaminya itu terlihat mengerikan, wajahnya dipenuhi darah. Sepertinya Yunan benar-benar meluapkan emosinya dengan memakai seluruh tenaga untuk menghajar bagian wajah Ella. Lelaki itu seakan tak peduli, bahwa yang dipukulinya adalah seorang wanita. Rasa dendam membuatnya gelap mata. “Kita keluar dulu. Tak lama lagi Mas Edar pasti pulang. Kita tunggu sambil bersiap menelepon polisi. Tapi sebelum itu, pastikan kalau tak ada jejak kita yang tertinggal. Sebisa mungkin semua bukti hanya menjurus pada Mas Edar.” “Kita buang ke mana barang bukti ini?” Yunan menunjukkan sebuah hiasan di kamar terbuat dari besi yang tadi ia gunakan juga untuk memukul Ella. “Tak perlu dibuang. Biarkan saja di sini.” “Tapi bukankah ada sidik jariku? Kita bis
“Mau ke mana kau, Ella? Bukankah kau sudah hidup enak di sini setelah menikah dengan orang kaya? Kenapa sepertinya kau mau melarikan diri lagi? Sudah dapat mangsa baru?”“Yunan, bagaimana kau bisa berada di sini?” aku benar-benar takut, sampai suaraku bergetar.“Tentu saja bisa, karena aku pernah bersumpah akan menemukanmu bagaimanapun caranya.”Aku meneguk ludah. Apakah kini tamat riwayatku?“Aku--- akan membayar hutangku padamu. Aku punya uangnya meski belum cukup. Tapi akan aku berikan semua padamu, Yunan. Tapi tolong jangan bunuh aku. Berikan aku kesempatan untuk mencari sisanya.” Aku memohon, semoga saja dia mau menurutiku. “Membayar hutang dan membunuhmu itu adalah dua hal yang berbeda Ella. Meski kau membayar lunas hutangmu dan menambahkan bunganya, kau akan tetap kuhabisi.” Yunan menyeringai, aku ngeri melihatnya.“Kenapa seperti itu? Bukankah kau mengejarku karena hutang? Kalau sudah dibayar, seharusnya kau tak perlu memperlakukanku dengan buruk.”“Lalu bagaimana deng
“Mereka tak pernah ke sini Redy. Aku yakin, karena tak ada sedikit pun tanda-tanda kalau pernah ada yang datang semalam.” Aku semakin panik saat tahu tak ada siapa-siapa di makam Andra. Bisa dilihat dari rumput tinggi yang berdiri tegak. Kalau memang Laras datang ke sini bersama anak-anaknya, maka sudah pasti semua semak belukar itu akan rebah karena diinjak.“Aku juga tak tahu, Ella.” Redy menggaruk kepala, membuatku geram.“Ini semua gara-gara kamu!” aku memukul tangannya dengan keras.“Kamu kenapa sih?!” Redy mengelus lengannya yang sudah pasti terasa sakit akibat pukulanku tadi.“Lihat apa yang kamu lakukan! Mereka kabur dan kita tak bisa menangkapnya lagi. Mereka tak mungkin datang ke sini malam-malam. Laras tak akan berani membawa dua anaknya melewati semak dan pohon-pohon mengerikan di hutan ini. Sekarang, kita mau cari ke mana lagi?”“Ya mana aku tahu! Jangan hanya menyalahkan aku. Mereka sudah lari sejak semalam. Bisa jadi sekarang sudah ada d
“Apa yang terjadi Redy? Ke mana mereka semua?!”Aku berjalan menyusuri rumah Redy dalam keadaan panik sambil membuka satu persatu pintu kamar yang ada. Merasa tak ada tanda-tanda Laras dan kedua anaknya di dalam, aku berlari keluar, melihat sekeliling. Redy yang juga terlihat panik, langsung mengitari rumah. “Mereka nggak ada.” Nafas Redy terengah-engah begitu ia kembali. “Aku rasa mereka kabur dari semalam.” Tebaknya.“Kamu gimana sih, kok malah ninggalin mereka?! Aku kan bayar kamu buat jagain biar nggak lari! Bisa-bisanya kamu malah biarkan mereka sendirian!” Aku benar-benar marah. Padahal hari ini aku sudah siap menghabisi Laras dan kedua anaknya, baru kemudian kabur dengan membawa tabungan hasil dari kerja kerasku selama ini.Tapi saat aku sampai di rumah Redy pagi ini, mereka sudah tak ada. Bahkan, Redy juga baru tiba ketika aku datang. Kami terkejut saat melihat pintu depan dan pintu kamar tempat Laras dikurung sudah rusak, terbuka lebar.“Ibuku datang, Ella! Nggak mung
PoV Ella“Kamu kenapa nggak masak hari ini?” Mas Edar menatapku dengan kilatan emosi.Namun aku tak menggubris, hanya meliriknya sekali kemudian kembali fokus menatap layar ponsel. Aku sedang berselancar di salah satu marketplace online , mengincar beberapa baju dan tas keluaran terbaru.“Ella! Kamu nggak dengar aku ngomong apa?!” nada suaranya naik lagi satu oktaf, namun tentu saja itu tak mempengaruhiku, apalagi membuat takut. Mungkin karena kami sudah keseringan bertengkar dari sejak menikah karena masalah ekonomi.Ya, tak disangka semua usahaku yang habis-habisan merebut Mas Edar dari istri dan anaknya, tak juga mengubah hidupku yang menyedihkan.Aku pikir, dengan menikahi orang kaya seperti Mas Edar akan membuatku hidup enak bak seorang ratu, atau minimal wanita sosialita. Kenyataannya, malah lebih enak hidup sendiri dibandingkan punya suami super pelit seperti dia.Lahir dari keluarga kaya dan berpengaruh, punya beberapa cabang minimarket dan aset di mana-mana, tak otomatis
Bagaimana Abang bisa kenal sama Ella? Dan apa yang udah dia lakukan sampai Abang berniat seperti itu kalau ketemu dengan dia?” tanyaku penasaran.“Ella itu, dulunya adalah anak buah Mak Nyah.”Kalimat pertama Bang Yunan membuatku tercengang. Sungguh ini suatu hal yang sama sekali tak kuduga.“Dia kerja di warkop Mak Nyah?” aku memastikan.“Iya. Seperti yang kau kerjakan kemarin. Cuma bedanya, Ella itu memang panjang tangan. Tapi dia cukup pintar sampai-sampai semua uang yang dia gelapkan tak terendus Mak Nyah.”“Trus apa hubungannya dengan Abang?”“Waktu Ella yang pegang warkop, kami memang cukup akrab. Aku, Ella dan Redy.”“Bang Redy?” mataku menyipit.Bang Yunan mengangguk. “Waktu itu Redy masih jadi simpanan Mak Nyah. Kami selalu nongkrong dari malam hingga ketemu pagi. Lalu, suatu hari Ella diam-diam menemuiku di rumah. Dia datang dengan memohon-mohon supaya dipinjamkan uang sebesar 50 juta. Dia bilang, untuk operasi ibu kandungnya yang sedang sakit keras. Waktu itu, karen
“Dari mana Abang tahu tentang kami? Bagaimana Abang menemukan tempat ini?” Aku memberondong pertanyaan pada Bang Yunan yang menenteng semua tas yang dulu kubawa saat kabur dari rumah.Lelaki itu sempat mengomel saat aku memintanya untuk mendobrak kamar depan, tempat di mana Redy menyimpan semua barangku. Wajar saja, waktu kami memang terbatas karena takut Redy sewaktu-waktu bisa saja pulang ke rumah. Sedangkan aku, tak mungkin mau meninggalkan semua barang bawaanku. Selain karena aku membutuhkannya, di dalam tas-tas itu juga ada banyak barang milik Andra.Kalau aku meninggalkannya, sama saja aku meninggalkan Andra. Aku pasti akan membawa dan menyimpan pakaian atau barang peninggalan Andra, sebagai kenang-kenangan.“Sebaiknya kau diam dulu! Simpan dulu semua pertanyaanmu itu sampai kita sudah berada di tempat yang lebih aman. Kalau kita sudah bisa menjauh dari sini, aku pasti akan menjawab semuanya.”Bang Yunan memasukkan semua tas ke dalam mobil. Saat aku dan anak-anakku mas