“Berapa umurmu?” tanya perempuan yang biasa dipanggil Mak Nyah. Rambutnya pendek dan kulitnya putih bersih. Meski matanya tak terlalu sipit, dapat ku pastikan kalau dia punya darah Tionghoa.“Tiga puluh tiga tahun Mak Nyah.” Jawabku jujur.“Redy, kenapa kamu bawa yang tua? Klo kerja di sini harus yang muda dan segar. Buat narik pelanggan.” Katanya protes. Aku agak tersinggung dengan kalimatnya, yang mengatakan kalau aku tua.“Haduh Mak Nyah, jangan bilang kayak gitu lah. Biar dia agak tua tapi kerjanya rajin dan cekatan. Mak Nyah cari yang muda selama ini juga nggak pernah bertahan lama kan? Sebentar-sebentar berhenti, yang nggak sanggup lah, yang nggak betah lah. Mereka masih terlalu muda untuk kerja terlalu keras seperti di sini. Dia ini kalau disuruh dandan juga nggak kalah cantik kok. Malah yang matang gini bisa jadi selera orang, dibandingkan dengan anak bau kencur.” Redy berbicara seolah-olah sedang mempromosikan aku.“Tapi gimana kalau ternyata dia nggak bagus kerjanya?” tanya
Aku bingung harus menjawab apa. Sebenarnya mungkin ini adalah kesempatanku untuk mengatakan kalau aku punya dua anak yang saat ini sedang disekap oleh Redy. Mungkin aku bisa minta tolong dengan mengatakan semuanya. Hanya saja hatiku diliputi keraguan.Aku tak bisa menjamin kalau Mak Nyah akan mempercayai ceritaku. Aku takut kalau Mak Nyah justru akan mengadukanku pada Redy. Aku baru bertemu dan mengenal Mak Nyah hari ini, sementara Redy mungkin sudah mengenalnya jauh lebih lama. Maka pastilah Mak Nyah akan lebih mempercayai kata-kata Redy dari pada aku.“Laras…?” Mak Nyah menegurku yang termenung karena bimbang memikirkan jawaban.“Eh, aku udah pernah menikah Mak Nyah, tapi udah cerai. Dan semua anakku sekarang ikut sama Ayahnya,” kataku berbohong.Aku sungguh tak mau mengambil resiko. Aku harus waspada. Jangan sampai hanya karena salah langkah karena meminta tolong pada orang yang salah membuat rencana pelarianku jadi gagal.“Oh, kenapa bisa sampai cerai? Suamimu selingkuh?” tanyanya
“Aku nggak punya hubungan apa-apa dengannya Mak Nyah. Hanya sekedar kebetulan kenal karena aku minta dicarikan pekerjaan,” jawabku, lagi-lagi berbohong. “Tapi setahuku Redy itu bukan orang yang mau repot-repot mencarikan pekerjaan untuk orang lain. Kecuali dia mendapat manfaat dari apa yang dia lakukan. Sejak dulu dia itu nggak pernah mau kerja. Waktu masih jadi simpananku hidupnya enak. Tapi sepertinya dia mengalami kesulitan belakangan ini.” “Berapa lama dia jadi… Emm, pacar Mak Nyah?” tanyaku hati-hati. “Hampir dua tahunan. Tapi dia bilang mau berhenti sekitar dua bulan lalu. Sejak itu dia nggak pernah lagi datang ke sini. Hanya beberapa kali, itu pun aku memerintahkan Aldo dan Diko untuk menjenguk dia ke rumahnya, beberapa waktu yang lalu. Aku khawatir terjadi apa-apa padanya.” Aku berpikir sambil merenung. Ternyata Redy berhenti menjadi simpanan Mak Nyah sejak ia mulai menyekapku. Aku jadi bertanya-tanya, sebesar apa bayaran yang diberikan Ella sehingga mampu membuat Redy berh
“Nanti akan aku jelaskan setelah membuatkan pesanan orang itu Mak Nyah,” kataku berusaha mengulur waktu.Aku sengaja tak langsung menjawab pertanyaannya karena takut salah bicara. Aku tak mau bercerita pada orang yang salah. Aku takut kalau aku jawab sejujurnya justru akan membuatku susah di kemudian hari.Bagaimanapun untuk sementara ini aku harus berhati-hati pada orang baru. Tak ada yang bisa dipercaya selain diriku sendiri.Sambil membuat kopi aku sibuk memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan Mak Nyah. Aku tak boleh memberi jawaban yang sekiranya dapat membuat ia curiga.Setelah aku mengantarkan pesanan kopi, ku lihat Mak Nyah memberiku isyarat untuk kembali duduk di sampingnya.“Jadi sekarang katakan, apa alasan sebenarnya Redy mau membantumu? Apa lagi dia sampai mempertaruhkan bayarannya kalau sampai kau kerja tak sesuai dengan kemauanku.”Aku berdehem. “Aku punya hutang padanya Mak Nyah. Sebenarnya bukan hutangku, tapi hutang suamiku. Entah bagaimana mantan suamiku bisa pun
Gadis remaja itu terlihat ragu menjawab pertanyaanku. Tapi aku tahu, pasti ada sesuatu yang sangat ingin ia makan. Mengingat sudah begitu lama ia tak makan dengan layak.“Ada yang mau kamu makan nggak?” tanyaku tak sabar. Entah kenapa aku jadi marah. Dan entah kenapa aku tiba-tiba merasa jadi orang baik seperti ini. Memangnya kenapa kalau ada yang mau dia makan? Apa aku mau membelikannya? Buat apa coba aku bertanya hal yang seperti itu?“Pengen bakso, Om… Eh, nasi padang aja kali ya? Enak…”Ku lihat anak perempuan itu mengecap-ngecap sambil menelan ludah. Terlihat sekali kalau ia sedang sangat mengidamkan makanan itu.Aku menghela napas. “Ya udah, tunggu nanti malam. Aku belikan…” kataku asal. Entahlah, apa aku memang berniat membelikan mereka makanan itu, atau hanya sekedar bertanya iseng.Ku tutup pintu dan ku kunci. Aku mau mandi dan pergi jalan-jalan. Tentunya sampai tengah malam nanti.***Aku memukul meja dengan geram. Emosi nyaris saja kembali memuncak. Aku kalah lagi dan uang
“Ada apa Mak Nyah?” tanyaku setelah sempat keluar dan mengunci pintu kamar. Sengaja aku nnn pergi terlebih dahulu agar anak-anak itu tak bisa mendengar apa yang kubicarakan. Aku khawatir kalau ternyata alasan Mak Nyah meneleponku adalah karena Laras ingin bicara dengan kedua anaknya.“Heh, Redy. Si Laras katanya ada yang mau diomongkan sama kamu.”Aku memutar bola mata. Dugaanku tak meleset. Ternyata benar perempuan itu yang memang berniat hendak bicara denganku. Mau apa lagi dia?"Memangnya dia mau ngomong apa Mak Nyah?" tanyaku berusaha mencari tahu terlebih dulu."Mau minta tolong sama kamu buat menemui salah satu keluarganya. Katanya dia rindu ingin bicara. Dia ingin kamu membawanya untuk pulang sebentar dan bertemu dengan mereka.” Jawab Mak Nyah, membuatku mengerutkan alis. Keluarga? Memangnya aku ada mengenal keluarga perempuan itu?Namun sedetik kemudian aku tersadar, mungkin itu hanya alasan agar Mak Nyah tak curiga tentang apa yang terjadi sebenarnya di antara kami. K
“Aku kan udah bilang, selagi kau masih belum diterima bekerja secara pasti di sana, maka kau belum boleh bertemu dengan anak-anakmu.”“Tapi aku sangat merindukan mereka, Bang…” ku dengar nada suara Laras yang mulai menangis.“Kalau gitu tahanlah rindu itu. Kalau kau masih mau bertemu mereka lagi maka kau harus berusaha keras agar dapat diterima bekerja di tempat Mak Nyah. Kau sendiri kan yang menyanggupi untuk memberiku uang?”“Aku mohon Bang, aku hanya ingin tahu keadaan mereka. Aku mau memastikan kalau mereka baik-baik saja.”“Jadi kau tak percaya padaku? Kau pikir aku tak memperlakukan mereka dengan baik?” tanyaku agak emosi.“Bukannya begitu Bang…”“Aaah, udahlah. Jangan banyak omong. Besok aku akan ke sana. Siapkan uangnya. Dan ingat, jangan pasang wajah sedih. Jangan sampai kau terlihat habis menangis. Aku tak mau kelakuanmu menimbulkan kecurigaan. Kau sadar kan kalau nasib anak-anakmu itu berada di tanganku?” kataku panjang lebar.Ku dengar ia menghela napas di seberang sana.“
Aku turun dari sepeda motor. Sapaan beberapa orang yang memang lumayan mengenalku karena aku sering berkunjung ke ruko tempat Mak Nyah membuka warung kopi, sempat beberapa kali kudengar. Aku pun menyahut sekedarnya, karena memang aku tak terlalu akrab dengan mereka.Apalagi semenjak aku memutuskan untuk tak lagi hidup sebagai lelaki simpanan Mak Nyah, otomatis aku jadi semakin jarang datang ke tempat ini. Dan kali ini aku datang kembali ke sini lagi pun karena aku masih punya urusan dengan Laras.Saat masuk ke dalam ruko, ku lihat Mak Nyah sedang duduk di belakang meja kasir, seperti biasa. Tak nampak batang hidung Laras, mungkin dia sedang di belakang membuat pesanan kopi pelanggan.“Tumben kau datang ke sini,” ujar Mak Nyah dengan nada agak sinis.Padahal aku baru saja menjejakkan pantatku di atas kursi. Sengaja ku pakai meja yang agak jauh darinya, karena aku tak terlalu suka kalau Mak Nyah dekat-dekat denganku.“Aku ada urusan.” Kataku agak malas.“Urusan dengan pacarmu?”“Memangn