Hari mungkin sudah sangat malam. Namun aku tak tahu jam berapa ini. Aku sedang menggendong Melina yang terlihat sudah mulai mengantuk. Sementara Nurul sejak tadi sudah tidur sambil menahan lapar. Aku benar-benar menyesal karena tadi tak sempat mengambil makanan dari dapur.
Keadaan rumah terasa sangat sepi. Redy belum pulang sejak tadi dua orang yang kutebak adalah temannya menjemput.Saat tadi siang ada yang datang ke sini, aku tak berani bersuara, apalagi berteriak. Awalnya ku pikir akan meminta pertolongan dengan membuat suara bising. Namun setelah menimbang lagi, hal itu sangat berisiko. Bagaimanapun, aku tak tahu siapa yang datang. Bisa saja mereka adalah komplotan Redy. Kalau aku berbuat macam-macam, aku takut nyawaku dan anak-anakku terancam.Aku akan berpikir sendiri bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini. Aku akan tetap pada rencana semula, yaitu mendekati Redy, mendapatkan kepercayaannya dan membalas dendam.“Ma, lapar. Nurul boleh makan biskuitnya sekeping lagi?” suara Nurul mengagetkanku.“Kamu udah bangun, Rul?”“Nggak bisa tidur nyenyak Ma. Lapar.” Katanya sambil mengusap perut.“Maaf ya Rul, tadi Mama benar-benar lupa mau bawa nasi. Ada orang yang tiba-tiba datang waktu Mama lagi kerja. Kalau mau makan biskuitnya ambil aja,” kataku.“Nggak apa Ma. Bukan salah Mama. Aku ambil ya biskuitnya?”Aku mengangguk dan tersenyum. Tak lama kudengar suara langkah kaki mendekat. Sepertinya Redy sudah datang.“Keluarlah!” Redy memerintah begitu pintu terbuka.Aku berdiri dan berjalan mendekatinya. Ia langsung menutup dan mengunci pintu. Kuikuti dia dari belakang dan kami berhenti di dekat meja makan.“Bawa semua makanan ini ke kamar,” katanya, membuatku terkejut. Tak percaya dengan apa yang kudengar.“Kenapa Bang?” tanyaku agak takut. Makanan yang tadi pagi kumasak ini masih banyak. Kenapa dia memberikan semua untukku? Apa ada tujuan tertentu? Atau makanan ini sudah diracuni?“Bawa aja semua. Jangan banyak tanya. Aku udah makan tadi di luar. Dan sekarang aku mau pergi, ada urusan. Dari pada ini semua basi dan dibuang, lebih baik kau makan. Atau kau lebih memilih untuk membuang semua makanan ini?”Aku menggeleng cepat. Ini rezeki nomplok bagiku hari ini. Tanpa membuang waktu cepat kubawa semuanya dan masuk ke dalam kamar hanya dengan sekali jalan.“Bang Redy... Makasih,” kataku, saat ia hendak menutup pintu. Ia terlihat senang mendengar ucapan terima kasih dariku yang mungkin terdengar tulus di telinganya.***Aku mencoret dinding kamar yang berwarna putih ini dengan sebuah paku. Sudah ada sebanyak 43 tanda garis, artinya aku dan anak-anakku sudah disekap selama sebulan lebih, hampir dua bulan.Redy mulai melunak pada kami. Tak ada lagi penyiksaan seperti pertama dulu. Kami pun mulai bisa makan dengan baik sejak aku menawarkan diri untuk memasak dan membersihkan rumahnya.Aku sudah membaca situasi sekitar. Sepertinya tak akan mudah untuk melarikan diri dari sini. Selain karena semua jendela yang dipaku luar dalam, tempat ini juga sangat sepi dan dikelilingi hutan yang mengerikan. Aku tak akan bisa kabur di siang hari, karena Redy hampir tak pernah keluar sebelum gelap. Sementara aku takut kalau melarikan diri di malam hari. Kegelapan malam dan kemungkinan adanya ular atau binatang buas yang lain membuatku berpikir seribu kali untuk membawa kedua anakku.Satu-satunya jalan, aku harus mencari pertolongan orang lain ataupun kami harus pindah dari sini. Tapi aku masih belum memikirkan bagaimana caranya.“Ma, kayaknya Om itu datang lagi,” kata Nurul, membuyarkan segala pikiran yang sejak tadi datang silih berganti dalam kepalaku.Aku memasang telinga. Memang benar, terdengar suara langkah yang mendekat. Redy pasti datang untuk menyuruhku memasak. Maka aku pun bersiap, karena ini adalah hal yang rutin kulakukan sejak beberapa hari yang lalu.“Hari ini masak apa Ma?” tanya Nurul setengah berbisik.“Ada deh, kejutan,” godaku. Nurul tersenyum senang. Dia bilang, sejak aku diizinkan untuk memasak, hal yang paling ditunggunya setiap hari adalah saat aku kembali dan membawa sepiring nasi beserta lauk dan sayurnya.Begitu Redy membuka pintu aku sudah berada di dekatnya. Jadi tanpa perlu banyak bicara aku langsung keluar dan menuju dapur, menjalankan tugasku setiap hari. Memasak dan membersihkan rumah.“Bang, aku nggak boleh nyuci baju Abang yang kotor?” tanyaku.“Nggak usah. Aku udah bilang, aku nggak suka bajuku dipegang orang,” katanya dingin.“Tapi, kulihat baju Abang udah banyak yang kotor. Dan kayaknya Abang belum sempat nyucinya. Nanti Abang nggak punya baju bersih,” kataku lagi, sok peduli. Padahal aku hanya berusaha menarik perhatiannya.Dia menatapku dengan pandangan aneh. Rambutnya yang semakin panjang dengan jambang yang agak lebat membuat wajahnya terlihat menakutkan. Aku jadi menyesal bicara seperti tadi. Takut dia marah karena aku terlalu cerewet.“Kerjaanmu udah selesai semua?” tanyanya.Aku mengangguk. “Udah Bang.”“Udah nyapu ngepel dan beresin dapur?”“Udah semua Bang.”Dia diam sejenak. Kemudian berdiri dan berkata,” ikut aku!”Aku mengekor langkahnya yang lumayan cepat. Dia membawaku pada satu kamar terkunci yang belum pernah kumasuki. Aku gemetar. Kamar ini gelap dan dingin sekali. Kenapa dia mengajakku ke sini? Jangan-jangan dia mau melecehkanku lagi? Ah, aku harus gimana?“Ayo masuk sini!” bentaknya mengagetkanku. Mau tak mau aku masuk, meski dengan lutut yang agak gemetaran.Dia menghidupkan lampu. Kulihat ia berdiri di dekat tumpukan benda yang kukenal. Itu adalah tiga buah tas yang kemarin kupakai saat lari dari rumah!“Pilihlah!” perintahnya. Tapi aku tak mengerti apa yang dia maksud. Memangnya apa yang harus kupilih?“Maksud Abang...?”“Pilih beberapa barang yang ada di dalam tiga tas milikmu ini. Yang penting aja, jangan semua.”Aku mengangguk. Cepat kuambil beberapa helai pakaian yang bagus dan nyaman milikku. Tak lupa kubawakan untuk Nurul dan Melina. Aku begitu antusias dan senang. Namun sebuah barang kecil yang kemudian kutemukan di antara lipatan baju membuat tubuhku seketika membeku. Mataku panas karena mendadak terasa ada cairan yang sama sekali tak kutahu akan keluar begitu saja.“Kenapa diam?” tanya Redy. “Kalau udah, cepat kembali ke kamar!”“Boleh kubawa barang ini Bang?” tanyaku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Sebuah robot Ultraman kesayangan Andra kutunjukkan padanya.Redy diam. Melarang tidak, mengiyakan juga tidak.“Kumohon...” pintaku dengan susah payah menahan tangis.Belum sempat Redy menjawab, seseorang terdengar memanggil namanya. Kali ini suara perempuan. Redy tampak panik.“Tunggu di sini dan jangan keluar. Mengerti?!”Aku mengangguk. Tapi dalam hati aku tak mau berjanji.“Lagi apa kamu? Tumben rumahmu rapi?” suara perempuan yang waktu itu terdengar lagi. Iya, aku yakin itu pasti dia.“Kamu ngapain ke sini nggak bilang-bilang?! Harusnya kamu nelfon dulu!” suara Redy terdengar gusar.“Kenapa? Kamu nggak suka kalau aku datang? Udah nggak mau duit, kamu?”“Bukan gitu. Kamu seharusnya bilang dulu kalau mau ke sini. Jangan mendadak.”“Aku ke sini mendadak karena mau kasi kabar baik tahu!”“Apa?”“Pernikahan aku dan Edar udah ditentukan. Nggak lama lagi.”Aku terbelalak begitu mendengarnya. Tidak bisa! Tak bisa seperti ini. Aku akan keluar sekarang dan melihat siapa wanita itu. Setelah mengumpulkan keberanian, aku melangkah keluar, tak peduli meski nanti Redy marah dan menghajarku. Namun saat aku sampai di dekat mereka, sosok wanita yang kulihat di depanku membuat aku hampir tak percaya.“Ella?!”“Ella, apa maksud semua ini? Apa aku nggak salah lihat? Kau yang merencanakan ini? Kenapa?” tanyaku dengan terbata-bata. Aku sungguh tak menyangka, kalau Ella, wanita yang kuanggap teman, ternyata adalah orang yang menjadi dalang penyekapanku dan anak-anakku. Aku bahkan tak pernah terpikir kalau dia yang mengatur penculikan ini. Dialah yang kemarin mencarikan dan menawarkan mobil travel untuk membawaku pulang ke rumah orang tuaku. Kupikir dia tak ada hubungannya dengan semua ini. Namun ternyata perempuan yang membayar Redy adalah Ella.Ella bukanlah orang yang kukenal baik. Dia hanyalah pelanggan yang kadang datang berbelanja di minimarket yang setiap hari ku jaga. Dan beberapa waktu sebelum aku kabur dari rumah, aku sempat akrab dengannya karena dia sering menemaniku mengobrol di meja kasir. Aku juga sering curhat tentang masalah rumah tanggaku padanya. Jadi aku sekarang benar-benar sangat terkejut mengetahui kenyataan kalau ternyata dia adalah musuh dalam selimut.“Redy, bisa kau
“Hah....” Redy membuang napas. “Aku sebenarnya nggak mau terlibat terlalu dalam untuk urusan kalian berdua. Aku hanya mau bayaran. Hanya mau uang. Tapi karena aku udah bertindak sejauh ini, sepertinya aku mau tak mau harus menuruti kemauannya lagi.” “Maksud Abang?!” “Dia menyuruhku untuk melenyapkan kalian bertiga. Tepat setelah dia berhasil menikahi suamimu,” kata Redy, membuat darahku bergolak panas saat mendengarnya. Aku memang sudah mendengar tentang rencananya yang mau melenyapkanku dan ketiga anakku. Tapi tetap saja aku sakit hati saat mendengarnya secara langsung. “Dan Abang akan melaksanakan perintahnya? Menuruti kemauannya?” tanyaku. “Aku belum memutuskan. Tapi bisa jadi.” Aku menghela napas. Menyiapkan kalimat yang mungkin akan membuat dia marah. “Kalau Abang menuruti kemauannya, Abang adalah orang yang bodoh!” kataku dengan berani. “Hei, apa maksudmu?! Berani-beraninya kau mengataiku seperti itu? Kau mau kubunuh sekarang?!” ancamnya. Tapi aku tak takut. Aku justru sen
“Gila kamu La! Bisa-bisanya nyuruh aku ngelakuin hal yang kayak gitu. Aku mesti bunuh orang dan melakukan hal jahat pada anak-anak, trus kamu diam aja nggak ngapa-ngapain? Pinter kamu ya, biar aku masuk penjara sendiri?” Jawaban telak dari Redy membuatku puas. Tepat seperti yang aku bilang padanya. Ternyata masuk juga ke otak.“Heh! Apa maksud kamu bilang kayak gitu Redy? Aku kan cuma kasi solusi aja kalau emang sekarang kamu butuh uang banget. Mereka udah nggak kuperlukan lagi. Kalau bebas, mereka akan lapor polisi.”“Aku butuh uangku yang ada sama kamu, La. Bukan berarti aku akan melakukan hal lain yang bisa membahayakan hidupku ke depannya. Aku nggak mau masuk penjara. Ini semua ide kamu, dan aku cuma bertugas menahan mereka kan awalnya? Kenapa sekarang pake acara bunuh-bunuhan? Nggak waras kamu!”“Ya kalau kamu mau nunggu uang dariku, sabar dong jangan banyak nuntut. Aku juga lagi mikir nih. Lagi berusaha!” “Ya udah kalau gitu aku minta sejuta aja, aku udah nggak ada pegan
“Untuk sekarang aku masih belum tahu pekerjaan apa yang akan kuberikan padamu. Beri aku waktu beberapa hari, aku akan coba bertanya pada teman-temanku.” Ujar Redy.“Apa aku boleh membawa anak-anakku saat nanti aku bekerja, Bang?”“Kau sekarang sedang bercanda? Kau mau membawa anakmu keluar dari sini agar nantinya dengan mudah kau melarikan diri? Aku nggak semudah itu kau bodohi, Laras. Kau akan kubawa keluar untuk bekerja, dan anak-anakmu akan tetap di sini. Paham?”Aku mengangguk takut. Tapi ada sedikit perasaan lega, karena dia mau memberiku pekerjaan di luar. Kesempatanku untuk melarikan diri semakin besar. Meski mungkin akan membutuhkan waktu agak lama karena anakku tak mungkin bisa bersamaku saat bekerja.“Sekarang kalau udah nggak ada lagi yang mau kau omongkan, masuklah ke dalam,” perintahnya. Aku menurut. Dengan semangat yang kembali muncul aku membawa nasi dan sisa lauk ke dalam kamar.Kulihat senyum sumringah yang mengembang dari bibir Nurul saat melihatku masuk dengan memba
“Kau akan bekerja di warung kopi milik temanku.”“Warung kopi?” tanyaku setengah bergumam, seolah sedang bicara sendiri.“Kenapa? Kau nggak mau?”Aku menggeleng cepat. “Mau Bang. Aku pikir pekerjaan apa yang akan Abang berikan padaku. Ternyata menjaga warung kopi,” kataku senang.“Memang kau pikir apa? Aku akan menjualmu? Jangan terlalu sering berpikir macam-macam, kau nggak semenarik itu untuk menjual tubuhmu,” katanya dengan nada menyebalkan.Aku membulatkan mataku. Kalimatnya membuatku tersinggung. Biar seperti ini aku cantik, sekarang terlihat jelek karena aku tak pernah lagi memoleskan bedak dan lipstik di wajahku.“Kapan aku mulai kerja Bang?” tanyaku.“Mulai besok. Jadi sebaiknya sekarang kau mulai berkemas. Bawa baju-bajumu. Hari ini bersihkan rumah ini serapi mungkin. Kau hanya akan kuajak pulang seminggu atau dua minggu sekali. Aku juga nggak bisa memastikan, bisa jadi kau baru bisa pulang sebulan sekali.”Aku terkejut. Kenapa sekarang jadi seperti ini? Bagaimana mungkin ak
“Pakai itu. Tutupi matamu!” perintah Redy.“Kenapa aku harus memakai ini Bang?” tanyaku.“Nggak usah banyak tanya, pakai aja.” Katanya dengan sedikit menggertak.Tanpa bicara lagi aku menuruti perintahnya. Aku agak kesal, padahal aku sudah bersiap untuk menghapal jalan dan keadaan sekitar, agar kalau nantinya aku melarikan diri, aku bisa menjemput anak-anakku. Namun ternyata Redy lebih pintar dan sudah memperhitungkan semuanya. Ia sengaja membuat aku menutup mata selama perjalanan agar aku tak tahu aku berada di daerah mana dan akan di bawa ke mana.Cukup jauh perjalanan dan sangat panjang waktu yang ku rasa untuk sampai ke tempat tujuan kami. Naik mobil dengan mata tertutup membuatku merasa pusing dan mabuk kendaraan. Berkali-kali aku menutup mulutku menahan muntah.“Kau kenapa?” tanya Redy. Aku rasa melihatku sudah kepayahan sejak tadi.“Aku mual Bang,” kataku singkat.“Hhh… Ngerepotin aja,” sungutnya. Ia menghentikan mobil. “Tunggu di sini, jangan macam-macam. Jangan coba untuk mem
“Berapa umurmu?” tanya perempuan yang biasa dipanggil Mak Nyah. Rambutnya pendek dan kulitnya putih bersih. Meski matanya tak terlalu sipit, dapat ku pastikan kalau dia punya darah Tionghoa.“Tiga puluh tiga tahun Mak Nyah.” Jawabku jujur.“Redy, kenapa kamu bawa yang tua? Klo kerja di sini harus yang muda dan segar. Buat narik pelanggan.” Katanya protes. Aku agak tersinggung dengan kalimatnya, yang mengatakan kalau aku tua.“Haduh Mak Nyah, jangan bilang kayak gitu lah. Biar dia agak tua tapi kerjanya rajin dan cekatan. Mak Nyah cari yang muda selama ini juga nggak pernah bertahan lama kan? Sebentar-sebentar berhenti, yang nggak sanggup lah, yang nggak betah lah. Mereka masih terlalu muda untuk kerja terlalu keras seperti di sini. Dia ini kalau disuruh dandan juga nggak kalah cantik kok. Malah yang matang gini bisa jadi selera orang, dibandingkan dengan anak bau kencur.” Redy berbicara seolah-olah sedang mempromosikan aku.“Tapi gimana kalau ternyata dia nggak bagus kerjanya?” tanya
Aku bingung harus menjawab apa. Sebenarnya mungkin ini adalah kesempatanku untuk mengatakan kalau aku punya dua anak yang saat ini sedang disekap oleh Redy. Mungkin aku bisa minta tolong dengan mengatakan semuanya. Hanya saja hatiku diliputi keraguan.Aku tak bisa menjamin kalau Mak Nyah akan mempercayai ceritaku. Aku takut kalau Mak Nyah justru akan mengadukanku pada Redy. Aku baru bertemu dan mengenal Mak Nyah hari ini, sementara Redy mungkin sudah mengenalnya jauh lebih lama. Maka pastilah Mak Nyah akan lebih mempercayai kata-kata Redy dari pada aku.“Laras…?” Mak Nyah menegurku yang termenung karena bimbang memikirkan jawaban.“Eh, aku udah pernah menikah Mak Nyah, tapi udah cerai. Dan semua anakku sekarang ikut sama Ayahnya,” kataku berbohong.Aku sungguh tak mau mengambil resiko. Aku harus waspada. Jangan sampai hanya karena salah langkah karena meminta tolong pada orang yang salah membuat rencana pelarianku jadi gagal.“Oh, kenapa bisa sampai cerai? Suamimu selingkuh?” tanyanya