“Mmm... Aku mendengarnya dari perempuan yang pernah datang ke sini,” kataku ragu.
Redy diam. Sepertinya ia tak suka kalau aku mengetahui identitasnya.“Dan apa kau tahu siapa perempuan itu?” tanyanya penuh selidik.Aku menggeleng. “Aku nggak lihat orangnya, cuma dengar suara aja,” kataku.Redy terlihat manggut-manggut.“Makasih sekali lagi ya Bang.” Kataku lagi.“Iya. Jaga benar-benar kesehatannya, jangan sampai sakit lagi. Aku nggak mau keluar uang terus.”“Iya Bang,” kataku pendek dengan senyum mengembang. Aku kembali memeluk Melina. Tak henti kuucapkan syukur karena kali ini aku bisa menyelamatkan anakku.“Oh iya, dia belum terlalu sembuh. Masih dalam masa pemulihan. Ini obatnya, jangan lupa diminumkan.” Redy memberiku sebuah kantong plastik. Dia bilang isinya adalah obat Melina, tapi kenapa seperti agak besar dan berat? Setelah kubuka, ternyata ada dua pak roti isi. Aku langsung memandang heran padanya.“Itu aku belikan buat dia makan, biar bisa minum obat.”“Makasih Bang.” Aku menunjukkan rasa senangku.“Jangan terlalu senang, hanya sampai dia sembuh. Setelah itu jangan harap aku akan baik seperti ini. Aku cuma nggak mau ada orang mati lagi di rumahku,” katanya.“Iya nggak apa Bang.”Redy berbalik hendak keluar dari kamar. Tiba-tiba terlintas sebuah ide dalam kepalaku.“Bang Redy...” Aku memanggilnya. Ia yang baru saja hendak memutar gagang pintu langsung berhenti, dan berbalik menatapku.“Ada apa lagi?!” tanyanya agak jutek.“Kalau Abang perlu orang untuk memasak atau membersihkan rumah, aku mau melakukannya.”Redy tertawa pendek. “Sekarang apa lagi muslihatmu?”“Nggak ada. Aku hanya mau berterima kasih karena telah menyelamatkan anakku. Nggak ada maksud lain,” kataku dengan memasang wajah serius.“Nggak usah repot-repot. Aku nggak berani ambil resiko mengeluarkanmu dari kamar ini. Bisa aja kan kamu kabur?”“Aku nggak akan mungkin kabur kalau anak-anakku masih ada di dalam sini kan? Biarkan aku saja yang keluar dan bekerja. Anak-anak tetap di sini.”Redy berjalan mendekat. Aku agak takut, khawatir kalau ternyata aku salah mengambil langkah.“Sekarang kau bilang saja, apa maksudmu mau membantu memasak dan lainnya? Aku nggak semudah itu percaya.”“Beneran, aku nggak punya maksud lain. Aku hanya berterima kasih. Kalaupun aku punya maksud lain, aku hanya minta dengan aku bekerja tanpa dibayar, aku dan anak-anakku tak lagi disiksa, dan kami bisa diberi makanan yang layak. Biarkan aku memasak, sekalipun nantinya Abang cuma memberi kami kuah sup, aku akan sangat senang. Aku tahu Abang mengurungku di sini karena suatu tujuan. Biarkan kami bertahan dengan baik sampai tujuan Abang tercapai.”“Dari mana kau yakin kalau aku nggak akan membunuhmu?”“Kalau Abang memang mau membunuh kami, seharusnya sudah dilakukan sejak awal kan? Tapi kami sampai sekarang masih hidup, kecuali Andra anak lelakiku. Tapi dia meninggal karena ketidaksengajaan. Betul kan?” tanyaku dengan yakin. Aku menyusun kalimat sebaik mungkin. Jangan sampai ia mengetahui niatku yang sebenarnya.Redy menatapku lama. Aku jadi salah tingkah ditatap seperti itu. “Akan aku pikirkan. Kau jangan coba merencanakan sesuatu untuk keluar dari sini. Aku memang pemabuk, tapi aku nggak bodoh.”Aku mengangguk. Kupasang senyum agar ia tak melihat kebencian dari sorot mataku. Sebisa mungkin aku akan membuatnya percaya kalau aku tak berniat macam-macam.Kubuang napas lega saat Redy keluar dan menutup pintu. Sulit sekali bersandiwara. Tapi demi keluar dari sini dan membalas dendam, aku akan melakukan apa saja. Aku akan mencari tahu alasanku disekap dan disiksa seperti ini. Akan kucari siapa dalang dan apa tujuannya. Aku yakin Redy hanyalah orang suruhan. Karena ada suara seorang wanita yang pernah kudengar selama aku berada di sini. Siapa pun dia, jangan harap akan luput dari pembalasanku.***Aku memperhatikan Nurul dan Melina yang kini sedang bergurau. Mereka terlihat tertawa sambil cekikikan. Nurul menggelitik perut adiknya dengan gemas, membuat anak bungsuku yang masih berumur 3 tahun itu menjerit kegelian.Meski keadaan kami sangat menyedihkan karena terkurung dan diperlakukan tak layak, kami tetap berusaha untuk mempertahankan kewarasan dengan sesekali bersenda gurau. Walau terkadang aku dan Nurul menangis setiap kali teringat Andra.Setelah Melina sembuh total dari sakitnya, Redy kembali memperlakukan kami seperti awal dulu. Meski tak lagi berlaku kasar, namun ia masih memberi kami makanan yang sangat sedikit dan kadang tak layak untuk dimakan. Nasi basi yang ia berikan kadang terasa masih agak mentah. Dan ia bahkan mengurangi jatah biskuit kami, dalam 2 minggu hanya sebungkus biskuit. Katanya karena kami Cuma bertiga, jadi mesti cukup. Padahal beberapa hari yang lalu ia sempat mengambil semua uang di dompetku dengan paksa.Redy pun kini tak pernah lagi melecehkanku. Mungkin ia trauma atau karena dimarahi perempuan itu, sehingga tak pernah lagi ia masuk ke kamar ini dalam keadaan mabuk.“Ma, udah boleh makan biskuitnya? Nurul sama Melina udah lapar,” kalimat Nurul mengagetkanku yang sedang melamun.Aku tersenyum. “Makan aja, Rul. Ambil dua keping masing-masing untukmu dan Melina.”“Loh kok, banyak banget Ma. Nanti biskuitnya cepat habis.”“Hari ini Mama nggak makan biskuitnya, untuk kalian aja,” kataku.“Kenapa emangnya Ma?”“Masih ada nasi yang semalam,” sahutku pendek.“Nasi itu kan udah basi Ma. Waktu dikasi kemaren aja udah bau. Nanti Mama sakit perut lagi,” protesnya.“Nggak apa, Rul. Mama udah terbiasa makannya, jadi nggak akan sakit perut lagi,” kataku berusaha menghiburnya. Entah kenapa aku sekarang tak begitu mau makan biskuit. Setiap kali aku melihat dan memegang biskuit, hatiku kembali merasa pedih dan terkoyak karena langsung teringat pada Andra. Ya, sebelum dihajar dan kemudian meninggal, Andra belum sempat memakan biskuitnya untuk makan malam. Hal itu yang membuatku meneteskan air mata setiap kali memegang biskuit.“Ma, sampai kapan kita di sini? Nurul takut sama Om itu Ma. Apa kita bisa keluar dari sini?”Aku mengelus kepala Nurul. “Mama akan berusaha untuk mengeluarkan kita dari sini. Kita akan bebas. Kamu yakin kan, sama Mama?”Nurul mengangguk. Mendadak aku menyadari keadaan anak sulungku itu, dia terlihat jauh lebih kurus. Pipinya yang dulu tembam sekarang menghilang entah ke mana, digantikan oleh pipi cekung yang membuatnya terlihat seperti orang sakit. Hatiku kembali teriris.Tiba-tiba kudengar langkah kaki yang mendekat. Saat pintu terbuka, kulihat Redy muncul dengan wajah sembab, seperti habis bangun tidur. Aku menerka-nerka tujuannya datang kemari. Terlihat ia memandang kami agak lama, sepertinya ia ingin bicara namun tampak ragu.“Heh, kemarin kamu bilang mau masak dan membersihkan rumah kan?”Aku mengangguk senang. Sepertinya umpanku berhasil.“Kalau gitu sekarang keluar. Masaklah, aku lapar.”“Tunggu Mama di sini ya. Mama nggak lama kok,” kataku pada Nurul dan Melina. “Jaga adikmu ya Rul. Mama keluar sebentar.” Nurul menahan tanganku. Ada kecemasan yang terlihat di wajahnya. “Ma, jangan pergi dari sini tanpa kami ya,” katanya, membuatku hampir menitikkan air mata. Tak mungkin aku akan meninggalkan mereka. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Cepat!” kata Redy. Aku berdiri dan cepat melangkah mendekatinya. Jangan sampai karena gerakku yang lambat membuat Redy berubah pikiran dan tak jadi membiarkan aku memasak. Ini satu-satunya kesempatanku untuk keluar dari kamar ini, membaca keadaan sekitar sambil menyusun rencana untuk kabur dan membalas dendam. “Ingat ya, kalau ada yang datang ke rumah ini kau cepat-cepat masuk lagi ke kamar. Kalau nggak, anakmu kuhajar lagi,” ancamnya. “Iya Bang.” Kataku patuh. Redy membawaku ke dapur. Aku sempat terperangah melihat keadaan tempat memasak yang terlihat sangat kacau dan berantakan. “Ngapain bengong?! Nggak pernah lihat dapur bera
“Ma, kira-kira hari ini kita makan nasi lagi nggak ya?” tanya Nurul dengan nada penuh harap.“Semoga aja ya, Sayang,” jawabku. “Semoga aja nanti Mama disuruh masak lagi.”“Kok semalam Mama nggak disuruh masak ya? Emangnya Om itu nggak makan malam?” tanyanya penasaran. Kasihan anakku. Mungkin semalam ia berharap bisa makan dengan nasi lagi. Tapi setelah wanita misterius itu pergi, Redy belum ada datang ke kamar ini sampai sekarang. Jadi terpaksa kami makan malam dengan biskuit.“Mungkin dia beli makanan di luar, Rul. Lagi pula dia kayaknya belum sepenuhnya bisa percaya sama Mama untuk keluar dari kamar ini,” kataku.Nurul memonyongkan bibir. Aku tertawa kecil melihatnya. “Sabar ya Rul. Nanti juga lama-lama kita akan keluar dari sini,” hiburku.“Kapan Ma?”“Mama nggak tahu sayang, tapi Mama akan terus berusaha. Mama cuma minta, jangan terlalu sering ngomongin soal keluar dari sini ya. Biar ini jadi rahasia kita aja,” kataku. Aku takut Nurul keceplosan dan Redy tahu niatku yang hen
Hari mungkin sudah sangat malam. Namun aku tak tahu jam berapa ini. Aku sedang menggendong Melina yang terlihat sudah mulai mengantuk. Sementara Nurul sejak tadi sudah tidur sambil menahan lapar. Aku benar-benar menyesal karena tadi tak sempat mengambil makanan dari dapur.Keadaan rumah terasa sangat sepi. Redy belum pulang sejak tadi dua orang yang kutebak adalah temannya menjemput. Saat tadi siang ada yang datang ke sini, aku tak berani bersuara, apalagi berteriak. Awalnya ku pikir akan meminta pertolongan dengan membuat suara bising. Namun setelah menimbang lagi, hal itu sangat berisiko. Bagaimanapun, aku tak tahu siapa yang datang. Bisa saja mereka adalah komplotan Redy. Kalau aku berbuat macam-macam, aku takut nyawaku dan anak-anakku terancam.Aku akan berpikir sendiri bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini. Aku akan tetap pada rencana semula, yaitu mendekati Redy, mendapatkan kepercayaannya dan membalas dendam.“Ma, lapar. Nurul boleh makan biskuitnya sekeping
“Ella, apa maksud semua ini? Apa aku nggak salah lihat? Kau yang merencanakan ini? Kenapa?” tanyaku dengan terbata-bata. Aku sungguh tak menyangka, kalau Ella, wanita yang kuanggap teman, ternyata adalah orang yang menjadi dalang penyekapanku dan anak-anakku. Aku bahkan tak pernah terpikir kalau dia yang mengatur penculikan ini. Dialah yang kemarin mencarikan dan menawarkan mobil travel untuk membawaku pulang ke rumah orang tuaku. Kupikir dia tak ada hubungannya dengan semua ini. Namun ternyata perempuan yang membayar Redy adalah Ella.Ella bukanlah orang yang kukenal baik. Dia hanyalah pelanggan yang kadang datang berbelanja di minimarket yang setiap hari ku jaga. Dan beberapa waktu sebelum aku kabur dari rumah, aku sempat akrab dengannya karena dia sering menemaniku mengobrol di meja kasir. Aku juga sering curhat tentang masalah rumah tanggaku padanya. Jadi aku sekarang benar-benar sangat terkejut mengetahui kenyataan kalau ternyata dia adalah musuh dalam selimut.“Redy, bisa kau
“Hah....” Redy membuang napas. “Aku sebenarnya nggak mau terlibat terlalu dalam untuk urusan kalian berdua. Aku hanya mau bayaran. Hanya mau uang. Tapi karena aku udah bertindak sejauh ini, sepertinya aku mau tak mau harus menuruti kemauannya lagi.” “Maksud Abang?!” “Dia menyuruhku untuk melenyapkan kalian bertiga. Tepat setelah dia berhasil menikahi suamimu,” kata Redy, membuat darahku bergolak panas saat mendengarnya. Aku memang sudah mendengar tentang rencananya yang mau melenyapkanku dan ketiga anakku. Tapi tetap saja aku sakit hati saat mendengarnya secara langsung. “Dan Abang akan melaksanakan perintahnya? Menuruti kemauannya?” tanyaku. “Aku belum memutuskan. Tapi bisa jadi.” Aku menghela napas. Menyiapkan kalimat yang mungkin akan membuat dia marah. “Kalau Abang menuruti kemauannya, Abang adalah orang yang bodoh!” kataku dengan berani. “Hei, apa maksudmu?! Berani-beraninya kau mengataiku seperti itu? Kau mau kubunuh sekarang?!” ancamnya. Tapi aku tak takut. Aku justru sen
“Gila kamu La! Bisa-bisanya nyuruh aku ngelakuin hal yang kayak gitu. Aku mesti bunuh orang dan melakukan hal jahat pada anak-anak, trus kamu diam aja nggak ngapa-ngapain? Pinter kamu ya, biar aku masuk penjara sendiri?” Jawaban telak dari Redy membuatku puas. Tepat seperti yang aku bilang padanya. Ternyata masuk juga ke otak.“Heh! Apa maksud kamu bilang kayak gitu Redy? Aku kan cuma kasi solusi aja kalau emang sekarang kamu butuh uang banget. Mereka udah nggak kuperlukan lagi. Kalau bebas, mereka akan lapor polisi.”“Aku butuh uangku yang ada sama kamu, La. Bukan berarti aku akan melakukan hal lain yang bisa membahayakan hidupku ke depannya. Aku nggak mau masuk penjara. Ini semua ide kamu, dan aku cuma bertugas menahan mereka kan awalnya? Kenapa sekarang pake acara bunuh-bunuhan? Nggak waras kamu!”“Ya kalau kamu mau nunggu uang dariku, sabar dong jangan banyak nuntut. Aku juga lagi mikir nih. Lagi berusaha!” “Ya udah kalau gitu aku minta sejuta aja, aku udah nggak ada pegan
“Untuk sekarang aku masih belum tahu pekerjaan apa yang akan kuberikan padamu. Beri aku waktu beberapa hari, aku akan coba bertanya pada teman-temanku.” Ujar Redy.“Apa aku boleh membawa anak-anakku saat nanti aku bekerja, Bang?”“Kau sekarang sedang bercanda? Kau mau membawa anakmu keluar dari sini agar nantinya dengan mudah kau melarikan diri? Aku nggak semudah itu kau bodohi, Laras. Kau akan kubawa keluar untuk bekerja, dan anak-anakmu akan tetap di sini. Paham?”Aku mengangguk takut. Tapi ada sedikit perasaan lega, karena dia mau memberiku pekerjaan di luar. Kesempatanku untuk melarikan diri semakin besar. Meski mungkin akan membutuhkan waktu agak lama karena anakku tak mungkin bisa bersamaku saat bekerja.“Sekarang kalau udah nggak ada lagi yang mau kau omongkan, masuklah ke dalam,” perintahnya. Aku menurut. Dengan semangat yang kembali muncul aku membawa nasi dan sisa lauk ke dalam kamar.Kulihat senyum sumringah yang mengembang dari bibir Nurul saat melihatku masuk dengan memba
“Kau akan bekerja di warung kopi milik temanku.”“Warung kopi?” tanyaku setengah bergumam, seolah sedang bicara sendiri.“Kenapa? Kau nggak mau?”Aku menggeleng cepat. “Mau Bang. Aku pikir pekerjaan apa yang akan Abang berikan padaku. Ternyata menjaga warung kopi,” kataku senang.“Memang kau pikir apa? Aku akan menjualmu? Jangan terlalu sering berpikir macam-macam, kau nggak semenarik itu untuk menjual tubuhmu,” katanya dengan nada menyebalkan.Aku membulatkan mataku. Kalimatnya membuatku tersinggung. Biar seperti ini aku cantik, sekarang terlihat jelek karena aku tak pernah lagi memoleskan bedak dan lipstik di wajahku.“Kapan aku mulai kerja Bang?” tanyaku.“Mulai besok. Jadi sebaiknya sekarang kau mulai berkemas. Bawa baju-bajumu. Hari ini bersihkan rumah ini serapi mungkin. Kau hanya akan kuajak pulang seminggu atau dua minggu sekali. Aku juga nggak bisa memastikan, bisa jadi kau baru bisa pulang sebulan sekali.”Aku terkejut. Kenapa sekarang jadi seperti ini? Bagaimana mungkin ak