“Ma... Ma... Bangun, Ma...”
Kurasakan guncangan kecil di pundak kiriku. Aku membuka mata. Sepertinya tadi aku sempat tertidur selama perjalanan. Dengan pandangan mata yang masih mengabur, kupastikan kalau ketiga anakku masih ada di sampingku. Aku merasa lega saat kulihat Nurul, Andra dan Melina baik-baik saja. Mereka tidak ada yang rewel ataupun mabuk kendaraan meski kami sekarang sedang menempuh perjalanan jauh.“Kenapa Rul?”“Apa kita udah sampai Ma?”Aku celingak-celinguk, berusaha melihat keadaan di luar dari dalam mobil. Tapi kanan kiri terlihat gelap. Kulihat ke arah depan, sepertinya mobil yang membawa kami memasuki halaman sebuah rumah. Tak bisa kupastikan keadaan rumahnya secara detail, karena hanya terlihat satu lampu penerangan di bagian teras rumah itu.“Ini di mana Bang? Apa kita udah sampai?” tanyaku memberanikan diri pada sopir mobil travel yang membawa kami.Tidak ada jawaban. Lelaki itu terlihat sibuk memutar-mutar setir mobil, seperti memantapkan tempat parkirnya. Aku pikir ia tak mendengar.Mesin mobil dimatikan. Dan sopirnya turun, membuka pintu dari sebelah tempatku duduk.“Keluar!!”Aneh, kenapa nadanya kasar sekali? Berbeda saat tadi dia datang menjemput kami. Apa dia capek karena perjalanan jauh sehingga menjadi sensitif?Aku membangunkan Melina dan menggendongnya. Ia masih tertidur. Sementara Andra sudah dibangunkan Nurul dan mereka sudah keluar dari pintu sebelah.“Masuk!!”Lagi-lagi nada perintah yang kasar keluar dari mulutnya. Aku terlongong bengong. Rumah ini bukanlah tempat tujuanku. Bahkan aku sama sekali tak tahu ini ada di daerah mana.Lelaki itu berdecak kesal. Tanpa kuduga dia sudah meraih lengan Andra dan menariknya dengan kasar menuju depan rumah.Aku dan Nurul yang tadi tak sempat mengantisipasi gerakannya hanya bisa berteriak sambil mengejar mereka yang kini sudah masuk ke dalam rumah.Rumah ini cukup besar. Terlihat terbengkalai tapi sepertinya ada orang yang menempati. Bisa kulihat puntung rokok dan bungkusan snack yang berserakan di ruang tamu dan ruang tengah saat tadi kulewati.“Apa-apaan kamu? Kenapa memaksa kami untuk masuk ke rumah ini? Jangan sampai aku teriak ya!!” kataku dengan nada mengancam. Berharap dia melepaskan pegangannya dari tangan Andra. Anakku itu terlihat kesakitan.Tadi aku sempat meraih tangan kiri Andra. Tapi dia makin kuat mencengkeram dan membuat Andra menjerit kesakitan. Aku jadi tak tega dan memilih melepaskan tanganku.“Silakan teriak! Nggak akan ada yang bisa dengar teriakan kalian,” katanya tersenyum jahat. Sungguh terlihat sangat mengerikan.Ya Allah, aku jadi benar-benar menyesal karena telah kabur dari rumah malam ini. Kalau sampai terjadi apa-apa denganku dan anak-anakku, aku akan menyalahkan diriku seumur hidup.Ia kembali menyeret Andra. Tubuh kecil anak lelakiku yang baru berumur 8 tahun itu tak bisa menahan hentakan kasar tangan pria dewasa yang menariknya. Lelaki berambut agak panjang itu tak peduli meski aku dan Nurul sejak tadi memukulnya dengan pukulan tangan kosong. Entah tenaga kami sebagai perempuan yang lemah atau memang dia yang kuat. Sepertinya pukulan kami tak berarti apa-apa baginya.Dia membuka pintu kamar di bagian paling ujung rumah. Dengan kasar melepaskan tangan Andra dan mendorongnya sehingga anakku itu terjatuh dengan punggung menghantam dinding.Aku dan Nurul menjerit. Nurul membantu adiknya berdiri. Sementara aku hanya bisa melihat, karena sedang menggendong Melina yang kini sudah terbangun karena keributan tadi.Kami semua sudah berada dalam ruangan yang kosong melompong. Tidak ada apa pun di dalam sini. Tidak ada tempat tidur ataupun lemari.Ia menutup pintu dan memandang kami dengan tatapan menakutkan.“Apa mau kamu? Tolong lepaskan kami!” pintaku memohon.“Aku cuma mau menyelesaikan pekerjaanku. Jangan terlalu ribut. Tugasku untuk malam ini sudah selesai, jadi aku mau istirahat. Dan maaf, aku nggak bisa melepaskan kalian sebelum aku mendapatkan bayaran.” Katanya dengan seringai menakutkan.“Biarkan kami pergi! Aku akan membayarmu asal kau lepaskan kami,” pintaku.“Kau nggak akan bisa membayarku. Lebih baik sekarang kalian tidur.”“Bagaimana kami bisa tidur dalam keadaan seperti ini? Kami tak punya salah padamu. Tolong lepaskan kami!”“Nanti kulepaskan, kalau udah jadi mayat! Ha..ha..ha..”Aku semakin bertambah takut mendengar kalimatnya. Nurul dan Andra bahkan sudah menangis.Laki-laki itu berbalik hendak keluar. Cepat kuserahkan Melina pada Nurul. Kutarik bajunya dan berteriak pada Nurul,” Rul, cepat bawa adik-adikmu keluar dari sini!”Sekuat tenaga aku berusaha menahan tubuh sopir sewaan yang tak kukenal ini. Tapi tenaganya jelas jauh lebih kuat. Aku tak sanggup menahannya terlalu lama. Ia lepas dari cengkeraman tanganku.Belum sempat Nurul meraih gagang pintu, ia sudah lebih dulu menarik rambut Nurul. Nurul menjerit. Aku memukul kepalanya dengan tas selempang yang kubawa. Tapi lagi-lagi tak ada pengaruhnya sama sekali.PLAKK!!Sebuah tamparan keras mengenai pipi kiriku. Pedih dan panas sekali rasanya. Aku sampai jatuh terduduk saking kerasnya tamparan itu.“Mama!!!”Nurul mengejar memburuku. Tangisnya dan Andra semakin kuat. Kali ini Melina pun ikut menangis.“Jangan coba melawanku. Kalian nggak akan sanggup. Kalian bukan lawanku!”“Tolong lepaskan kami, aku akan memberikan uang yang aku punya asalkan kau biarkan kami pergi,” tangisku mengiba.Tapi lelaki itu seolah tak peduli dengan kami semua yang kini menangis. Dengan angkuhnya dia berjalan menuju pintu. Saat akan menutup pintu, tiba-tiba ia urung menutupnya. Ia kembali masuk ke kamar. Berjalan ke arah kami, dan dengan sedikit berjongkok ia mengambil HP milikku yang tadi terjatuh.Aku baru hendak berdiri merebutnya. Tapi dengan cepat tangan lelaki itu sudah mendorong tubuhku dengan kasar. Membuat aku kembali terjatuh.“Ini aku sita,” katanya, “ biar kalian betah lama-lama di sini,” lanjutnya dengan nada mengejek.Oh tidak!!! Bagaimana aku bisa mencari pertolongan kalau HP pun dia ambil?***“Maafkan Mama ya Nak...”Aku terisak. Benar-benar takut tidak bisa keluar dari sini. Kalau aku sendiri tidak apa. Tapi aku mengkhawatirkan anak-anakku. Terutama Melina. Dia masih terlalu kecil.“Udahlah Ma, jangan nangis lagi. Jangan sedih. Kami nggak nyalahin Mama. Bukan Mama yang jahat, tapi Om itu.” Nurul berusaha menghiburku.“Tapi Mama yang membuat ini semua terjadi. Mama yang mengajak kalian untuk lari dari rumah tanpa bertanya atau berpikir panjang. Mama yang salah, maafkan Mama.”Tangisku semakin menjadi. Aku menyesali keputusanku untuk kabur dari rumah. Semua ini karena pertengkaran antara aku dan suamiku, yang terjadi seminggu yang lalu. Mas Edar ketahuan selingkuh setelah seseorang tak dikenal mengirimkan foto mesra suamiku itu dengan wanita lain.Aku tak tahu siapa pengirimnya, yang jelas foto-foto itu sukses membuatku marah besar. Pertengkaran kami berakhir dengan Mas Edar yang pergi dari rumah selama beberapa hari. Aku yang tak bisa menguasai diri akhirnya memutuskan untuk kabur dari rumah dengan membawa ketiga anakku. Tujuanku adalah kota tempat di mana orang tuaku tinggal.Seorang teman membantuku untuk mencari mobil travel yang bisa mengantarkan aku pulang ke rumah orang tuaku. Perjalanan jauh yang memakan waktu hingga belasan jam membuat aku memutuskan untuk pergi di malam hari. Tujuanku agar sampai di sana saat hari sudah siang. Selain itu, berangkat di malam hari kulakukan untuk menghindari pertanyaan dari para tetangga. Aku tak mau ada siapa pun yang tahu aku lari dari rumah.Namun kini, aku dan anak-anakku disekap dan dikurung sejak semalam. Sopir yang membawa kami ternyata adalah orang yang punya niat jahat.Aku mengusap darah yang mulai mengering di ujung bibirku yang bengkak akibat penganiayaan yang hampir setiap hari kuterima.Sudah hampir 2 minggu kami terkurung di sini. Berbagai macam perlakuan kejam dan tak layak menderaku serta ketiga anakku. Kami hampir tak diberi makan sama sekali. Dalam waktu sekitar 2 minggu ini kami hanya mendapatkan dua bungkus biskuit dan dua liter air mineral. Tak ada makanan berat, kecuali nasi yang kadang sudah agak basi. Kami menderita kelaparan yang hebat. Dan kedua anakku yang paling kecil jadi sering rewel karena lapar. “Mama sakit?” tanya Andra saat melihatku meringis menahan sakit di area intimku akibat pelecehan brutal yang dilakukan penjahat itu. Sudah empat kali ia menggauliku dengan kasar dan menyakitkan. Badanku terasa remuk karena setiap kali ia melampiaskan nafsunya, selalu menghajarku hingga babak belur.“Mama nggak apa. Andra lapar? Mau biskuit?” tanyaku, agar ia tak terlalu khawatir.Andra seperti ragu menjawab. “Nanti aja sama-sama
Aku termenung memeluk lutut. Pikiranku terasa kosong. Yang kuingat hanya Andra. Beberapa kali Nurul dan Melina datang mendekatiku, tapi kuacuhkan. “Ma, sadar Ma. Mama belum ada makan. Kami takut kalau Mama seperti ini terus. Kasihan Melina Ma,” tangis Nurul. Tapi aku tetap diam seribu bahasa. Aku selalu saja mengulang memori dari sejak kami kabur dari rumah, hingga saat Andra meninggal. Kalau sudah begitu, akan selalu berakhir dengan jeritan frustasiku.“Ma, Melina demam Ma. Biskuitnya udah nggak ada lagi. Ma, kami harus gimana?” Diam. Hanya itu yang kulakukan. Aku tak akan makan, tak akan melakukan apa-apa sampai aku mati menyusul Andra.“Ma, Nurul capek. Melina nangis terus, dia rewel. Nurul harus gimana Ma? Tolong Ma, sadarlah. Nurul perlu Mama di samping kami.” Nurul menangis sambil menggoyang tanganku, tapi aku diam saja.Kubiarkan ia terus menangis. Aku tak ingin hal lain, kecuali cepat bertemu dengan Andra. ***“Ma, bangun. Sekarang Mama pulang ya.”Aku menggeleng. “
“Mmm... Aku mendengarnya dari perempuan yang pernah datang ke sini,” kataku ragu.Redy diam. Sepertinya ia tak suka kalau aku mengetahui identitasnya. “Dan apa kau tahu siapa perempuan itu?” tanyanya penuh selidik.Aku menggeleng. “Aku nggak lihat orangnya, cuma dengar suara aja,” kataku.Redy terlihat manggut-manggut.“Makasih sekali lagi ya Bang.” Kataku lagi.“Iya. Jaga benar-benar kesehatannya, jangan sampai sakit lagi. Aku nggak mau keluar uang terus.”“Iya Bang,” kataku pendek dengan senyum mengembang. Aku kembali memeluk Melina. Tak henti kuucapkan syukur karena kali ini aku bisa menyelamatkan anakku. “Oh iya, dia belum terlalu sembuh. Masih dalam masa pemulihan. Ini obatnya, jangan lupa diminumkan.” Redy memberiku sebuah kantong plastik. Dia bilang isinya adalah obat Melina, tapi kenapa seperti agak besar dan berat? Setelah kubuka, ternyata ada dua pak roti isi. Aku langsung memandang heran padanya. “Itu aku belikan buat dia makan, biar bisa minum obat.”“Makasih
“Tunggu Mama di sini ya. Mama nggak lama kok,” kataku pada Nurul dan Melina. “Jaga adikmu ya Rul. Mama keluar sebentar.” Nurul menahan tanganku. Ada kecemasan yang terlihat di wajahnya. “Ma, jangan pergi dari sini tanpa kami ya,” katanya, membuatku hampir menitikkan air mata. Tak mungkin aku akan meninggalkan mereka. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Cepat!” kata Redy. Aku berdiri dan cepat melangkah mendekatinya. Jangan sampai karena gerakku yang lambat membuat Redy berubah pikiran dan tak jadi membiarkan aku memasak. Ini satu-satunya kesempatanku untuk keluar dari kamar ini, membaca keadaan sekitar sambil menyusun rencana untuk kabur dan membalas dendam. “Ingat ya, kalau ada yang datang ke rumah ini kau cepat-cepat masuk lagi ke kamar. Kalau nggak, anakmu kuhajar lagi,” ancamnya. “Iya Bang.” Kataku patuh. Redy membawaku ke dapur. Aku sempat terperangah melihat keadaan tempat memasak yang terlihat sangat kacau dan berantakan. “Ngapain bengong?! Nggak pernah lihat dapur bera
“Ma, kira-kira hari ini kita makan nasi lagi nggak ya?” tanya Nurul dengan nada penuh harap.“Semoga aja ya, Sayang,” jawabku. “Semoga aja nanti Mama disuruh masak lagi.”“Kok semalam Mama nggak disuruh masak ya? Emangnya Om itu nggak makan malam?” tanyanya penasaran. Kasihan anakku. Mungkin semalam ia berharap bisa makan dengan nasi lagi. Tapi setelah wanita misterius itu pergi, Redy belum ada datang ke kamar ini sampai sekarang. Jadi terpaksa kami makan malam dengan biskuit.“Mungkin dia beli makanan di luar, Rul. Lagi pula dia kayaknya belum sepenuhnya bisa percaya sama Mama untuk keluar dari kamar ini,” kataku.Nurul memonyongkan bibir. Aku tertawa kecil melihatnya. “Sabar ya Rul. Nanti juga lama-lama kita akan keluar dari sini,” hiburku.“Kapan Ma?”“Mama nggak tahu sayang, tapi Mama akan terus berusaha. Mama cuma minta, jangan terlalu sering ngomongin soal keluar dari sini ya. Biar ini jadi rahasia kita aja,” kataku. Aku takut Nurul keceplosan dan Redy tahu niatku yang hen
Hari mungkin sudah sangat malam. Namun aku tak tahu jam berapa ini. Aku sedang menggendong Melina yang terlihat sudah mulai mengantuk. Sementara Nurul sejak tadi sudah tidur sambil menahan lapar. Aku benar-benar menyesal karena tadi tak sempat mengambil makanan dari dapur.Keadaan rumah terasa sangat sepi. Redy belum pulang sejak tadi dua orang yang kutebak adalah temannya menjemput. Saat tadi siang ada yang datang ke sini, aku tak berani bersuara, apalagi berteriak. Awalnya ku pikir akan meminta pertolongan dengan membuat suara bising. Namun setelah menimbang lagi, hal itu sangat berisiko. Bagaimanapun, aku tak tahu siapa yang datang. Bisa saja mereka adalah komplotan Redy. Kalau aku berbuat macam-macam, aku takut nyawaku dan anak-anakku terancam.Aku akan berpikir sendiri bagaimana caranya agar bisa keluar dari masalah ini. Aku akan tetap pada rencana semula, yaitu mendekati Redy, mendapatkan kepercayaannya dan membalas dendam.“Ma, lapar. Nurul boleh makan biskuitnya sekeping
“Ella, apa maksud semua ini? Apa aku nggak salah lihat? Kau yang merencanakan ini? Kenapa?” tanyaku dengan terbata-bata. Aku sungguh tak menyangka, kalau Ella, wanita yang kuanggap teman, ternyata adalah orang yang menjadi dalang penyekapanku dan anak-anakku. Aku bahkan tak pernah terpikir kalau dia yang mengatur penculikan ini. Dialah yang kemarin mencarikan dan menawarkan mobil travel untuk membawaku pulang ke rumah orang tuaku. Kupikir dia tak ada hubungannya dengan semua ini. Namun ternyata perempuan yang membayar Redy adalah Ella.Ella bukanlah orang yang kukenal baik. Dia hanyalah pelanggan yang kadang datang berbelanja di minimarket yang setiap hari ku jaga. Dan beberapa waktu sebelum aku kabur dari rumah, aku sempat akrab dengannya karena dia sering menemaniku mengobrol di meja kasir. Aku juga sering curhat tentang masalah rumah tanggaku padanya. Jadi aku sekarang benar-benar sangat terkejut mengetahui kenyataan kalau ternyata dia adalah musuh dalam selimut.“Redy, bisa kau
“Hah....” Redy membuang napas. “Aku sebenarnya nggak mau terlibat terlalu dalam untuk urusan kalian berdua. Aku hanya mau bayaran. Hanya mau uang. Tapi karena aku udah bertindak sejauh ini, sepertinya aku mau tak mau harus menuruti kemauannya lagi.” “Maksud Abang?!” “Dia menyuruhku untuk melenyapkan kalian bertiga. Tepat setelah dia berhasil menikahi suamimu,” kata Redy, membuat darahku bergolak panas saat mendengarnya. Aku memang sudah mendengar tentang rencananya yang mau melenyapkanku dan ketiga anakku. Tapi tetap saja aku sakit hati saat mendengarnya secara langsung. “Dan Abang akan melaksanakan perintahnya? Menuruti kemauannya?” tanyaku. “Aku belum memutuskan. Tapi bisa jadi.” Aku menghela napas. Menyiapkan kalimat yang mungkin akan membuat dia marah. “Kalau Abang menuruti kemauannya, Abang adalah orang yang bodoh!” kataku dengan berani. “Hei, apa maksudmu?! Berani-beraninya kau mengataiku seperti itu? Kau mau kubunuh sekarang?!” ancamnya. Tapi aku tak takut. Aku justru sen