"Bu Aurel? Coba beritahu saya, apa yang anda ingat?" Dokter bertanya. Baru saja ia datang. Tak lama setelah aku pura-pura terbangun dokter pun tiba. Pasti Mas Andri tak sabar ingin mengetahui kondisiku sebenarnya.
Kulihat Maya masih mematung dengan wajah pucat. Tapi ia juga pasti percaya dengan sandiwaraku. Maka dari itu ia tak langsung pergi. Ia pasti sedang menyelidiki semua yang terjadi padaku.
"Seingat saya ...." Sengaja kupangkas kalimat. Sejenak kutatap Mas Andri, lalu kutatap Maya. Ketiga jari memegangi kening tanda aku masih merasa pusing. Saat kutatap Maya, wajahnya makin pucat saja. Mas Andri seperti menelan ludah melihatku yang tak henti menatap Maya. Namun tatapan ini bukan tatapan Amarah. Hanya tatapan menyelidik.
Lalu kutatap Mas Andri lagi. Kini butiran keringat kecil mulai muncul di keningnya. Nafasnya pula naik turun tertahan. Dia pasti takut aku akan tahu tentang perselingkuhannya sebelum ia dapatkan hartaku.
"Mas Andri, dia suamiku, Dok. Dan aku juga tak ingat siapa Mbok ini. Dan wanita di depan saya ini." Aku mengutarakan. Terhembuslah nafas Mas Andri dan Maya dengan lega. Namun tidak dengan Simbok. Ia malah panik dan seperti takut kalau aku kembali Amnesia.
"Anda yakin? Apa Anda ingat ayah dan ibu anda?" tanya dokter lagi. Segera kubanting pandangan ke arah pintu. Kusapu setiap sudut rumah. Bola mata ini dibuat bingung dan berkaca-kaca.
"Dokter, tolong. Kenapa ingatanku seperti ini? Aku hanya ingat namaku Aurel. Nama suamiku Mas Andri. Dan dia ada di hadapanku. Bahkan aku tak ingat ini di rumah siapa," rintihku. Bola mata ini menerawang setiap sudut rumah. Berharap ada sesuatu yang bisa kuingat. Ibaratnya.
Dokter memeriksa keadaanku.
"Dokter, ini bagaimana? Ada apa dengan istri saya?" tanya Mas Andri pada dokter. Kini ia memanggilku sebagai istrinya, bukan Inah lagi. Bahkan ia tidak panggil aku babunya. Kini Maya makin menjauh dari Mas Andri. Meskipun aku tak memperlihatkan memperhatikan Maya, tapi sedari tadi sudut mata terus saja fokus. Malah stereo kemana-mana.
"Coba Pak Andri. Bawakan sebuah benda, atau apa yang bisa membuat istri anda mengingat." Dokter meminta. Mas Andri panik. Tapi dia ingin pembuktian.
"Baik, Dok." Ia seperti berlari ke arah gudang. Pasti ia ingin ambil foto keluarga. Atau apa?
"Non, ini Simbok, Non ingat ora?" kata Simbok menyelidik ingatanku. Kuhela nafas. Berfikir. Menatap sejenak paras Simbok. Dan kugelengkan perlahan kepala ini. Tanpa memberi kode apapun padanya.
"Gusti Allah ...!" Simbok nampak menangis.
"Do-Dokter? Apa yang ...?" Suara Maya gemetar. Mencoba ikut campur. Namun belum juga ia berhasil bertanya pada dokter, Mas Andri datang. Ia nampak membawa sebuah bingkai foto.
"Permisi, Dokter." Mas Andri mendekat.
"Aurel, kamu ingat ini? Siapa saja mereka?" Mas Andri memperlihatkan sebuah foto yang terpampang berbingkai warna hitam pekat. Ada fotoku yang sedang didampingi oleh mama dan papa. Kuatatapi foto itu dengan tajam.
"I-ini? Dokter, ada apa dengan ingatan saya? Saya tak bisa ingat memori saya yang dulu. Tapi saya juga hanya mengingat suami saya. Dokter ini gimana?" Aku histeris. Kepala ini menggeleng tanpa henti diiringi riasan cairan bening yang menetes di pipi. Menangis. Dan makin histeris.
"Bu Aurel, tenang. Tenang ya, anda tenang." Seorang pria berusia sekitar empat puluh lima tahunan itu menenangkanku. Namun aku tak bisa tenang.
"Dokter? Apa istri saya tidak mengada-ada?" kata Mas Andri. Namun aku tak menggubrisnya. Dia pasti takut kalau aku hanya sandiwara.
"Tidak, Pak Andri. Memang kondisi ini seringkali terjadi. Karena ada berbagai jenis serangan amnesia yang salah satunya mengakibatkan pasien hanya mengingat memori masa lalunya saja, dan ada juga seperti Bu Aurel ini. Ia hanya akan mengingat orang-orang yang terakhir dekat dengannya. Atau di waktu sebelum ia mengalami kecelakaan." Dokter Paul terus menjelaskan. Sedang aku terus bertanya dengan histeris.
"Tolong bawa Bu Aurel masuk untuk istirahat. Saya akan buatkan resep untuk membantu memulihkan ingatan Bu Aurel." Dokter memberi lagi saran. Dan aku yang masih terus menatap bingung, tentunya tak larikan pandangan dari Maya, yang saat itu terlihat kesal dan kecewa.
"Mbok, bawa Aurel masuk," titah Mas Andri pada Simbok.
"Enggak, Mas, aku gak mau sama orang lain. Aku hanya kenal kamu. Dan wanita tua ini siapa? Asing sekali. Aku tak mau jalan bersamanya," ujarku tak mau pergi dengan Simbok. Maafkan aku, Mbok. Tapi kuubah sandiwara kita. Nanti aku akan bicarakan ini.
"Aurel, ini Mbok Mun. Dia yang selama ini bantu kita di rumah ini. Coba kamu ingat-ingat," pinta Mas Andri.
"Ya Gusti, Non." Simbok malah menangis. Pasti ia tak habis fikir kalau aku akan kembali melupakannya.
"Maaf, Pak Andri. Jangan coba paksakan pasien untuk mengingat. Lebih baik sekarang saya buat saja resepnya. Pak Andri langsung bawa Bu Aurel untuk istirahat." Dokter meminta dengan tenang. Terlihat ia meraih sebuah kertas dan menulis sesuatu. Lalu, ia berikan pada Mas Andri.
Namun.
"Em, Mas Andri, biar aku saja yang tebus obatnya. Kamu bawa saja istri kamu ke kamar. Kasihan. Aku turut prihatin, Mas," jelas Maya setelah merampas resep dari dokter. Licik sekali. Pasti ia akan tukar obatku supaya aku tak pulih.
"Dokter, tolong berikan saya resep obat yang terbaik. Saya tidak mau hilang ingatan seperti ini. Tolong, Dok," pintaku dengan lirih bercampur kekecewaan pada dokter. Haduh, akting ini sudah menguras air mataku lumayan banyak.
"Pasti, itu resep terbaik." Mendengar jawaban dokter terlihat wajah Maya menampakkan keceriaan. Mungkin karena ia berhasil menggenggam resep obat terbaik itu.
"Em, kira-kira, berapa lama kondisi ini terjadi, Dokter?" selidik Mas Andri. Seperti ingin mendengar jawaban kalau aku bisa jadi selamanya tak mengingat mereka.
"Kondisi ini tidak bisa diprediksi. Hanya, faktor lingkungan, dengan terus perlahan mengenalkan, insyallah ingatan Bu Aurel akan segera pulih. Namun ada pula kasus seperti ini terjadi beberapa tahun lamanya. Bahkan tak dapat pulih kembali. Karena kurang edukasi dari keluarga. Nah, saya harap, Pak Andri bisa perlahan memulihkan ingatan istri Anda." Dokter menjelaskan. Bagus, Dok. Memang ini yang ingin kudengar. Aku tahu, dokter akan bicara sesuai prediksi penglihatannya. Dan aku berhasil membuat dokter percaya.
"Baik, kalau begitu saya permisi." Dokter pamit.
"Baik, Dokter. Terima kasih." Mas Andri menjawab. Sedangkan aku masih dalam posisi serba bingung.
Beberapa detik kemudian.
"Em, kalau gitu, aku juga pamit ke apotek buat beli obat kamu ya, Aurel. Aku turut prihatin. Jadi kamu benar-benar tak ingat aku?" kata Maya dengan tatapan sendu. Namun wajah bingung ini masih nampak.
"Mas, bawa aku masuk. Kamar aku dimana? Aku ingin tidur. Siapa tahu ingatanku bisa pulih." Demikian kalimat yang kuutarakan dengan sendu. Aku tak menggubris kalimat yang keluar dari Maya. Hanya anggukkan pilu saja.
***
"Mas? Kok bisa aku hilang ingatan? Memang aku kecelakaan? Kenapa bisa?" tanyaku pada Mas Andri. Kini aku yang sedang terbaring di ranjang pun bangkit. Menyandar ke headboard sejenak menghelakan nafas. Wajah Mas Andri amat bingung. Harus ia jawab apa?
"Sayang, kamu kecelakaan pas pulang belanja. Aku saat itu lagi di kantor. Dan tiba-tiba aku dapat kabar kalau kamu kecelakaan. Dan sejak itu kamu koma. Kamu baru bisa pulang beberapa hari yang lalu, dan ingatan kamu masih baik. Tapi sekarang kenapa kamu bisa lupa?" jelasnya. Ia berbohong lagi.
"Aku kecelakaan tunggal, Mas? Dan kamu kerja di kantor?" ucapku bingung. Bola mata Mas Andri berbinar ria. Pasti ia sudah percaya dengan sandiwara baru ini.
"Iya. Kamu kecelakaan tunggal. Dan aku, memang aku punya perusahaan besar. Aku ini salah satu pemilik beberapa hotel mewah di negeri ini. Masak kamu tak ingat?" Mas Andri membanting stir. Ia bohong perihal dirinya sebagai pemilik perusahaan. Perusahaan itu milikku, Mas. Dan kamu hanyalah pria yang tak bisa apa-apa. Tukang selingkuh. Dan nyatanya kamu juga orang tak punya yang belagu. Awas kamu!
"Oh? Benarkah? Jadi kita punya hotel? Lalu, kenapa kamu dandani aku seperti tadi? Pakai pakaian sederhana. Dan kebanyakan dipakai oleh para asisten rumah tangga?" Aku kembali menanyakan hal yang sulit untuk ia jawab. Ia bingung.
"A-Aurel, kamu memang biasa pakai baju seperti itu. Kamu memang istri dari orang kaya. Tapi kamu sederhana. Dan kamu juga tak banyak menuntut. Kamu perempuan Shalehah." Ada saja alasannya.
"Emh, begitu ya, Mas." Jawabku sendu.
"Mas? Apa kita belum punya anak?" tanyaku lagi. Biarlah malam ini kuisi dengan pertanyaan yang aneh-aneh. Menjelang tidur. Biar Mas Andri tak ada waktu teleponan dengan si Maya.
"Belum. Kita belum punya anak."
"Lalu, Maya? Dan untuk apa ia ada di rumah kita?" Kini beralih tema. Aku mulai membahas Maya. Ingin tahu jawabannya apa. Alasannya, supaya Maya bisa tetap masuk ke rumah ini pastinya.
"Em, Maya, Maya itu temen kamu. Dia kerja di hotel. Atas rekomendasi kamu, kok. Coba kamu ingat-ingat," jelasnya berbohong. Bisa saja kamu, Mas.
"Mas, aku tak ingat. Lalu apa Maya teman yang baik?" selidikku dengan tatapan polos.
"Iya, Maya teman yang baik. Dia itu sangat menyayangi kamu. Kalian kemanapun berbarengan." Dia bohong lagi. Dan aku tahu, itu jawaban kamu, supaya Maya bisa leluasa masuk ke istanaku ini. Hemh.
"Yakin, Mas? Kok aku gak ingat sama sekali kalau Maya itu temanku." Aku memainkan bola mata. Menatap kesana kemari dengan bingung.
"Iya, Maya itu wanita baik-baik. Bahkan, dia juga acap kali menginap di rumah ini. Apalagi bila aku keluar kota," imbuhnya. Makin jijik saja mendengar cerita palsu dari pria yang tak berharga ini. Tapi mau sampai mana kamu, Mas. Aku jabanin. Kalau aku langsung tendang kamu, rasanya tak adil. Bisa saja kamu sudah ambil asetku diluar sana. Kamu belikan rumah atau apa untuk si Maya. Dan kalau ya, aku akan rebut itu kembali. Enak saja.
"Menginap? Sedekat itu ya, Mas?" tanyaku lagi. Wajah ini kupasang sepolos mungkin.
"Iya. Oh ya, minum dulu obatnya. Maya baik 'kan, dia yang tebus resep obat ini. Katanya supaya kamu sembuh." Mas Andri memberikanku satu buah tablet dan satu buah kapsul. Ia letakkan di telapak tangan ini. Namun aku tak bisa meminumnya. Aku yakin, ini hanyalah racun untuk memperburuk ingatanku. Biar aku cek besok kebenarannya.
Tapi aku harus pura-pura. "Makasih ya, Mas. Kamu suami yang saaangat baik. Aku gak nyangka bisa dapatkan laki-laki sehebat dan semapan kamu," pujiku tentangnya. Ia tersenyum.
"Ayok, minum obatnya." Pinta Mas Andri lagi. Mau gimana lagi. Terpaksa aku mengangguk dan pura-pura meminumnya.
"Iya, Mas."
"Oh ya, Mas. Bisa kamu ambilkan dulu minyak kayu putih? Aku kok agak pusing." Mas Andri menyanggupi. Begitu ia membalikan badan untuk mengambil minyak kayu putih, segera kedua pil tadi kusembunyikan di bawah ranjang. Pas dia kembali, aku pura-pura memasukkan obat itu ke mulut. Lalu segelas air yang sudah ada digenggaman, kuminum sampai habis.
Hah ...
"Ini kayu putihnya," ujarnya sambil menyerahkan. Aku mengangguk dan berterima kasih.
***
Bukan tak sakit harus bersandiwara seperti ini. Cintaku pada Mas Andri bukan sekedar cinta monyet kaum remaja. Tapi, cinta ini murni dari dalam hati dengan itikad menjalankan rumah tangga yang harmonis. Karena Allah.Dia yang sedari dulu kulabuhkan cinta, kini telah berkhianat. Amat sangat menusuk sanubari. Bukan sekedar mainan atau kebohongan belaka. Cinta suci ini telah ia nodai. Bahkan ingin ia nodai sampai ingin memusnahkan aku dari dunia ini. Setelah mendapatkan semua hartaku.Tidak.Kamu tak bisa lakukan itu, Mas. Kalian berdua amat menyakiti pikiran ini. Apalagi kudengar kalau aku akan segera kalian musnahkan. Pedih. Perih. Tubuh ini mengguncang hebat kala mendengar pembicaraan kejimu itu. Aku seperti benalu yang ingin kalian singkirkan sejak lama, mungkin. Tapi alasan harta dan tahta, itulah yang memperlambat laju kalian. Kalau itu cara kalian, aku juga puny
DisangkaMasih Hilang IngatanDeg!"Kemana dana ini di luncurkan? Hah?" Rudi kutatapi dengan nanar. Wajahnya amat pucat. Bahkan makin pucat."Em, a-anu, Bu, pak Andri. Pak Andri yang pakai uang itu. Saya tak tahu untuk apa. Yang pasti saya hanya di perintah saja," jawabnya gagap. Amat ketakutan.Aku geram. Geram sekali padanya. Pada Rudi dan juga pada Mas Andri."Kamu masih ingin bekerja?" tanyaku. Biar kuberi dia harapan."Mau, Bu, saya masih sangat mau bekerja disini. Tolong Ibu jangan pecat saya." Dia meringis. Bahkan memohon-mohon.Mulai kuatur nafas ini, meskipun sulit, tapi aku berusaha. Heurkh. "Oke, siapa yang barusan kamu telepon?" tanyaku.Dia diam. Perlahan dengan penuh tekanan mulai angkat bicara. "Ta-tadi, pak Andri, Bu," jawabnya ketakutan. Dasar tukang adu.
"Nah, Sayang, ini adalah hunian yang aku belikan buat kamu. Untuk istriku tercinta. Taraaa!" Mas Andri membawaku ke sebuah apartemen yang mewah dan megah. Dengan desain baru yang pengerjaannya baru selesai beberapa bulan yang lalu.Aku amat terkejut. Bukan karena bahagia, tapi karena dia akan berikan apartemen mewah ini tadinya untuk wanita yang kini ikut bersama kami. Jangan harap."Ya ampun, Mas. Ini bagus banget. Kamu memang pria yang paaaaling sempurna. Kamu mapan, kamu juga sayang istri." Aku memujinya habis-habisan di depan Maya pula. Karena Maya ikut. Mas Andri yang mengusulkan."Gimana? Kamu suka?" tanya Mas Andri sembari melayangkan kedua lengan tanda aku harus mengagumi pemberiannya.Maya seperti ikut bahagia. Tapi tetap saja, aku melihat tatapan kesal di netranya. Amat lekat. Dia sedang bersandiwara. Pastinya, karena Mas
___________"Jadi Ibu, Ibu mertua saya?" Mertuaku langsung kaget setengah mati kala kalimat itu muncul dari indra pengecap ini.Kulihat wajahnya syok tapi ada raut gembira. Pastinya, selama ini mereka hidup pas-pasan, sudah kuduga, ada niat menggelitik dibalik kedatangannya.Ia meraih kedua bahuku. "A-Aurel, ini Ibu. Bu Lasmi, Ibu mertua kamu. Kamu beneran gak inget? Ibu dapat kabar dari Andri, dan dia yang suruh Ibu buat datang kesini, dan juga suruh urus kamu," kata ibu mertuaku dengan kebahagaiaan histeris dibalik batinnya. Aku merasakan itu. Walaupun tatapanku polos, tapi ini adalah sebuah tatapan penyelidikan.Kening mengernyit dengan cepat."Aurel, kamu itu menantu Ibu. Kamu di persunting oleh anak Ibu yang tampan dan mapan. Kamu itu harus bangga." Seratus delapan puluh derajat ekspresi ibu mertua berubah. Raut bahagia mulai terpancar.
______"Ja-jadi? Mas Andri sendiri yang sabotase hotel?" Aku terkejut kala melihat semua bukti dan rekaman pembicaraan antara Irlan dengan pengunjung hotel. Mereka menjelaskan ciri-ciri beberapa pria yang sengaja membuat citra hotel menjadi buruk. Bahkan sampai sekarang pun keadaan itu belum pulih. Hotel masih tak seramai awal."Iya, Bu. Ada oknum lain yang sengaja perburuk citra hotel. Dan setelah di selidiki, ternyata pak Andri sendiri yang menyuruh oknum-oknum itu. Saya gak ngerti, Bu, kenapa pak Andri lakukan ini? Bukankah kemajuan hotel juga kemajuan baginya?" kata Irlan menjelaskan. Aku masih syok dan tak percaya, suamiku sendiri malah memperburuk citra perusahaanku sendiri. Padahal selama ini uang yang ia dapat dari hotel kami."Oh ya, Bu. Ini juga ada data hotel yang sepi namun kian mulai ramai. Dan sepertinya perhatian mereka di alihkan kesana. Seperti di sengaja." Irlan kembali memperlihat
"Kami tidak bohong, Bu. Pak Andri yang suruh kami sabotase hotel milik Ibu. Tolong lepaskan kami, Bu." Ringis salah seorang anak buah yang mengaku di suruh Mas Andri. Mereka bertiga. Dua orang dari mereka hanya diam sambil tertunduk."Kalian jawab jujur atau hari ini hari terakhir kalian bernafas. Saya juga sudah tahu keluarga kalian. Jadi sekarang kalian jujur." Mendengar gertakkanku ketiganya makin ketakutan."Sumpah, Bu, sumpah. Kami di suruh pak Andri. Dan, pak Andri sepertinya akan jual aset Ibu ke pemilik hotel dekat hotel Ibu itu."Teg! Jadi benar? Mas Andri yang lakukan itu?"Kalian jangan bohong. Mana mungkin suami saya ingin memperburuk citra hotel saya. Toh itu akan buat dia rugi 'kan?" Aku papas habis semua pertanyaan yang masih di rasa mengganjal. Dan Irlan pun hanya diam menyaksikan."Sumpah, Bu, sumpah. Pak Andri dapat bayaran besar dari pemilik hotel itu. Dan pak Andri juga
****Semalaman Mas Andri terlihat sekali wajahnya kusut. Tak kuberi ia kesempatan untuk kelur rumah bahkan untuk sekedar chatingan bersama si Maya. Pas aku tanya tentang si Maya, dia mengelak kalau Maya bukanlah siapa-siapa. Oke, kuanggukkan saja kepala ini tanda percaya padanya. Tapi kalaupun dia bercakap-cakap dengan Maya, aku sudah pasang alat penyadap suara di setiap sudut."Mas? Mana perhiasan yang kamu pinjamkan ke ibu?" tanyaku segera di pagi-pagi buta setelah aku beres bersolek."Iya, aku ambil dulu." Dia dengan wajah lesu mulai menginjakkan kaki menuju ke arah kamar ibu."Maaf ya, Mas, tapi itu semua perhiasan peninggalan almarhumah mama. Nanti ibu kamu aku beliin lagi yang baru." Aku beri Mas Andri harapan, supaya ia juga bilang pada ibu.Di kamar aku masih melamun menghadap ke depan cermin. Rumah tangga yang selama ini kudo'akan baik-baik
Beberapa ratus meter lagi kami sampai di kantor. Disana aku sudah siapkan semua kejutan untuk Mas Andri dan ibu. Aku harap mereka bahagia. Atau sebaliknya?"Aurel, kamu memang menantu Ibu yang saaaangat baik. Kamu wanita hebat. Dan Ibu bangga atas keputusan kamu ini?" Ibu sedari tadi di jalan tak henti memujiku. Aku tahu bagaimana kegiranganmu, Bu, kala ibu akan dapatkan semua yang kumiliki tanpa susah payah."Iya, Bu. Keputusan Aurel ini sudah bulat. Semua ini demi kebaikan hidup Aurel, Bu. Ibu setuju, kan?""Uh, setuju sekali, Rel. Ibu saaaangat dukung keputusan kamu ini. Ibu akan sangat bangga." Ibu tak henti bersemangat. Bola matanya lagi ibarat menyemburkan lembaran-lembaran uang dolar. Sumringah sekali."Sayang, makasih, kamu memang istri yang terbaik," puji Mas Andri sambil mengelus punggung tanganku dengan lembut. Ia pancarkan pula tatapan kebahagaiaan juga tatapan kemenanga