"Kami tidak bohong, Bu. Pak Andri yang suruh kami sabotase hotel milik Ibu. Tolong lepaskan kami, Bu." Ringis salah seorang anak buah yang mengaku di suruh Mas Andri. Mereka bertiga. Dua orang dari mereka hanya diam sambil tertunduk.
"Kalian jawab jujur atau hari ini hari terakhir kalian bernafas. Saya juga sudah tahu keluarga kalian. Jadi sekarang kalian jujur." Mendengar gertakkanku ketiganya makin ketakutan.
"Sumpah, Bu, sumpah. Kami di suruh pak Andri. Dan, pak Andri sepertinya akan jual aset Ibu ke pemilik hotel dekat hotel Ibu itu."
Teg! Jadi benar? Mas Andri yang lakukan itu?
"Kalian jangan bohong. Mana mungkin suami saya ingin memperburuk citra hotel saya. Toh itu akan buat dia rugi 'kan?" Aku papas habis semua pertanyaan yang masih di rasa mengganjal. Dan Irlan pun hanya diam menyaksikan.
"Sumpah, Bu, sumpah. Pak Andri dapat bayaran besar dari pemilik hotel itu. Dan pak Andri juga
****Semalaman Mas Andri terlihat sekali wajahnya kusut. Tak kuberi ia kesempatan untuk kelur rumah bahkan untuk sekedar chatingan bersama si Maya. Pas aku tanya tentang si Maya, dia mengelak kalau Maya bukanlah siapa-siapa. Oke, kuanggukkan saja kepala ini tanda percaya padanya. Tapi kalaupun dia bercakap-cakap dengan Maya, aku sudah pasang alat penyadap suara di setiap sudut."Mas? Mana perhiasan yang kamu pinjamkan ke ibu?" tanyaku segera di pagi-pagi buta setelah aku beres bersolek."Iya, aku ambil dulu." Dia dengan wajah lesu mulai menginjakkan kaki menuju ke arah kamar ibu."Maaf ya, Mas, tapi itu semua perhiasan peninggalan almarhumah mama. Nanti ibu kamu aku beliin lagi yang baru." Aku beri Mas Andri harapan, supaya ia juga bilang pada ibu.Di kamar aku masih melamun menghadap ke depan cermin. Rumah tangga yang selama ini kudo'akan baik-baik
Beberapa ratus meter lagi kami sampai di kantor. Disana aku sudah siapkan semua kejutan untuk Mas Andri dan ibu. Aku harap mereka bahagia. Atau sebaliknya?"Aurel, kamu memang menantu Ibu yang saaaangat baik. Kamu wanita hebat. Dan Ibu bangga atas keputusan kamu ini?" Ibu sedari tadi di jalan tak henti memujiku. Aku tahu bagaimana kegiranganmu, Bu, kala ibu akan dapatkan semua yang kumiliki tanpa susah payah."Iya, Bu. Keputusan Aurel ini sudah bulat. Semua ini demi kebaikan hidup Aurel, Bu. Ibu setuju, kan?""Uh, setuju sekali, Rel. Ibu saaaangat dukung keputusan kamu ini. Ibu akan sangat bangga." Ibu tak henti bersemangat. Bola matanya lagi ibarat menyemburkan lembaran-lembaran uang dolar. Sumringah sekali."Sayang, makasih, kamu memang istri yang terbaik," puji Mas Andri sambil mengelus punggung tanganku dengan lembut. Ia pancarkan pula tatapan kebahagaiaan juga tatapan kemenanga
Hallo, Kakak dari Sabang sampai Merauke. Semoga kalian sehat selalu dan di lancarkan rezekinya selalu. ***"Pak Yudi?" Pengacaraku datang, dan itu sekejap menghilangkan rasa curiga Mas Andri. Karena ia pikir, aku memang akan limpahkan semua kekuasaanku. Dan itu memang lewat Om Yudi."Masuk, Om," ujarku langsung mempersilahkan Om Yudi untuk masuk ke lingkup kami. Ibu dan Mas Andri mulai tenang kembali. Namun pastinya mereka belum mengerti kenapa ada Irlan.Tiba-tiba, setelah Om Yudi, beberapa orang masuk membawa dan menyiapkan peralatan sesuai yang kuminta."Sayang? Ada proyektor segala. Ini, ini kok kayak ada tontonan?" Mas Andri mulai heran kala bagian peralatan mulai bekerja.Kuraba lengan suamiku. "Mas, ini sebuah kejutan dari aku. Sebelum aku umumkan tentang jabatan kamu yang baru, kita semua tonton ini dulu. Em, semacam, e ... du ...
***Alhamdulillah, sekarang citra hotelku sudah kembali membaik. Pengungkapan mereka di media cukup menarik para customer hotel kembali.Lalu, bagaimana nasib Mas Andri, ibu dan Maya?"Aurel, jangan usir kami. Kami sudah tak punya lagi tempat tinggal." Itulah kata-kata terakhir dari ibu mertua. Sambil menangis dan merintih dia terus meminta maaf dariku."Kamu akan terima akibatnya, Aurel!" Mas Andri tadi siang mengancam. Dan kini Maya juga Mas Andri sudah ada di kantor polisi, mereka masih di selidik mengenai obat yang mereka palsukan untukku. Ya, itu terutama. Juga tentang sabotase hotel yang tidak di akui secara keseluruhan oleh Mas Andri.Maaf kalau aku lakukan semua ini untuk kalian. Tapi ini semua tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit dan kekecewaan yang melanda batin ini. Sampai-sampai aku harus sampai menyaksikannya kalian akan berbuat tak senonoh di hadapanku. Sungguh k
***Hari ini seperti hampa. Setelah pemakaman jenazah Om Yudi, aku masih tak menyangka, perjumpaan kami di sore itu adalah perjumpaan kami yang terakhir.Langkah demi langkah terasa mengambang kala aku mulai meninggalkan area pemakaman. Selamat tinggal, Om. Semoga Om di tempatkan di sisi-Nya yang mulai. Ini seperti mimpi, Om akan secepat ini menyusul mama dan papa.Sampai di dekat mobil milik Om Yudi."Mas Juna, Tania, yang tabah, ya. Semoga almarhum di terima di sisi-Nya. Aku turut berduka. Dan maafkan bila selama ini aku merepotkan papa kalian terus." Isak tangisku kembali muncul kala bicara di hadapan kedua anak Om Yudi. Mereka berdua amat sangat kehilangan, pastinya, lebih dari perasaan yang aku rasakan."Iya. Makasih. Memang sekarang kita hanya harus tabah dan berdo'a." Jawaban Arjuna lumayan mengenakan hati. Aku takut kalau mereka berfikir Om
Aku dan Feri berkenalan di mobil sambil jalan. Meskipun ia sudah mengenalku, tapi aku masih belum mengenal dia.Feri orangnya santun dan santai, jadi aku tak canggung bicara dengannya, tidak kaku. Dan kini sampai lagi pembicaraan kami di inti."Jadi? Siapa yang sudah jamin mereka berdua?" tanyaku lagi.Feri mulai angkat bicara lagi. "Namanya Warisman. Dia pemilik hotel saingan kamu. Dan, dia yang sudah jamin mereka berdua. Untuk lebih jelasnya orangku masih menyelidiki kasus ini."Deg deg!Deg deg!"Om Warisman?" Aku kaget setengah mati. Bisa-bisanya Om Warisman bebaskan Maya dan Mas Andri dari perkara ini. Pantas saja. Tapi, kalau hanya Maya aku percaya, kalau dengan Mas Andri? Maya dan Mas Andri 'kan ada hubungan? Lalu, untuk apa Om Warisman bebaskan Mas Andri? Apa kepentingan bisnis? Ah tak mungkin."Aurel?" Feri mengejutkanku."Em. Iya
Semalaman aku tak bisa tidur karena masih berduka atas kepergian Om Yudi, apalagi aku juga masih kepikiran sikap Arjuna yang mungkin makin murka saja.Sungguh ini tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Mas Andri dan si Maya itu bisa di bebaskan dengan jaminan. Tahu seperti itu, aku ledakan saja meriam di kepala mereka. Aku di hukum? Oke, tapi aku akan puas, dan orang yang selalu melindungiku mungkin tak akan merenggut nyawa secepat ini.Astaghfirullah aladzim! Ini sudah takdir dari Tuhan, usia Om Yudi memang hanya sampai kemarin sore. Tapi, kalau saja dia tak terlibat dengan masalahku, mungkin nyawa Om Yudi tak akan lenyap dengan cara seperti itu.Selama ini aku tak pernah kenal dengan Arjuna, padahal Om Yudi adalah orang yang cukup dekat denganku. Kami tak pernah di perkenalkan. Tapi untuk apa juga? Memang kalau Almarhum Om Yudi punya dua anak, aku tahu, hanya tak pernah melihat wajah mereka. Sekalipun di medsos, karena
Jangan lupa, like + Komentar = next, ya🙏🙏👌💕💕 *** "Kalian jangan mengada-ada ya! Saya tahu siapa dan bagaimana suami saya. Maka dari itu saya kuasakan semuanya pada dia." Tante Yoesita tak terima dengan penjelasanku. Dan si Feri sejak tadi diam saja. Untuk apa dia ikut kalau hanya diam. Untung saja Tante Yoesita bicara masih dalam nada wajar. Bola matanya itu kalau mengamuk, pasti membuat bola mataku pergi tanpa pamit. Aku diam dan berfikir. "Kamu tidak ada bukti, kan?" Tante Yoesita menantang. Sialnya aku tak sempatkan bawa bukti gara-gara semalaman sibuk memikirkan Arjuna. Kutoleh Feri sambil meringis. Pria sok tampan dan sok angkuh itu hanya duduk terdiam mendengarkan. Lalu, dia ambil tas hitam miliknya. Seperti mengeluarkan sesuatu. Apa yang ingin dia lakukan? Ia pasang wajah super kalem. "Tante, Tante lihat ini. Saya tidak memaksa Tante perca
"Aurel? Feri?"Maya terkejut dengan kedatangan kami ke rutan bermaksud mengunjunginya. "Kalian jenguk aku lagi?" tanyanya. Kini Maya sudah duduk di kursi berhadapan dengan aku dan Feri. Wajahnya lumayan lusuh. Ya, namanya jiga di dalam sel tahanan. Tak seindah di rumah sendiri walaupun rumah itu amatlah kecil dan sederhana."Iya. Apa kabar kamu, May?" tanyaku sambil getar-getar kaki di bawah meja. Sontak bola mata Maya gelagapan mendengar tanya kabar dariku. Padahal ini bukan kali pertama kami bertemu. Tapi, mungkin dia masih belum terbiasa saja bertemu denganku."Baik, Rel. Makasih kamu udah kali ke duanya mengunjungi aku ke sini." Kata-kata Maya mulai memperlihatkan kalau dia sudah berubah menjadi lebih baik. Syukurlah. Memang seperti apa yang pernah aku ceritakan. Sebelumnya pernah mengunjungi Maya."Rel? Perut kamu?" Maya terkejut dengan kondisi perut
PoV Aurel***"Sayang, hari ini aku kepengen makan ketoprak, tapi yang di ujung jalan sana itu loh!" Suamiku Feri merangkulku dari belakang. Saat ini aku sedang minum air mineral sambil berdiri. Hari ini dia dan aku libur ngantor karena hari Minggu. Seperti biasa ia simpan dagunya di bahuku. Dan itu membuatku geli. Momen manja-manja kami tak pernah henti."Ih, geli!""Gimana? Mau gak? Ayok dong!" Ia kekeh ingin ketoprak. Sejak aku hamil, sama sekali aku tak pernah ngidam apapun. Alhamdulillah mual pun hanya di awal-awal saja. Dan ngidam, full dia yang tangani. Kok bisa? Aku pun tak tahu. Tapi biarlah."Iya, sebentar." Aku kembali minum. Dia masih memelukku dari belakang sambil elus-elus perut."Kamu apaan sih? Nanti ada simbok atau bibi, malu," ucapku terkekeh geli. Kadanga Simbok dan Bibi suk
PoV Putri***Namaku Annata Putri Salsabila. Anak satu-satunya dari Papa dan Mamaku. Mereka sudah almarhum. Kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa mereka. Singkat sekali perjumpaan kami. Semoga kelak di surga aku dan mereka bisa kembali berkumpul.Aku tinggal bersama Tante Sandra, ia adalah Kakak dari almarhum Papa. Jadi, aku dan Mas Feri sepupuan. Ah, tak kusangka, ia kini sudah menikah dan akan segera mempunyai momongan dari wanita yang di cintainya, Mbak Aurel.Aku mengambil sekolah menengah atas jurusan keperawatan, hingga aku kuliah dan lulus menjadi seorang perawat. Aku lebih memilih menjadi perawat para korban bencana. Termasuk korban kecelakaan pesawat. Ah, itu semua aku lakukan karena kekecewaanku yang tak bisa merawat Papa dan Mama. Hingga aku bertekad ingin menjadi seorang perawat dan memb
PoV Aurel***Hari ini aku sangat bahagia. Tepat di hari ulang tahun pengacara keceku, yaitu suamiku sendiri, Feri, ternyata perutku sudah berisi janin yang kata dokter usianya baru enam minggu. Ah, aku bahagia sekali. Sejak dulu menikah dengan Mas Andri, aku menunda dulu soal momongan, tapi sekarang, setelah menikah dengan Feri, aku tak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Itu mauku, juga mau Feri. Kami sudah tak sabar ingin menjadi orang tua. Dan Alhamdulillah, akan segera kesampaian."Sayang? Malam ini kita diner, yuk!" pintanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Dia selalu bertingkah manja."Memang boleh keluar malam?" tanyaku."Boleh, asalkan udah shalat isya. Aku udah siapkan tempat yang spesial untuk kita." Dia bicara lalu mengecup pipiku."Ish! Curi-curi kecupan. Gimana kalau ada simbok?" Aku mencub
PoV Feri***Hari ini, setelah Aurel terbangun dari koma, akad nikah akan kami langsungkan saja. Aku tak mau menunggu lagi hari esok atau lusa. Aku tak mau sampai acara ini di tunda lagi.Hari ini dia sudah membuat jantungku terasa copot. Pas bangun dari koma, dia malah tidak mengenalku. Eh, ternyata dia hanya sandiwara. Dasar Aurel. Di suasana sedih pun dia masih bisa bercanda. Entah apa yang terjadi bila ya, dia hilang ingatan lagi. Ah, aku mungkin sudah tak bisa lagi bicara. Tadi saja, aku sudah merasa tak punya harapan apapun lagi. Dia benar-benar berhasil membuatku kaget setengah mati. Tak hanya aku, tapi semuanya. Bahkan Simbok sampai mau pingsan.Akad nikah akan segera berlangsung. Sebelum mengucap qobul, kutatap wajahnya dengan penuh cinta. Aurel cantik sekali. Benarkah hari ini kami akan menikah? Akad
PoV Feri***"Gimana kabar Aurel, Fer?" Arjuna bertanya mengenai kabar Aurel. Dia sudah makin membaik, kini untuk berjalan pun tidak memakai bantuan kruk."Masih sama." Kuhempas tubuh ini ke sofa. Lalu melonggarkan dasi dan simpan tas di atas meja. Arjuna ikut duduk. Putri datang membawakan kami minuman. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Selesai meeting tadi aku langsung pulang. Nanti akan ke rumah sakit lagi. Sekarang katanya ada Bi Atun di sana. Menunggu Aurel sebelum aku datang."Kasihan ya, Mbak Aurel, Mas. Aku masih gak ngerti kenapa ini harus terjadi. Apalagi ... pernikahan kalian 'kan tinggal beberapa hari lagi." Putri berkomentar dengan lesu."Iya." Aku mendenguskan nafas kembali dorong punggung ke sofa. Netra ini hanya menatap langit-langit rumah yang terasa suram."Sabar, Fer, gue yakin Aurel akan s
Disangka Masih Hilang IngatanPart 91❤️❤️❤️PoV 3***Jadi sebenarnya siapa yang tertembak di keributan halaman hotel?Sebelumnya flashback dulu. Maya adalah anak dari Pak Nadimin dan Bu Samsiah. Ia pergi meninggalkan orang tuanya bermaksud mengadu nasib. Maya tak bicara pada orang tuanya perihal dirinya yang ternyata berangkat keluar negeri sepuluh tahun yang lalu.Maya lewat penyalur tenaga kerja Indonesia sepuluh tahun yang lalu telah di berangkatkan ke negeri gajah putih atau itu adalah sebutan untuk negara Thailand. Ia bekerja hingga akhirn
Siang ini aku dan Feri memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Ingin temui wanita yang bernama Maya itu, takutnya ia masih istirahat. Jadi setelah makan siang aku putuskan untuk menemuinya."Sayang, besok kita fitting baju pengantin. Besok aku jemput kamu, ya? Hari ini, em maksudnya siang ini aku ada meeting. Tapi nanti jam satu. Setelah zuhur," kata kekasihku Feri. Ah, ini masih seperti mimpi."Oke. Em, Fer, kamu jangan panggil aku sayang dong. Agak gimana gitu! Aurel aja ya?" Aku masih malu-malu."Loh? Kenapa? Ya sudah, aku panggil kamu Aurel. Aurel Sayang." Dia malah tersenyum.Aku merasa malu. "Ah, terserah lah. Asal sayangnya jangan cuma di bibir," ucapku."Lalu harus dimana lagi?" tanyanya."Ya ... hati sama ucapan kamu harus selaras. Jangan bohong.""Lalu, bagaimana ka
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.