___________
"Jadi Ibu, Ibu mertua saya?" Mertuaku langsung kaget setengah mati kala kalimat itu muncul dari indra pengecap ini.
Kulihat wajahnya syok tapi ada raut gembira. Pastinya, selama ini mereka hidup pas-pasan, sudah kuduga, ada niat menggelitik dibalik kedatangannya.
Ia meraih kedua bahuku. "A-Aurel, ini Ibu. Bu Lasmi, Ibu mertua kamu. Kamu beneran gak inget? Ibu dapat kabar dari Andri, dan dia yang suruh Ibu buat datang kesini, dan juga suruh urus kamu," kata ibu mertuaku dengan kebahagaiaan histeris dibalik batinnya. Aku merasakan itu. Walaupun tatapanku polos, tapi ini adalah sebuah tatapan penyelidikan.
Kening mengernyit dengan cepat.
"Aurel, kamu itu menantu Ibu. Kamu di persunting oleh anak Ibu yang tampan dan mapan. Kamu itu harus bangga." Seratus delapan puluh derajat ekspresi ibu mertua berubah. Raut bahagia mulai terpancar.
Aku tersenyum pelan. "Hem, jadi benar Ibu, Ibunya suamiku?" Aku kembali memastikan. Supaya dia lebih yakin kalau aku masih amnesia.
Dengan cepat ibu meraih tas dan mengeluarkan sesuatu. Seperti sebuah lembar kertas. Dan ya, tepatnya selembar kertas foto. Lalu ibu memapahku untuk duduk.
"Ini, ini kamu lihat. Ini foto pernikahan kamu sama anak Ibu. Ini Ibu. Ibu ini kan sudah menjanda, jadi Ibu hanya hidup sendiri," jelasnya sambil memperlihatkan foto wedding kami. Disana memang ada aku, Mas Andri dan ibu. Aku memang masih ingat.
"Bu? Ini foto pernikahan? Sepertinya mewah sekali ya, Bu?" ungkapku basa-basi.
"Iya, Andri itu memang loyal sama kamu. Dia sayang sekali sama kamu. Sampai-sampai pesta pernikahan ini Andri siapkan dengan matang. Kamu tahu gak? Uang yang dihabisakan untuk pesta kalian. Lebih dari satu milyar, lho! Kamu harus bangga." Bu Lasmi lebih pintar mencari pujian. Dan begitu saja. Tanpa ada rasa curiga pada ingatanku yang sudah kembali. Dia fikir aku masih tetapi amnesia.
Aku belum tahu perihal sepengetahuan ibu tentang Maya. Apa mereka sudah kongkalikong dan satu kubu? Atau ibu tidak tahu soal Maya? Ah pas waktu yang tepat aku akan bertanya. Karena kalau aku bertanya tiba-tiba, bisa-bisa ia curiga.
"Lalu kenapa Ibu tak tinggal bersama kami? Bukannya Ibu sudah menjanda?" tanyaku lagi.
"Iya, Ibu kan tidak sendirian. Ada asisten rumah tangga banyak di rumah. Nah sekarang, Ibu kesini di suruh Andri, supaya Ibu bisa rawat kamu," jelas ibu lagi. Bu, aku tahu, ibu tak tinggal bersamaku karena memang ibu sudah dibelikan rumah olehku. Dan bukan anak ibu yang keluarkan uang untuk pesta pernikahan kami, tapi aku.
"Hem, gitu ya, Bu. Kalau begitu, terima kasih ya, Bu. Sejak kecelakaan aku hanya ingat suamiku saja, Bu, maaf ya Bu kalau Aurel sempat tidak mengenal Ibu." Kupasang raut wajah pilu supaya ibu makin percaya.
"Iya, tidak apa-apa. Ibu ngerti, kok. Andri sudah jelaskan semuanya sama Ibu. Kamu akan Ibu rawat dengan baik. Dan Ibu akan selalu pastikan kamu minum obat dengan teratur dan tepat waktu." Aku mengangguk mendengar celotehannya. Ibu ternyata sama saja. Dia mendukung anaknya untuk berbuat hal yang tidak baik. Padahal dulu ibu selalu menampakkan sisi baiknya. Walaupun selalu berkomentar.
***
Malam harinya.
"Bu, ini. Ini perhiasan milik Aurel. Dia tidak tahu punya perhiasan sebanyak ini. Dan ini harus Ibu simpan." Terdengar percakapan jahil di telinga ini. Niatku akan ke dapur, eh aku melihat Mas Andri masuk ke kamar ibu mengendap-endap. Kuselidikilah mereka.
"Waaww, ini semuanya bagus-bagus banget. Pasti harganya mahal. Ini buat Ibu?" Terdengar ibu bahagia dan histeris melihat semua perhiasanku sudah ada di tangannya.
Aku memang punya banyak perhisan, dan kusimpan di laci lemari. Memang selama ini aku tak pernah bahas pada Mas Andri, dan aku fikir, Mas Andri tak akan lakukan ini.
"Ini bukan malah lagi. Tapi ini milyaran, Bu," jawab Mas Andri sembari memperlihatkan satu persatu perhiasanku yang kudapat dari almarhumah mama. Untung saja pintunya sedikit membuka, jadi aku bisa dengar. Tak lupa kurekam pula pembicaraan dan gerak-gerik mereka sedikit.
"Ini kamu belikan buat si Aurel dulu?" Ibu menanyakan perihal kepemilikan perhiasan itu. Sepertinya ia fikir kalau Mas Andri yang belikan dari hasilnya ia mengurus kantorku.
"Bukan, ini sudah ada sejak dulu. Ini pasti perhiasan warisan, Bu. Andri kan selama ini juga gak menjabat direktur di kantor. Tetap Aurel, mana aku punya uang." Mas Andri jujur perihal jati dirinya. Dia memang tak bisa jalankan perusahaan. Paling dia bantu-bantu saja.
"Terus, gimana kalau si Aurel nanyain? Bisa-bisa kita di sangka maling," ujar ibu panik. Jari jemarinya masih usil memegangi perhiasanku.
"Aurel gak ingat, Bu. Pas dia hilang ingatan dan dia pulih lagi, aku langsung sembunyikan ini. Dan aku juga berikan beberapa pada Maya." Benar-benar keterlaluan. Aku harus rebut balik semuanya. Termasuk dari tangan si Maya. Pantas saja aku tak melihat dimana perhiasanku, dan belum ada waktu yang pas untuk menanyakan. Jadi Mas Andri yang sembunyikan? Dan ibu juga sudah tahu soal Maya? Dasar, satu keluarga tak ada bedanya.
"Waduh, jadi kita tajir mendadak dong. Oh ya, Ibu sudah jual rumah kita yang di kasih si Aurel waktu itu." Hah?
"Ibu jual rumah?" Mas Andri kaget. Sama sepertiku. Bisa-bisanya ibu menjual rumah tanpa sepengetahuan anaknya.
"Iya, kamu tinggal belikan saja rumah baru dan lebih mewah dari sebelumnya. Gampang 'kan? Dan Ibu akan pastikan, kamu dapatkan semua harta istri kamu itu. Termasuk rumah ini. Dia kan amnesia. Jadi gampang. Kamu pasti tahu caranya." Ibu kembali bermuslihat. Mereka berdua sama saja. Sebagai seorang ibu bukannya menyadarkan, malah mempropokasi.
"Ya sudah, Bu, aku ke kamar dulu. Takutnya Aurel curiga."
Aku langsung pelan-pelan pergi ke arah dapur. Dan nanti akan pura-pura membawakan Mas Andri minuman juga cemilan. Awas kamu, Mas!
***
Keesokan paginya setelah Mas Andri berangkat ke kantor. "Bu, ini ada uang untuk Ibu shopping. Aurel dapat ini dari mas Andri. Kalau Ibu mau, Ibu bisa shopping ke mall yang Ibu suka." Aku memberi celah supaya ibu pergi.
"Wah? Banyak banget, Rel?" Katanya orang kaya. Dikasih uang segitu saja pun histeris sekali. Bola matanya bulat-bulat kesana kemari.
"Em, eu, gak usah. Ibu juga punya, kok. Kamu simpen saja," jawab ibu. Apa dia baru ngeuh kalau ekspresi dirinya tak mencerminkan seorang ibu yang baik yang punya banyak uang?
"Padahal Aurel berikan ini sebagai rasa maaf Aurel karena kemarin Aurel mungkin sakiti hati Ibu dengan Aurel tak mengenali Ibu." Aku berkata dengan sendu. Bola mata ibu terus memperhatikan uang berwarna merah muda cap dua bapak-bapak tanpa henti. Pasti dia terbuai.
"Aurel," katanya.
"Bu, Aurel akan merasa sangat bersalah kalau Ibu tak terima ini. Ya Ibu boleh belanjanya kapan-kapan, kalau sekarang pun, nanti diantar sama sopir. Kalau Aurel jangan di bolehkan dulu pergi sama mas Andri. Kenapa ya, Bu?" Sengaja supaya ibu makin tidak curiga.
"Aduh, ya sudah. Ibu akan terima. Dan ya, kamu gak boleh kemana-mana dulu. Kamu kan harus segera pulihkan ingatan kamu. Dan kalau begitu, Ibu keluar dulu deh sama pak sopir. Ibu juga ada yang perlu di beli." Terpancing juga. Dasar mertua mata duitan.
"Ibu mau pergi sekarang?" Aku harus memastikan. Kutanya saja dengan tatapan heran supaya ia tak curiga.
"Iya, ya sudah. Makasih, ya. Dan kamu gak usah ngerasa gak enak. Ibu gak apa-apa, kok," jawabnya mulai ceria. Ibu, Ibu. Dia langsung bergegas pergi untuk siap-siap.
***
Ibu telah pergi.
"Ya, gimana?" Aku bicara dengan seseorang yang kutugaskan menyelidiki perihal obat yang diberikan oleh Maya. Katanya untuk kesembuhan ingatanku.
"Aurel, obat ini berfungsi untuk merusak syaraf-syaraf di bagian otak. Seseorang tak sampai minum obat ini 'kan?" Dikejauhan sana Heru menjawab dan panik dengan dugaannya. Ia sahabatku. Heru adalah seorang apoteker. Kemarin aku kirimkan obat itu padanya.
Dugaanku benar. Mas Andri dan Maya berniat ingin membunuhku pelan-pelan. Rasa hancur dan kecewa sudah lenyap, yang ada hanyalah kemarahan dan tak sabar ingin membuat hidup mereka kembali menderita.
"Aurel?"
Tiba-tiba suara Heru memecah lamuannku. "Em, a, iya. Jadi bener itu bukan obat untuk memulihkan seseorang yang terkena amnesia?" selidikku lagi. Netra ini masih menatap kosong ke arah dedaunan yang berjejer dan melambai-lambai di taman belakang.
"Iya, ini justru sebaliknya. Dengan meminum obat ini, syaraf-syaraf di otak perlahan tidak akan bekerja. Aku sudah siapkan semua laporan yang kamu minta. Nanti aku akan sampaikan langsung dokumen ini ke rumah kamu." Kembali Heru jelaskan.
"Iya, makasih ya, Ru. Maaf sudah merepotkan." Dan tak lama kami pun mengakhiri percakapan.
"Non, ada telepon dari mas Irlan. Katanya hubungi Non gak bisa, sibuk. Nih teleponnya, Non!" Simbok mengagetkan. Ia lalu memberikanku gagang telepon yang sudah terhubung dengan Irlan.
Segera kuraih dan mulai bicara. "Ya, Irlan?"
Irlan mulai bicara. "Bu, saya sudah selidiki semua data tamu. Dan saya juga sudah dapat alasan mengapa mereka tiba-tiba check out. Saya bisa dapat bukti ini dengan cepat karena mereka pun mengungkapkan tentang hotel Ibu. Saya sudah bawa semuanya. Dan saya juga sudah tahu siapa orang yang sabotase hotel Ibu." Irlan mengungkapkan dari kejauhan.
"Oke, kita bertemu di taman dekat rumah saya. Lima menit saya sampai."
"Baik, Bu."
***
______"Ja-jadi? Mas Andri sendiri yang sabotase hotel?" Aku terkejut kala melihat semua bukti dan rekaman pembicaraan antara Irlan dengan pengunjung hotel. Mereka menjelaskan ciri-ciri beberapa pria yang sengaja membuat citra hotel menjadi buruk. Bahkan sampai sekarang pun keadaan itu belum pulih. Hotel masih tak seramai awal."Iya, Bu. Ada oknum lain yang sengaja perburuk citra hotel. Dan setelah di selidiki, ternyata pak Andri sendiri yang menyuruh oknum-oknum itu. Saya gak ngerti, Bu, kenapa pak Andri lakukan ini? Bukankah kemajuan hotel juga kemajuan baginya?" kata Irlan menjelaskan. Aku masih syok dan tak percaya, suamiku sendiri malah memperburuk citra perusahaanku sendiri. Padahal selama ini uang yang ia dapat dari hotel kami."Oh ya, Bu. Ini juga ada data hotel yang sepi namun kian mulai ramai. Dan sepertinya perhatian mereka di alihkan kesana. Seperti di sengaja." Irlan kembali memperlihat
"Kami tidak bohong, Bu. Pak Andri yang suruh kami sabotase hotel milik Ibu. Tolong lepaskan kami, Bu." Ringis salah seorang anak buah yang mengaku di suruh Mas Andri. Mereka bertiga. Dua orang dari mereka hanya diam sambil tertunduk."Kalian jawab jujur atau hari ini hari terakhir kalian bernafas. Saya juga sudah tahu keluarga kalian. Jadi sekarang kalian jujur." Mendengar gertakkanku ketiganya makin ketakutan."Sumpah, Bu, sumpah. Kami di suruh pak Andri. Dan, pak Andri sepertinya akan jual aset Ibu ke pemilik hotel dekat hotel Ibu itu."Teg! Jadi benar? Mas Andri yang lakukan itu?"Kalian jangan bohong. Mana mungkin suami saya ingin memperburuk citra hotel saya. Toh itu akan buat dia rugi 'kan?" Aku papas habis semua pertanyaan yang masih di rasa mengganjal. Dan Irlan pun hanya diam menyaksikan."Sumpah, Bu, sumpah. Pak Andri dapat bayaran besar dari pemilik hotel itu. Dan pak Andri juga
****Semalaman Mas Andri terlihat sekali wajahnya kusut. Tak kuberi ia kesempatan untuk kelur rumah bahkan untuk sekedar chatingan bersama si Maya. Pas aku tanya tentang si Maya, dia mengelak kalau Maya bukanlah siapa-siapa. Oke, kuanggukkan saja kepala ini tanda percaya padanya. Tapi kalaupun dia bercakap-cakap dengan Maya, aku sudah pasang alat penyadap suara di setiap sudut."Mas? Mana perhiasan yang kamu pinjamkan ke ibu?" tanyaku segera di pagi-pagi buta setelah aku beres bersolek."Iya, aku ambil dulu." Dia dengan wajah lesu mulai menginjakkan kaki menuju ke arah kamar ibu."Maaf ya, Mas, tapi itu semua perhiasan peninggalan almarhumah mama. Nanti ibu kamu aku beliin lagi yang baru." Aku beri Mas Andri harapan, supaya ia juga bilang pada ibu.Di kamar aku masih melamun menghadap ke depan cermin. Rumah tangga yang selama ini kudo'akan baik-baik
Beberapa ratus meter lagi kami sampai di kantor. Disana aku sudah siapkan semua kejutan untuk Mas Andri dan ibu. Aku harap mereka bahagia. Atau sebaliknya?"Aurel, kamu memang menantu Ibu yang saaaangat baik. Kamu wanita hebat. Dan Ibu bangga atas keputusan kamu ini?" Ibu sedari tadi di jalan tak henti memujiku. Aku tahu bagaimana kegiranganmu, Bu, kala ibu akan dapatkan semua yang kumiliki tanpa susah payah."Iya, Bu. Keputusan Aurel ini sudah bulat. Semua ini demi kebaikan hidup Aurel, Bu. Ibu setuju, kan?""Uh, setuju sekali, Rel. Ibu saaaangat dukung keputusan kamu ini. Ibu akan sangat bangga." Ibu tak henti bersemangat. Bola matanya lagi ibarat menyemburkan lembaran-lembaran uang dolar. Sumringah sekali."Sayang, makasih, kamu memang istri yang terbaik," puji Mas Andri sambil mengelus punggung tanganku dengan lembut. Ia pancarkan pula tatapan kebahagaiaan juga tatapan kemenanga
Hallo, Kakak dari Sabang sampai Merauke. Semoga kalian sehat selalu dan di lancarkan rezekinya selalu. ***"Pak Yudi?" Pengacaraku datang, dan itu sekejap menghilangkan rasa curiga Mas Andri. Karena ia pikir, aku memang akan limpahkan semua kekuasaanku. Dan itu memang lewat Om Yudi."Masuk, Om," ujarku langsung mempersilahkan Om Yudi untuk masuk ke lingkup kami. Ibu dan Mas Andri mulai tenang kembali. Namun pastinya mereka belum mengerti kenapa ada Irlan.Tiba-tiba, setelah Om Yudi, beberapa orang masuk membawa dan menyiapkan peralatan sesuai yang kuminta."Sayang? Ada proyektor segala. Ini, ini kok kayak ada tontonan?" Mas Andri mulai heran kala bagian peralatan mulai bekerja.Kuraba lengan suamiku. "Mas, ini sebuah kejutan dari aku. Sebelum aku umumkan tentang jabatan kamu yang baru, kita semua tonton ini dulu. Em, semacam, e ... du ...
***Alhamdulillah, sekarang citra hotelku sudah kembali membaik. Pengungkapan mereka di media cukup menarik para customer hotel kembali.Lalu, bagaimana nasib Mas Andri, ibu dan Maya?"Aurel, jangan usir kami. Kami sudah tak punya lagi tempat tinggal." Itulah kata-kata terakhir dari ibu mertua. Sambil menangis dan merintih dia terus meminta maaf dariku."Kamu akan terima akibatnya, Aurel!" Mas Andri tadi siang mengancam. Dan kini Maya juga Mas Andri sudah ada di kantor polisi, mereka masih di selidik mengenai obat yang mereka palsukan untukku. Ya, itu terutama. Juga tentang sabotase hotel yang tidak di akui secara keseluruhan oleh Mas Andri.Maaf kalau aku lakukan semua ini untuk kalian. Tapi ini semua tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit dan kekecewaan yang melanda batin ini. Sampai-sampai aku harus sampai menyaksikannya kalian akan berbuat tak senonoh di hadapanku. Sungguh k
***Hari ini seperti hampa. Setelah pemakaman jenazah Om Yudi, aku masih tak menyangka, perjumpaan kami di sore itu adalah perjumpaan kami yang terakhir.Langkah demi langkah terasa mengambang kala aku mulai meninggalkan area pemakaman. Selamat tinggal, Om. Semoga Om di tempatkan di sisi-Nya yang mulai. Ini seperti mimpi, Om akan secepat ini menyusul mama dan papa.Sampai di dekat mobil milik Om Yudi."Mas Juna, Tania, yang tabah, ya. Semoga almarhum di terima di sisi-Nya. Aku turut berduka. Dan maafkan bila selama ini aku merepotkan papa kalian terus." Isak tangisku kembali muncul kala bicara di hadapan kedua anak Om Yudi. Mereka berdua amat sangat kehilangan, pastinya, lebih dari perasaan yang aku rasakan."Iya. Makasih. Memang sekarang kita hanya harus tabah dan berdo'a." Jawaban Arjuna lumayan mengenakan hati. Aku takut kalau mereka berfikir Om
Aku dan Feri berkenalan di mobil sambil jalan. Meskipun ia sudah mengenalku, tapi aku masih belum mengenal dia.Feri orangnya santun dan santai, jadi aku tak canggung bicara dengannya, tidak kaku. Dan kini sampai lagi pembicaraan kami di inti."Jadi? Siapa yang sudah jamin mereka berdua?" tanyaku lagi.Feri mulai angkat bicara lagi. "Namanya Warisman. Dia pemilik hotel saingan kamu. Dan, dia yang sudah jamin mereka berdua. Untuk lebih jelasnya orangku masih menyelidiki kasus ini."Deg deg!Deg deg!"Om Warisman?" Aku kaget setengah mati. Bisa-bisanya Om Warisman bebaskan Maya dan Mas Andri dari perkara ini. Pantas saja. Tapi, kalau hanya Maya aku percaya, kalau dengan Mas Andri? Maya dan Mas Andri 'kan ada hubungan? Lalu, untuk apa Om Warisman bebaskan Mas Andri? Apa kepentingan bisnis? Ah tak mungkin."Aurel?" Feri mengejutkanku."Em. Iya
"Aurel? Feri?"Maya terkejut dengan kedatangan kami ke rutan bermaksud mengunjunginya. "Kalian jenguk aku lagi?" tanyanya. Kini Maya sudah duduk di kursi berhadapan dengan aku dan Feri. Wajahnya lumayan lusuh. Ya, namanya jiga di dalam sel tahanan. Tak seindah di rumah sendiri walaupun rumah itu amatlah kecil dan sederhana."Iya. Apa kabar kamu, May?" tanyaku sambil getar-getar kaki di bawah meja. Sontak bola mata Maya gelagapan mendengar tanya kabar dariku. Padahal ini bukan kali pertama kami bertemu. Tapi, mungkin dia masih belum terbiasa saja bertemu denganku."Baik, Rel. Makasih kamu udah kali ke duanya mengunjungi aku ke sini." Kata-kata Maya mulai memperlihatkan kalau dia sudah berubah menjadi lebih baik. Syukurlah. Memang seperti apa yang pernah aku ceritakan. Sebelumnya pernah mengunjungi Maya."Rel? Perut kamu?" Maya terkejut dengan kondisi perut
PoV Aurel***"Sayang, hari ini aku kepengen makan ketoprak, tapi yang di ujung jalan sana itu loh!" Suamiku Feri merangkulku dari belakang. Saat ini aku sedang minum air mineral sambil berdiri. Hari ini dia dan aku libur ngantor karena hari Minggu. Seperti biasa ia simpan dagunya di bahuku. Dan itu membuatku geli. Momen manja-manja kami tak pernah henti."Ih, geli!""Gimana? Mau gak? Ayok dong!" Ia kekeh ingin ketoprak. Sejak aku hamil, sama sekali aku tak pernah ngidam apapun. Alhamdulillah mual pun hanya di awal-awal saja. Dan ngidam, full dia yang tangani. Kok bisa? Aku pun tak tahu. Tapi biarlah."Iya, sebentar." Aku kembali minum. Dia masih memelukku dari belakang sambil elus-elus perut."Kamu apaan sih? Nanti ada simbok atau bibi, malu," ucapku terkekeh geli. Kadanga Simbok dan Bibi suk
PoV Putri***Namaku Annata Putri Salsabila. Anak satu-satunya dari Papa dan Mamaku. Mereka sudah almarhum. Kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa mereka. Singkat sekali perjumpaan kami. Semoga kelak di surga aku dan mereka bisa kembali berkumpul.Aku tinggal bersama Tante Sandra, ia adalah Kakak dari almarhum Papa. Jadi, aku dan Mas Feri sepupuan. Ah, tak kusangka, ia kini sudah menikah dan akan segera mempunyai momongan dari wanita yang di cintainya, Mbak Aurel.Aku mengambil sekolah menengah atas jurusan keperawatan, hingga aku kuliah dan lulus menjadi seorang perawat. Aku lebih memilih menjadi perawat para korban bencana. Termasuk korban kecelakaan pesawat. Ah, itu semua aku lakukan karena kekecewaanku yang tak bisa merawat Papa dan Mama. Hingga aku bertekad ingin menjadi seorang perawat dan memb
PoV Aurel***Hari ini aku sangat bahagia. Tepat di hari ulang tahun pengacara keceku, yaitu suamiku sendiri, Feri, ternyata perutku sudah berisi janin yang kata dokter usianya baru enam minggu. Ah, aku bahagia sekali. Sejak dulu menikah dengan Mas Andri, aku menunda dulu soal momongan, tapi sekarang, setelah menikah dengan Feri, aku tak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Itu mauku, juga mau Feri. Kami sudah tak sabar ingin menjadi orang tua. Dan Alhamdulillah, akan segera kesampaian."Sayang? Malam ini kita diner, yuk!" pintanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Dia selalu bertingkah manja."Memang boleh keluar malam?" tanyaku."Boleh, asalkan udah shalat isya. Aku udah siapkan tempat yang spesial untuk kita." Dia bicara lalu mengecup pipiku."Ish! Curi-curi kecupan. Gimana kalau ada simbok?" Aku mencub
PoV Feri***Hari ini, setelah Aurel terbangun dari koma, akad nikah akan kami langsungkan saja. Aku tak mau menunggu lagi hari esok atau lusa. Aku tak mau sampai acara ini di tunda lagi.Hari ini dia sudah membuat jantungku terasa copot. Pas bangun dari koma, dia malah tidak mengenalku. Eh, ternyata dia hanya sandiwara. Dasar Aurel. Di suasana sedih pun dia masih bisa bercanda. Entah apa yang terjadi bila ya, dia hilang ingatan lagi. Ah, aku mungkin sudah tak bisa lagi bicara. Tadi saja, aku sudah merasa tak punya harapan apapun lagi. Dia benar-benar berhasil membuatku kaget setengah mati. Tak hanya aku, tapi semuanya. Bahkan Simbok sampai mau pingsan.Akad nikah akan segera berlangsung. Sebelum mengucap qobul, kutatap wajahnya dengan penuh cinta. Aurel cantik sekali. Benarkah hari ini kami akan menikah? Akad
PoV Feri***"Gimana kabar Aurel, Fer?" Arjuna bertanya mengenai kabar Aurel. Dia sudah makin membaik, kini untuk berjalan pun tidak memakai bantuan kruk."Masih sama." Kuhempas tubuh ini ke sofa. Lalu melonggarkan dasi dan simpan tas di atas meja. Arjuna ikut duduk. Putri datang membawakan kami minuman. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Selesai meeting tadi aku langsung pulang. Nanti akan ke rumah sakit lagi. Sekarang katanya ada Bi Atun di sana. Menunggu Aurel sebelum aku datang."Kasihan ya, Mbak Aurel, Mas. Aku masih gak ngerti kenapa ini harus terjadi. Apalagi ... pernikahan kalian 'kan tinggal beberapa hari lagi." Putri berkomentar dengan lesu."Iya." Aku mendenguskan nafas kembali dorong punggung ke sofa. Netra ini hanya menatap langit-langit rumah yang terasa suram."Sabar, Fer, gue yakin Aurel akan s
Disangka Masih Hilang IngatanPart 91❤️❤️❤️PoV 3***Jadi sebenarnya siapa yang tertembak di keributan halaman hotel?Sebelumnya flashback dulu. Maya adalah anak dari Pak Nadimin dan Bu Samsiah. Ia pergi meninggalkan orang tuanya bermaksud mengadu nasib. Maya tak bicara pada orang tuanya perihal dirinya yang ternyata berangkat keluar negeri sepuluh tahun yang lalu.Maya lewat penyalur tenaga kerja Indonesia sepuluh tahun yang lalu telah di berangkatkan ke negeri gajah putih atau itu adalah sebutan untuk negara Thailand. Ia bekerja hingga akhirn
Siang ini aku dan Feri memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Ingin temui wanita yang bernama Maya itu, takutnya ia masih istirahat. Jadi setelah makan siang aku putuskan untuk menemuinya."Sayang, besok kita fitting baju pengantin. Besok aku jemput kamu, ya? Hari ini, em maksudnya siang ini aku ada meeting. Tapi nanti jam satu. Setelah zuhur," kata kekasihku Feri. Ah, ini masih seperti mimpi."Oke. Em, Fer, kamu jangan panggil aku sayang dong. Agak gimana gitu! Aurel aja ya?" Aku masih malu-malu."Loh? Kenapa? Ya sudah, aku panggil kamu Aurel. Aurel Sayang." Dia malah tersenyum.Aku merasa malu. "Ah, terserah lah. Asal sayangnya jangan cuma di bibir," ucapku."Lalu harus dimana lagi?" tanyanya."Ya ... hati sama ucapan kamu harus selaras. Jangan bohong.""Lalu, bagaimana ka
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.