Barusan Mas Andri marah sekali saat pulang. Dia yang tak berhasil mendapatkan tanda tanganku untuk ia berikan pada pengacara keluarga, langsung membanting pintu dengan keras. Dia mungkin kecewa. Mas Andri, Mas Andri.
Segera aku berlari ke kamar yang selama ini kutempati. Sebuah kamar berukuran kecil. Petak dan tak ber-AC. Namun aku nikmati saja. Demi kelancaran sandiwara ini.
Langsung kudekatkan headset ke telinga. Dimana aku bisa mendengar percakapan Mas Andri atau apapun menggunakan benda yang sudah kubeli. Seperti seorang detektif saja.
"Bod*h! Si Aurel hilang ingatan. Mana mungkin ia ingat soal tanda tangannya? Dan aku? Aku sama sekali tak tahu tanda tangan dia seperti apa. Kalaupun ya aku bisa palsukan, namun tidak, pengacara bilang aku harus tetap bawa Aurel untuk mengalih namakan asetnya."
Jeda.
"Kita sudah terlanjur beritahu namanya Inah. Kamu 'sih! Bikin ide gak mikir panjang. Padahal, waktu itu kita tetap saja kasih tahu nama aslinya. Kedudukannya dia di rumah ini siapa. Dia juga gak akan semprot kamu. Kan dia hilang ingatan!"
Jeda lagi.
"Ya tapi jadinya begini. Aku harus datang bersama Aurel, baru pengacara akan kabulkan keinginan aku. Arkh! Andai saja si Aurel tetap tahu identitasnya, mungkin akan lebih baik. Tinggal kita kasih tahu, kalau semua aset perusahaan itu milikku. Kalau gini kan repot."
Suara hentakkan sesuatu mengarah ke meja kayu.
"Bod*h. Kalau kita bawa Aurel ke pengacara, mereka pasti ngobrol banyak. Pak Syamsul pasti akan tanda tanya. Kenapa Aurel bersikap dingin tak seperti biasa. Ah, ini jadi ruwet!"
"Video? Jadi maksud kamu aku bikin rekaman video untuk pengacara? Nanti kalau si Inah tanya, aku mau jawab apa? Buat kepentingan tik tok? Ah, cari ide lain, dong. Pengacara bilang akan mengabulkan permintaanku kalau ada tanda tangan Aurel juga Aurel sendiri yang harus datang."
Sampai sini aku amat terkekeh.
"Ya, aku bilang Aurel pergi keluar negeri."
"Ah pokoknya ini jadi ruwet. Dan yang aku fikirkan, lebih baik aku gunakan saja semua uang milik Aurel. Kita belikan apapun. Kita investasi dalam bentuk apapun."
"Ya sudah, aku mau mandi dulu. Pikirin caranya."
Aku kaget. Mendengar percakapan Mas Andri yang pastinya itu bersama si Maya selingkuhannya. Dia berniat merampok uangku untuk ia investasikan.
Awas kamu, Mas. Tak segampang itu.
Kutaruh kembali benda yang bisa memperdengarkan suara-suara di kamar yang ditempati Mas Andri. Nanti bisa kudengar lagi. Kan rekamannya bisa tersimpan. Terus merekam dan otomatis tersimpan.
Untungnya Mas Andri tak curiga ketika aku mengambil beberapa lembar uang untuk membeli alat ini. Dia bukan tipikal pria yang rapi. Dan pas kuambil uang, kamera CCTV dimatikan terlebih dahulu. Aku masih tahu caranya.
Aku tak menyangka kamu sejahat ini, Mas. Perawakanmu yang sepadan denganku, kulit sawo matang dan tak begitu tampan itu sudah menyemai keburukan sejak awal ada niat di hatimu untuk menikahiku.
Entah sejak kapan hubunganmu bersama wanita yang bernama Maya itu. Wanita berkulit kunyit bus*k. Bertubuh seksi dengan bobot yang agak lebih besar dariku. Namun t*t*knya 'lah yang membuat bobotnya kelihatan besar. Tak seimbang. Perawakanku memang lebih pendek darinya. Ya, kurang lebih berbeda sepuluh sentian. Tapi wajahnya hanya kinclong dengan make up. Tanpa make up parasnya mungkin nampak seperti hantu.
Seketika aku ingat tentang foto-foto yang disimpan Mbok Mun di gudang, aku segera bergegas untuk mengambil foto itu. Takutnya mereka cepat membakar karena tak ingin ketahuan olehku.
Namun, tiba-tiba, pas keluar, Mas Andri sudah berjalan ke arah kamarku. Entah ia mau ke dapur atau kemana. Aku segera masuk dan menyembunyikan benda penting tadi. Untung Mas Andri belum melihatku. Dan setelah kusimpan benda itu di sela-sela pakaian, aku langsung keluar. Niatku pura-pura berjalan tak melihatnya.
Beberapa detik kemudian.
Dukg!
Aku dan Mas Andri tabrakan. "Eh, maaf, Tuan. Saya buru-buru mau ke dapur." Aku mulai mencari alasan. "Inah, aku mau bicara sama kamu." Ia memintaku untuk bicara dengannya. Tatapannya bingung. Dan aku memasang tatapan polos.
"Ada apa Tuan?" tanyaku menyelidik. Namun Mas Andri seperti bingung akan bicara apa padaku. Ia hanya menggaruk kening dengan pikiran tak karuan. Aku bisa melihatnya. Mas Andri amat bingung.
"Tuan?" Aku memecah lamuannya.
"Eh, enggak. Enggak jadi. Aku mau ke kamar lagi. Kamu gak usah bahas." Mas Andri beralasan. Dia segera membalikan badan untuk menjauh. Aku tahu, Mas, kamu bingung. Kamu juga ingin merampas semua milikku tapi tak bisa.
Ting tong!
Ting tong!
Suara bel berbunyi. Ingin kubuka, namun Mas Andri lebih dulu berjalan ke arah pintu. Mungkin tamunya? Dan yang datang adalah Maya. Si Wanita itu lagi. Ya ampun. Dasar kurang kerjaan.
"Hallo, Mas?" Maya mengecup pipi Mas Andri. Astaghfirullah! Tahan! Aku bukan cemburu. Tapi kesal dengan kelakuan mereka.
"Inah? Ngapain?" Maya melihatku yang sedang memandangi mereka. Aku langsung tersenyum tanpa gugup. Sesantai mungkin.
"Enggak, Non. Barusan saya mau bukakan pintu, eh Non udah masuk. Non mau minum apa?" tanyaku. Dia kini dibawa duduk oleh Mas Andri.
"Gak usah! Aku kemarin sakit perut, Mas. Dan aku yakin, pasti Inah yang masukkan serbuk pencuci perut di minumanku kemarin. Kemarin kan aku habis minum jus jeruk buatan kamu?" Maya menuduh. Tatapan matanya melayang ke arahku. Mas Andri heran.
"Ya ampun, Non. Mana berani saya masukkan kayak gituan. Semasih disini, sampai pulang Non kan baik-baik saja. Saya tak mungkin berbuat jahat pada Non. Pasti Non habis makan yang pedas ya?" jelasku pelan. Tanpa raut gugup atau nada gagap.
"Alah, kamu sirik sama aku 'kan? Aku sebentar lagi jadi majikan kamu. Terus kamu iri sama aku," cungurnya mulai menggelitik telinga. Namun aku hanya diam.
"Non pasti sudah makan yang pedes ya?" tanyaku lagi pelan. Mas Andri melipat keningnya.
"Iya kali, Sayang. Kamu makan pedes? Gak mungkin Inah sirik sama kamu. Kan kemarin kamu ambil minuman milik aku. Jadi kalaupun Inah memang masukkan serbuk itu, buat aku dong. Dan buat apa? Sirik apa sama aku?" Mas Andri mulai paham.
"Mas, kok kamu jadi belain dia 'sih? Aku itu pacar kamu. Kita bentar lagi nikah. Kok kamu belain pembantu ini?" cerosos Maya lagi. Ia terlihat kesal pada Mas Andri yang seperti membelaku. Oh, oh, dia pasti cemburu. Jelas 'lah, wajahku ayu, kulitku putih dan merona. Perawakanku lumayan imut. Haha. Memuji.
"Bukan, bukan gitu. Aku bukan bela dia. Tapi pasti kamu habis makan pedes. Kamu kan suka pedes," kata Mas Andri. Kini tangannya mulai meraba-raba tangan Maya.
"Iya, sih. Aku habis makan pedes. Tapi gak pernah sampai kayak kemarin malam. Mual, sakit, pusing. Untung saja aku gak muntaber!" celetuk Maya lagi. Ia menjelaskan. Memang aku kasih dia serbuk pencuci perut yang akan bereaksi amat sangat bila ia memakan makanan pedas.
"Tuh, kan. Ya sudah, kita ke kamar. Aku mau tagih janji kamu," kata Mas Andri sambil mencolek hidung Maya yang tak semancung indra penciumanku.
"Em, ayok. Tapi kamu akan kasih apa yang aku mau kan?" Mereka bicara sambil melangkah pergi menaiki tangga. Tak hiraukan aku lagi. Dasar! Jangan-jangan mereka ingin berbuat mes*m di kamarku. Tidak, tidak boleh terjadi.
Benar saja mereka berdua makin mendekat ke arah kamar lantai atas. Disana kamar utama kami. Dan aku tak mau kamarku mereka pakai untuk berbuat hal yang menjijikan.
Setelah kedengarannya mereka masuk kamar, aku mengintip sedikit. Aku dengar Mas Andri sedang merayu-rayu si Maya. Kurang ajar!
Aku harus cari ide untuk menggagalkan niat mereka. Dengan segera berlari ke bawah menemui Simbok.
Mulai berteriak. "Mbok! Aku ke gudang dulu. Aku akan bawa sesuatu." Pasti teriakanku terdengar oleh mereka. Namun mereka belum ngeuh.
Aku membisikan sesuatu pada Simbok setelahnya. Supaya ia gagalkan rencana mereka yang akan berbuat m*sum itu.
Simbok segera berlari kelihatannya ke arah lantai atas. Aku sudah mendengar Simbok mengetuk pintu beberapa kali. Belum terbuka. Tak terbayang, mereka yang akan melucuti pakaian terhambat oleh gangguan Simbok.
Dor dor dor!
Simbok menggedor pintu. Pasti diiringi jeritan murka atas kelakuan mereka.Terdengar pintu membuka.
"Kenapa 'sih, Mbok?" Mas Andri kedengarannya bertanya dengan kesal pada Simbok. Pasti gara-gara niatnya gagal.
Aku segera berlari ke gudang dengan cepat. Kuambil sebuah foto dimana terdapat foto aku dan Mas Andri. Kupilih yang menggunakan pakaian biasa. Supaya ada alasan nantinya untuk dia mengelak. Kalau aku ambil foto yang memakai baju menikah, di pasti akan lebih bingung untuk cari alasan. Kalau-kalau dia beralasan. Akan kupikirkan rencana mendadak.
Aku pura-pura seakan syok dan pingsan setelah melihat foto itu. Kutindihkan sebuah kayu dimana mereka akan menyangka kalau aku pingsan karena tertindih kayu jatuh. Dibagian kepalaku pula.
Beberapa saat kemudian mereka datang. Pastinya Simbok, Maya dan Mas Andri.
"Hah? Mbok? Dia kenapa?" tanya Mas Andri panik. Aku masih pura-pura pingsan. Alhamdulillah, mereka tak jadi berbuat hal lakn*t di kamarku. Enak saja.
"Mas? Foto?" Terdengar Maya berbisik demikian. Pasti mereka ketakutan.
"Ayok, ambil foto itu." Mas Andri menyuruh Simbok mengambil foto kami. Dan disuruhnya Simbok untuk menyembunyikan lagi foto itu di tempat lain.
"Iya, Tuan. Tadi Simbok denger Inah mau ke gudang. Simbok baru ngeuh kalau di gudang ada foto-foto itu. Dan baru saja Simbok mau melarangnya, Inah sudah jatuh. Mungkin tertimpa kayu ini, Tuan." Simbok berusaha meyakinkan. Aku seperti diraih dan dipangku oleh Mas Andri. Kudengar Maya ketakutan. "Mas? Ini gimana? Dia pasti curiga soal foto itu?" Aku mendengarnya. Pintar juga aku pura-pura pingsan. Dan sebentar lagi aku akan segera menyudahi ini. Takutnya aku malah tertawa. Simbok nanti akan ulaskan minyak kayu putih untukku.
Aku dipangku dan diletakkan di sebuah kasur empuk. Dan ternyata sofa. Aku dibaringkan di atas sofa ruang tengah.
"Tuan, biar Simbok yang urus Inah. Tuan gak usah khawatir," kata Simbok. Ia mendekatkan minyak kayu putih ke hidungku.
"Enggak, Mbok. Pas bangun Inah pasti tanyakan tentang foto itu. Awas, Mbok. Jangan jelaskan apapun. Atau Mbok aku pecat!" Terdengar bisikan Mas Andri mengancam Simbok.
"Iyo, iyo, Tuan."
Aku terbangun setelah beberapa saat. Yang kulihat pertama adalah wajah Mas Andri dan Maya. Mereka seakan berharap kalau aku masih amnesia.
Pura-pura pening dan pusing. "Ini? Ini dimana?" tanyaku menyelidik. Simbok, Maya dan Mas Andri masih cemas.
"Mas Andri?"
Dan aku memanggil nama suamiku. Sontak, wajah Mas Andri dan Maya mulai memucat. Simbok pun belum kuberi tahu tentang sandiwara ini. Wajah Simbok bingung sekali.
"Hah?" Mas Andri super kaget.
"Mas? Aku kenapa?" Aku pura-pura sembuh dari amnesia. Namun ... haha.
Simbok kedip-kedipkan mata tanda tak mengerti denganku. Namun aku tak hiraukan dulu. Biar Simbok juga berfikir.
"Kamu siapa? Kamu juga?" Aku menanyakan siapa Simbok. Siapa Maya. Jelas semuanya kaget. Maya mulai berlindung dibalik tubuh Mas Andri. Dia mulai ketakutan. Bahkan sesekali ia palingan pandangan saat kutatap.
"Mas? Kok kamu diem? Lalu Kamu siapa?" Aku menanyakan perihal wanita paroh baya yang ada disampingku. Mbok Mun. Aku pura-pura tak mengetahuinya.
"Dan kamu siapa? Ngapain kalian disini? Ini rumahku 'kan?" Aku bangkit. Lalu menyelidik. Dan intinya aku akan buat kalau amnesiaku pulih. Namun aku hanya mengingat Mas Andri saja. Tak lebih. Hanya Mas Andri saja.
"Mas? Panggil dokter!" bisik Maya menyuruh Mas Andri memanggil dokter. Biarkan mereka memanggil ahlinya untuk cek kondisiku. Toh nanti juga dokter akan tahu sepengecekannya yang diutarakan olehku.
"Bajuku kok gini? Mas? Ini ada apa?" Aku pura-pura terkejut dengan pakaian yang aku kenakan. Sebuah pakaian sederhana pakai rok pula. Maya dan Simbok memasang wajah bingung. Malah wajah si Maya makin pucat.
"Kamu siapa?" tanyaku pada Simbok lagi. Mas Andri terdengar memanggil dokter. Ia menyuruh dokter untuk segera datang.
"Non? Non sudah pulih? Ini Simbok?" jelas Simbok dengan raut kaget. Malah kini bola matanya berkaca-kaca haru. Simbok akting pula?
"Simbok? Siapa?"
"Dan kamu siapa? Tunggu. Yang aku ingat hanya suamiku Mas Andri. Kenapa ini? Ada apa? Mas?" Aku pura-pura histeris. Biar Maya pikir aku tak mengingat kejadian mereka.
"A--Aurel? Ka-kamu?" Mas Andri mendekat. Langsung saja kupeluk suamiku dihadapan si Maya. Biar ia kebakaran jenggot. Karena aku tak mau mereka terus berz*na, aku jalankan plan B. Haha.
"Mas? Aku kok gak inget siapapun? Aku cuma inget kamu suami aku. Dan ini rumah siapa? Rumah kita 'kah?" tanyaku penuh cemas dan histeris. Aku harus pastikan mereka percaya.
Ah mereka pasti makin bingung. Perlahan Mas Andri membalas pelukanku. Sesekali menoleh ke arah Maya. Lihat! Aku akan terus bersandiwara untuk melancarkan aksi kalian. Eit, tapi jangan kegirangan.
"Ka-kamu inget aku? A-aku teman kamu?" celetuk Maya gagap. Simbok heran. Ia bingung harus bagaimana.
"Teman? Benarkah? Ah aku tak tahu. Tolong panggil dokter, Mas. Aku ingin tahu kondisiku ini. Tolong!" Aku menangis. "Iya, aku sudah panggil dokter." Mas Andri menyeka air mataku di depan Maya. Dan Simbok pasti bingung. Dia tak kuberi tahu sejak awal. Malah Simbok pasti berpikiran kalau aku benar amnesia lagi.
***
"Bu Aurel? Coba beritahu saya, apa yang anda ingat?" Dokter bertanya. Baru saja ia datang. Tak lama setelah aku pura-pura terbangun dokter pun tiba. Pasti Mas Andri tak sabar ingin mengetahui kondisiku sebenarnya.Kulihat Maya masih mematung dengan wajah pucat. Tapi ia juga pasti percaya dengan sandiwaraku. Maka dari itu ia tak langsung pergi. Ia pasti sedang menyelidiki semua yang terjadi padaku."Seingat saya ...." Sengaja kupangkas kalimat. Sejenak kutatap Mas Andri, lalu kutatap Maya. Ketiga jari memegangi kening tanda aku masih merasa pusing. Saat kutatap Maya, wajahnya makin pucat saja. Mas Andri seperti menelan ludah melihatku yang tak henti menatap Maya. Namun tatapan ini bukan tatapan Amarah. Hanya tatapan menyelidik.Lalu kutatap Mas Andri lagi. Kini butiran keringat kecil mulai muncul di keningnya. Nafasnya pula naik turun tertahan. Dia
Bukan tak sakit harus bersandiwara seperti ini. Cintaku pada Mas Andri bukan sekedar cinta monyet kaum remaja. Tapi, cinta ini murni dari dalam hati dengan itikad menjalankan rumah tangga yang harmonis. Karena Allah.Dia yang sedari dulu kulabuhkan cinta, kini telah berkhianat. Amat sangat menusuk sanubari. Bukan sekedar mainan atau kebohongan belaka. Cinta suci ini telah ia nodai. Bahkan ingin ia nodai sampai ingin memusnahkan aku dari dunia ini. Setelah mendapatkan semua hartaku.Tidak.Kamu tak bisa lakukan itu, Mas. Kalian berdua amat menyakiti pikiran ini. Apalagi kudengar kalau aku akan segera kalian musnahkan. Pedih. Perih. Tubuh ini mengguncang hebat kala mendengar pembicaraan kejimu itu. Aku seperti benalu yang ingin kalian singkirkan sejak lama, mungkin. Tapi alasan harta dan tahta, itulah yang memperlambat laju kalian. Kalau itu cara kalian, aku juga puny
DisangkaMasih Hilang IngatanDeg!"Kemana dana ini di luncurkan? Hah?" Rudi kutatapi dengan nanar. Wajahnya amat pucat. Bahkan makin pucat."Em, a-anu, Bu, pak Andri. Pak Andri yang pakai uang itu. Saya tak tahu untuk apa. Yang pasti saya hanya di perintah saja," jawabnya gagap. Amat ketakutan.Aku geram. Geram sekali padanya. Pada Rudi dan juga pada Mas Andri."Kamu masih ingin bekerja?" tanyaku. Biar kuberi dia harapan."Mau, Bu, saya masih sangat mau bekerja disini. Tolong Ibu jangan pecat saya." Dia meringis. Bahkan memohon-mohon.Mulai kuatur nafas ini, meskipun sulit, tapi aku berusaha. Heurkh. "Oke, siapa yang barusan kamu telepon?" tanyaku.Dia diam. Perlahan dengan penuh tekanan mulai angkat bicara. "Ta-tadi, pak Andri, Bu," jawabnya ketakutan. Dasar tukang adu.
"Nah, Sayang, ini adalah hunian yang aku belikan buat kamu. Untuk istriku tercinta. Taraaa!" Mas Andri membawaku ke sebuah apartemen yang mewah dan megah. Dengan desain baru yang pengerjaannya baru selesai beberapa bulan yang lalu.Aku amat terkejut. Bukan karena bahagia, tapi karena dia akan berikan apartemen mewah ini tadinya untuk wanita yang kini ikut bersama kami. Jangan harap."Ya ampun, Mas. Ini bagus banget. Kamu memang pria yang paaaaling sempurna. Kamu mapan, kamu juga sayang istri." Aku memujinya habis-habisan di depan Maya pula. Karena Maya ikut. Mas Andri yang mengusulkan."Gimana? Kamu suka?" tanya Mas Andri sembari melayangkan kedua lengan tanda aku harus mengagumi pemberiannya.Maya seperti ikut bahagia. Tapi tetap saja, aku melihat tatapan kesal di netranya. Amat lekat. Dia sedang bersandiwara. Pastinya, karena Mas
___________"Jadi Ibu, Ibu mertua saya?" Mertuaku langsung kaget setengah mati kala kalimat itu muncul dari indra pengecap ini.Kulihat wajahnya syok tapi ada raut gembira. Pastinya, selama ini mereka hidup pas-pasan, sudah kuduga, ada niat menggelitik dibalik kedatangannya.Ia meraih kedua bahuku. "A-Aurel, ini Ibu. Bu Lasmi, Ibu mertua kamu. Kamu beneran gak inget? Ibu dapat kabar dari Andri, dan dia yang suruh Ibu buat datang kesini, dan juga suruh urus kamu," kata ibu mertuaku dengan kebahagaiaan histeris dibalik batinnya. Aku merasakan itu. Walaupun tatapanku polos, tapi ini adalah sebuah tatapan penyelidikan.Kening mengernyit dengan cepat."Aurel, kamu itu menantu Ibu. Kamu di persunting oleh anak Ibu yang tampan dan mapan. Kamu itu harus bangga." Seratus delapan puluh derajat ekspresi ibu mertua berubah. Raut bahagia mulai terpancar.
______"Ja-jadi? Mas Andri sendiri yang sabotase hotel?" Aku terkejut kala melihat semua bukti dan rekaman pembicaraan antara Irlan dengan pengunjung hotel. Mereka menjelaskan ciri-ciri beberapa pria yang sengaja membuat citra hotel menjadi buruk. Bahkan sampai sekarang pun keadaan itu belum pulih. Hotel masih tak seramai awal."Iya, Bu. Ada oknum lain yang sengaja perburuk citra hotel. Dan setelah di selidiki, ternyata pak Andri sendiri yang menyuruh oknum-oknum itu. Saya gak ngerti, Bu, kenapa pak Andri lakukan ini? Bukankah kemajuan hotel juga kemajuan baginya?" kata Irlan menjelaskan. Aku masih syok dan tak percaya, suamiku sendiri malah memperburuk citra perusahaanku sendiri. Padahal selama ini uang yang ia dapat dari hotel kami."Oh ya, Bu. Ini juga ada data hotel yang sepi namun kian mulai ramai. Dan sepertinya perhatian mereka di alihkan kesana. Seperti di sengaja." Irlan kembali memperlihat
"Kami tidak bohong, Bu. Pak Andri yang suruh kami sabotase hotel milik Ibu. Tolong lepaskan kami, Bu." Ringis salah seorang anak buah yang mengaku di suruh Mas Andri. Mereka bertiga. Dua orang dari mereka hanya diam sambil tertunduk."Kalian jawab jujur atau hari ini hari terakhir kalian bernafas. Saya juga sudah tahu keluarga kalian. Jadi sekarang kalian jujur." Mendengar gertakkanku ketiganya makin ketakutan."Sumpah, Bu, sumpah. Kami di suruh pak Andri. Dan, pak Andri sepertinya akan jual aset Ibu ke pemilik hotel dekat hotel Ibu itu."Teg! Jadi benar? Mas Andri yang lakukan itu?"Kalian jangan bohong. Mana mungkin suami saya ingin memperburuk citra hotel saya. Toh itu akan buat dia rugi 'kan?" Aku papas habis semua pertanyaan yang masih di rasa mengganjal. Dan Irlan pun hanya diam menyaksikan."Sumpah, Bu, sumpah. Pak Andri dapat bayaran besar dari pemilik hotel itu. Dan pak Andri juga
****Semalaman Mas Andri terlihat sekali wajahnya kusut. Tak kuberi ia kesempatan untuk kelur rumah bahkan untuk sekedar chatingan bersama si Maya. Pas aku tanya tentang si Maya, dia mengelak kalau Maya bukanlah siapa-siapa. Oke, kuanggukkan saja kepala ini tanda percaya padanya. Tapi kalaupun dia bercakap-cakap dengan Maya, aku sudah pasang alat penyadap suara di setiap sudut."Mas? Mana perhiasan yang kamu pinjamkan ke ibu?" tanyaku segera di pagi-pagi buta setelah aku beres bersolek."Iya, aku ambil dulu." Dia dengan wajah lesu mulai menginjakkan kaki menuju ke arah kamar ibu."Maaf ya, Mas, tapi itu semua perhiasan peninggalan almarhumah mama. Nanti ibu kamu aku beliin lagi yang baru." Aku beri Mas Andri harapan, supaya ia juga bilang pada ibu.Di kamar aku masih melamun menghadap ke depan cermin. Rumah tangga yang selama ini kudo'akan baik-baik
"Aurel? Feri?"Maya terkejut dengan kedatangan kami ke rutan bermaksud mengunjunginya. "Kalian jenguk aku lagi?" tanyanya. Kini Maya sudah duduk di kursi berhadapan dengan aku dan Feri. Wajahnya lumayan lusuh. Ya, namanya jiga di dalam sel tahanan. Tak seindah di rumah sendiri walaupun rumah itu amatlah kecil dan sederhana."Iya. Apa kabar kamu, May?" tanyaku sambil getar-getar kaki di bawah meja. Sontak bola mata Maya gelagapan mendengar tanya kabar dariku. Padahal ini bukan kali pertama kami bertemu. Tapi, mungkin dia masih belum terbiasa saja bertemu denganku."Baik, Rel. Makasih kamu udah kali ke duanya mengunjungi aku ke sini." Kata-kata Maya mulai memperlihatkan kalau dia sudah berubah menjadi lebih baik. Syukurlah. Memang seperti apa yang pernah aku ceritakan. Sebelumnya pernah mengunjungi Maya."Rel? Perut kamu?" Maya terkejut dengan kondisi perut
PoV Aurel***"Sayang, hari ini aku kepengen makan ketoprak, tapi yang di ujung jalan sana itu loh!" Suamiku Feri merangkulku dari belakang. Saat ini aku sedang minum air mineral sambil berdiri. Hari ini dia dan aku libur ngantor karena hari Minggu. Seperti biasa ia simpan dagunya di bahuku. Dan itu membuatku geli. Momen manja-manja kami tak pernah henti."Ih, geli!""Gimana? Mau gak? Ayok dong!" Ia kekeh ingin ketoprak. Sejak aku hamil, sama sekali aku tak pernah ngidam apapun. Alhamdulillah mual pun hanya di awal-awal saja. Dan ngidam, full dia yang tangani. Kok bisa? Aku pun tak tahu. Tapi biarlah."Iya, sebentar." Aku kembali minum. Dia masih memelukku dari belakang sambil elus-elus perut."Kamu apaan sih? Nanti ada simbok atau bibi, malu," ucapku terkekeh geli. Kadanga Simbok dan Bibi suk
PoV Putri***Namaku Annata Putri Salsabila. Anak satu-satunya dari Papa dan Mamaku. Mereka sudah almarhum. Kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa mereka. Singkat sekali perjumpaan kami. Semoga kelak di surga aku dan mereka bisa kembali berkumpul.Aku tinggal bersama Tante Sandra, ia adalah Kakak dari almarhum Papa. Jadi, aku dan Mas Feri sepupuan. Ah, tak kusangka, ia kini sudah menikah dan akan segera mempunyai momongan dari wanita yang di cintainya, Mbak Aurel.Aku mengambil sekolah menengah atas jurusan keperawatan, hingga aku kuliah dan lulus menjadi seorang perawat. Aku lebih memilih menjadi perawat para korban bencana. Termasuk korban kecelakaan pesawat. Ah, itu semua aku lakukan karena kekecewaanku yang tak bisa merawat Papa dan Mama. Hingga aku bertekad ingin menjadi seorang perawat dan memb
PoV Aurel***Hari ini aku sangat bahagia. Tepat di hari ulang tahun pengacara keceku, yaitu suamiku sendiri, Feri, ternyata perutku sudah berisi janin yang kata dokter usianya baru enam minggu. Ah, aku bahagia sekali. Sejak dulu menikah dengan Mas Andri, aku menunda dulu soal momongan, tapi sekarang, setelah menikah dengan Feri, aku tak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Itu mauku, juga mau Feri. Kami sudah tak sabar ingin menjadi orang tua. Dan Alhamdulillah, akan segera kesampaian."Sayang? Malam ini kita diner, yuk!" pintanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Dia selalu bertingkah manja."Memang boleh keluar malam?" tanyaku."Boleh, asalkan udah shalat isya. Aku udah siapkan tempat yang spesial untuk kita." Dia bicara lalu mengecup pipiku."Ish! Curi-curi kecupan. Gimana kalau ada simbok?" Aku mencub
PoV Feri***Hari ini, setelah Aurel terbangun dari koma, akad nikah akan kami langsungkan saja. Aku tak mau menunggu lagi hari esok atau lusa. Aku tak mau sampai acara ini di tunda lagi.Hari ini dia sudah membuat jantungku terasa copot. Pas bangun dari koma, dia malah tidak mengenalku. Eh, ternyata dia hanya sandiwara. Dasar Aurel. Di suasana sedih pun dia masih bisa bercanda. Entah apa yang terjadi bila ya, dia hilang ingatan lagi. Ah, aku mungkin sudah tak bisa lagi bicara. Tadi saja, aku sudah merasa tak punya harapan apapun lagi. Dia benar-benar berhasil membuatku kaget setengah mati. Tak hanya aku, tapi semuanya. Bahkan Simbok sampai mau pingsan.Akad nikah akan segera berlangsung. Sebelum mengucap qobul, kutatap wajahnya dengan penuh cinta. Aurel cantik sekali. Benarkah hari ini kami akan menikah? Akad
PoV Feri***"Gimana kabar Aurel, Fer?" Arjuna bertanya mengenai kabar Aurel. Dia sudah makin membaik, kini untuk berjalan pun tidak memakai bantuan kruk."Masih sama." Kuhempas tubuh ini ke sofa. Lalu melonggarkan dasi dan simpan tas di atas meja. Arjuna ikut duduk. Putri datang membawakan kami minuman. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Selesai meeting tadi aku langsung pulang. Nanti akan ke rumah sakit lagi. Sekarang katanya ada Bi Atun di sana. Menunggu Aurel sebelum aku datang."Kasihan ya, Mbak Aurel, Mas. Aku masih gak ngerti kenapa ini harus terjadi. Apalagi ... pernikahan kalian 'kan tinggal beberapa hari lagi." Putri berkomentar dengan lesu."Iya." Aku mendenguskan nafas kembali dorong punggung ke sofa. Netra ini hanya menatap langit-langit rumah yang terasa suram."Sabar, Fer, gue yakin Aurel akan s
Disangka Masih Hilang IngatanPart 91❤️❤️❤️PoV 3***Jadi sebenarnya siapa yang tertembak di keributan halaman hotel?Sebelumnya flashback dulu. Maya adalah anak dari Pak Nadimin dan Bu Samsiah. Ia pergi meninggalkan orang tuanya bermaksud mengadu nasib. Maya tak bicara pada orang tuanya perihal dirinya yang ternyata berangkat keluar negeri sepuluh tahun yang lalu.Maya lewat penyalur tenaga kerja Indonesia sepuluh tahun yang lalu telah di berangkatkan ke negeri gajah putih atau itu adalah sebutan untuk negara Thailand. Ia bekerja hingga akhirn
Siang ini aku dan Feri memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Ingin temui wanita yang bernama Maya itu, takutnya ia masih istirahat. Jadi setelah makan siang aku putuskan untuk menemuinya."Sayang, besok kita fitting baju pengantin. Besok aku jemput kamu, ya? Hari ini, em maksudnya siang ini aku ada meeting. Tapi nanti jam satu. Setelah zuhur," kata kekasihku Feri. Ah, ini masih seperti mimpi."Oke. Em, Fer, kamu jangan panggil aku sayang dong. Agak gimana gitu! Aurel aja ya?" Aku masih malu-malu."Loh? Kenapa? Ya sudah, aku panggil kamu Aurel. Aurel Sayang." Dia malah tersenyum.Aku merasa malu. "Ah, terserah lah. Asal sayangnya jangan cuma di bibir," ucapku."Lalu harus dimana lagi?" tanyanya."Ya ... hati sama ucapan kamu harus selaras. Jangan bohong.""Lalu, bagaimana ka
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.