Disangka
Masih Hilang Ingatan
Deg!
"Kemana dana ini di luncurkan? Hah?" Rudi kutatapi dengan nanar. Wajahnya amat pucat. Bahkan makin pucat.
"Em, a-anu, Bu, pak Andri. Pak Andri yang pakai uang itu. Saya tak tahu untuk apa. Yang pasti saya hanya di perintah saja," jawabnya gagap. Amat ketakutan.
Aku geram. Geram sekali padanya. Pada Rudi dan juga pada Mas Andri.
"Kamu masih ingin bekerja?" tanyaku. Biar kuberi dia harapan.
"Mau, Bu, saya masih sangat mau bekerja disini. Tolong Ibu jangan pecat saya." Dia meringis. Bahkan memohon-mohon.
Mulai kuatur nafas ini, meskipun sulit, tapi aku berusaha. Heurkh. "Oke, siapa yang barusan kamu telepon?" tanyaku.
Dia diam. Perlahan dengan penuh tekanan mulai angkat bicara. "Ta-tadi, pak Andri, Bu," jawabnya ketakutan. Dasar tukang adu.
"Apa yang kamu adukan padanya? Apa kamu bilang kalau saya datang kesini dan meminta data keuangan?" gertakku. "Jawab!"
Dia hanya teridam. Wajahnya makin ketakutan saja. Ada raut bingung dan serba salah. Beberapa bagian tubuhnya pun mulai gemetar hebat.
"Oke! Tinggalkan kantor ini. Saya akan suruh security untuk seret kamu, atau kamu yang angkat kaki sendiri dari kantor ini!" gertakku lagi.
"Ja-jangan, Bu. Iya, tadi saya bilang sama pak Andri, a-ada-ada Ibu datang ke sini. Begitu saja, Bu," ringisnya. Tak mampu menatap. Hanya menunduk dengan wajah memerah.
"Oke, jadi kamu memang kerja untuk Andri, bukan untukku. Jadi silahkan kamu minta gaji padanya."
"Jangan, Bu, jangan. Saya janji, saya tidak akan ada di pihak pak Andri lagi. Saya janji, Bu. Saya janji," Rudi makin meringis ketakutan. Apalagi kala aku terlihat olehnya hanya mengulum amarah. Serius. Bukan sekedar candaan.
Rudi terus meminta maaf, namun aku tak banyak bicara. Hanya berdiri sambil melipat lengan di bawah dada dengan tatapan kekecewaan.
"Bu, pak Andri akan beli hunian mewah. Tapi mereka baru akan membelinya. Saya sedikit dengar, Bu." Rudi mengungkapkan. Jadi benar tentang brosur yang kulihat di dashboard. Bagus sekali si Rudi. Tipikal pengkhianat yang mudah di ancam.
"Mereka baru akan pergi, Bu. Tapi pak Andri sepertinya tak akan lancarkan niatnya sekarang, dia akan segera kembali buat jemput Ibu," jelasnya lagi. Dasar orang munaf*k kamu Rudi. Pengkhianat. Diancam sedikit nyerocos menjelaskan. Hah, pantas saja Mas Andri dengan mudahnya perdaya kamu.
"Kamu yakin?" tanyaku perihal kembalinya Mas Andri katanya.
"Ya, yakin, Bu. Mereka belum lama pergi. Baru saja. Dan mereka akan segera kembali." Jadi Rudi tahu kalau Mas Andri tak pergi sendiri? Uh, uh, uh.
"Mereka? Mereka siapa?" Aku pura-pura tak tahu.
"Pak Andri pergi bersama Maya, Bu. Mereka pergi berdua." Rudi kembali menjelaskan. Dia belum bisa menatapku, hanya menunduk sejak tadi. Bahkan lebih menunduk dari sebelumnya.
"Maya? Siapa Maya?" tanyaku pada Rudi lagi. Dia seperti ingin membeli hatiku dengan semua penjelasan nyatanya.
"Maya, sekretaris baru pak Andri, Bu," jawab Rudi dengan nada pelan dan agak sedikit takut.
"Lho, kenapa sama dia? Ada hubungan apa mereka?" selidikku pura-pura.
"P-Pak, Andri, ada hubungan spesial dengan Maya, Bu. Tapi tolong, Bu, jangan pecat saya," pinta mohonnya. Dia memasang wajah iba. Pintar sekali dia mengambil hati, tapi aku tak bod*h.
"Kamu tahu darimana?" tanyaku pura-pura kaget lagi.
"Saya sering lihat pak Andri berduaan dengan Maya, Bu. Bahkan mereka pulang pergi barengan," jelas Rudi lagi. Dasar, atas dasar apa dulu aku masukkan si Rudi ke kantor? Aku fikir dia pria berdedikasi tinggi. Tapi dia sekarang pasti berpihak padaku. Biarkan saja, lumayan, sebelum benar-benar kutendang. Aku butuh orang-orang seperti ini.
"Jadi? Suami saya ada main dengan wanita bernama Maya itu?" Aku pura-pura panik.
Krek. Suara pintu membuka.
"Aurel?" sapa kejut seorang pria dari arah belakang. Ya, dia suamiku, Mas Andri. Dia datang hanya sendiri. Eh, pas aku balikan badan dan menunggu beberapa detik, Maya muncul. Tak tahu malu sekali mereka.
"Mas?" Jawabku juga menyapanya.
Mas Andri pasti heran melihatku berada di ruangan Rudi, apalagi Rudi terlihat ketakutan.
"Sayang, kamu kok disini? Kamu memangnya ingat kantor aku disini?" Mas Andri bertanya perihal ingatanku tentang alamat kantor. Pasti dia panik.
"Mas, ini bukan zaman batu yang gagap teknologi. Aku tanya sama simbok, lalu aku searching alamat ini di g****e." Aku menjawab tanpa emosi.
"Tapi, ngapain kamu ada di ruangan ini? Ruangan aku bukan disini," katanya. Sok tahu. Rudi heran mendengar perkataan Mas Andri. Apa dia tak tahu perihal aku lupa ingatan? Atau bagaimana?
"Aku tadi cek bagian keuangan, kali saja ada yang korup di kantor kamu. Tapi enggak, kok. Ternyata baik-baik saja," jawabku manis. Rudi hanya diam. Ada Maya pula yang memperhatikan.
"Maya? Kalian datang bersama?" Aku pura-pura kaget. Wajah Maya sedikit pucat.
"Em, i-iya, tadi ada meeting," jawab Maya. Ekspresi yang meragukan. Dia belum pintar berakting.
"Oh," jawabku. "Aku fikir kalian darimana."
"Ayok, kita keluar," pinta Mas Andri padaku.
"Tunggu, Mas." Mereka bertiga terkejut.
"Enggak, aku lihat kok kamu kayak ada hubungan dengan Maya?" tanyaku. Mas Andri dan Maya terkejut setengah mati.
"Sa-sayang? Kok kamu bicara seperti itu? Kita sahabat lho, dan kamu sejak dulu yang memperkenalkan Maya padaku." Mas Andri nampak menjelaskan.
"Oh, gitu. Ya sudah, kita bicara di luar ya, Mas." Aku balik meminta.
"Rudi, saya keluar dulu. Maaf kalau tadi saya banyak meminta." Rudi hanya diam mendengar pinta maafku itu. Hanya anggukkan saja yang kulihat. Sepertinya dia amat ketakutan. Karena di akhir tatapanku sengaja mengancamnya.
Kini aku dan Mas Andri sudah ada diluar ruangan Rudi. Langsung kupeluk suamiku itu. Lalu kuberi senyuman yang indah. Di hadapan Maya. Karena ia amat ngintil. Bagai nasi sebiji saja.
Mas Andri mungkin kaget saat kupeluk. "Sayang? A-ada apa?" Ia bertanya. Kini perlahan dia mulai membalas pelukanku. Susah sekali. Untuk memelukku saja harus di dramatisir.
Maya memperhatikan. Ada raut cemburu dan kesal di pendam dalam-dalam.
"Maya, baiknya kamu pergi saja. Aku dan Mas Andri akan bicara di ruangan kami," kataku menyuruh Maya pergi. Wanita itu lumayan kaget.
"I-iya," jawabnya.
"Sayang, kamu kayak sama siapa saja. Maya kan sudah dekat sejak lama dengan kita," kata Mas Andri. Ada saja alasannya.
"Iya, aku sih belum ingat betul. Tapi pasti iya. Ya sudah, aku bicara disini saja 'deh," jawabku masih dalam pelukannya. Pasti si Maya terbakar api cemburu. Terlihat sekali. Namun apa daya, dia hanyalah berstatus sahabatku. Gayanya, wih, pasti Mas Andri yang belikan semua pakaian dan sepatu mewah itu. Pakai uang hasil dari hotelku ini. Tasnya pula. Gaji si Maya dalam waktu lima bulan pun belum cukup untuk bayar benda tersebut.
"Sayang? Kamu kok seneng banget?" ujar Mas Andri. Ia raih tubuhku untuk di hadapkan langsung dengannya.
"Mas, makasih banget. Aku tahu, kamu akan belikan hunian mewah buat aku. Ini brosurnya 'kan? Dan kata Rudi juga, kamu memang akan berikan hadiah spesial ini untukku. Makasih ya, Mas." Aku tak beri ia celah untuk berkata bukan. Langsung kuperlihatkan saja brosur hunian mewah itu. Biar dia puas.
Mas Andri dan Maya super kaget. Tapi laki-laki yang telah membohongiku itu berusaha menyembunyikan kekagetannya. Sedangkan Maya, dia membuang pandangan, pasti dia kesal dengan apa yang aku katakan.
"Lho, ka-kamu? Kamu dapat ini darimana?" tanya Mas Andri. Dia terlihat bingung, ingin bilang tidak, tapi bagaimana?
"Aku tahu kok, Mas. Aku sudah hubungi marketingnya. Dan mereka bilang, kamu memang memesan hunian ini, bahkan kamu sudah bayar DP." Aku memang sudah hubungi pihak marketing dari hunian yang akan dibeli Mas Andri untuk mereka.
Maya terlihat makin terkejut. Apalagi Mas Andri. "Ka-kamu sudah hubungi mar-ke-tingnya?" tanyanya super gagap. Habis kamu, Mas. Baru mau melangkah, eh malah mginjek duri. Ngulang, lagi.
"Makasih ya, Mas. Kamu pria terhebat dan terbaik bagi aku. Apalagi pihak marketing bilang, apartemen itu bakalan atas namaku sendiri, Aurel, benar 'kan? Katanya akan di atas namai wanita yang kamu cintai. Makasih ya, Mas, kamu so sweet banget." Aku kembali memeluknya.
Mereka makin kaget. Si Maya kesal dan kulihat emosinya menggulung. Wajahnya memerah namun hanya bisa diam. Sengaja aku panas-panasi dia.
"Ehm! Sa, sayang. A-aku memang mau buat kejutan buat kamu. Sebagai rasa syukur aku karena kamu sudah pulih ingatannya. Eh, ketahuan lebih dulu," dalihnya. Manis dan meyakinkan. Ah, bisa saja kamu, Mas.
Sepertinya amarah Maya makin melonta-lonta kala Mas Andri malah menjawab demikian. Dia memasang wajah merah dan gugup. "A-aku keluar dulu. Gak enak malah lihatin kemesraan kalian. Aku kayak nyamuk," kata si Maya tanpa berani menoleh kami.
"Lho, May, bukannya kita sering seperti ini? Aduh, maaf ya kalau kamu jadi gak enak. Mas Andri, sih!" Aku pura-pura tak enak hati.
"I-iya, gak apa-apa." Maya nampak akan pergi. Namun kucegah dulu sejenak. "Eh, May, semoga kamu juga bisa dapatkan suami seperti Mas Andri, ya. Baik, perhatian. Kamu cepat nikah, ya?" Aku pura-pura manis. Maya hanya mengangguk sambil memendam emosi. Kulihat pula wajah Mas Andri amat tak karuan. Pasti ia merasa telah membuat Maya kecewa.
Maya pergi.
"Jadi gimana, Mas? Lebih baik, kita lihat hunian itu, yuk! Aku seneng banget." Aku terus menerus terlihat bahagia. Padahal hati ini murka, bersikap seperti barusan hanya supaya asetku balik lagi. Dan aku yakin, Mas Andri akan berikan hunian itu untukku. Atas namaku.
"Iya, nanti kita cek kesana," jawabnya.
"Oke. Oh ya, Mas, toilet dimana? Aku kan masih lupa. Aku kok kayak sakit perut," ujarku pura-pura. Aku tahu, setelah ini Mas Andri akan temui Maya.
"Eh iya, kamu tinggal lurus, belok kanan, lurus lagi. Disana nanti ada tulisannya," jawab mas Andri. Pasti dia menyuruhku ke sana supaya agak lama di jalannya. Toh aku tahu, di ruanganku ada toilet juga. Tinggal balik badan saja. Masuk dan kuhampiri lah toilet.
"Oh ya, aku ke toilet dulu ya, Mas. Tapi agak lama. Ya!" ujarku. Ia mengangguk dengan raut kebingungan. Aku pun segera pergi.
Beberapa detik berlalu. Kuintip Mas Andri dan benar saja, dia sedang bicara dengan Maya.
"May, kamu jangan marah. Selama Aurel hilang ingatan, dia tak akan tahu apapun." Mas Andri bicara dengan nada pelan.
"Iya, tapi apartemen itu buat aku 'kan? Kok kamu malah bilang hadiah untuknya?" ketus Maya. Haha. Mamp*s kamu, May.
"Eh, sayang denger."
Deg. Tetap saja pas Mas Andri ucapkan kata Sayang, rasa cemburu ini muncul, tapi biarlah, perlahan akan kubuang rasa ini.
Mas Andri pegangi kedua lengan Maya. "Sayang, justru, dengan aku berikan Aurel apartemen, semakin bagus dong. Berarti, tingkat kepercayaan Aurel perihal suami baik sama aku itu makin meningkat. Kalau dia sudah percaya, ia tak akan bertingkah. Dan aku, aku akan bebas sedikit demi sedikit keruk asetnya." Mas Andri makin keterlaluan. Dia benar-benar bermuka dua. Seperti aku? Ya, tapi berbeda tujuan.
"Tapi?" Maya masih ketus.
"Shut!" Kini Mas Andri dekatkan jari telunjuknya pada bibir Maya yang bergincu amat pekat itu. Maya terbuai dan diam.
"Gak ada tapi-tapian, setelah aku berhasil berikan apartemen atas namanya, aku akan semakin di percaya. Dan kita, kita akan bebas disini. Nikmati hartanya. Kamu mau 'kan?" Maya manggut-manggut dengan wajah sok manis. Pwuih! Awas kalian. Lihat saja. Sebentar lagi, setelah aku yakin semua uangku telah kembali, kalian siap-siap angkat kaki. Tidur di kolong jembatan.
"Hem, ya sudah. Nanti aku akan ganti lagi obat si Aurel, biar ingatannya malah makin rusak. Yang kemarin kayaknya belum bereaksi banget."
Deg! Jadi benar. Maya sudah ganti resep obat dari dokter. Huwh, untung saja kurekam percakapan mereka.
***
"Nah, Sayang, ini adalah hunian yang aku belikan buat kamu. Untuk istriku tercinta. Taraaa!" Mas Andri membawaku ke sebuah apartemen yang mewah dan megah. Dengan desain baru yang pengerjaannya baru selesai beberapa bulan yang lalu.Aku amat terkejut. Bukan karena bahagia, tapi karena dia akan berikan apartemen mewah ini tadinya untuk wanita yang kini ikut bersama kami. Jangan harap."Ya ampun, Mas. Ini bagus banget. Kamu memang pria yang paaaaling sempurna. Kamu mapan, kamu juga sayang istri." Aku memujinya habis-habisan di depan Maya pula. Karena Maya ikut. Mas Andri yang mengusulkan."Gimana? Kamu suka?" tanya Mas Andri sembari melayangkan kedua lengan tanda aku harus mengagumi pemberiannya.Maya seperti ikut bahagia. Tapi tetap saja, aku melihat tatapan kesal di netranya. Amat lekat. Dia sedang bersandiwara. Pastinya, karena Mas
___________"Jadi Ibu, Ibu mertua saya?" Mertuaku langsung kaget setengah mati kala kalimat itu muncul dari indra pengecap ini.Kulihat wajahnya syok tapi ada raut gembira. Pastinya, selama ini mereka hidup pas-pasan, sudah kuduga, ada niat menggelitik dibalik kedatangannya.Ia meraih kedua bahuku. "A-Aurel, ini Ibu. Bu Lasmi, Ibu mertua kamu. Kamu beneran gak inget? Ibu dapat kabar dari Andri, dan dia yang suruh Ibu buat datang kesini, dan juga suruh urus kamu," kata ibu mertuaku dengan kebahagaiaan histeris dibalik batinnya. Aku merasakan itu. Walaupun tatapanku polos, tapi ini adalah sebuah tatapan penyelidikan.Kening mengernyit dengan cepat."Aurel, kamu itu menantu Ibu. Kamu di persunting oleh anak Ibu yang tampan dan mapan. Kamu itu harus bangga." Seratus delapan puluh derajat ekspresi ibu mertua berubah. Raut bahagia mulai terpancar.
______"Ja-jadi? Mas Andri sendiri yang sabotase hotel?" Aku terkejut kala melihat semua bukti dan rekaman pembicaraan antara Irlan dengan pengunjung hotel. Mereka menjelaskan ciri-ciri beberapa pria yang sengaja membuat citra hotel menjadi buruk. Bahkan sampai sekarang pun keadaan itu belum pulih. Hotel masih tak seramai awal."Iya, Bu. Ada oknum lain yang sengaja perburuk citra hotel. Dan setelah di selidiki, ternyata pak Andri sendiri yang menyuruh oknum-oknum itu. Saya gak ngerti, Bu, kenapa pak Andri lakukan ini? Bukankah kemajuan hotel juga kemajuan baginya?" kata Irlan menjelaskan. Aku masih syok dan tak percaya, suamiku sendiri malah memperburuk citra perusahaanku sendiri. Padahal selama ini uang yang ia dapat dari hotel kami."Oh ya, Bu. Ini juga ada data hotel yang sepi namun kian mulai ramai. Dan sepertinya perhatian mereka di alihkan kesana. Seperti di sengaja." Irlan kembali memperlihat
"Kami tidak bohong, Bu. Pak Andri yang suruh kami sabotase hotel milik Ibu. Tolong lepaskan kami, Bu." Ringis salah seorang anak buah yang mengaku di suruh Mas Andri. Mereka bertiga. Dua orang dari mereka hanya diam sambil tertunduk."Kalian jawab jujur atau hari ini hari terakhir kalian bernafas. Saya juga sudah tahu keluarga kalian. Jadi sekarang kalian jujur." Mendengar gertakkanku ketiganya makin ketakutan."Sumpah, Bu, sumpah. Kami di suruh pak Andri. Dan, pak Andri sepertinya akan jual aset Ibu ke pemilik hotel dekat hotel Ibu itu."Teg! Jadi benar? Mas Andri yang lakukan itu?"Kalian jangan bohong. Mana mungkin suami saya ingin memperburuk citra hotel saya. Toh itu akan buat dia rugi 'kan?" Aku papas habis semua pertanyaan yang masih di rasa mengganjal. Dan Irlan pun hanya diam menyaksikan."Sumpah, Bu, sumpah. Pak Andri dapat bayaran besar dari pemilik hotel itu. Dan pak Andri juga
****Semalaman Mas Andri terlihat sekali wajahnya kusut. Tak kuberi ia kesempatan untuk kelur rumah bahkan untuk sekedar chatingan bersama si Maya. Pas aku tanya tentang si Maya, dia mengelak kalau Maya bukanlah siapa-siapa. Oke, kuanggukkan saja kepala ini tanda percaya padanya. Tapi kalaupun dia bercakap-cakap dengan Maya, aku sudah pasang alat penyadap suara di setiap sudut."Mas? Mana perhiasan yang kamu pinjamkan ke ibu?" tanyaku segera di pagi-pagi buta setelah aku beres bersolek."Iya, aku ambil dulu." Dia dengan wajah lesu mulai menginjakkan kaki menuju ke arah kamar ibu."Maaf ya, Mas, tapi itu semua perhiasan peninggalan almarhumah mama. Nanti ibu kamu aku beliin lagi yang baru." Aku beri Mas Andri harapan, supaya ia juga bilang pada ibu.Di kamar aku masih melamun menghadap ke depan cermin. Rumah tangga yang selama ini kudo'akan baik-baik
Beberapa ratus meter lagi kami sampai di kantor. Disana aku sudah siapkan semua kejutan untuk Mas Andri dan ibu. Aku harap mereka bahagia. Atau sebaliknya?"Aurel, kamu memang menantu Ibu yang saaaangat baik. Kamu wanita hebat. Dan Ibu bangga atas keputusan kamu ini?" Ibu sedari tadi di jalan tak henti memujiku. Aku tahu bagaimana kegiranganmu, Bu, kala ibu akan dapatkan semua yang kumiliki tanpa susah payah."Iya, Bu. Keputusan Aurel ini sudah bulat. Semua ini demi kebaikan hidup Aurel, Bu. Ibu setuju, kan?""Uh, setuju sekali, Rel. Ibu saaaangat dukung keputusan kamu ini. Ibu akan sangat bangga." Ibu tak henti bersemangat. Bola matanya lagi ibarat menyemburkan lembaran-lembaran uang dolar. Sumringah sekali."Sayang, makasih, kamu memang istri yang terbaik," puji Mas Andri sambil mengelus punggung tanganku dengan lembut. Ia pancarkan pula tatapan kebahagaiaan juga tatapan kemenanga
Hallo, Kakak dari Sabang sampai Merauke. Semoga kalian sehat selalu dan di lancarkan rezekinya selalu. ***"Pak Yudi?" Pengacaraku datang, dan itu sekejap menghilangkan rasa curiga Mas Andri. Karena ia pikir, aku memang akan limpahkan semua kekuasaanku. Dan itu memang lewat Om Yudi."Masuk, Om," ujarku langsung mempersilahkan Om Yudi untuk masuk ke lingkup kami. Ibu dan Mas Andri mulai tenang kembali. Namun pastinya mereka belum mengerti kenapa ada Irlan.Tiba-tiba, setelah Om Yudi, beberapa orang masuk membawa dan menyiapkan peralatan sesuai yang kuminta."Sayang? Ada proyektor segala. Ini, ini kok kayak ada tontonan?" Mas Andri mulai heran kala bagian peralatan mulai bekerja.Kuraba lengan suamiku. "Mas, ini sebuah kejutan dari aku. Sebelum aku umumkan tentang jabatan kamu yang baru, kita semua tonton ini dulu. Em, semacam, e ... du ...
***Alhamdulillah, sekarang citra hotelku sudah kembali membaik. Pengungkapan mereka di media cukup menarik para customer hotel kembali.Lalu, bagaimana nasib Mas Andri, ibu dan Maya?"Aurel, jangan usir kami. Kami sudah tak punya lagi tempat tinggal." Itulah kata-kata terakhir dari ibu mertua. Sambil menangis dan merintih dia terus meminta maaf dariku."Kamu akan terima akibatnya, Aurel!" Mas Andri tadi siang mengancam. Dan kini Maya juga Mas Andri sudah ada di kantor polisi, mereka masih di selidik mengenai obat yang mereka palsukan untukku. Ya, itu terutama. Juga tentang sabotase hotel yang tidak di akui secara keseluruhan oleh Mas Andri.Maaf kalau aku lakukan semua ini untuk kalian. Tapi ini semua tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit dan kekecewaan yang melanda batin ini. Sampai-sampai aku harus sampai menyaksikannya kalian akan berbuat tak senonoh di hadapanku. Sungguh k
"Aurel? Feri?"Maya terkejut dengan kedatangan kami ke rutan bermaksud mengunjunginya. "Kalian jenguk aku lagi?" tanyanya. Kini Maya sudah duduk di kursi berhadapan dengan aku dan Feri. Wajahnya lumayan lusuh. Ya, namanya jiga di dalam sel tahanan. Tak seindah di rumah sendiri walaupun rumah itu amatlah kecil dan sederhana."Iya. Apa kabar kamu, May?" tanyaku sambil getar-getar kaki di bawah meja. Sontak bola mata Maya gelagapan mendengar tanya kabar dariku. Padahal ini bukan kali pertama kami bertemu. Tapi, mungkin dia masih belum terbiasa saja bertemu denganku."Baik, Rel. Makasih kamu udah kali ke duanya mengunjungi aku ke sini." Kata-kata Maya mulai memperlihatkan kalau dia sudah berubah menjadi lebih baik. Syukurlah. Memang seperti apa yang pernah aku ceritakan. Sebelumnya pernah mengunjungi Maya."Rel? Perut kamu?" Maya terkejut dengan kondisi perut
PoV Aurel***"Sayang, hari ini aku kepengen makan ketoprak, tapi yang di ujung jalan sana itu loh!" Suamiku Feri merangkulku dari belakang. Saat ini aku sedang minum air mineral sambil berdiri. Hari ini dia dan aku libur ngantor karena hari Minggu. Seperti biasa ia simpan dagunya di bahuku. Dan itu membuatku geli. Momen manja-manja kami tak pernah henti."Ih, geli!""Gimana? Mau gak? Ayok dong!" Ia kekeh ingin ketoprak. Sejak aku hamil, sama sekali aku tak pernah ngidam apapun. Alhamdulillah mual pun hanya di awal-awal saja. Dan ngidam, full dia yang tangani. Kok bisa? Aku pun tak tahu. Tapi biarlah."Iya, sebentar." Aku kembali minum. Dia masih memelukku dari belakang sambil elus-elus perut."Kamu apaan sih? Nanti ada simbok atau bibi, malu," ucapku terkekeh geli. Kadanga Simbok dan Bibi suk
PoV Putri***Namaku Annata Putri Salsabila. Anak satu-satunya dari Papa dan Mamaku. Mereka sudah almarhum. Kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa mereka. Singkat sekali perjumpaan kami. Semoga kelak di surga aku dan mereka bisa kembali berkumpul.Aku tinggal bersama Tante Sandra, ia adalah Kakak dari almarhum Papa. Jadi, aku dan Mas Feri sepupuan. Ah, tak kusangka, ia kini sudah menikah dan akan segera mempunyai momongan dari wanita yang di cintainya, Mbak Aurel.Aku mengambil sekolah menengah atas jurusan keperawatan, hingga aku kuliah dan lulus menjadi seorang perawat. Aku lebih memilih menjadi perawat para korban bencana. Termasuk korban kecelakaan pesawat. Ah, itu semua aku lakukan karena kekecewaanku yang tak bisa merawat Papa dan Mama. Hingga aku bertekad ingin menjadi seorang perawat dan memb
PoV Aurel***Hari ini aku sangat bahagia. Tepat di hari ulang tahun pengacara keceku, yaitu suamiku sendiri, Feri, ternyata perutku sudah berisi janin yang kata dokter usianya baru enam minggu. Ah, aku bahagia sekali. Sejak dulu menikah dengan Mas Andri, aku menunda dulu soal momongan, tapi sekarang, setelah menikah dengan Feri, aku tak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Itu mauku, juga mau Feri. Kami sudah tak sabar ingin menjadi orang tua. Dan Alhamdulillah, akan segera kesampaian."Sayang? Malam ini kita diner, yuk!" pintanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Dia selalu bertingkah manja."Memang boleh keluar malam?" tanyaku."Boleh, asalkan udah shalat isya. Aku udah siapkan tempat yang spesial untuk kita." Dia bicara lalu mengecup pipiku."Ish! Curi-curi kecupan. Gimana kalau ada simbok?" Aku mencub
PoV Feri***Hari ini, setelah Aurel terbangun dari koma, akad nikah akan kami langsungkan saja. Aku tak mau menunggu lagi hari esok atau lusa. Aku tak mau sampai acara ini di tunda lagi.Hari ini dia sudah membuat jantungku terasa copot. Pas bangun dari koma, dia malah tidak mengenalku. Eh, ternyata dia hanya sandiwara. Dasar Aurel. Di suasana sedih pun dia masih bisa bercanda. Entah apa yang terjadi bila ya, dia hilang ingatan lagi. Ah, aku mungkin sudah tak bisa lagi bicara. Tadi saja, aku sudah merasa tak punya harapan apapun lagi. Dia benar-benar berhasil membuatku kaget setengah mati. Tak hanya aku, tapi semuanya. Bahkan Simbok sampai mau pingsan.Akad nikah akan segera berlangsung. Sebelum mengucap qobul, kutatap wajahnya dengan penuh cinta. Aurel cantik sekali. Benarkah hari ini kami akan menikah? Akad
PoV Feri***"Gimana kabar Aurel, Fer?" Arjuna bertanya mengenai kabar Aurel. Dia sudah makin membaik, kini untuk berjalan pun tidak memakai bantuan kruk."Masih sama." Kuhempas tubuh ini ke sofa. Lalu melonggarkan dasi dan simpan tas di atas meja. Arjuna ikut duduk. Putri datang membawakan kami minuman. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Selesai meeting tadi aku langsung pulang. Nanti akan ke rumah sakit lagi. Sekarang katanya ada Bi Atun di sana. Menunggu Aurel sebelum aku datang."Kasihan ya, Mbak Aurel, Mas. Aku masih gak ngerti kenapa ini harus terjadi. Apalagi ... pernikahan kalian 'kan tinggal beberapa hari lagi." Putri berkomentar dengan lesu."Iya." Aku mendenguskan nafas kembali dorong punggung ke sofa. Netra ini hanya menatap langit-langit rumah yang terasa suram."Sabar, Fer, gue yakin Aurel akan s
Disangka Masih Hilang IngatanPart 91❤️❤️❤️PoV 3***Jadi sebenarnya siapa yang tertembak di keributan halaman hotel?Sebelumnya flashback dulu. Maya adalah anak dari Pak Nadimin dan Bu Samsiah. Ia pergi meninggalkan orang tuanya bermaksud mengadu nasib. Maya tak bicara pada orang tuanya perihal dirinya yang ternyata berangkat keluar negeri sepuluh tahun yang lalu.Maya lewat penyalur tenaga kerja Indonesia sepuluh tahun yang lalu telah di berangkatkan ke negeri gajah putih atau itu adalah sebutan untuk negara Thailand. Ia bekerja hingga akhirn
Siang ini aku dan Feri memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Ingin temui wanita yang bernama Maya itu, takutnya ia masih istirahat. Jadi setelah makan siang aku putuskan untuk menemuinya."Sayang, besok kita fitting baju pengantin. Besok aku jemput kamu, ya? Hari ini, em maksudnya siang ini aku ada meeting. Tapi nanti jam satu. Setelah zuhur," kata kekasihku Feri. Ah, ini masih seperti mimpi."Oke. Em, Fer, kamu jangan panggil aku sayang dong. Agak gimana gitu! Aurel aja ya?" Aku masih malu-malu."Loh? Kenapa? Ya sudah, aku panggil kamu Aurel. Aurel Sayang." Dia malah tersenyum.Aku merasa malu. "Ah, terserah lah. Asal sayangnya jangan cuma di bibir," ucapku."Lalu harus dimana lagi?" tanyanya."Ya ... hati sama ucapan kamu harus selaras. Jangan bohong.""Lalu, bagaimana ka
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.