Tanpa memedulikan teriakan atau hinaan di belakang, Rangga membawa Febby.
Ternyata, mereka menuju ke sebuah restoran yang tak jauh dari rumah Febby. Pria itu langsung memesan makanan untuk mereka berdua. Semua itu membuat Febby menghela napas. Terlalu banyak yang terjadi tak sampai 24 jam. Bahkan, ia mendadak mengingat kejadian tak menyenangkan itu. “Aku ingin menuntut akun itu, tak seharusnya mereka menyebarkan berita bohong. Jelas-jelas kita bukan pasangan mesum seperti yang mereka tuduhkan. Sekarang nama baik kita hancur.” Kepala Febby rasanya mau pecah. Terlebih, reputasinya pun terkena imbas. Dirinya yang sebelumnya dikenal sebagai wanita pendiam dan beretika, kini hancur berkeping-keping. Rangga yang duduk di hadapan Febby mengangguk. “Aku tahu ini berat, tapi alangkah baiknya yang perlu kita pikirkan bagaimana kita menjalani ini ke depannya. Meski rumit tapi ini merupakan fakta pahit yang harus kita terima . Kita tak bisa mempermainkan pernikahan begitu saja,” jelasnya. Seketika, Febby terdiam. “Kamu benar Rangga, pernikahan itu telah terjadi, dan aku tak ingin menolak takdir ini.” Banyak hal yang mereka bicarakan. Meski belum bisa terlalu membuka diri satu sama lain, satu hal yang Febby sadari, mereka memiliki satu pandangan yang sama terkait pernikahan. Setidaknya, itu cukup. Hanya saja, yang tak Febby ketahui kala percakapan mereka berakhir, dan Rangga 'pamit' mengambil barangnya untuk dibawa ke rumah Febby nanti, sebuah mobil MPM keluaran terbaru berwarna hitam, berhenti di ujung jalan, menjemputnya. “Tuan, apa anda yakin akan tinggal di rumah Nona Febby?” tanya sang asisten begitu Rangga duduk di mobil mewah itu. “Aku sudah putuskan akan tinggal di rumahnya. Jadi kamu tak perlu menjemputku. Aku akan menghubungimu nanti.” Arka mengangguk. “Baik Tuan,” jawabnya penuh hormat. Mobil itu lantas membawa Rangga pergi menuju "rumah sederhana" miliknya. *** Keesokan paginya, Rangga turun dari dalam mobil mewahnya setelah situasinya sepi. Dia berjalan masuk ke area kantor, menuju divisi tempatnya magang. Namun, gemuruh desas-desus tentang pernikahan Rangga dan Febby telah mengguncang kantor. Puncaknya, keduanya dipanggil oleh Brian, pemilik Sejahtera group setelah menyelesaikan Meeting pagi! “Saya sudah mendengar berita viral itu, namun saya baru bisa bertindak sekarang karena saya baru pulang dari luar kota,” ucap pria itu menghela nafas berat, “Dengan berat hati, saya akan meminta salah satu dari kalian untuk mengundurkan diri dari kantor ini. Sebab ini adalah syarat sebagai karyawan di perusahaan saya.” “Meski Rangga hanya karyawan magang, namun tak menutup kemungkinan dia akan menjadi karyawan tetap di sini. Sekarang, katakan pada saya, siapa diantara kalian akan mundur dari perusahaan ini?” sambungnya lagi. "Sebaiknya saya saja yang mundur, Pak. Biarkan Rangga yang tetap bekerja di perusahaan ini," ujar Febby, mengejutkan Rangga dengan keputusannya yang begitu tiba-tiba. Rangga menatap ke arah Febby. "Kamu yakin ingin mundur? Sudah kamu pertimbangkan karirmu yang telah kamu bangun sampai jadi manajer keuangan di sini?" Febby hanya mengangguk, tekadnya terlihat jelas. Febby menatap ke arah sang atasan, "Besok saya akan kembali membawa surat pengunduran diri saya, Pak, sekaligus mengambil semua berkas pribadi saya." Tiap kata yang terucap menunjukkan keteguhan hatinya, meski di baliknya tersimpan kegundahan mendalam. Brian mengangguk. "Baiklah, jika itu memang keputusanmu. Saya akan menunggu surat pengunduran dirimu besok." "Baik Pak, kalau begitu kami permisi dulu," ujar Febby dengan penuh keyakinan, dan berharap keputusan ini yang terbaik untuk keduanya. "Maafkan aku," kata Rangga dengan penuh penyesalan, merasakan bobot dosa di pundaknya saat mereka berdua melangkah menuju ruang kerja Febby yang berada satu lantai di bawah ruang kerja Brian. "Ini bukan salahmu, Rangga. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Ini yang dinamakan takdir, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Yang jelas, kita harus melanjutkan semua yang sudah terjadi," jawab Febby dengan suara yang mencoba tegar. Mereka berdua masuk ke dalam ruang kerja Febby. Namun, wanita itu bisa merasakan pandangan sinis dan mendengar bisikan-bisikan yang memandang buruk terhadapnya. "Ternyata selera kamu sangat rendahan, Febby," celetuk salah satu rekan kerja dengan nada mengejek dan tatapan yang penuh cibiran. “Benar sekali, aku tak menyangka selera Febby adalah pria yang karirnya baru dimulai,” cibir yang lainnya. Tangan Rangga mengepal penuh emosi, tak jarang orang-orang yang sudah memiliki jabatan tinggi di kantor ini selalu memandang rendah bagian marketing, padahal marketing justru punya andil tinggi di sini. “Jangan biasakan diri kalian melihat orang lain hanya dari status sosialnya saja. Kalau kami menjelaskan kami bukan pasangan mesum apa kalian akan percaya itu? Tidak mungkin kalian percaya, karena berita bohong itu jauh lebih menyenangkan kalian.” Wanita muda yang satu divisi dengan febby mendengus mendengarnya. “Kamu pikir enak menikah dengan anak magang? Yang ada setiap hari kamu akan dikasih makan batu.” Febby menahan Rangga untuk tidak melayaninya. “Tidak perlu buang tenagamu untuk urusan ini. Kita ke ruanganku sekarang,” ucap Febby. Febby menarik tangan Rangga masuk ke ruangan kecil yang ada di sana. Rangga membantu Febby merapikan barang pribadinya. Setelah semuanya beres, Rangga membantunya membawakan semua barang itu menuju ke parkiran mobil. “Terima kasih banyak karena kamu memberiku kesempatan untuk memulai karirku di sini. Aku akan berusaha untuk membahagiakanmu semampuku,” ucap Rangga membuat Febby tersenyum, meski terlihat dipaksakan. “Tidak perlu dibahas lagi. Sekarang yang perlu kita lakukan, menatap ke depan, bukan menoleh lagi ke belakang. Aku pulang dulu ya,” pamit Febby. Rangga mengangguk, dan membiarkan Febby berlalu dari hadapannya. Baru saja dia melangkah masuk ke dalam perusahaan suara seseorang memaksa Rangga menghentikan langkahnya. “Kasihan sekali Febby harus menikahi lelaki gembel sepertimu. Bahkan, dia kamu paksa mundur dari kantor agar kamu bisa merebut posisinya kan?” "Sayang sekali! Febby yang secantik itu harus bersamamu. Kalau bersamaku, dia pasti bahagia." Tuduhan itu terus berdatangan diiringi tawa menjijikan yang tak hanya merendahkan Rangga, tapi juga Febby. Darah Rangga mendidih. "Kalian..."Srak! Rangga menarik kerah baju pria itu lalu menghimpitnya ke dinding, tangannya melayang di udara hendak melayangkan bogem mentah atas tuduhan tak berdasar itu. “Sekali lagi kamu bicara sembarangan, akan aku patahkan tulang lehermu!” seru Rangga lalu menghempas tubuh pria itu sampai tersungkur di lantai. Sementara itu di tempat berbeda, Febby baru saja membuka pintu rumah dan terkejut mendengar suara melengking sang mama tiri, "Kenapa kamu bawa banyak berkas pulang? Apa itu yang kamu pegang?" Febby menoleh ke sumber suara. Sang mama sedang duduk di ruang keluarga. "Berkas pribadi, Ma," jawab Febby sambil menggenggam tasnya lebih erat. Mayang, menghembuskan napas berat seolah mencoba menahan emosi. "Kamu mengundurkan diri dari kantor?" Febby mengangguk pelan, "Iya, Ma, seperti yang sebelumnya sudah Febby bilang, suami istri memang tidak diizinkan berada dalam satu tempat kerja yang sama." "Lalu, kenapa kamu yang harus keluar? Kenapa bukan laki-laki miskin itu?" Nada suara Mayan
"Maafkan mamaku, ya. Dia memang selalu begitu," kata Febby, sambil melirik suaminya. Pria itu hanya mengangguk, menampilkan senyum lembut. "Tidak apa," jawabnya dengan suara penuh pengertian. "Ayo, kita ke kamar," ajak Febby. Rangga mengikutinya. Setibanya di dalam, Febby duduk di sisi ranjang, matanya tampak sendu. Rangga mendekat, meletakkan tasnya, dan duduk di samping istrinya. Dengan lembut, dia menyentuh tangan Febby, mengecup punggung tangan itu. Detak jantung Febby memburu, karena baru pertama kali dia merasakan sentuhan pria lain. "Aku tahu ini mungkin sulit bagimu... dan bagiku juga. Akan tetapi kita harus menjalani pernikahan ini kita awali tanpa benih cinta. Tapi percayalah, aku tidak ingin main-main dengan sakralnya pernikahan. Aku ingin menikah sekali saja dalam seumur hidup. Jika takdir menautkan kita melalui jalan pernikahan dadakan ini, maka aku berjanji, akan berusaha keras menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untukmu," ucap Rangga dengan suara yang men
"Apa kamu bilang, Rossa harus bekerja? Kamu baru datang ke rumah ini sudah berani ngatur-ngatur kebiasaan kami di sini? Asal kamu tahu saja, Febby dibesarkan dengan tanganku sendiri. Jadi wajar, setelah dia dewasa, dia harus membalas budi baikku karena telah membesarkannya hingga seperti sekarang. Kamu tidak berhak berbicara apa pun di rumah ini," kata sang mama mertua kepada Rangga. Saat perang kehendak, Febby menahan tangan suaminya agar tidak melanjutkan pertengkaran itu. "Hilang keinginan kami untuk makan hanya karena kehadiranmu di rumah ini. Aku harap lain kali kita tidak pernah berada dalam satu meja yang sama," jawab Rossa lalu beranjak dari tempat itu menuju kamarnya masing-masing. "Harusnya kamu tidak bicara seperti itu," kata Febby dengan suara sendu, menatap ke arah suaminya. "Aku bicara sebenarnya. Seharusnya mereka tahu malu, sudah menyusahkanmu. Rossa itu sudah dewasa, harusnya dia bisa menanggung hidupnya sendiri," jawab Rangga. "Bahkan Nona Febby dulu sering ribut
Sret! Rangga menarik pinggang sang istri, hingga tubuh Febby terbentur di dada bidang pria itu. Demi apapun, keduanya sebenarnya canggung. Namun Rangga merasa dia berhak untuk meminta Febby melakukan kewajibannya. Rangga memiringkan kepalanya, mulai meraup bibir ranum istrinya. "Emmmph....." Febby tampak kaku, namun ia tak menolak sentuhan pria di hadapannya ini. Rangga melumat bibir manis Febby, melesakan lidahnya ke dalam sana, mencecap rasa nikmat itu penuh hasrat. Ciuman itu terlepas setelah keduanya kehabisan oksigen. Rangga mulai mencium leher Febby, memberi tanda kepemilikan di sana. “Aaaaaaah,” Febby mendesah pelan, saat tangan Rangga mulai meremas dadanya. yang masih terhalang pakaian. “Boleh aku melakukannya?” tanya Rangga. Meski pernikahan keduanya tanpa pesta seperti pada umumnya, namun Rangga berjanji akan menjadikan Febby satu-satunya wanita di dalam hatinya. Sang istri cantik membalas dengan Anggukan, membuat Rangga tersenyum. Matanya sudah berkabut hasrat.
"Non yang sabar ya," ucap pelayan dari belakang Febby. Febby mengangguk, "terima kasih Bi," jawabnya, "saya ke kamar dulu Bi," pamitnya lagi. Tanpa menunggu jawaban, Febby masuk ke dalam kamarnya, dan tak keluar lagi, sampai akhirnya Rangga pulang bekerja. Ceklek Rangga membuka pintu kamar Febby, matanya langsung bertemu dengan mata sembab sang istri. Tangis Febby semakin kencang, saat melihat suaminya mendekat, dan tanpa canggung lagi dia masuk dalam dekapan sang suami. "Kenapa Feb?" tanya Rangga setelah mengurai pelukannya. "Ma--mama, menyuruhku untuk bekerja di tempat hiburan malam. Kata Mama hanya dengan bekerja di sana aku bisa menghasilkan uang sebanyak yang Mama mau." Rangga memeluk kembali istrinya. Dia memejamkan mata, sempat emosi namun tak ingin memperkeruh keadaan. "Lalu kamu jawab apa?" tanya Rangga. "Aku bilang tidak mau. Aku tidak akan merendahkan harga diriku untuk melakukan hal konyol demi uang. Mama jahat, selalu mengungkit jasanya telah membesarkan aku, pad
“Kenapa Mama memecat Bibi? Bahkan Bibi sudah menemani kita cukup lama Ma, kenapa begitu mendadak?” tanya Febby.“Karena pengeluaran di rumah ini harus ditekan. Sebelum kamu kembali bekerja, maka semua pekerjaan rumah harus kamu kerjakan. Ini sudah menjadi keputusan Mama yang tidak bisa kamu bantah lagi,” ucap Mayang tegas.Wanita itu menoleh pada pelayan, “Cepat, kemasi barang-barang Bibi. Mulai hari ini, Bibi sudah tidak bekerja lagi di rumah ini.”BraaaaakMayang membanting pintu kamarnya setelah dengan tegas memecat pelayan yang telah puluhan tahun menemani mereka.Tak ada yang bisa dilakukan oleh Febby selain berterima kasih dan meminta maaf kepada pelayannya.Sementara itu, di dalam kamarnya, Mayang sedang berbicara dengan Rossa, anak kandung yang paling dia sayangi.“Kalau tidak ada Bibi, apa Mama yakin Febby akan mengerjakan semuanya dengan baik?” tanya Rossa.“Justru itu yang Mama mau. Dia tidak akan bisa melakukan tugas Bibi dengan baik. Dengan begitu, Mama bisa mendesaknya u
“Kami hanya kasihan pada Febby, Pak Adam,” ucap salah satu ibu-ibu itu.“Sebaik apapun niat kalian, akan jauh lebih baik kalau kalian fokus pada kehidupan masing-masing. Berhenti bergosip dengan dalih kasihan pada Febby.”Para ibu-ibu itu bergegas membereskan belanjaannya dan membayarnya. Mereka tak mau berurusan dengan Adam, orang yang paling disegani dan paling berkuasa di perumahan itu.“Lanjutkan belanjamu, Feb. Bapak mau melanjutkan jogging dulu.”Febby mengangguk. “Terima kasih, Pak Adam.”Febby kembali fokus pada penjual sayur. Setelah mendapatkan yang dia butuhkan, Febby langsung menuju rumahnya.Saat membuka pintu rumah, suara sang mama tiri terdengar nyaring hingga menyentak telinganya.“Kerjakan semua pekerjaan rumah, masak, masakkan yang enak untuk Mama dan Rossa.”“Baik, Ma,” jawab Febby.Febby menuju dapur, lalu menyiapkan sarapan, makan siang, serta makan malam untuk keluarganya. Febby juga membersihkan rumah dan semua kamar di rumah itu. Dia juga menyetrika hingga tak
"Sebentar," kata Febby, menghentikan kegiatan pemanasan mereka."Febbyyyyyyyy," teriak Rossa sekali lagi. Kali ini sambil menggedor pintu kamar sang adik tiri.Rangga memijat kepalanya, kenapa istrinya seakan diperlakukan seperti pelayan? Bukankah rumah ini milik orang tua kandung Febby? pikir Rangga."Aku keluar dulu, ya," pamitnya pada Rangga setelah berhasil membuat pakaian Rangga berantakan.Ceklek."Mana makan malamnya? Kami mau makan, karena akan pergi," ucap Rossa dengan suara keras."Sebentar, Kak, Febby siapkan dulu di meja makan," jawab Febby.Febby melangkah menuju dapur, air mata yang akan tumpah sekuat tenaga dia tahan. Febby tak ingin memancing amarah sang kakak tiri lagi.'Ya Tuhan, aku lelah,' keluh Febby dalam hati. Seharian ini dia tak sempat istirahat karena harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk melayani kakak dan Mama tirinya.Febby menyajikan semua makanan di atas meja, lalu memanggil kakak dan Mama tirinya."Tinggalkan kami, kami tak ingin satu meja d