Tanpa memedulikan teriakan atau hinaan di belakang, Rangga membawa Febby.
Ternyata, mereka menuju ke sebuah restoran yang tak jauh dari rumah Febby. Pria itu langsung memesan makanan untuk mereka berdua. Semua itu membuat Febby menghela napas. Terlalu banyak yang terjadi tak sampai 24 jam. Bahkan, ia mendadak mengingat kejadian tak menyenangkan itu. “Aku ingin menuntut akun itu, tak seharusnya mereka menyebarkan berita bohong. Jelas-jelas kita bukan pasangan mesum seperti yang mereka tuduhkan. Sekarang nama baik kita hancur.” Kepala Febby rasanya mau pecah. Terlebih, reputasinya pun terkena imbas. Dirinya yang sebelumnya dikenal sebagai wanita pendiam dan beretika, kini hancur berkeping-keping. Rangga yang duduk di hadapan Febby mengangguk. “Aku tahu ini berat, tapi alangkah baiknya yang perlu kita pikirkan bagaimana kita menjalani ini ke depannya. Meski rumit tapi ini merupakan fakta pahit yang harus kita terima . Kita tak bisa mempermainkan pernikahan begitu saja,” jelasnya. Seketika, Febby terdiam. “Kamu benar Rangga, pernikahan itu telah terjadi, dan aku tak ingin menolak takdir ini.” Banyak hal yang mereka bicarakan. Meski belum bisa terlalu membuka diri satu sama lain, satu hal yang Febby sadari, mereka memiliki satu pandangan yang sama terkait pernikahan. Setidaknya, itu cukup. Hanya saja, yang tak Febby ketahui kala percakapan mereka berakhir, dan Rangga 'pamit' mengambil barangnya untuk dibawa ke rumah Febby nanti, sebuah mobil MPM keluaran terbaru berwarna hitam, berhenti di ujung jalan, menjemputnya. “Tuan, apa anda yakin akan tinggal di rumah Nona Febby?” tanya sang asisten begitu Rangga duduk di mobil mewah itu. “Aku sudah putuskan akan tinggal di rumahnya. Jadi kamu tak perlu menjemputku. Aku akan menghubungimu nanti.” Arka mengangguk. “Baik Tuan,” jawabnya penuh hormat. Mobil itu lantas membawa Rangga pergi menuju "rumah sederhana" miliknya. *** Keesokan paginya, Rangga turun dari dalam mobil mewahnya setelah situasinya sepi. Dia berjalan masuk ke area kantor, menuju divisi tempatnya magang. Namun, gemuruh desas-desus tentang pernikahan Rangga dan Febby telah mengguncang kantor. Puncaknya, keduanya dipanggil oleh Brian, pemilik Sejahtera group setelah menyelesaikan Meeting pagi! “Saya sudah mendengar berita viral itu, namun saya baru bisa bertindak sekarang karena saya baru pulang dari luar kota,” ucap pria itu menghela nafas berat, “Dengan berat hati, saya akan meminta salah satu dari kalian untuk mengundurkan diri dari kantor ini. Sebab ini adalah syarat sebagai karyawan di perusahaan saya.” “Meski Rangga hanya karyawan magang, namun tak menutup kemungkinan dia akan menjadi karyawan tetap di sini. Sekarang, katakan pada saya, siapa diantara kalian akan mundur dari perusahaan ini?” sambungnya lagi. "Sebaiknya saya saja yang mundur, Pak. Biarkan Rangga yang tetap bekerja di perusahaan ini," ujar Febby, mengejutkan Rangga dengan keputusannya yang begitu tiba-tiba. Rangga menatap ke arah Febby. "Kamu yakin ingin mundur? Sudah kamu pertimbangkan karirmu yang telah kamu bangun sampai jadi manajer keuangan di sini?" Febby hanya mengangguk, tekadnya terlihat jelas. Febby menatap ke arah sang atasan, "Besok saya akan kembali membawa surat pengunduran diri saya, Pak, sekaligus mengambil semua berkas pribadi saya." Tiap kata yang terucap menunjukkan keteguhan hatinya, meski di baliknya tersimpan kegundahan mendalam. Brian mengangguk. "Baiklah, jika itu memang keputusanmu. Saya akan menunggu surat pengunduran dirimu besok." "Baik Pak, kalau begitu kami permisi dulu," ujar Febby dengan penuh keyakinan, dan berharap keputusan ini yang terbaik untuk keduanya. "Maafkan aku," kata Rangga dengan penuh penyesalan, merasakan bobot dosa di pundaknya saat mereka berdua melangkah menuju ruang kerja Febby yang berada satu lantai di bawah ruang kerja Brian. "Ini bukan salahmu, Rangga. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Ini yang dinamakan takdir, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Yang jelas, kita harus melanjutkan semua yang sudah terjadi," jawab Febby dengan suara yang mencoba tegar. Mereka berdua masuk ke dalam ruang kerja Febby. Namun, wanita itu bisa merasakan pandangan sinis dan mendengar bisikan-bisikan yang memandang buruk terhadapnya. "Ternyata selera kamu sangat rendahan, Febby," celetuk salah satu rekan kerja dengan nada mengejek dan tatapan yang penuh cibiran. “Benar sekali, aku tak menyangka selera Febby adalah pria yang karirnya baru dimulai,” cibir yang lainnya. Tangan Rangga mengepal penuh emosi, tak jarang orang-orang yang sudah memiliki jabatan tinggi di kantor ini selalu memandang rendah bagian marketing, padahal marketing justru punya andil tinggi di sini. “Jangan biasakan diri kalian melihat orang lain hanya dari status sosialnya saja. Kalau kami menjelaskan kami bukan pasangan mesum apa kalian akan percaya itu? Tidak mungkin kalian percaya, karena berita bohong itu jauh lebih menyenangkan kalian.” Wanita muda yang satu divisi dengan febby mendengus mendengarnya. “Kamu pikir enak menikah dengan anak magang? Yang ada setiap hari kamu akan dikasih makan batu.” Febby menahan Rangga untuk tidak melayaninya. “Tidak perlu buang tenagamu untuk urusan ini. Kita ke ruanganku sekarang,” ucap Febby. Febby menarik tangan Rangga masuk ke ruangan kecil yang ada di sana. Rangga membantu Febby merapikan barang pribadinya. Setelah semuanya beres, Rangga membantunya membawakan semua barang itu menuju ke parkiran mobil. “Terima kasih banyak karena kamu memberiku kesempatan untuk memulai karirku di sini. Aku akan berusaha untuk membahagiakanmu semampuku,” ucap Rangga membuat Febby tersenyum, meski terlihat dipaksakan. “Tidak perlu dibahas lagi. Sekarang yang perlu kita lakukan, menatap ke depan, bukan menoleh lagi ke belakang. Aku pulang dulu ya,” pamit Febby. Rangga mengangguk, dan membiarkan Febby berlalu dari hadapannya. Baru saja dia melangkah masuk ke dalam perusahaan suara seseorang memaksa Rangga menghentikan langkahnya. “Kasihan sekali Febby harus menikahi lelaki gembel sepertimu. Bahkan, dia kamu paksa mundur dari kantor agar kamu bisa merebut posisinya kan?” "Sayang sekali! Febby yang secantik itu harus bersamamu. Kalau bersamaku, dia pasti bahagia." Tuduhan itu terus berdatangan diiringi tawa menjijikan yang tak hanya merendahkan Rangga, tapi juga Febby. Darah Rangga mendidih. "Kalian..."Srak! Rangga menarik kerah baju pria itu lalu menghimpitnya ke dinding, tangannya melayang di udara hendak melayangkan bogem mentah atas tuduhan tak berdasar itu. “Sekali lagi kamu bicara sembarangan, akan aku patahkan tulang lehermu!” seru Rangga lalu menghempas tubuh pria itu sampai tersungkur di lantai. Sementara itu di tempat berbeda, Febby baru saja membuka pintu rumah dan terkejut mendengar suara melengking sang mama tiri, "Kenapa kamu bawa banyak berkas pulang? Apa itu yang kamu pegang?" Febby menoleh ke sumber suara. Sang mama sedang duduk di ruang keluarga. "Berkas pribadi, Ma," jawab Febby sambil menggenggam tasnya lebih erat. Mayang, menghembuskan napas berat seolah mencoba menahan emosi. "Kamu mengundurkan diri dari kantor?" Febby mengangguk pelan, "Iya, Ma, seperti yang sebelumnya sudah Febby bilang, suami istri memang tidak diizinkan berada dalam satu tempat kerja yang sama." "Lalu, kenapa kamu yang harus keluar? Kenapa bukan laki-laki miskin itu?" Nada suara Mayan
"Maafkan mamaku, ya. Dia memang selalu begitu," kata Febby, sambil melirik suaminya. Pria itu hanya mengangguk, menampilkan senyum lembut. "Tidak apa," jawabnya dengan suara penuh pengertian. "Ayo, kita ke kamar," ajak Febby. Rangga mengikutinya. Setibanya di dalam, Febby duduk di sisi ranjang, matanya tampak sendu. Rangga mendekat, meletakkan tasnya, dan duduk di samping istrinya. Dengan lembut, dia menyentuh tangan Febby, mengecup punggung tangan itu. Detak jantung Febby memburu, karena baru pertama kali dia merasakan sentuhan pria lain. "Aku tahu ini mungkin sulit bagimu... dan bagiku juga. Akan tetapi kita harus menjalani pernikahan ini kita awali tanpa benih cinta. Tapi percayalah, aku tidak ingin main-main dengan sakralnya pernikahan. Aku ingin menikah sekali saja dalam seumur hidup. Jika takdir menautkan kita melalui jalan pernikahan dadakan ini, maka aku berjanji, akan berusaha keras menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untukmu," ucap Rangga dengan suara yang men
"Apa kamu bilang, Rossa harus bekerja? Kamu baru datang ke rumah ini sudah berani ngatur-ngatur kebiasaan kami di sini? Asal kamu tahu saja, Febby dibesarkan dengan tanganku sendiri. Jadi wajar, setelah dia dewasa, dia harus membalas budi baikku karena telah membesarkannya hingga seperti sekarang. Kamu tidak berhak berbicara apa pun di rumah ini," kata sang mama mertua kepada Rangga. Saat perang kehendak, Febby menahan tangan suaminya agar tidak melanjutkan pertengkaran itu. "Hilang keinginan kami untuk makan hanya karena kehadiranmu di rumah ini. Aku harap lain kali kita tidak pernah berada dalam satu meja yang sama," jawab Rossa lalu beranjak dari tempat itu menuju kamarnya masing-masing. "Harusnya kamu tidak bicara seperti itu," kata Febby dengan suara sendu, menatap ke arah suaminya. "Aku bicara sebenarnya. Seharusnya mereka tahu malu, sudah menyusahkanmu. Rossa itu sudah dewasa, harusnya dia bisa menanggung hidupnya sendiri," jawab Rangga. "Bahkan Nona Febby dulu sering ribut
Sret! Rangga menarik pinggang sang istri, hingga tubuh Febby terbentur di dada bidang pria itu. Demi apapun, keduanya sebenarnya canggung. Namun Rangga merasa dia berhak untuk meminta Febby melakukan kewajibannya. Rangga memiringkan kepalanya, mulai meraup bibir ranum istrinya. "Emmmph....." Febby tampak kaku, namun ia tak menolak sentuhan pria di hadapannya ini. Rangga melumat bibir manis Febby, melesakan lidahnya ke dalam sana, mencecap rasa nikmat itu penuh hasrat. Ciuman itu terlepas setelah keduanya kehabisan oksigen. Rangga mulai mencium leher Febby, memberi tanda kepemilikan di sana. “Aaaaaaah,” Febby mendesah pelan, saat tangan Rangga mulai meremas dadanya. yang masih terhalang pakaian. “Boleh aku melakukannya?” tanya Rangga. Meski pernikahan keduanya tanpa pesta seperti pada umumnya, namun Rangga berjanji akan menjadikan Febby satu-satunya wanita di dalam hatinya. Sang istri cantik membalas dengan Anggukan, membuat Rangga tersenyum. Matanya sudah berkabut hasrat.
"Non yang sabar ya," ucap pelayan dari belakang Febby. Febby mengangguk, "terima kasih Bi," jawabnya, "saya ke kamar dulu Bi," pamitnya lagi. Tanpa menunggu jawaban, Febby masuk ke dalam kamarnya, dan tak keluar lagi, sampai akhirnya Rangga pulang bekerja. Ceklek Rangga membuka pintu kamar Febby, matanya langsung bertemu dengan mata sembab sang istri. Tangis Febby semakin kencang, saat melihat suaminya mendekat, dan tanpa canggung lagi dia masuk dalam dekapan sang suami. "Kenapa Feb?" tanya Rangga setelah mengurai pelukannya. "Ma--mama, menyuruhku untuk bekerja di tempat hiburan malam. Kata Mama hanya dengan bekerja di sana aku bisa menghasilkan uang sebanyak yang Mama mau." Rangga memeluk kembali istrinya. Dia memejamkan mata, sempat emosi namun tak ingin memperkeruh keadaan. "Lalu kamu jawab apa?" tanya Rangga. "Aku bilang tidak mau. Aku tidak akan merendahkan harga diriku untuk melakukan hal konyol demi uang. Mama jahat, selalu mengungkit jasanya telah membesarkan aku, pad
“Kenapa Mama memecat Bibi? Bahkan Bibi sudah menemani kita cukup lama Ma, kenapa begitu mendadak?” tanya Febby.“Karena pengeluaran di rumah ini harus ditekan. Sebelum kamu kembali bekerja, maka semua pekerjaan rumah harus kamu kerjakan. Ini sudah menjadi keputusan Mama yang tidak bisa kamu bantah lagi,” ucap Mayang tegas.Wanita itu menoleh pada pelayan, “Cepat, kemasi barang-barang Bibi. Mulai hari ini, Bibi sudah tidak bekerja lagi di rumah ini.”BraaaaakMayang membanting pintu kamarnya setelah dengan tegas memecat pelayan yang telah puluhan tahun menemani mereka.Tak ada yang bisa dilakukan oleh Febby selain berterima kasih dan meminta maaf kepada pelayannya.Sementara itu, di dalam kamarnya, Mayang sedang berbicara dengan Rossa, anak kandung yang paling dia sayangi.“Kalau tidak ada Bibi, apa Mama yakin Febby akan mengerjakan semuanya dengan baik?” tanya Rossa.“Justru itu yang Mama mau. Dia tidak akan bisa melakukan tugas Bibi dengan baik. Dengan begitu, Mama bisa mendesaknya u
“Kami hanya kasihan pada Febby, Pak Adam,” ucap salah satu ibu-ibu itu.“Sebaik apapun niat kalian, akan jauh lebih baik kalau kalian fokus pada kehidupan masing-masing. Berhenti bergosip dengan dalih kasihan pada Febby.”Para ibu-ibu itu bergegas membereskan belanjaannya dan membayarnya. Mereka tak mau berurusan dengan Adam, orang yang paling disegani dan paling berkuasa di perumahan itu.“Lanjutkan belanjamu, Feb. Bapak mau melanjutkan jogging dulu.”Febby mengangguk. “Terima kasih, Pak Adam.”Febby kembali fokus pada penjual sayur. Setelah mendapatkan yang dia butuhkan, Febby langsung menuju rumahnya.Saat membuka pintu rumah, suara sang mama tiri terdengar nyaring hingga menyentak telinganya.“Kerjakan semua pekerjaan rumah, masak, masakkan yang enak untuk Mama dan Rossa.”“Baik, Ma,” jawab Febby.Febby menuju dapur, lalu menyiapkan sarapan, makan siang, serta makan malam untuk keluarganya. Febby juga membersihkan rumah dan semua kamar di rumah itu. Dia juga menyetrika hingga tak
"Sebentar," kata Febby, menghentikan kegiatan pemanasan mereka."Febbyyyyyyyy," teriak Rossa sekali lagi. Kali ini sambil menggedor pintu kamar sang adik tiri.Rangga memijat kepalanya, kenapa istrinya seakan diperlakukan seperti pelayan? Bukankah rumah ini milik orang tua kandung Febby? pikir Rangga."Aku keluar dulu, ya," pamitnya pada Rangga setelah berhasil membuat pakaian Rangga berantakan.Ceklek."Mana makan malamnya? Kami mau makan, karena akan pergi," ucap Rossa dengan suara keras."Sebentar, Kak, Febby siapkan dulu di meja makan," jawab Febby.Febby melangkah menuju dapur, air mata yang akan tumpah sekuat tenaga dia tahan. Febby tak ingin memancing amarah sang kakak tiri lagi.'Ya Tuhan, aku lelah,' keluh Febby dalam hati. Seharian ini dia tak sempat istirahat karena harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk melayani kakak dan Mama tirinya.Febby menyajikan semua makanan di atas meja, lalu memanggil kakak dan Mama tirinya."Tinggalkan kami, kami tak ingin satu meja d
Arka masih berdiri dengan ekspresi serius, berhadapan dengan Nabila yang tampak gugup. Sebuah kesalahan fatal baru saja terjadi, membuat Nabila harus menghadapi amarah Arka, rekan kerjanya yang juga dikenal sebagai tangan kanan Rangga.“Ma–maaf,” ucap Nabila dengan nada terbata-bata. Matanya menatap meja, tak berani menatap langsung ke arah Arka. “Aku akan memperbaikinya.”Arka menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap tegas. “Sudah seharusnya begitu, Nabila. Jangan campur adukkan masalah pribadi dengan urusan kantor,” tegurnya. “Data ini sangat penting. Kita dibayar untuk bekerja, bukan untuk mengecewakan pemilik perusahaan.”Nada suaranya yang dingin membuat Nabila merasa semakin bersalah. Rekan kerja lain di tempat itu, yang mendengar percakapan mereka, memilih untuk mengabaikannya.Nabila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Arka benar, dan ia harus memperbaiki kesalahan ini secepat mungkin. “Baik, Arka,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Unt
Arka mengetuk pintu ruang kerja Rangga dengan hati yang sudah terasa berat sejak tadi. Ia tahu, percakapan ini akan melibatkan Nabila, yang terlihat semakin berusaha mendekatinya belakangan ini. Setelah mendengar suara Rangga mempersilakan masuk, Arka membuka pintu dan melangkah masuk bersama Nabila. Mereka duduk berdampingan, meskipun suasana di antara keduanya terasa canggung.Rangga menatap mereka sejenak, matanya tajam namun tetap ramah. Ia memulai pembicaraan, “Arka, saya akan segera mempersiapkan penggantimu-”Belum selesai kalimat itu terucap, Nabila langsung memotong, “Maksud Anda bagaimana, Tuan?”Nada suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu, namun juga sedikit ketakutan. Ia menatap Rangga, mencoba mencari penjelasan dari kalimat yang setengah terucap itu.Rangga tersenyum tipis, mengalihkan pandangannya pada Arka yang tampak tenang. “Arka kan sebentar lagi akan menikah,” lanjut Rangga, nadanya penuh pengertian. “Dia akan menjadi pimpinan salah satu anak cabang Wijaya Group
“Kalian ini berani-beraninya, ya, ngomongin Mama,” ujar Febby pura-pura marah sambil memandang mereka dengan alis terangkat.Elina dan Elio hanya tertawa kecil, tampak tak terpengaruh oleh wajah pura-pura serius mamanya. “Kami hanya bercanda, Mama!” jawab mereka serempak dengan wajah polos dan senyum lebar, seperti berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak bersalah.Febby menggeleng, lalu tersenyum. “Ya sudah, ayo cepat sarapan dulu. Nanti keburu terlambat ke sekolah,” katanya dengan suara lembut, namun tetap tegas.“Siap, Mama!” balas mereka, masih dalam nada polos dan penuh semangat.Tak lama kemudian, Elina dan Elio mengambil tas mereka, dan bersiap turun ke lantai bawah. Di ruang makan, Rangga, sudah duduk dengan rapi dan tampan dalam setelan kerjanya, menunggu mereka dengan sabar. Di meja itu juga sudah ada nenek mereka, dan Rossa, yang duduk menunggu sambil tersenyum melihat keceriaan anak-anak itu.Melihat kedatangan mereka, Rangga segera berdiri dari kursinya dan dengan penuh kas
Malam telah larut ketika Mayang dan Rossa memasuki kamar. Setelah percakapan hangat bersama keluarga, mereka kini berdua, bersiap untuk beristirahat. Namun, suasana hati Rossa tampak tidak tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan pandangan menerawang, sementara Mayang mengamati anaknya dengan lembut dari sudut ruangan."Ma," Rossa akhirnya membuka suara dengan nada pelan, tapi penuh rasa takjub, "Rossa sama sekali nggak menyangka, ternyata Arka bakal mendapatkan hadiah sebesar itu dari Rangga. Padahal tadi kami sempat diskusi, setelah menikah mungkin dia hanya akan pulang ke Sun City setiap akhir pekan. Tapi sekarang… hadiah itu mengubah segalanya. Kami bahkan bisa tinggal di sana bersama Mama."Mayang mendekati anaknya dan duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Rossa dengan lembut. "Iya, Sayang. Mama juga nggak pernah menyangka. Kalau Mama ingat-ingat lagi… Mama malu sekali atas apa yang pernah Mama lakukan ke Rangga dulu." Suara Mayang mulai serak. "Mama dulu menghina dia
Setelah Arka pamit pulang, Febby, Rangga, dan Mayang masih duduk bersama. Di samping mereka, Rossa duduk tenang, menyimak obrolan sambil tersenyum kecil, namun di wajahnya ada keraguan yang tersirat.Febby yang duduk di sebelah Rossa menatapnya dengan penuh perhatian. "Kakak, rencananya mau menikah di sini atau di kota Sun City?" tanyanya lembut, ingin tahu keputusan kakak tirinya itu. Pertanyaan itu sontak membuat semua mata di ruangan tertuju pada Rossa, menunggu jawabannya.Rossa tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Kak Rossa sih inginnya di Sun City saja," jawabnya akhirnya, memandangi mereka satu per satu. "Di sana banyak kenangan yang ingin kami pertahankan, tempat-tempat yang istimewa untukku dan Arka. Lagipula, kami juga akan tinggal di sana setelah menikah... meskipun harus berpisah jarak dan waktu dengan Arka yang akan tetap bekerja di sini." Ada sedikit nada ragu di ujung kalimatnya, seakan-akan perpisahan itu adalah pengorbanan yang tak mudah baginya.Rangga ya
“Kamu serius, sayang?” tanya Arka.Rossa mengangguk, “aku serius sayang. Kapanpun aku siap,” ulang Rossa.“Dua bulan lagi ada hari baik, apa kamu mau?”Rossa mengangguk.Arka kembali masuk ke dalam rumah sang atasan, dia minta Rangga dan febby kembali turun sebentar. Mereka pun berkumpul di ruang keluarga rumah mewah Rangga.Suasana hangat penuh kekeluargaan begitu terasa, terutama dengan adanya Febby yang tengah mengandung anak kedua, membawa kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Melihat Arka yang tampak ragu-ragu, Rangga segera menepuk punggungnya dan mempersilakannya duduk di samping."Ada apa, Ark? Kok wajahmu serius banget?" tanya Rangga, berusaha mencairkan suasana.Arka menarik napas dalam-dalam, memandangi ketiganya satu per satu, lalu berkata, "Saya ingin minta izin, Sama tante, Tuan dan Nyonya. Setelah berdiskusi dengan Rossa, kami memutuskan untuk menikah dua bulan lagi."Pernyataan itu mengejutkan semua orang, terutama Mayang, yang tidak menyangka rencana pernika
Rangga dan keluarganya bersiap untuk malam spesial mereka. Ia merangkul bahu istrinya, Febby, yang sedang hamil, dengan lembut sembari mengajak kedua anak kembar mereka, Elina dan Elio."Ayo, sayang, kita bersiap," ucapnya dengan suara hangat yang penuh semangat.Bocah kembar berusia empat tahun yang energik, tidak bisa menahan kebahagiaan mereka. Setiap kali diajak makan di luar, mereka tahu pasti bisa memilih menu yang mereka inginkan tanpa batasan. Restoran mewah dengan berbagai pilihan hidangan daging adalah favorit mereka.Si kembar masuk ke dalam kamarnya bersama suster Barbara."Kamu mau daging apa nanti?" tanya Elina sambil memandang adik kembarnya, dengan mata berbinar. Mereka sedang dibantu mengganti pakaian oleh suster Barbara, yang setia menemani mereka setiap hari."Aku mau daging sapi saja, kamu daging ayam saja, nanti kita bagi," jawab Elio, mencoba memberi saran."Oke, tos dulu dong!" Elina mengulurkan tangannya, dan keduanya melakukan tos sambil tertawa kecil.Suster
Rangga menatap Febby dengan perasaan yang tak menentu, dia nyaris tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya, seolah mencari kepastian lebih dalam dari sekadar kata-kata.“Ka—kamu beneran hamil, sayang?” tanyanya dengan suara terbata, penuh harap dan ketidakpercayaan.Febby tersenyum hangat, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Iya, sayang. Kita akan punya anak lagi,” jawabnya lembut, seolah kata-katanya itu adalah musik indah yang meresap ke dalam hati Rangga.Seolah tak mampu menahan luapan rasa bahagianya, Rangga menarik tubuh Febby ke dalam pelukan. Air mata jatuh tanpa malu-malu dari kedua matanya, namun ia tak peduli. Dalam hatinya, ia terus-menerus bersyukur pada Tuhan atas anugerah ini. Ia mengusap wajah Febby dengan jemari lembutnya, lalu menghujani pipi, kening, dan bibir istrinya dengan ciuman bertubi-tubi.“Aku bahagia sekali, sayang. Aku benar-benar nggak menyangka kalau Tuhan memberi kita kepercayaan lagi,” ucap Ra
"Nabila!" panggil Rangga ketika ia sudah ada di lobi. Kebetulan, Nabila juga masih berada di sekitar lobi. Dengan cepat, Nabila mendekati Rangga."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan."Harusnya sih, saya tidak perlu bicara seperti ini. Saya minta maaf sebelumnya kalau apa yang akan saya ucapkan ini menyinggung perasaanmu," ucap Rangga mengawali kalimatnya, membuat jantung Nabila berdebar semakin kencang."I-iya, Tuan. Ada apa?" tanya Nabila dengan suara lirih."Tolong jangan berharap apa pun lagi pada Arka, apalagi mengejarnya secara berlebihan. Dia bisa menjadi orang yang paling membencimu karena dia sangat tidak menyukai wanita agresif. Dan sekarang, Arka sudah memiliki calon istri, dan mereka akan segera menikah. Calon istrinya itu adalah kakak iparku sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggu hubungan mereka lagi. Kamu sudah pernah melewatkan kesempatan emas, di mana saat itu Arka benar-benar ingin mengulang kembali hubungan kalian yang pernah terputus," uca