“Febby! Apa-apaan ini? Bisa-bisanya kamu berbuat mesum dengan lelaki lain, dan beritamu viral!”
Deg! Febby yang baru tiba, melotot saat melihat berita viral di sosial media yang sudah diunggah oleh salah satu akun yang tak dikenalnya. Ia tak menyangka insiden semalam tersebar begitu cepat. Bukan hanya wajah Febby dan anak magang itu yang terlihat, tapi juga kartu identitas mereka dan kartu karyawan di Sejahtera Group. “Ma-” Plak! Belum sempat menjelaskan, tamparan yang begitu kencang sudah mendarat di pipi sang anak tiri, hingga sudut bibirnya seketika mengeluarkan darah. "Dasar anak kurang ajar," maki wanita paruh baya itu. "Tapi, itu bukan seperti yang Mama duga. Rangga hanya membantuku dan berniat mengantarkanku pulang, namun kami terjebak dalam hujan lebat, hingga harus berteduh di gubuk kosong yang ada di sekitar sana." Febby menjelaskan dengan nada putus asa, mencoba meredam hujan prasangka yang berkecamuk di dalam hati Mama tirinya. "Sayangnya, kami tidak tahu kalau daerah itu termasuk area rawan dan sering digunakan oleh pasangan yang hendak berbuat mesum, sehingga–” "Kamu pikir Mama akan langsung percaya begitu saja dengan alasanmu itu?” potong wanita di depan Febby itu, “Dasar anak bodoh! Kalau buat masalah, bisakah kamu memilih lelaki yang lebih baik darinya? Dari kartu identitas yang tersebar, terlihat kalau dia hanya pegawai magang biasa di perusahaan yang sama denganmu, sementara kamu sendiri manajer keuangan! INI AIB, Febby!" Sial! Seharusnya anak tirinya itu menjadi bintang di pertemuan yang sudah ia siapkan. Bahkan, calon menantu pilihannya adalah pria dewasa pemilik perusahaan di luar kota yang bisa mengangkat derajat keluarga mereka. Namun, dia justru mendapat menantu yang sangat biasa! Di sisi lain, air mata Febby mengalir tak terbendung saat ia menjawab dengan suara yang bergetar, "Maafkan Febby, Ma, tapi semuanya sudah terlanjur. Febby tak bisa merubah takdir." "Takdir? Ini bukan soal takdir, Febby! Ini soal aib, kamu harus segera berpisah dari laki-laki itu! Mama tidak mau punya menantu menantu miskin sepertinya!" bentak sang mama tiri, raut wajahnya berubah menjadi amarah yang menguap seperti bara api. "Tapi Ma, pernikahan bukanlah permainan!" sahut Febby dengan tegas, walaupun hatinya remuk redam. "Diam Kamu! Apa yang kamu ketahui soal pernikahan, huh?" hardik Mama tirinya itu, matanya menyala-nyala, mengukir kekecewaan dalam hati Febby yang semakin tak berdaya. Sang kakak tiri yang tadinya sedang bersantai di dalam kamarnya terkejut mendengar suara sang mama penuh amarah Dia menghampiri Febby dan dan Mamanya, mendengar semua yang membuat sang mama marah. “Heran ya, dari dulu kamu bodoh sekali mencari pasangan,” cibir Rossa, kakak tirinya. “Belum lagi, ternyata kamu liar, ya. Pura-pura ada kegiatan kantor agar bisa keluar rumah, padahal….” Febby menggeleng, “Febby benar-benar ke puncak menghadiri ulang tahun kantor kak,” jawabnya. “Sudah diam!” sergah sang mama, “Pokoknya, Mama tidak mau tahu kamu harus segera berpisah dari lelaki itu. Pernikahan ini tidak sah, karena tak ada keluarga hadir di sana.” Setelah berkata demikian wanita paruh baya itu bersama anak kandungnya segera keluar dari dalam kamar sang anak tiri. Tak berselang lama pelayan pun datang menghampiri menyampaikan kalau ada tamu yang mengantarkan mobil milik Febby. “Permisi Nyonya, ada seorang pria yang mengantarkan mobil Nona Febby,” ucapnya. “Pria? Apa jangan-jangan dia…” Buru-buru mama dan kakak tiri Febby itu keluar. Tatapan mereka begitu bengis kala melihat Rangga yang serupa di video yang tersebar itu. Terlebih, penampilannya lusuh, mirip pegawai bengkel. Sangat jauh berbeda dengan menantu kaya yang diharapkannya! "Gembel, kau pasti memanfaatkan cara apapun demi bisa mendapatkan wanita mapan, kamu sengaja kan menjebak anakku dalam rencana licikmu, kan? seru mama tiri Febby tiba-tiba. Rangga, yang baru saja mendengar tuduhan tersebut, tertegun untuk sesaat sebelum dengan cepat memarkir mobil milik istrinya itu. "Maaf, apa yang Anda katakan tadi, nyonya?" tanyanya. Namun, tatapannya tidak menunjukkan rasa takut sama sekali. "Saya benar-benar tidak memahami maksud Anda.” "Cih! Jangan berpura-pura tidak tahu! Kamu pikir aku tidak bisa melihat niat burukmu? Kamu cuma pegawai magang. Pasti kau pemalas, hingga mencari jalan pintas untuk menjadi kaya dengan memanfaatkan anakku, yang merupakan seorang manajer keuangan cukup berpengaruh di Sejahtera Group, kan?” Rangga hanya bisa menggeleng dengan tenang, namun dalam hatinya ada gumpalan emosi yang sulit diurai. "Tidak, Nyonya. Anda salah besar. Kami bekerja di kantor yang sama memang benar, tapi kami berada di divisi yang berbeda. Saya benar-benar tidak kenal Febby sebelumnya." “Omong kosong, dan aku tak percaya apapun yang keluar dari mulut kalian! Sekarang cepat cari jalan agar kalian segera berpisah!” serunya. “Terserah anda mau percaya atau tidak, tapi kami sudah menjelaskan yang sebenarnya terjadi saat itu.” Tak ada rasa takut yang Rangga tunjukan, padahal wanita itu sedang marah dan sangat membencinya. “Aku tidak akan pernah percaya ucapanmu.” Rossa ikut menimpali, “Benar kata Mama, kalian harus segera berpisah. Kami tak ingin Febby menikah dengan gembel.” Rangga menatap tajam keduanya. “Saya dipaksa menikah dengan wanita yang tak pernah saya kenal sebelumnya hanya karena kesalahpahaman. Jangan tambah dosa saya untuk menjadikan sebuah pernikah sebagai permainan belaka Nyonya. Saya tidak akan pernah menceraikan Febby,” tegasnya. Semua orang jelas terbelalak. Tak menyangka, Rangga akan berani melawan. Terlebih, pria itu tanpa basa-basi meraih tangan Febby dan mengajaknya pergi dari sana. "KAU! BERHENTI!"Tanpa memedulikan teriakan atau hinaan di belakang, Rangga membawa Febby. Ternyata, mereka menuju ke sebuah restoran yang tak jauh dari rumah Febby. Pria itu langsung memesan makanan untuk mereka berdua. Semua itu membuat Febby menghela napas. Terlalu banyak yang terjadi tak sampai 24 jam. Bahkan, ia mendadak mengingat kejadian tak menyenangkan itu. “Aku ingin menuntut akun itu, tak seharusnya mereka menyebarkan berita bohong. Jelas-jelas kita bukan pasangan mesum seperti yang mereka tuduhkan. Sekarang nama baik kita hancur.” Kepala Febby rasanya mau pecah. Terlebih, reputasinya pun terkena imbas. Dirinya yang sebelumnya dikenal sebagai wanita pendiam dan beretika, kini hancur berkeping-keping. Rangga yang duduk di hadapan Febby mengangguk. “Aku tahu ini berat, tapi alangkah baiknya yang perlu kita pikirkan bagaimana kita menjalani ini ke depannya. Meski rumit tapi ini merupakan fakta pahit yang harus kita terima . Kita tak bisa mempermainkan pernikahan begitu saja,” jelasnya
Srak! Rangga menarik kerah baju pria itu lalu menghimpitnya ke dinding, tangannya melayang di udara hendak melayangkan bogem mentah atas tuduhan tak berdasar itu. “Sekali lagi kamu bicara sembarangan, akan aku patahkan tulang lehermu!” seru Rangga lalu menghempas tubuh pria itu sampai tersungkur di lantai. Sementara itu di tempat berbeda, Febby baru saja membuka pintu rumah dan terkejut mendengar suara melengking sang mama tiri, "Kenapa kamu bawa banyak berkas pulang? Apa itu yang kamu pegang?" Febby menoleh ke sumber suara. Sang mama sedang duduk di ruang keluarga. "Berkas pribadi, Ma," jawab Febby sambil menggenggam tasnya lebih erat. Mayang, menghembuskan napas berat seolah mencoba menahan emosi. "Kamu mengundurkan diri dari kantor?" Febby mengangguk pelan, "Iya, Ma, seperti yang sebelumnya sudah Febby bilang, suami istri memang tidak diizinkan berada dalam satu tempat kerja yang sama." "Lalu, kenapa kamu yang harus keluar? Kenapa bukan laki-laki miskin itu?" Nada suara Mayan
"Maafkan mamaku, ya. Dia memang selalu begitu," kata Febby, sambil melirik suaminya. Pria itu hanya mengangguk, menampilkan senyum lembut. "Tidak apa," jawabnya dengan suara penuh pengertian. "Ayo, kita ke kamar," ajak Febby. Rangga mengikutinya. Setibanya di dalam, Febby duduk di sisi ranjang, matanya tampak sendu. Rangga mendekat, meletakkan tasnya, dan duduk di samping istrinya. Dengan lembut, dia menyentuh tangan Febby, mengecup punggung tangan itu. Detak jantung Febby memburu, karena baru pertama kali dia merasakan sentuhan pria lain. "Aku tahu ini mungkin sulit bagimu... dan bagiku juga. Akan tetapi kita harus menjalani pernikahan ini kita awali tanpa benih cinta. Tapi percayalah, aku tidak ingin main-main dengan sakralnya pernikahan. Aku ingin menikah sekali saja dalam seumur hidup. Jika takdir menautkan kita melalui jalan pernikahan dadakan ini, maka aku berjanji, akan berusaha keras menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untukmu," ucap Rangga dengan suara yang men
"Apa kamu bilang, Rossa harus bekerja? Kamu baru datang ke rumah ini sudah berani ngatur-ngatur kebiasaan kami di sini? Asal kamu tahu saja, Febby dibesarkan dengan tanganku sendiri. Jadi wajar, setelah dia dewasa, dia harus membalas budi baikku karena telah membesarkannya hingga seperti sekarang. Kamu tidak berhak berbicara apa pun di rumah ini," kata sang mama mertua kepada Rangga. Saat perang kehendak, Febby menahan tangan suaminya agar tidak melanjutkan pertengkaran itu. "Hilang keinginan kami untuk makan hanya karena kehadiranmu di rumah ini. Aku harap lain kali kita tidak pernah berada dalam satu meja yang sama," jawab Rossa lalu beranjak dari tempat itu menuju kamarnya masing-masing. "Harusnya kamu tidak bicara seperti itu," kata Febby dengan suara sendu, menatap ke arah suaminya. "Aku bicara sebenarnya. Seharusnya mereka tahu malu, sudah menyusahkanmu. Rossa itu sudah dewasa, harusnya dia bisa menanggung hidupnya sendiri," jawab Rangga. "Bahkan Nona Febby dulu sering ribut
Sret! Rangga menarik pinggang sang istri, hingga tubuh Febby terbentur di dada bidang pria itu. Demi apapun, keduanya sebenarnya canggung. Namun Rangga merasa dia berhak untuk meminta Febby melakukan kewajibannya. Rangga memiringkan kepalanya, mulai meraup bibir ranum istrinya. "Emmmph....." Febby tampak kaku, namun ia tak menolak sentuhan pria di hadapannya ini. Rangga melumat bibir manis Febby, melesakan lidahnya ke dalam sana, mencecap rasa nikmat itu penuh hasrat. Ciuman itu terlepas setelah keduanya kehabisan oksigen. Rangga mulai mencium leher Febby, memberi tanda kepemilikan di sana. “Aaaaaaah,” Febby mendesah pelan, saat tangan Rangga mulai meremas dadanya. yang masih terhalang pakaian. “Boleh aku melakukannya?” tanya Rangga. Meski pernikahan keduanya tanpa pesta seperti pada umumnya, namun Rangga berjanji akan menjadikan Febby satu-satunya wanita di dalam hatinya. Sang istri cantik membalas dengan Anggukan, membuat Rangga tersenyum. Matanya sudah berkabut hasrat.
"Non yang sabar ya," ucap pelayan dari belakang Febby. Febby mengangguk, "terima kasih Bi," jawabnya, "saya ke kamar dulu Bi," pamitnya lagi. Tanpa menunggu jawaban, Febby masuk ke dalam kamarnya, dan tak keluar lagi, sampai akhirnya Rangga pulang bekerja. Ceklek Rangga membuka pintu kamar Febby, matanya langsung bertemu dengan mata sembab sang istri. Tangis Febby semakin kencang, saat melihat suaminya mendekat, dan tanpa canggung lagi dia masuk dalam dekapan sang suami. "Kenapa Feb?" tanya Rangga setelah mengurai pelukannya. "Ma--mama, menyuruhku untuk bekerja di tempat hiburan malam. Kata Mama hanya dengan bekerja di sana aku bisa menghasilkan uang sebanyak yang Mama mau." Rangga memeluk kembali istrinya. Dia memejamkan mata, sempat emosi namun tak ingin memperkeruh keadaan. "Lalu kamu jawab apa?" tanya Rangga. "Aku bilang tidak mau. Aku tidak akan merendahkan harga diriku untuk melakukan hal konyol demi uang. Mama jahat, selalu mengungkit jasanya telah membesarkan aku, pad
“Kenapa Mama memecat Bibi? Bahkan Bibi sudah menemani kita cukup lama Ma, kenapa begitu mendadak?” tanya Febby.“Karena pengeluaran di rumah ini harus ditekan. Sebelum kamu kembali bekerja, maka semua pekerjaan rumah harus kamu kerjakan. Ini sudah menjadi keputusan Mama yang tidak bisa kamu bantah lagi,” ucap Mayang tegas.Wanita itu menoleh pada pelayan, “Cepat, kemasi barang-barang Bibi. Mulai hari ini, Bibi sudah tidak bekerja lagi di rumah ini.”BraaaaakMayang membanting pintu kamarnya setelah dengan tegas memecat pelayan yang telah puluhan tahun menemani mereka.Tak ada yang bisa dilakukan oleh Febby selain berterima kasih dan meminta maaf kepada pelayannya.Sementara itu, di dalam kamarnya, Mayang sedang berbicara dengan Rossa, anak kandung yang paling dia sayangi.“Kalau tidak ada Bibi, apa Mama yakin Febby akan mengerjakan semuanya dengan baik?” tanya Rossa.“Justru itu yang Mama mau. Dia tidak akan bisa melakukan tugas Bibi dengan baik. Dengan begitu, Mama bisa mendesaknya u
“Kami hanya kasihan pada Febby, Pak Adam,” ucap salah satu ibu-ibu itu.“Sebaik apapun niat kalian, akan jauh lebih baik kalau kalian fokus pada kehidupan masing-masing. Berhenti bergosip dengan dalih kasihan pada Febby.”Para ibu-ibu itu bergegas membereskan belanjaannya dan membayarnya. Mereka tak mau berurusan dengan Adam, orang yang paling disegani dan paling berkuasa di perumahan itu.“Lanjutkan belanjamu, Feb. Bapak mau melanjutkan jogging dulu.”Febby mengangguk. “Terima kasih, Pak Adam.”Febby kembali fokus pada penjual sayur. Setelah mendapatkan yang dia butuhkan, Febby langsung menuju rumahnya.Saat membuka pintu rumah, suara sang mama tiri terdengar nyaring hingga menyentak telinganya.“Kerjakan semua pekerjaan rumah, masak, masakkan yang enak untuk Mama dan Rossa.”“Baik, Ma,” jawab Febby.Febby menuju dapur, lalu menyiapkan sarapan, makan siang, serta makan malam untuk keluarganya. Febby juga membersihkan rumah dan semua kamar di rumah itu. Dia juga menyetrika hingga tak