Share

Bab 4

"Maafkan mamaku, ya. Dia memang selalu begitu," kata Febby, sambil melirik suaminya.

Pria itu hanya mengangguk, menampilkan senyum lembut. "Tidak apa," jawabnya dengan suara penuh pengertian.

"Ayo, kita ke kamar," ajak Febby. Rangga mengikutinya.

Setibanya di dalam, Febby duduk di sisi ranjang, matanya tampak sendu. Rangga mendekat, meletakkan tasnya, dan duduk di samping istrinya.

Dengan lembut, dia menyentuh tangan Febby, mengecup punggung tangan itu. Detak jantung Febby memburu, karena baru pertama kali dia merasakan sentuhan pria lain.

"Aku tahu ini mungkin sulit bagimu... dan bagiku juga. Akan tetapi kita harus menjalani pernikahan ini kita awali tanpa benih cinta. Tapi percayalah, aku tidak ingin main-main dengan sakralnya pernikahan. Aku ingin menikah sekali saja dalam seumur hidup. Jika takdir menautkan kita melalui jalan pernikahan dadakan ini, maka aku berjanji, akan berusaha keras menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untukmu," ucap Rangga dengan suara yang menggetarkan.

Febby menatap dalam ke mata Rangga, mencari setitik pun kebohongan dalam kilau matanya, namun yang ia temukan hanyalah kesungguhan.

"Selama ini, hidupku selalu dihimpit beban yang berat," Febby bersuara lirih, matanya berkaca-kaca menahan penderitaan yang merasuk hingga ke tulang sumsum. "Aku hanya hidup untuk memenuhi harapan mama, mengerjakan pekerjaan yang tak pernah aku impikan, semua waktuku hanya bekerja dan bekerja. Bahkan ketika orang bertanya, aku hanya bisa menyebutkan mobil dan rumah ini, warisan satu-satunya dari Papa, dan aku tidak punya tabungan apapun."

Suaranya bergetar, seraya mengambil napas dalam-dalam, berusaha meredakan gejolak di dalam dada yang seperti mau meledak.

Di sisi lain, Rangga, dengan pandangan yang amat dalam, mengerti benar arah obrolan yang diutarakan oleh istrinya.

Ia merespons dengan nada penuh kehati-hatian, "Aku ingin kita tetap bersama bukan hanya karena latar belakangmu sebagai manajer keuangan dulu, tapi karena komitmenku pada pernikahan ini, Febby." Wajahnya menunjukkan kecemasan, "Aku hidup sebatang kara di dunia ini setelah kehilangan kedua orang tuaku. Aku tidak ingin melakukan kesalahan, tidak ingin menambah dosa dengan memenuhi keinginan Mamamu, aku hanya berharap kebaikan yang aku lakukan di dunia mampu menembus langit, membawa doa untuk ketenangan kedua orang tuaku."

Febby menatap wajah suaminya, mencari sepercik pengertian di sana. Mungkin ucapan-ucapan yang meluncur dari lisannya tadi telah menusuk hati Rangga, karena dia hanyalah seorang karyawan magang di perusahaan itu, jauh dari citra sukses yang selama ini dibanggakan.

Air mata yang sejak tadi ditahannya, akhirnya jatuh membasahi pipi, menciptakan luka yang baru di hati yang sudah terluka.

"Aku janji, takkan pernah ada air mata atau kelelahan yang kamu rasakan selama kamu bersamaku. Demi apapun, aku ingin mempertahankan pernikahan kita, bukan karena status pekerjaanmu sebelumnya, tapi karena aku sangat menghargai ikrar suci kita," ucap Rangga dengan nada penuh tekad, yang mampu menembus hati Febby.

Febby mengangguk, “aku percaya padamu, maaf kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu.” Rangga membalas dengan anggukan dan senyum hangat.

"Baiklah, kamu istirahat saja dulu. Aku akan ke dapur untuk memastikan apakah bibi sudah menyiapkan makan malam. Ini makan malam pertamamu di rumah, dan apapun yang Mama ucapkan nanti, tolong jangan diambil hati ya," kata Febby dengan lembut.

“Tidak masalah,” jawab Rangga.

"Taruh saja bajumu, dan biar nanti aku yang menyimpannya di lemari. Jika kamu ingin mandi, gunakan handuk baru ini." ujar Febby, sambil menyerahkan handuk besar itu kepada suaminya.

Setelah Febby pergi, Rangga berbisik kepada dirinya sendiri dengan penuh tekad, "Aku janji akan membuatmu bahagia dan menjadikanmu satu-satunya wanita dalam hidupku."

Tepat pukul 19.00, suasana tegang menyelimuti meja makan. Itu malam pertama Rangga duduk bersama untuk makan malam dengan Febby dan keluarganya.

Suasana semakin mencemaskan ketika sang Mama mertua menatap tajam dan berkata, "Jadi kamu akan tinggal di rumah ini sampai Febby kalian bercerai?"

"Iya, Ma, aku tinggal di sini, dan kami tidak akan pernah bercerai," jawab Rangga tegas.

Rossa, yang duduk di samping sang mama dengan sinis menambahkan, "Ya jelaslah dia tinggal di sini, Ma. Mana mungkin dia akan tinggal di tempat lain, mengingat kita semua tahu dia pria miskin yang tak berguna. Sekarang, dia akan memanfaatkan situasi untuk hidup enak di rumah ini."

Febby, mencoba meredam situasi memanas, menengahi, "Mama, kakak, sebaiknya kita makan dulu. Tidak baik ribut di atas meja makan."

Namun, ucapan itu tak berguna, "Pokoknya, Mama tidak mau tahu, Febby. Kamu harus kembali bekerja. Terserah kamu, mau bekerja di kantormu yang lama atau mencari pekerjaan di tempat lain. Mama mau kamu kembali bekerja!"

“Ma. Febby sudah bilang kalau suami istri tidak bisa bekerja dalam satu kantor.”

“Makanya jangan jadi orang bodoh. Mana mungkin Bosmu lebih memilih karyawan magang ini untuk bertahan di sana? Pasti ini sudah menjadi rencananya. Buka matamu Febby,” pekik sang mama mulai tersulut Emosi.

“Tidak baik seorang istri bekerja mencari nafkah, biarlah semua tanggung jawab ini saya yang ambil alih.”

Rossa dan Mayang tertawa terbahak-bahak. “Dengan gajimu yang sebagai anak magang itu, kamu mau membiayai hidup kami berdua?”

Febby memijat kepalanya yang mulai berdenyut. Sakit sekali rasanya, bahkan mereka belum menyentuh makanan itu sama sekali.

“Kenapa Kak Rossa tidak bekerja saja agar bisa memenuhi kebutuhan sendiri?”

Mayang dan Rossa melotot menatap Rangga penuh amarah. Beraninya pria sederhana itu berbicara pada mereka?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status