"Non yang sabar ya," ucap pelayan dari belakang Febby. Febby mengangguk, "terima kasih Bi," jawabnya, "saya ke kamar dulu Bi," pamitnya lagi. Tanpa menunggu jawaban, Febby masuk ke dalam kamarnya, dan tak keluar lagi, sampai akhirnya Rangga pulang bekerja. Ceklek Rangga membuka pintu kamar Febby, matanya langsung bertemu dengan mata sembab sang istri. Tangis Febby semakin kencang, saat melihat suaminya mendekat, dan tanpa canggung lagi dia masuk dalam dekapan sang suami. "Kenapa Feb?" tanya Rangga setelah mengurai pelukannya. "Ma--mama, menyuruhku untuk bekerja di tempat hiburan malam. Kata Mama hanya dengan bekerja di sana aku bisa menghasilkan uang sebanyak yang Mama mau." Rangga memeluk kembali istrinya. Dia memejamkan mata, sempat emosi namun tak ingin memperkeruh keadaan. "Lalu kamu jawab apa?" tanya Rangga. "Aku bilang tidak mau. Aku tidak akan merendahkan harga diriku untuk melakukan hal konyol demi uang. Mama jahat, selalu mengungkit jasanya telah membesarkan aku, pad
“Kenapa Mama memecat Bibi? Bahkan Bibi sudah menemani kita cukup lama Ma, kenapa begitu mendadak?” tanya Febby.“Karena pengeluaran di rumah ini harus ditekan. Sebelum kamu kembali bekerja, maka semua pekerjaan rumah harus kamu kerjakan. Ini sudah menjadi keputusan Mama yang tidak bisa kamu bantah lagi,” ucap Mayang tegas.Wanita itu menoleh pada pelayan, “Cepat, kemasi barang-barang Bibi. Mulai hari ini, Bibi sudah tidak bekerja lagi di rumah ini.”BraaaaakMayang membanting pintu kamarnya setelah dengan tegas memecat pelayan yang telah puluhan tahun menemani mereka.Tak ada yang bisa dilakukan oleh Febby selain berterima kasih dan meminta maaf kepada pelayannya.Sementara itu, di dalam kamarnya, Mayang sedang berbicara dengan Rossa, anak kandung yang paling dia sayangi.“Kalau tidak ada Bibi, apa Mama yakin Febby akan mengerjakan semuanya dengan baik?” tanya Rossa.“Justru itu yang Mama mau. Dia tidak akan bisa melakukan tugas Bibi dengan baik. Dengan begitu, Mama bisa mendesaknya u
“Kami hanya kasihan pada Febby, Pak Adam,” ucap salah satu ibu-ibu itu.“Sebaik apapun niat kalian, akan jauh lebih baik kalau kalian fokus pada kehidupan masing-masing. Berhenti bergosip dengan dalih kasihan pada Febby.”Para ibu-ibu itu bergegas membereskan belanjaannya dan membayarnya. Mereka tak mau berurusan dengan Adam, orang yang paling disegani dan paling berkuasa di perumahan itu.“Lanjutkan belanjamu, Feb. Bapak mau melanjutkan jogging dulu.”Febby mengangguk. “Terima kasih, Pak Adam.”Febby kembali fokus pada penjual sayur. Setelah mendapatkan yang dia butuhkan, Febby langsung menuju rumahnya.Saat membuka pintu rumah, suara sang mama tiri terdengar nyaring hingga menyentak telinganya.“Kerjakan semua pekerjaan rumah, masak, masakkan yang enak untuk Mama dan Rossa.”“Baik, Ma,” jawab Febby.Febby menuju dapur, lalu menyiapkan sarapan, makan siang, serta makan malam untuk keluarganya. Febby juga membersihkan rumah dan semua kamar di rumah itu. Dia juga menyetrika hingga tak
"Sebentar," kata Febby, menghentikan kegiatan pemanasan mereka."Febbyyyyyyyy," teriak Rossa sekali lagi. Kali ini sambil menggedor pintu kamar sang adik tiri.Rangga memijat kepalanya, kenapa istrinya seakan diperlakukan seperti pelayan? Bukankah rumah ini milik orang tua kandung Febby? pikir Rangga."Aku keluar dulu, ya," pamitnya pada Rangga setelah berhasil membuat pakaian Rangga berantakan.Ceklek."Mana makan malamnya? Kami mau makan, karena akan pergi," ucap Rossa dengan suara keras."Sebentar, Kak, Febby siapkan dulu di meja makan," jawab Febby.Febby melangkah menuju dapur, air mata yang akan tumpah sekuat tenaga dia tahan. Febby tak ingin memancing amarah sang kakak tiri lagi.'Ya Tuhan, aku lelah,' keluh Febby dalam hati. Seharian ini dia tak sempat istirahat karena harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk melayani kakak dan Mama tirinya.Febby menyajikan semua makanan di atas meja, lalu memanggil kakak dan Mama tirinya."Tinggalkan kami, kami tak ingin satu meja d
“Rangga, saya harus mengatakan bahwa saya sangat terkesan dengan presentasimu hari ini. Apa yang kamu lakukan di sini jauh melebihi ekspektasi saya. Kamu tidak hanya memahami pasar dengan sangat baik, tetapi juga mampu menyusun strategi yang sangat tepat untuk perusahaan ini. Saya sudah cukup lama berada di industri ini, tapi apa yang kamu tunjukkan hari ini sungguh di luar prediksi awal saya,” ujar Brian.Pujian dari Brian membuat Rangga merasa sangat dihargai, namun ia tetap merendah. “Terima kasih, Pak Brian. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaan ini,” jawab Rangga dengan senyum tulus.Brian pagi ini sengaja mengadakan rapat hanya dengan tim pemasaran, karena tim ini memiliki andil besar dalam kemajuan perusahaan.“Untuk karyawan magang lainnya, kalian juga punya kesempatan yang sama seperti Rangga. Kalian harus bisa menunjukkan kemampuan penjualan kalian. Keluarkan semua keterampilan yang kalian miliki dan bekerjalah dengan totalitas,” ucap Brian.“Siap, Pak
"Kenapa sepertinya dia sangat membenciku?" tanya Rangga pada dirinya sendiri. Saat keluar dari ruangan Brian, ia melihat John masih merencanakan kelicikan untuknya.Tak mau ambil pusing, Rangga bergegas ke lapangan untuk kembali menjual properti milik Sejahtera Group. Sebentar lagi, keinginannya akan terwujud—menjadi karyawan tetap di perusahaan ini.Saat sedang melajukan motornya, Rangga memutuskan untuk menepi sebentar, guna menghubungi Arka."Halo, Tuan," sapa suara di seberang telepon."Arka, sepertinya John punya niat buruk padaku. Hari ini Brian banyak memuji kinerjaku. Awasi dia, ya. Jangan sampai John menghambat rencana kita.""Baik, Tuan. Akan saya laksanakan segera. Keadilan harus ditegakkan."Setelah itu, Rangga memutus sambungan telepon dan kembali melajukan motor bututnya menuju lokasi yang telah disepakati dengan klien yang akan membeli properti Sejahtera Group.Sementara itu, di tempat lain, Febby kembali dimarahi oleh sang mama tiri."Cepat serahkan sisa uang yang kamu
“Kembalikan uang itu!” pekik Febby, ingin merebut uangnya kembali dari tangan pria yang tak asing baginya.“Maksudmu uang ini aku kembalikan?” tanya pria tersebut. “Bahkan kamu belum mencicil sedikit pun utang dari Rossa. Aku tak peduli siapa yang berhutang, yang jelas kalian wajib membayarnya,” tambah pria itu lagi.“Kumohon, jangan sekarang. Aku benar-benar membutuhkan uang itu. Aku sudah berhenti bekerja, dan sengaja menjual sisa perhiasanku hanya untuk membeli kebutuhan rumah,” jawab Febby penuh permohonan.Namun, pria itu malah tertawa terbahak-bahak. “Kamu pikir aku peduli dengan apa yang terjadi dalam hidupmu? Kalian semua sama. Disaat berutang, mulutnya begitu manis, tapi ketika harus mengembalikan, semua saling tuduh dan tidak mau membayarnya,” tegas pria itu penuh amarah kepada Febby.“Aku tidak mau bayar karena aku tidak pernah berutang padamu! Aku tidak pernah punya urusan denganmu! Harusnya kau minta sama Kak Rossa dan Mama, bukan sama aku! Sini, kembalikan uangku!” kata
"Masuk. Tuan Brata menunggumu di dalam," ucap salah satu orang suruhan sang rentenir. Hanya butuh waktu satu jam saja, akhirnya mereka bisa membawa Rossa datang menemui majikannya.Rossa pun segera masuk ke dalam ruangan yang dimaksud. Di dalam ruangan itu, terlihat wajah Tuan Brata babak belur. Ia sudah menduga, ini pasti ada hubungannya dengan adik tirinya, sehingga Tuan Brata mengutus orang mencarinya dan meminta Rossa datang saat itu juga."Apa yang terjadi, Tuan?" tanya Rossa, duduk persis di hadapan Tuan Brata. Rentenir tersebut menghisap rokok dan membuang asapnya ke udara. Rossa beberapa kali terbatuk akibat asap rokok itu."Kamu masih bertanya apa yang terjadi? Ini semua atas ulah adik iparmu yang tiba-tiba saja datang, sok jadi pahlawan untuk melindungi Febby," ucapnya menjelaskan.Rossa sangat kesal mendengar Rangga yang menjadi penyebab kemarahan Tuan Brata.Tuan Brata kini menoleh ke arah Rossa yang duduk di hadapannya, lalu bertanya, "Kapan kamu akan melunasi hutangmu? K