Tiara tidak bisa mendengar apapun lagi, memilih menyendiri di dalam kamar. Merenungi keputusan yang sudah sempat membuat putrinya kebingungan harus menentukan pilihan, ikut siapa. Dan benar saja, setelah hampir satu jam terjadi pergolakan batin, sekarang Tiara bisa sedikit tenang. Walaupun kenyataan tentang Ziyan yang masih hidup belum sepenuhnya ia terima."Bagaimana bisa mereka bermain-main dengan kematian, apa mereka tidak tahu bagaimana sakitnya kehilangan?" ujarnya bermonolog. "Tapi ternyata, merasa kecewa pada seseorang juga tak kalah menyakitkan," lanjutnya lemah.Pandangan Tiara menurun begitu merasakan gerakan pelan di perutnya. Senyum seketika melengkung indah, dibarengi rasa lega manakala teringat sosok rapuh didalam sana masih bergerak aktif. Setidaknya ada alasan Tiara memilih tetap bertahan. Yah, Nana serta calon anak keduanya-lah yang akhirnya membuat Tiara sadar, jika pergi bukan keputusan akhir dari rasa kecewa yang tengah dihadapi. "Maafkan mama sudah sempat mengabaik
Dua hari telah berlalu setelah malam kunjungan Ziyan ke rumah Bram, hubungan Sari dengan Thomas pun kembali membaik setelah Sari menceritakan semuanya, dan akhirnya Thomas bisa memaklumi. Namun, berbeda dengan Tiara yang masih betah mendiamkan Bram. Bahkan ia memilih tidur bersama Nana dan akan langsung keluar begitu melihat kehadiran Bram di kamar putri mereka.Untuk itu, Bram hanya bisa diam-diam mengunjungi dua wanitanya saat tengah malam. Setelah memastikan mereka sudah terlelap. Tapi kali ini, Bram seketika tersentak saat mendapati di ranjang hanya ada Nana, ia mendekati kamar mandi dan menajamkan pendengaran. Namun, sepersekian detik berlalu, tak ada suara apapun dari dalam sana. Tidak ingin membuang waktu Bram bergegas keluar setelah menyempatkan diri membenahi selimut Nana. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Tiara, bahkan terlintas di benaknya jika wanita itu bisa saja pergi meninggalkannya lagi."Tidak akan aku biarkan jika dia sampai nekat melakukannya lagi. Sekalipun itu ke l
Melihat Bram sudah seperti orang linglung, kemarahan Tiara sedikit meredam. Baru kembali berbicara setelah beberapa saat. "Kamu tahu? Tuan Hutoyo dan Nyonya Lasmini sangat membenciku sampai detik ini. Mereka menganggap aku-lah penyebab hancurnya persahabatan kalian. Tuan Hutoyo bahkan sampai mengusir Ziyan, dan tidak lagi mengakui anak jika tetap mempertahankan aku." Kesadaran Bram seperti ditarik paksa, penjelasan Tiara mampu mengembalikan dirinya ke alam nyata. "Semua itu Ziyan lakukan hanya demi kemanusiaan, demi melindungi aku dan anakmu. Dari siapa?" Bram memejamkan mata, mengetahui Tiara sengaja menjeda kalimatnya. Tiara sendiri merasa dadanya kembali sesak, kala mengingat bagaimana dulu ia harus lari sejauh mungkin jika ingin tetap hidup. "Mawar," lanjut Tiara pelan.Mata Bram seketika melebar sempurna, hingga nyaris lepas dari cangkangnya. Bersamaan dengan kedua tangan yang terkepal kuat, nafasnya pun memburu bak singa yang siap menerkam mangsanya. Namun, tiba-tiba bahunya men
"Bram!"Merry terperanjat begitu membuka pintu apartemen, mendapati sosok yang tidak diperkirakan kedatangannya, kini bisa berdiri dengan kepala sedikit tertunduk di hadapannya. Benarkah itu Bram? Sahabat lama yang sekarang menjadi rival suaminya. Lantas, untuk apa dia datang? Mungkinkan…?"A-apa kabar Bram?" Tidak ingin semakin tenggelam dalam kecemasan, Merry berusaha bersikap ramah dengan menanyakan kabar terlebih dulu. Kendati mereka tidak memiliki masalah pribadi, akan tetapi Merry cukup sadar diri dengan menjadi istri Ziyan, walaupun jelas dari tatapan Bram padanya, masih sama seperti beberapa tahun lalu saat terakhir kali mereka bertemu."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, dan aku juga bisa melihat itu darimu." Keduanya kompak tersenyum. Tapi Merry lebih menunjukkan senyum lega. Kekhawatiran yang sempat dirasakan sebelumnya pun perlahan memudar. Melihat bagaimana reaksi Bram padanya, bisa diartikan jika pria itu tidak mengaitkan dirinya ke dalam perselisihan yang sedan
Ziyan seketika mematung saat pandangannya bertemu dengan Bram. Atmosfer ruangan juga mendadak berubah dingin, manakala dua pasang mata itu sama-sama menguncikan pandangan. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut keduanya, tetapi jauh dari itu, jantung mereka saling bertalu kencang di dalam sana. Sadar situasi diantara dua lelaki itu harus segera dicairkan, Merry bersuara lebih dulu. "Honey, kau lama sekali? Katanya hanya sebentar. Apa kau mendatangi tempat lain?"Seketika Ziyan menoleh, dan memaksakan senyum untuk merespon pertanyaan beruntung sang istri. Begitu juga dengan Bram yang langsung membuang pandangan ke samping kiri."Aku kerumah papi dulu tadi, pelayan rumah ada yang memberitahuku kalau papi sedang tidak enak badan tadi, saat aku sudah dijalan arah pulang.""Papi sakit? Kalau begitu aku akan berkemas. Kita bermalam di sana saja malam ini." Ziyan hanya mengangguk menanggapi kecemasan sang istri. Begitu Merry pergi, tinggal dua lelaki yang kembali dalam keheningan. M
Hari berlalu, bulan berganti. Tidak ada lagi ketegangan ataupun dendam yang harus dituntaskan. Hubungan Bram dengan Ziyan sudah kembali membaik setelah tiga bulan berlalu. Kini, mereka tengah fokus mencari Damar yang merupakan saksi kunci dari kasus yang menjerat Metha. Sebenarnya Bram tidak ingin melakukannya, terlebih setelah Thomas dengan tegas menolak membantu. Tetapi mengingat hubungannya dengan Ziyan baru membaik, setelah bertahun-tahun dipenihi ketegangan, akhirnya ia tidak punya pilihan lain. Tujuan Bram membantu mencari keberadan Damar, tak lain sebagai tanda balas budi, bagaimana dulu Ziyan melindungi Tiara dari Mawar."Bagaimana Nick? Apa masih belum ada perkembangan? Kita sudah tiga bulan pencarian, tapi belum juga menemukan titik terang dimana pecundang itu bersembunyi."Nick Miller, pria berkewarganegaraan Spanyol yang merupakan agen rahasia, sekaligus orang kepercayaan Bram, hanya tertunduk pasrah. Untuk pertama kalinya, pria itu merasa tidak percaya diri menatap Bram—o
"Apa Tuan Bram datang?"Begitu turun dari mobil, pandangannya Sari langsung tertuju pada mobil hitam yang beberapa bulan lalu membuatnya penasaran, dan kini sedang terparkir tepat di samping mobil yang baru saja ia tumpangi.Mendengar pertanyaan Sari seorang pria berbadan besar yang berdiri di samping mobil setelah membuka pintu untuknya, menoleh pada dua pria lain yang ada di seberang mobil, seolah bertanya, 'apakah kalian tahu?'"Ah, lupakan. Bagaimana kalian mengetahuinya, Tuan Bram datang atau tidak. Kalian saja seharian membuntutiku," gerutu Sari memilih melangkah menuju pintu utama yang tinggal beberapa langkah lagi. Ketiga pria berbadan besar itu tidak lagi mengikuti Sari memasuki rumah. Mereka cukup hanya memperhatikan dari tempat berdiri, sampai akhirnya tubuh ramping Sari menghilang di balik pintu utama."Sepi," gumam Sari sambil mengedarkan pandangan, begitu memasuki ruang tamu rumahnya yang berukuran cukup luas."Anda sudah pulang, Nyonya?""Astaga! Mbak Retno, ngagetin aj
"Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya. Apakah dia lebih banyak menurunku atau dirimu.""Sebentar lagi, dua bulan lagi kita bisa melihatnya. Jika benar dia laki-laki, pasti akan tampan sepertimu."Bram yang tengah menempelkan telinga di perut besar Tiara, seketika mengangkat kepala."Benarkah? Tapi Nana saja yang perempuan banyak menurunku, bisa jadi dia akan lebih banyak menurunmu." Tiara hanya tersenyum, apa yang Bram katakan memang benar adanya. Nana banyak menurun paras Bram, dan hampir delapan puluh persen. Sementara ia hanya terselip di bagian bibir juga senyum putrinya. Apakah adil? Dirinya yang mengandung, juga merasakan sakitnya melahirkan. Tapi justru gen Bram yang lebih banyak dalam tubuh putri mereka. Lantas, pada anak kedua mereka apakah akan terjadi hal serupa?Entahlah, tidak penting menurun siapa. Karena menurut Tiara keduanya tetap anak-anaknya yang akan sepenuh hati ia sayangi. Bahkan mengorban nyawa pun akan Tiara lakukan, demi mereka---belahan hatinya."Astaga Sa