"Bram!"Merry terperanjat begitu membuka pintu apartemen, mendapati sosok yang tidak diperkirakan kedatangannya, kini bisa berdiri dengan kepala sedikit tertunduk di hadapannya. Benarkah itu Bram? Sahabat lama yang sekarang menjadi rival suaminya. Lantas, untuk apa dia datang? Mungkinkan…?"A-apa kabar Bram?" Tidak ingin semakin tenggelam dalam kecemasan, Merry berusaha bersikap ramah dengan menanyakan kabar terlebih dulu. Kendati mereka tidak memiliki masalah pribadi, akan tetapi Merry cukup sadar diri dengan menjadi istri Ziyan, walaupun jelas dari tatapan Bram padanya, masih sama seperti beberapa tahun lalu saat terakhir kali mereka bertemu."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, dan aku juga bisa melihat itu darimu." Keduanya kompak tersenyum. Tapi Merry lebih menunjukkan senyum lega. Kekhawatiran yang sempat dirasakan sebelumnya pun perlahan memudar. Melihat bagaimana reaksi Bram padanya, bisa diartikan jika pria itu tidak mengaitkan dirinya ke dalam perselisihan yang sedan
Ziyan seketika mematung saat pandangannya bertemu dengan Bram. Atmosfer ruangan juga mendadak berubah dingin, manakala dua pasang mata itu sama-sama menguncikan pandangan. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut keduanya, tetapi jauh dari itu, jantung mereka saling bertalu kencang di dalam sana. Sadar situasi diantara dua lelaki itu harus segera dicairkan, Merry bersuara lebih dulu. "Honey, kau lama sekali? Katanya hanya sebentar. Apa kau mendatangi tempat lain?"Seketika Ziyan menoleh, dan memaksakan senyum untuk merespon pertanyaan beruntung sang istri. Begitu juga dengan Bram yang langsung membuang pandangan ke samping kiri."Aku kerumah papi dulu tadi, pelayan rumah ada yang memberitahuku kalau papi sedang tidak enak badan tadi, saat aku sudah dijalan arah pulang.""Papi sakit? Kalau begitu aku akan berkemas. Kita bermalam di sana saja malam ini." Ziyan hanya mengangguk menanggapi kecemasan sang istri. Begitu Merry pergi, tinggal dua lelaki yang kembali dalam keheningan. M
Hari berlalu, bulan berganti. Tidak ada lagi ketegangan ataupun dendam yang harus dituntaskan. Hubungan Bram dengan Ziyan sudah kembali membaik setelah tiga bulan berlalu. Kini, mereka tengah fokus mencari Damar yang merupakan saksi kunci dari kasus yang menjerat Metha. Sebenarnya Bram tidak ingin melakukannya, terlebih setelah Thomas dengan tegas menolak membantu. Tetapi mengingat hubungannya dengan Ziyan baru membaik, setelah bertahun-tahun dipenihi ketegangan, akhirnya ia tidak punya pilihan lain. Tujuan Bram membantu mencari keberadan Damar, tak lain sebagai tanda balas budi, bagaimana dulu Ziyan melindungi Tiara dari Mawar."Bagaimana Nick? Apa masih belum ada perkembangan? Kita sudah tiga bulan pencarian, tapi belum juga menemukan titik terang dimana pecundang itu bersembunyi."Nick Miller, pria berkewarganegaraan Spanyol yang merupakan agen rahasia, sekaligus orang kepercayaan Bram, hanya tertunduk pasrah. Untuk pertama kalinya, pria itu merasa tidak percaya diri menatap Bram—o
"Apa Tuan Bram datang?"Begitu turun dari mobil, pandangannya Sari langsung tertuju pada mobil hitam yang beberapa bulan lalu membuatnya penasaran, dan kini sedang terparkir tepat di samping mobil yang baru saja ia tumpangi.Mendengar pertanyaan Sari seorang pria berbadan besar yang berdiri di samping mobil setelah membuka pintu untuknya, menoleh pada dua pria lain yang ada di seberang mobil, seolah bertanya, 'apakah kalian tahu?'"Ah, lupakan. Bagaimana kalian mengetahuinya, Tuan Bram datang atau tidak. Kalian saja seharian membuntutiku," gerutu Sari memilih melangkah menuju pintu utama yang tinggal beberapa langkah lagi. Ketiga pria berbadan besar itu tidak lagi mengikuti Sari memasuki rumah. Mereka cukup hanya memperhatikan dari tempat berdiri, sampai akhirnya tubuh ramping Sari menghilang di balik pintu utama."Sepi," gumam Sari sambil mengedarkan pandangan, begitu memasuki ruang tamu rumahnya yang berukuran cukup luas."Anda sudah pulang, Nyonya?""Astaga! Mbak Retno, ngagetin aj
"Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya. Apakah dia lebih banyak menurunku atau dirimu.""Sebentar lagi, dua bulan lagi kita bisa melihatnya. Jika benar dia laki-laki, pasti akan tampan sepertimu."Bram yang tengah menempelkan telinga di perut besar Tiara, seketika mengangkat kepala."Benarkah? Tapi Nana saja yang perempuan banyak menurunku, bisa jadi dia akan lebih banyak menurunmu." Tiara hanya tersenyum, apa yang Bram katakan memang benar adanya. Nana banyak menurun paras Bram, dan hampir delapan puluh persen. Sementara ia hanya terselip di bagian bibir juga senyum putrinya. Apakah adil? Dirinya yang mengandung, juga merasakan sakitnya melahirkan. Tapi justru gen Bram yang lebih banyak dalam tubuh putri mereka. Lantas, pada anak kedua mereka apakah akan terjadi hal serupa?Entahlah, tidak penting menurun siapa. Karena menurut Tiara keduanya tetap anak-anaknya yang akan sepenuh hati ia sayangi. Bahkan mengorban nyawa pun akan Tiara lakukan, demi mereka---belahan hatinya."Astaga Sa
"Dia sudah tidur?"Melihat kemunculan Tiara, Bram yang sebelumnya duduk di sofa dekat ranjang, seketika bangkit."Sudah. Walaupun lebih lama dari biasanya, tapi akhirnya dia menyerah juga." Bram mengangguk dan membantu Tiara yang ingin duduk di sebelahnya. "Jangan ambil hati ya, aku juga terkejut Nana bisa berbicara seperti itu tadi. Tapi aku yakin, dia sendiri sebenarnya tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan.""Aku baik-baik saja," lirih Bram yang sudah kembali duduk dengan menopang kedua lengan di atas paha."Maaf. Aku sudah berbohong padanya, dulu. Jika saja aku jujur sejak awal, mungkin hal ini tidak akan terjadi." Terselip penyesalan dalam hati Tiara, karena sempat menunjukkan makam yang dianggap makam Ziyan pada Nana. Tetapi saat itu dirinya tidak punya pilihan lain selain melakukan hal itu, di tengah situasi yang mendesak. "Aku tahu kau terpaksa melakukannya, dan memang hanya itu satu-satu cara yang bisa kau lakukan saat dia bersikeras ingin mengetahui siapa papanya." Tiar
BUG!!Pukulan Bram kembali mendarat di wajah pria ketiga. Sorot kemarahan terlihat jelas sejak ia berdiri di hadapan para pengawal putrinya itu. Setelah semalam berusaha menahan diri, rupanya gemuruh semakin membakar dirinya hingga membuatnya tidak sabar menunggu matahari terbit. Alhasil, meski matahari belum sempurna menampakan diri, Bram sudah berdiri siap membuat perhitungan lebih dulu pada ketiganya."Siapa yang sudah berusaha mendekati putriku dalam beberapa hari terakhir?""Kami selalu berada disamping Nona Muda, Tuan. Selain guru pembimbing dan juga teman sekelasnya, tidak ada orang lain yang mendekat," jawab salah satu pria."Tapi nyatanya kalian tetap kecolongan," lirih Bram penuh penegasan. Ketiga mengawal itu hanya diam dengan kepala tertunduk. Melihat kemarahan sang tuan, mereka sadar telah melakukan kesalahan yang cukup fatal."Dan karena kelalaian kalian …" Bram mendesak nafas sekali, hatinya masih berdenyut nyeri mengingat bagaimana sorot kebencian Nana semalam pada dir
"Apa yang kau dapatkan?"Melihat orang yang ditunggu sudah berdiri di hadapannya, Bram segera menutup laptop dan memilih melipat tangan di atas meja—siap mendengarkan informasi dari Nick."Mungkin ini akan mengejutkan Anda, Tuan."Bram tidak berniat menimpali, dia lebih berminat menyimak apa yang sebenarnya ingin Nick sampaikan."Ternyata Subrata memiliki kebiasaan yang sulit diterima akal sehat, Tuan.""Maksudmu?" Dilihat dari reaksi, juga gerakan punggung yang menegang dan dilakukan secara bersamaan. Bisa dipastikan Bram cukup terkejut mendengarnya. "Apa dia seorang psikopat?""Ini berhubungan dengan mistik, Tuan. Dia selalu melakukan ritual setiap tahunnya yang sulit saya jelaskan pada Anda. Tapi bagaimana spesifiknya, dan dimana ritual tahunan itu biasa dilakukan. Saya masih berusaha mencari tahu.""Apakah ritual yang Subrata lakukan bisa diartikan menyimpang?""Sepertinya begitu, Tuan."Mencerna penjelasan Nick, benak Bram menerka-nerka ritual apa yang sebenarnya selalu Subrata la
Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar
"Siapkan diri kalian. Kita akan turun dan menghadapi mereka. Thom, buka peti di sebelahmu, itu senjata untuk kalian." Thomas yang baru melepas seat belt melirik sekilas kakaknya yang duduk di kursi belakang lewat kaca depannya. Tidak ingin membuang waktu, ia pun segera menuruti permintaan Aaron, membuka peti dan mengambil dua senjata untuknya juga Bram."Kau tahu kan bagaimana cara mengisi amunisinya?""Iya Kak, akan aku lakukan sekarang.""Bagus."Sementara Thomas sibuk mengisi amunisi di kedua pistol, Bram dan Aaron memperhatikan sekitar."Di gudang itulah markas mereka." Jari telunjuk Aaron mengacung pada satu-satunya bangunan di depan sana---masih harus berjalan puluhan meter dari tempat mobilnya berhenti. "Kali ini kalian harus mempertajam insting kalian, musuh bisa saja muncul dari tempat yang tidak kita ketahui."Sembari menerima pistol yang sudah siap dan diarahkan kepadanya, Bram berucap, "sebaiknya kita masuk dari arah yang berbeda.""Kau benar. Posisi kita sekarang ada di b
"Mereka memang menargetkan para wanita, karena tahu kau dan Thomas bisa beladiri.""Memangnya siapa mereka? Aku yakin bukan sesama bisnis sepertiku," ujar Bram penasaran."Kau benar. Mereka dari dunia bawah, sama seperti kelompokku. Hanya saja mereka tidak mengetahui jika kita berhubungan dekat. Untuk itu berani berbuat sejauh ini padamu. Karena menganggap kau dengan mudah mereka kendalikan.""Jadi kau sebenarnya sudah mengetahui mereka mengincar keluargaku?"Kini kelima pria tengah berunding di ruang tamu. Rupanya Aaron tidak datang sendiri, melainkan bersama orang kepercayaannya di dunia bawah. Setelah duduk, Pria bule itu langsung mengutarakan tujuan kedatangannya untuk membantu Bram, menemukan anak, istri juga adik iparnya yang diculik anak buah Brandon."Untuk itu aku menawarkan beberapa anak buahku padamu, karena aku tahu siapa musuhmu yang sebenarnya." Belum sempat Bram kembali membuka mulut, Aaron lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Jangan kau anggap aku tidak tahu, siapa yang
Bram akhirnya bisa tenang menyadari semua pengawalnya memang hanya berbekal tangan kosong. Berbeda dengan komplotan penyelundup yang berhasil membawa anak, istri juga adik iparnya yang diketahui semua bersenjata."Aku juga khawatir dengan keadaan Sari, Kak. Tapi kita harus berpikir jernih agar bisa menyelamatkan mereka. Ingat, jangan gegabah. Musuh bukan dari kalangan pebisnis seperti kita. Dilihat dari cara mereka menyerang, sepertinya mereka memang ahli di bidangnya."Tubuh Bram mulai melemah, benar apa yang Thomas katakan. Ia yakin, musuh mereka bukan warga sipil, maupun penegak hukum yang bisa bersikap lebih manusiawi pada korban yang mereka sandra. Melainkan komplotan yang memang sudah terbiasa berkecimpung di dunia bawah. Lantas, apakah mereka juga komplotan mafia?"Benar Tuan, jika dilihat dari cara mereka yang arogan. Saya yakin kita tidak akan menang melawan mereka, tanpa bantuan Tuan Aaron," sambung Nick.Bram semakin tercenung, benaknya seketika tertuju pada wanita-wanita te