"Dia sudah tidur?"Melihat kemunculan Tiara, Bram yang sebelumnya duduk di sofa dekat ranjang, seketika bangkit."Sudah. Walaupun lebih lama dari biasanya, tapi akhirnya dia menyerah juga." Bram mengangguk dan membantu Tiara yang ingin duduk di sebelahnya. "Jangan ambil hati ya, aku juga terkejut Nana bisa berbicara seperti itu tadi. Tapi aku yakin, dia sendiri sebenarnya tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan.""Aku baik-baik saja," lirih Bram yang sudah kembali duduk dengan menopang kedua lengan di atas paha."Maaf. Aku sudah berbohong padanya, dulu. Jika saja aku jujur sejak awal, mungkin hal ini tidak akan terjadi." Terselip penyesalan dalam hati Tiara, karena sempat menunjukkan makam yang dianggap makam Ziyan pada Nana. Tetapi saat itu dirinya tidak punya pilihan lain selain melakukan hal itu, di tengah situasi yang mendesak. "Aku tahu kau terpaksa melakukannya, dan memang hanya itu satu-satu cara yang bisa kau lakukan saat dia bersikeras ingin mengetahui siapa papanya." Tiar
BUG!!Pukulan Bram kembali mendarat di wajah pria ketiga. Sorot kemarahan terlihat jelas sejak ia berdiri di hadapan para pengawal putrinya itu. Setelah semalam berusaha menahan diri, rupanya gemuruh semakin membakar dirinya hingga membuatnya tidak sabar menunggu matahari terbit. Alhasil, meski matahari belum sempurna menampakan diri, Bram sudah berdiri siap membuat perhitungan lebih dulu pada ketiganya."Siapa yang sudah berusaha mendekati putriku dalam beberapa hari terakhir?""Kami selalu berada disamping Nona Muda, Tuan. Selain guru pembimbing dan juga teman sekelasnya, tidak ada orang lain yang mendekat," jawab salah satu pria."Tapi nyatanya kalian tetap kecolongan," lirih Bram penuh penegasan. Ketiga mengawal itu hanya diam dengan kepala tertunduk. Melihat kemarahan sang tuan, mereka sadar telah melakukan kesalahan yang cukup fatal."Dan karena kelalaian kalian …" Bram mendesak nafas sekali, hatinya masih berdenyut nyeri mengingat bagaimana sorot kebencian Nana semalam pada dir
"Apa yang kau dapatkan?"Melihat orang yang ditunggu sudah berdiri di hadapannya, Bram segera menutup laptop dan memilih melipat tangan di atas meja—siap mendengarkan informasi dari Nick."Mungkin ini akan mengejutkan Anda, Tuan."Bram tidak berniat menimpali, dia lebih berminat menyimak apa yang sebenarnya ingin Nick sampaikan."Ternyata Subrata memiliki kebiasaan yang sulit diterima akal sehat, Tuan.""Maksudmu?" Dilihat dari reaksi, juga gerakan punggung yang menegang dan dilakukan secara bersamaan. Bisa dipastikan Bram cukup terkejut mendengarnya. "Apa dia seorang psikopat?""Ini berhubungan dengan mistik, Tuan. Dia selalu melakukan ritual setiap tahunnya yang sulit saya jelaskan pada Anda. Tapi bagaimana spesifiknya, dan dimana ritual tahunan itu biasa dilakukan. Saya masih berusaha mencari tahu.""Apakah ritual yang Subrata lakukan bisa diartikan menyimpang?""Sepertinya begitu, Tuan."Mencerna penjelasan Nick, benak Bram menerka-nerka ritual apa yang sebenarnya selalu Subrata la
Bram akhirnya bisa tenang menyadari semua pengawalnya memang hanya berbekal tangan kosong. Berbeda dengan komplotan penyelundup yang berhasil membawa anak, istri juga adik iparnya yang diketahui semua bersenjata."Aku juga khawatir dengan keadaan Sari, Kak. Tapi kita harus berpikir jernih agar bisa menyelamatkan mereka. Ingat, jangan gegabah. Musuh bukan dari kalangan pebisnis seperti kita. Dilihat dari cara mereka menyerang, sepertinya mereka memang ahli di bidangnya."Tubuh Bram mulai melemah, benar apa yang Thomas katakan. Ia yakin, musuh mereka bukan warga sipil, maupun penegak hukum yang bisa bersikap lebih manusiawi pada korban yang mereka sandra. Melainkan komplotan yang memang sudah terbiasa berkecimpung di dunia bawah. Lantas, apakah mereka juga komplotan mafia?"Benar Tuan, jika dilihat dari cara mereka yang arogan. Saya yakin kita tidak akan menang melawan mereka, tanpa bantuan Tuan Aaron," sambung Nick.Bram semakin tercenung, benaknya seketika tertuju pada wanita-wanita te
"Mereka memang menargetkan para wanita, karena tahu kau dan Thomas bisa beladiri.""Memangnya siapa mereka? Aku yakin bukan sesama bisnis sepertiku," ujar Bram penasaran."Kau benar. Mereka dari dunia bawah, sama seperti kelompokku. Hanya saja mereka tidak mengetahui jika kita berhubungan dekat. Untuk itu berani berbuat sejauh ini padamu. Karena menganggap kau dengan mudah mereka kendalikan.""Jadi kau sebenarnya sudah mengetahui mereka mengincar keluargaku?"Kini kelima pria tengah berunding di ruang tamu. Rupanya Aaron tidak datang sendiri, melainkan bersama orang kepercayaannya di dunia bawah. Setelah duduk, Pria bule itu langsung mengutarakan tujuan kedatangannya untuk membantu Bram, menemukan anak, istri juga adik iparnya yang diculik anak buah Brandon."Untuk itu aku menawarkan beberapa anak buahku padamu, karena aku tahu siapa musuhmu yang sebenarnya." Belum sempat Bram kembali membuka mulut, Aaron lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Jangan kau anggap aku tidak tahu, siapa yang
"Siapkan diri kalian. Kita akan turun dan menghadapi mereka. Thom, buka peti di sebelahmu, itu senjata untuk kalian." Thomas yang baru melepas seat belt melirik sekilas kakaknya yang duduk di kursi belakang lewat kaca depannya. Tidak ingin membuang waktu, ia pun segera menuruti permintaan Aaron, membuka peti dan mengambil dua senjata untuknya juga Bram."Kau tahu kan bagaimana cara mengisi amunisinya?""Iya Kak, akan aku lakukan sekarang.""Bagus."Sementara Thomas sibuk mengisi amunisi di kedua pistol, Bram dan Aaron memperhatikan sekitar."Di gudang itulah markas mereka." Jari telunjuk Aaron mengacung pada satu-satunya bangunan di depan sana---masih harus berjalan puluhan meter dari tempat mobilnya berhenti. "Kali ini kalian harus mempertajam insting kalian, musuh bisa saja muncul dari tempat yang tidak kita ketahui."Sembari menerima pistol yang sudah siap dan diarahkan kepadanya, Bram berucap, "sebaiknya kita masuk dari arah yang berbeda.""Kau benar. Posisi kita sekarang ada di b
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak