"Apa ini?" tanya Alira.
"Surat perjanjian pernikahan," jawab Satria, menyentakkan hati Alira segera membuka berkas di tangannya.
Sebelum mengulaskan senyumnya, membekap mulutnya sendiri, dengan detak jantungnya yang tak karuan membaca surat perjanjian pernikahan.
Mengerutkan kening Satria, tak menyangka dengan ekspresi yang di lihatnya di wajah calon istrinya.
"Surat perjanjian pernikahan kita?" tanya Alira, tak menyadari binar bahagia di manik indahnya, beradu pandang dengan Satria yang terdiam.
"Kamu buta huruf? baca aja!" jawab Satria, tak melukai hati Alira, karena rasa bahagianya yang begitu bergelora.
Menyejukkan hatinya yang sempat merana, karena surat perjanjian pernikahan yang ada di tangannya.
Dengan klausul klausul yang begitu memuaskan hatinya, menghapus kisah sedih, kembali menciptakan harapan untuk masa depannya bersama dengan kekasih hatinya.
"Di situ tertulis, kalau kita hanya akan menikah dan bercerai setelah setahun pernikahan, dan aku akan memberikan kamu 500 juta sebagai bentuk konpensasi perceraian kita," ucap Satria, masih dengan wajah datarnya menatap Alira yang tampak senang membaca tiap baris kalimat yang ada di dalam surat pemberiannnya.
"Aku tidak akan menyentuhmu, dan selama kita menikah, kita akan tinggal di apartemenku, kita tidur terpisah dan jangan pernah sekalipun kamu mengurusi kehidupanku bersama dengan pacarku." Lanjut Satria, mengalihkan pandangan Alira.
"Oke Setuju! aku nggak akan pernah mencampuri segala urusan kamu dengan pacar kamu, itu artinya kamu juga nggak boleh mencampuri segala urusan pribadiku bersama dengan pacarku!" jawab Alira yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Satria.
"Dan masalah konpensasi aku nggak membutuhkannya, kamu bisa simpan sendiri untuk biaya pernikahan kamu dengan pacar kamu!" lanjut Alira, mengulaskan senyum bahagia di bibirnya.
Membayangkan masa depannya dengan Adam, setelah perceraiannya dengan Satria.
"Oke Ra! semuanya aman, kamu tinggal menyembunyikan semuanya dari Adam, hanya untuk setahun Ra! kamu harus sabar sebelum hidup bersama dan bahagia bersama dengan Adam," batinnya senang, sebelum mengalihkan pandanganya menatap Satria.
"Bulpen?" ucap Alira mengulurkan tangannya ke depan Satria.
Tak membuat Satria bersuara, hanya terdiam mengambil bulpen yang tersimpan untuk di berikannya kepada Alira.
"Tanda tangani di atas materai," ucap Satria.
"Oke!" jawab Alira, seraya mencoret nilai uang yang ada di dalam surat, kembali menggerakkan tangannya untuk menggoreskan tanda tangannya di atas materai.
"Sudah," ucap Alira, beradu pandang dengan Satria, seraya mengembalikan surat yang baru di tanda tanganinya kepada calon suaminya.
Tak membuat Satria bersuara, hanya terdiam mengambil alih surat perjanjian segera ikut tanda tangan di dalamnya.
***
Langit semakin gelap, dengan sinar sang rembulan yang tampak terang ditemani dengan taburan bintang yang berkelip memenuhi kegelapan malam.
Sudah duduk di atas meja makan yang ada di kediaman Papa Bagaskara, terlihat Alira, tampak diam menikmati suap demi suap makanan yang tersaji dengan perasannya yang terasa lega.
"Gimana Ra? enak makanannya?" tanya Papa Bagas, duduk di seberang calon menantu dan putra tunggalnya, mengalihkan pandangan Alira menatapnya
"Enak Om," jawab Alira, mengulaskan senyum di bibirnya, beradu pandang dengan Papa Bagas mengacuhkan Satria yang duduk tenang di sebelahnya.
"Om Senang kalau kamu menyukai makanannya," ucap Papa Bagas, sebelum mengalihkan pandangannya menatap Satria.
"Jangan diam saja kamu Sat! ajak ngobrol dong Aliranya, biar Alira betah main kesini," lanjut Papa Bagas.
Tak membuat Satria bersuara hanya menghela nafasnya berat.
"Kamu mau ngobrol sama aku?" tanya Satria, dengan tampang dinginnya menatap Alira.
Yang terdiam, berusaha mengacuhkan sikap lelaki yang di anggapnya kasar, segera membuang pandangannya, kembali menikmati makanannya.
"Jaga sikap kamu Sat! bukan begitu cara bicara sama perempuan!" protes Papa Bagas.
"Ya memang aku seperti ini Pa, aku bisanya begini mau gimana lagi?"
"Makanya di rubah! Alira calon istri kamu, jadi kamu harus bisa bersikap baik untuk menjaga perasaannya." Ucap Papa Bagas, menatap dalam putranya yang terdiam kembali menikmati makanan.
Menciptakan helaan nafas di bibir Papa Bagas, segera menenggak air yang ada di dekatnya kembali bersuara.
"Besok kamu antarkan Alira fitting baju pengantin," ucap Papa Bagas, menyentakkan hati Alira dan Satria, kompak mengalihkan pandangan menatapnya diam.
"Papa sudah pesan satu kebaya juga satu gaun pernikahan, untuk acara akad dan resepsi kalian nanti," lanjut Papa Bagas.
"Aku kan sudah bilang Pa! aku nggak mau pakai resepsi! hanya akad saja sudah cukup!" protes Satria.
Begitupun dengan Alira yang terdiam, menundukkkan kepala, dengan perasaannya yang gelisah.
"Bagaimana ini? Bagaimana kalau Adam mendengar acara resepsi pernikahanku?" batin Alira, meremas tangannya sendiri dengan degup jantungnya yang berdetak sangat cepat, kembali memikirkan masa depannya bersama Adam.
"Kamu anak tunggal Sat! Papa juga ingin mengundang semua keluarga, teman-teman, bahkan beberapa klien Papa yang sudah Papa anggap sebagai saudara!"
"Ya nanti kalau pernikahanku dengan Azkia Pa! Papa baru bisa melakukan resepsi besar- besaran!" ucap Satria, tak menyadari kalimatnya sendiri, karena rasa kesalnya yang menguasai.
Sebelum terdiam, karena kalimat Papanya menatapnya tajam.
"Apa maksud kamu? kenapa pernikahan dengan Azkia?" tanya Papa Bagas, merasa tak percaya dengan kalimat yang baru di dengarnya.
Masih menatap tajam manik mata Satria yang terlihat gelagapan.
"Bodoh! bodoh! bodoh!" batin Satria, merutuki dirinya sendiri menyadari kebodohannya.
"Apa maksud kamu dengan pernikahanmu dengan Azkia Sat? jawab Papa!" sentak Papa Bagas, merasa tak sabar dengan jawaban putranya.
"Nggak begitu maksudku Pa,"
"Terus apa maksud kamu?" tanya Papa Bagas lagi, dengan sorot mata tajamnya mengintimidasi.
Menciptakan helaan nafas di bibir Satria, segera meraup wajahnya pelan sesaat setelah meletakkan sendok yang di pakainya di atas piring.
"Ada Alira Pa, Papa ingin aku membicarakan Azkia di depan calon istriku?" ucap Satria, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Mencari jeda, agar dirinya bisa memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaan Papanya mengenai kalimat yang tak sengaja di ucapkannya.
Tak membuat Papa Bagas bersuara, hanya terdiam, mencoba untuk menahan gejolak di hatinya karena keberadaan calon menantunya.
"Jangan dimasukin ke hati ya Ra? Satria hanya salah bicara," ucap Papa Bagas yang di sambut dengan senyum tipis di bibir Alira.
"Nggak papa Om, Mas Satria kan memang nggak mencintai saya, lagian saya juga nggak tahu siapa itu Azkia,"
"Azkia hanya mantan Satria Ra," ucap Papa Bagas, membulatkan mata anaknya menatapnya diam.
"Kamu nggak perlu khawatir ya? untuk masalah cinta, nanti biar waktu yang menjawabnya Ra, karena cinta pasti akan datang saat kalian terbiasa bersama, sama seperti cinta Om dengan almarhumah Mamanya Satria dulu," lanjut Papa Bagas.
"Iya Om," jawab Alira, mencoba untuk tersenyum tipis di atas hatinya yang terasa ngilu.
Bersamaan dengan helaan nafas berat Satria, kembali mengalihkan pandangan Papanya menatapnya tajam.
Sedangkan di tempat lainnya, terlihat Adam, mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.
Baru menyelesaikan makan malamnya di restoran, bersama dengan beberapa temannya karena Alira yang menolak ajakan makam malam bersama dengan dirinya.
Segera memasang headset bluetooth di telinga kirinya, ingin mendengar suara kekasih hatinya.
Sementara itu di rumah Papa Bagas, Alira masih menikmati makan malamnya, sebelum menghentikan makannya, karena suara ponselnya yang berdering di dalam tas.
"Maaf ya Om?" ucap Alira, segera merogoh tas selempangnya untuk mengambil ponselnya yang terus saja bergetar
"Adam," batin Alira, membulatkan matanya penuh, dengan detak jantungnya yang berdetak tak karuan, segera mengalihkan pandanganya menatap Papa Bagas yang bersuara.
"Siapa Ra?" tanya Papa Bagas.
"Teman Om, saya permisi keluar sebentar ya Om," pamit Alira, yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Papa Bagas mengalihkan pandangan Satria menatap kepergiannya.
"Halo Dam?" ucap Alira, sudah berdiri di dalam ruang tamu rumah Papa Bagas, sesaat setelah menggeser layar ponselnya menerima panggilan telepon dari kekasih hatinya.
"Di mana Ra? kok bisik-bisik?" tanya Adam, masih fokus dengan stir yang di kendalikannya merasa aneh dengan suara kekasihnya.
"Aku nggak bisik- bisik kok, ada apa?" jawab Alira masih dengan intonasi lirihnya.
Mengerutkan kening Adam, namun tak ingin mengambil pusing Adam hanya tersenyum tipis untuk melanjutkan percakapannya.
"Aku tadi makan malam sama temen aku, ini aku sudah bungkusin makanan, untuk kamu, Aksa sama calon mertuaku," ucap Adam, menyentakkan hati Alira dengan matanya yang membulat.
"Tunggu aku di rumah ya? mungkin setengah jam lagi aku sudah sampai di rumah kamu,"
"Jangan Dam! jangan kerumah!" ucap Alira cepat, tak menyadari intonasinya yang meninggi.
Sebelum membekap mulutnya, mengedarkan pandangannya melihat situasi di sekitarnya.
"Bodoh bodoh bodoh!" batin Alira, memukul pelan bibirnya sendiri merutuki kebodohanya.
"Kenapa? kok nggak boleh?"
"Iya itu..., aku lagi di luar," jawab Alira.
"Keluar? kemana?"
"Ke rumah Tante aku,"
"Sama siapa? sama Aksa?"
"Sendiri Dam,"
"Ya sudah nggak papa, biar aku nanti ketemu sama Aksa di rumah kamu, sayang makanannya Ra, sudah aku bungkusin banyak,"
"Astaga...," batin Alira frustasi, meraup wajahnya kasar mencoba berpikir untuk mencari alasan.
Karena dirinya yang tak ingin, kedua orang tuanya menceritakan perihal perjodohannya kepada Adam.
Bersambung.
"Ya sudah nggak papa, biar aku nanti ketemu sama Aksa di rumah kamu, sayang makanannya Ra, sudah aku bungkusin banyak,""Astaga...," batin Alira frustasi, meraup wajahnya kasar mencoba berpikir untuk mencari alasan.Karena dirinya yang tak ingin, kedua orang tuanya menceritakan perihal perjodohannya kepada Adam."Kita ketemu aja ya? aku akan pulang sekarang, kita bertemu di taman Puspa ya?" ucap Alira, mencoba untuk mengendalikan keadaan.Karena dirinya yang tak ingin kehilangan Adam karena perjodohan yang tak di inginkan ini."Please Dam jangan ke rumah," batin Alira, sebelum mengulaskan senyumnya karena kalimat kekasihnya."Ya sudah, aku tunggu ya? kita ketemu di taman Puspa,"&
H-10Satria telah memutuskan sendiri tanggal pernikahannya, tepat setelah satu hari keberangkatan Azkia keluar negeri dalam melakukan tugasnya sebagai seorang pramugari.Membuat Satria sedikit tenang, berbeda dengan Alira, hatinya tak tenang, di selimuti dengan rasa gundah dan gelisah.Begitu takut jika kekasihnya mendengar kabar resepsi pernikahannya.Bertemankan sinar mentari yang beranjak naik, tepat di pukul 10:00.Terlihat Alira, hanya duduk termenung sendirian di kursi panjang yang ada di teras rumahnya, memikirkan pernikahan yang tak di inginkannya semakin mendekat karena waktu yang berputar dengan sangat cepat.Membuatnya frustasi, meskipun sudah ada perjanjian pernikahan dengan calon suaminya, meskipun masih ada harapan untuknya bisa bersama dengan Adam setelah perceraian.Tapi bayangan Adam terus saja terbayang di pikirannya, banyangan akan kemarahan Adam jika mengetahui segala kebohongannya, apa Adam masih mau m
"Alira? Adam?" panggil Bu Rani, sesaat setelah berdiri di depan pintu utama mengalihkan pandangan Adam dan juga Alira.Menyentakkan hati Alira, dengan matanya yang membulat reflek berdiri dari duduknya."Bu," ucap Alira, dengan degup jantungnya yang kembali tak karuan menyeka cepat air matanya beradu pandang."Tante," sapa Adam, mengulaskan senyum termanisnya berdiri dari duduknya.Beradu pandang dengan Bu Rani yang terdiam, mengalihkan pandangan Alira panik menatapnya gelisah."Apa kabar Tante?" tanya Adam, sesaat setelah mencium tangan ibu dari kekasihnya tak mengalihkan pandangannya."Sehat Dam, kamu gimana kabarnya? kok duduk di sini? nggak masuk ke dalam?""Alhamdulillah Tante, saya juga sehat, nggak Papa Tante, duduk disini saja, sekalian cari angin," jawab Adam, dengan intonasi sopannya tak menghilangkan senyum di bibirnya.Memejamkan mata Alira, karena hatinya yang begitu ngilu, melihat kesempurnaan Adam, le
Sinar mentari di pagi hari begitu cerah, bertemankan semilirnya angin menggoyang dedaunan yang ada di halaman hotel bintang lima yang terlihat luas.Terlihat banyaknya mobil, dari pihak keluarga, sanak saudara dan juga teman-teman dari Papa Bagaskara dan Ayah Pras.Ingin menyaksikan pernikahan dari Satria dan juga Alira yang akan di langsungkan secara tertutup, dengan penjagaan yang begitu ketat.Terlihat Alira, tampak begitu cantik dan anggun, dengan kebaya putih tulang, di lengkapi dengan riasan dan juga sanggul khas daerahnya. Duduk bersebelahan dengan Satria yang terlihat tampan, gagah dan rupawan, menggunakan setelan jas putih pengantin menunggu kalimat ijab dari Ayah Pras yang ada di depannya."Saya nikahkan engkau, dan saya kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Alira Maulidina binti Prasetya, dengan mas kawin satu set perhiasan emas seberat 20 gram, beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai". Ucap Ayah Pras, dengan degup jan
Langit mulai menggelap, tanpa sinar rembulan maupun sang bintang, karena awan mendung yang bergelayut menutupi keindahan malam di atas hotel bintang lima tempat resepsi pernikahan Satria dan juga Alira di langsungkan.Di meriahkan alunan musik dan juga lagu yang terdengar merdu, dari suara penyanyi penghibur yang sedang berdiri dan bergoyang santai di atas panggung di samping pelaminan.Terlihat Alira, begitu cantik dan anggunnya, mengenakan gaun pengantin modern berwarna putih, di penuhi dengan hiasan payet bernuansa silver berdiri tegak di atas pelaminan.Berdampingan dengan Satria, di temani oleh kedua orang tua dan juga Papa mertuanya yang duduk bersanding di samping kanan dan kiri kursinya."Terimakasih Om," jawab Satria, terlihat begitu tampan dengan setelan jas putihnya, senada dengan gaun elegan yang dipakai istrinya mengulaskan senyum tipis di bibirnya.Beradu pandang dengan salah satu klien perusahaannya, sahabat dari papanya sendiri memb
"Alira? istri Pak Satria pacar kamu?" tanya Anton.Memecahkan tawa Adam, sebuah tawa pilu penuh luka, menertawakan kisah cintanya sendiri bersama dengan wanita yang sangat di cintainya, wanita yang selalu di jaganya namun mengkhianatinya.Menikah dengan lelaki lain di belakangnya, menciptakan luka yang begitu dalam mengoyak perasannya, karena tikaman Alira, begitu kuat menusuk tepat di hatinya.Membuatnya terlihat pilu, begitu memprihatinkan di depan beberapa tamu undangan di depan ballroom.Memperhatikannya dengan kasak kusuk yang terdengar membicarakannya."Kita pulang saja Dam," tawar Anton, masih menahan tubuh temannya.Beradu pandang dengan Adam, menggeleng cepat tak menyetujui kalimatnya."Aku harus memperkenalkan kamu sama Alira An! kamu harus berkenalan sama dia," jawab Adam, berusaha menegakkan kakinya yang gemetar.Menahan rasa s
Langit menggelap tanpa bintang dan rembulan, karena guyuran hujan, begitu derasnya membasahi halaman hotel yang telihat ramai oleh motor dan juga mobil di area parkiran.Terlihat Alira, si pengantin perempuan yang harusnya berbahagia, namun terluka oleh pernikahan paksa yang membuatnya merana.Hanya menangis, mengangkat gaun panjang yang di pakainya, berlari semampunya."Aku bisa jelasin semuanya Dam, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," gumamnya pelan, masih berlari mengacuhkan semua orang yang melihatnya.Karena hatinya, begitu sakit oleh bayangan kemarahan Adam yang terus saja berputar di kepalanya.Membuatnya pilu dengan tangisannya yang terisak, terus berlari, hendak menerobos derasnya hujan namun tertahan.Oleh gerakan tangan Satria, mencekal lengan tangannya menghentikan langkahnya."Apa kamu buta? lihat hujannya deras begini!" sentak Satria
"Nggak usah nangis!" ucap Satria, sudah duduk di kursi belakang mobilnya menuju ke apartemennya, bersebelahan dengan Alira yang menangis membelakanginya.Tak membuat Alira bersuara, hanya terdiam meratapi kisah cintanya yang begitu ironis, mencintai dan di cintai, tapi tak bisa bersanding di atas pelaminan karena perjodohan, pernikahan atas nama hutang budi yang dilakukan orang tuanya sendiri.Flashback di apartement Adam."Lebih baik kamu pulang sekarang Ra, biarkan aku sendiri, aku masih belum bisa menerima dan percaya sama semua ini," ucap Adam, meletakkan kembali ponsel Satria di atas ranjang, sesaat setelah membaca isi yang ada di dalam foto kontrak pernikahan."Kamu harus percaya Dam, pernikahan ini hanya kontrak, setahun lagi kami akan bercerai!" ucap Alira, menyeka air matanya kasar, mencoba meyakinkan hati Adam yang terdiam menatapnya sendu."Kita tetap
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"