"Alira? istri Pak Satria pacar kamu?" tanya Anton.
Memecahkan tawa Adam, sebuah tawa pilu penuh luka, menertawakan kisah cintanya sendiri bersama dengan wanita yang sangat di cintainya, wanita yang selalu di jaganya namun mengkhianatinya.
Menikah dengan lelaki lain di belakangnya, menciptakan luka yang begitu dalam mengoyak perasannya, karena tikaman Alira, begitu kuat menusuk tepat di hatinya.
Membuatnya terlihat pilu, begitu memprihatinkan di depan beberapa tamu undangan di depan ballroom.
Memperhatikannya dengan kasak kusuk yang terdengar membicarakannya.
"Kita pulang saja Dam," tawar Anton, masih menahan tubuh temannya.
Beradu pandang dengan Adam, menggeleng cepat tak menyetujui kalimatnya.
"Aku harus memperkenalkan kamu sama Alira An! kamu harus berkenalan sama dia," jawab Adam, berusaha menegakkan kakinya yang gemetar.
Menahan rasa s
Langit menggelap tanpa bintang dan rembulan, karena guyuran hujan, begitu derasnya membasahi halaman hotel yang telihat ramai oleh motor dan juga mobil di area parkiran.Terlihat Alira, si pengantin perempuan yang harusnya berbahagia, namun terluka oleh pernikahan paksa yang membuatnya merana.Hanya menangis, mengangkat gaun panjang yang di pakainya, berlari semampunya."Aku bisa jelasin semuanya Dam, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," gumamnya pelan, masih berlari mengacuhkan semua orang yang melihatnya.Karena hatinya, begitu sakit oleh bayangan kemarahan Adam yang terus saja berputar di kepalanya.Membuatnya pilu dengan tangisannya yang terisak, terus berlari, hendak menerobos derasnya hujan namun tertahan.Oleh gerakan tangan Satria, mencekal lengan tangannya menghentikan langkahnya."Apa kamu buta? lihat hujannya deras begini!" sentak Satria
"Nggak usah nangis!" ucap Satria, sudah duduk di kursi belakang mobilnya menuju ke apartemennya, bersebelahan dengan Alira yang menangis membelakanginya.Tak membuat Alira bersuara, hanya terdiam meratapi kisah cintanya yang begitu ironis, mencintai dan di cintai, tapi tak bisa bersanding di atas pelaminan karena perjodohan, pernikahan atas nama hutang budi yang dilakukan orang tuanya sendiri.Flashback di apartement Adam."Lebih baik kamu pulang sekarang Ra, biarkan aku sendiri, aku masih belum bisa menerima dan percaya sama semua ini," ucap Adam, meletakkan kembali ponsel Satria di atas ranjang, sesaat setelah membaca isi yang ada di dalam foto kontrak pernikahan."Kamu harus percaya Dam, pernikahan ini hanya kontrak, setahun lagi kami akan bercerai!" ucap Alira, menyeka air matanya kasar, mencoba meyakinkan hati Adam yang terdiam menatapnya sendu."Kita tetap
Semilirnya angin malam, begitu dingin menerobos masuk ke dalam jendela kamar Alira yang belum tertutup sempurna.Terlihat Alira, masuk ke dalam kamarnya, sambil membawa dua porsi nasi diatas nampan yang di bawanya.Mengayunkan langkahnya, mendekati nakas sebelum meletakkan nampan di atasnya.Masih dengan wajah murungnya, harus melayani Satria, karena statusnya sebagai seorang istri di dalam permainan pernikahan yang sedang di jalaninya.Sebelum mengayunkan kembali langkahnya, membuka jendela kamarnya, untuk berdiri, terdiam dan menyendekapkan kedua tangannya di atas dada.Menikmati gelapnya malam, terlihat begitu kelabu tanpa bintang, karena mendung yang bergelayut sama seperti suasana hatinya yang begitu sendu.Kembali mengingat kemarahan Adam, air mata Adam di dalam sorot mata kecewa kekasihnya.Menciptakan rasa sesak yang menyeruak, me
Sang surya beranjak naik, tepat dia atas kepala dengan sinarnya yang begitu terik tak lagi hangat dan bersahabat.Terlihat Alira, baru keluar dari dalam lift, mengayunkan langkahnya di belakang Satria, sambil menarik koper hitam berisi barang barangnya, melewati lorong gedung Apartement, menuju unit apartement suaminya di lantai sepuluh.Tak bersuara, hanya membisu menekuk wajah cantiknya, karena beban di hatinya tak ingin meninggalkan rumah orang tuanya untuk tinggal bersama dengan lelaki dingin yang baru saja menikahinya.Segera menghentikan langkahnya, menatap diam Satria yang bersuara, memerintahkannya berjalan cepat."Kenapa berhenti? ayo cepat!" ucap Satria, ikut menghentikan langkahnya, membiarkan istrinya membawa koper tak berniat untuk membantunya.Menciptakan helaan nafas kasar di bibir Alira, segera membuang pandangannya ke sembarang arah tak menyukai sikap Satria.Kembali mengayunkan langkahnya
"Duduk," titah Satria, mengedikkan dagunya ke arah kursi yang ada di seberangnya tak mengurangi kewibawaannya.Masih tak membuat Adam bersuara, hanya terdiam dan membisu, kembali mengayunkan langkahnya hendak duduk di atas kursi.Sesuai dengan perintah Satria tak mengalihkan pandangannya."Gimana hari pertama kamu kerja disini?" tanya Satria, mengawali pembicaraannya mengerutkan kening Adam."Nggak ada masalah, karena pekerjaan manager sebelumnya sangat rapi, jadi saya tinggal membaca dan mempelajarinya saja," jawab Adam.Menekan kuat ego di hatinya, berusaha bersikap biasa di atas amarah yang masih menguasai dan mengungkungnya."Aku tahu, yang aku tanyakan bukan pekerjaan kamu, tapi perasaan kamu,""Apa maksud anda?""Bagaimana rasanya bekerja di bawah kendaliku? suami dari Alira kekasih kamu?" lanjut Satria.
"Papa?" refleknya, membulatkan matanya, sesaat setelah membuka pintu utamanya, beradu pandang dengan Papa Bagaskara.Yang berdiri tegak di balik pintu utamanya yang terbuka."Ngapain kesini?" tanya Satria."Kenapa? Papa dilarang kesini?" jawab Papa Bagaskara, mengayunkan langkahnya, masuk ke dalam rumah memanggil Alira menantunya."M*mpus!" Batin Satria memejamkan matanya dalam. Sebelum membalikkan badannya, ikut mengayunkan langkahnya mengikuti Papanya."Mana istri kamu kok nggak ada?" tanya Papa Bagaskara akhirnya, karena panggilannya, tak membuat Alira keluar untuk menemuinya."Alira lagi keluar Pa, lagi jalan sama temannya," jawab Satria, berusaha bersikap tenang, masih mengayunkan langkahnya hendak duduk di atas sofa.Sebelum meraih sebungkus rokok yang ada di atas meja, mengambil sebatang rokok untuk di bakar dan di hisapnya.
Langit semakin menggelap, hampir menuju ke tengah malam, tepat di saat jam dinding yang menggantung di apartement Satria sudah menunjuk ke pukul 23:30.Terlihat Satria, menahan rasa geram di hatinya, menunggu kedatangan istri yang tak di dicintainya.Demi sebuah nama tanggung jawab yang harus di embannya, karena Alira, yang di nilainya begitu kurang ajarnya, tak tahu waktu pulang saat kencan, bersama dengan kekasih, Adam, pegawainya sendiri."Apa dia gila? bagaimana bisa? sudah jam segini masih belum pulang juga!" gerutunya sendiri.Dengan gerakan kakinya, berjalan mondar mandir di ruang tamu, kembali menggeser layar ponselnya.Kembali berusaha, untuk menghubungi nomor ponsel Alira, namun tak kunjung di jawab, membuatnya semakin marah dan emosi."Sialan!" umpatnya kasar, meremas dengan keras ponselnya sendiri, merasa tak di hargai.Sebelum mengalihkan pandangannya, masih dengan tatapan
Semilirnya angin, begitu sepoinya membelai dedaunan yang ada di depan gedung Antariksa Group. Tanpa mendung yang bergelayut, terlihat begitu cerah. Tepat di saat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Alira, sudah menunjuk ke angka sembilan lebih, menuju ke pukul sepuluh. "Terimakasih ya Pak," ucap Alira, segera turun dari taksi online yang di tumpanginya. Mendekap surat lamaran kerja yang telah di buatnya secara kilat, mengedarkan pandangannya, menatap tingginya gedung tempat kekasihnya bekerja, perusahaan tempat suaminya memimpin. "Selamat pagi Mbak, ada yang bisa saya bantu?" sapa Resepsionis, dengan begitu sopannya menyambut kedatangan istri dari CEO tempatnya bekerja, tanpa mengetahui status Alira. "Selamat siang Mbak, saya mau melamar pekerjaan, bisa saya ketemu sama Bu Gladis?" ucap Alira. Mengalihkan pandangan wanita muda itu ke a
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"