"Ya sudah nggak papa, biar aku nanti ketemu sama Aksa di rumah kamu, sayang makanannya Ra, sudah aku bungkusin banyak,"
"Astaga...," batin Alira frustasi, meraup wajahnya kasar mencoba berpikir untuk mencari alasan.
Karena dirinya yang tak ingin, kedua orang tuanya menceritakan perihal perjodohannya kepada Adam.
"Kita ketemu aja ya? aku akan pulang sekarang, kita bertemu di taman Puspa ya?" ucap Alira, mencoba untuk mengendalikan keadaan.
Karena dirinya yang tak ingin kehilangan Adam karena perjodohan yang tak di inginkan ini.
"Please Dam jangan ke rumah," batin Alira, sebelum mengulaskan senyumnya karena kalimat kekasihnya.
"Ya sudah, aku tunggu ya? kita ketemu di taman Puspa,"
"Iya Dam,"
"Love you," lanjut Adam, semakin mendesirkan hati Alira, membuatnya terpaku dengan ulasan senyum di bibirnya.
"Kok nggak di jawab?"
"Love you too," jawab Alira akhirnya, sebelum terkekeh bersamaan dengan kekehan yang terdengar dari bibir Adam.
Sebelum memutus panggilan teleponnya, menghela nafasnya pelan segera mengayunkan langkahnya kembali masuk ke dalam ruang makan.
"Sudah selesai Ra?" tanya Om Bagas, sudah menghabiskan nasi di piring menatap calon menantunya.
Terlihat Satria bergeming, hanya mengunyah makanan tak mengalihkan pandangannya.
"Sudah Om," jawab Alira, kembali duduk di tempatnya, mencoba untuk berpikir, mencari alasan agar dirinya bisa pulang sekarang.
Meskipun harus berbohong, ya perjodohan ini membuatnya menjadi pribadi yang penuh dengan kebohongan.
Terutama kepada Adam, kebohongan demi kebohongan terus saja di ciptakan nya untuk menutupi perjodohan paksa yang di lakukan orang tuanya.
"Saya izin pamit ya Om," ucap Alira.
"Kok buru-buru? itu makanan kamu juga belum habis, kita juga belum ngobrolin masalah pernikahan kalian," jawab Papa Bagas, mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam.
Sebelum mengalihkan pandangannya, menatap calon istri yang tak di inginkannya, menundukkan kepala seraya meraih tas yang ada di kursi kosong di sebelah Alira.
"Iya Om, saya minta maaf, karena teman saya lagi butuh saya," jawab Alira, mengerutkan kening Papa Bagas semakin membuat Alira gelagapan.
"Teman saya lagi ada masalah Om, dan dia membutuhkan saya untuk teman curhatnya," lanjut Alira, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Satria yang bersuara.
"Biarin kenapa Pa! orang anaknya ingin pulang ya biar saja pulang!" sahut Satria, sebelum memasukkan lauk ke dalam mulutnya tak mengalihkan pandangannya dari piring yang ada di depannya.
Menciptakan helaan nafas pelan di bibir Papa Bagas kembali mengalihkan pandangannya, beradu pandang dengan Alira yang terdiam.
"Resepsi pernikahan kalian gimana? Om mengundang kamu kesini juga ingin membicarakan masalah acara kalian, Om ingin kamu memilih sendiri model undangan, dekorasi pelaminan sama yang lainnya," lanjut Papa Bagas menyentakkan hati putranya yang hampir tersedak.
"Tolonglah Pa, nggak usah pakai resepsi!" protes Satria, sesaat setelah menenggak segelas air yang ada di dekatnya menatap Papanya.
"Nggak bisa Sat! tetap harus pakai resepsi! seperti kata Papa tadi kamu anak tunggal! nikah sekali seumur hidup bagaimana bisa cuma akad saja?" tegas Papa Bagas.
Menciptakan helaan nafas kasar di bibir Satria, kembali menenggak sisa air yang ada di gelasnya karena rasa frustasinya yang meninggi.
Tak terkecuali Alira, hanya terdiam menggigit bibir bawahnya karena hatinya yang gelisah.
"Saya apa kata Mas Satria saja Om, saya pamit ya Om, kasihan teman saya kalau menunggu terlalu lama," sahut Alira.
"Ya sudah, untuk masalah ini biar Om bicarakan dulu sama Satria ya Ra?"
"Iya Om," jawab Alira, berusaha mengulaskan senyum tipis di bibirnya segera berdiri dari duduknya, sebelum mengayunkan langkahnya mendekati calon Papa mertuanya yang berdiri.
"Saya pamit ya Om? terimakasih atas makan malamnya," lanjut Alira, mengulurkan tangannya hendak mencium tangan calon mertuanya.
"Hati-hati ya?" jawab Papa Bagas sebelum mengalihkan pandangannya ke arah putranya yang terdiam.
"Kenapa masih duduk di situ? ayo berdiri Sat antarkan Alira!" ucap Papa Bagas.
Tak membuat Satria bersuara, hanya menghela nafas kasar segera berdiri dari duduknya.
"Iya...," jawab Satria, dengan nada malasnya segera mengayunkan langkahnya meninggalkan Alira yang masih berdiri di depan Papanya.
Karena hatinya yang tak lagi nyaman, moodnya buruk karena sikap Papanya yang terlalu egois, memaksakan semua kehendak tanpa memikirkan pendapat ataupun perasannya.
***
Langit tanpa bintang, karena mendung yang bergelayut di gelapnya malam, membuat sang rembulan pun enggan menunjukkan kecantikannya.
Terlihat Adam, tampak sabar dan tenang menunggu kedatangan sang pujaan hatinya yang amat sangat di cintainya.
Hanya duduk sendiri di atas kursi taman, dengan tangannya yang bersendekap di atas dada menahan hawa dingin yang menyapu kulitnya.
Karena hanya kemeja lengan pendek yang di pakainya, tanpa jaket tebal yang melindunginya.
Sementara itu di dalam mobil Satria, terlihat Alira duduk dengan gelisah dikursi depan penumpang di samping Satria.
Karena rasa khawatirnya kepada Adam yang di paksanya menunggu di taman terbuka di saat cuaca sedang mendung dan dingin begini.
Masih mengedarkan pandangannya, sesekali melirik jam tangan yang ada di pergelangan kirinya, mengalihkan pandangan Satria.
"Mau ketemu siapa sih kamu di taman?" tanya Satria akhirnya, karena jiwa ke ingin tahuannya yang meronta melihat kegelisahan calon istri yang tak di sukainya.
"Adam," jawab Alira singkat, tak mengalihkan pandanganya dari jalanan.
"Pacar kamu?"
"Iya, bisa cepat nggak sih Mas?" ucap Alira, tak membuat Satria bersuara, hanya menghela nafas pelan semakin menekan pedal gas di mobilnya untuk menambah kecepatan mobilnya.
Lima belas menit berlalu, setelah menembus jalanan kota yang terlihat lenggang, tampak mobil Satria berhenti tepat di dekat pintu masuk taman Puspa.
"Terimakasih," ucap Alira, hendak turun dari mobil sebelum terhenti karena kalimat Satria.
"Aku tunggu!"
"Ha? nggak perlu, ngapain juga nunggu aku?" tanya Alira bingung beradu pandang.
"Kamu berangkat sama aku pulang juga harus sama aku! apa kamu nggak dengar apa pesan ibumu tadi? Ibumu menitipkan kamu kepadaku!" jawab Satria.
"Tapi aku sama Adam, Adam pasti bisa menjagaku, mending kamu pulang saja mas! aku nggak mau ya Adam lihat kamu disini!"
"Nggak bisa! kamu tanggung jawabku malam ini! mau nggak mau aku akan tetap menunggu dan memastikan kepulanganmu!" jawab Satria, dengan intonasi tegasnya menciptakan helaan nafas di bibir Alira.
"Terserahlah Mas! tolong jangan muncul di depan Adam!" ucap Alira akhirnya, segera turun dari mobil, sebelum mengayunkan langkahnya cepat masuk ke dalam taman.
Mencari keberadaan Adam, seraya mengedarkan pandangannya.
Sebelum mengulaskan senyumnya, saat melihat Adam yang sedang duduk, memainkan ponsel tak melihat kedatangannya.
"Sayang...," panggil Alira, dengan nada lembutnya di telinga Adam.
Mengalihkan pandangan Adam sebelum tertawa mencubit gemas pipi mulus kekasihnya.
"Maaf ya? lama ya nunggunnya?" ucap Alira, segera duduk di samping Adam sebelum menerima pelukan dari kekasihnya.
"Nggak lama sih, hanya tiga puluh menit," jawab Adam, semakin mengeratkan pelukannya, ingin mengusir hawa dingin yang menyerangnya dengan pelukan hangat kekasihnya.
"Maaf ya?" ucap Alira, membalas pelukan Adam, menepuk pelan tubuh kekasihnya sebelum melepaskan pelukannya.
"Kok nggak pakai jaket sih?" ucap Alira, menggenggam erat tangan kekasihnya yang terasa dingin.
"Cie cie yang khawatir...," goda Adam, menciptakan tawa di bibir Alira, kembali memeluk tubuh kekasihnya.
Karena rasa bersalah yang menyelimutinya, akibat tawa tulus Adam semakin mengembangkan rasa berdosanya.
Membuatnya takut jika suatu saat nanti Adam mengetahui pernikahannya sebelum waktu perceraiannya.
"Maaf Dam, aku minta maaf, aku sangat mencintaimu Dam, aku nggak ada maksud untuk menghianati kamu Dam, sungguh aku nggak mau kehilangan kamu," batin Alira, memejamkan matanya dalam mengeratkan pelukannya.
Mencoba menahan rasa sesak di dadanya yang kembali menyeruak, menyiksa hatinya, membuatnya terluka oleh rasa bersalah yang mengungkungnya.
***
Mentari kembali datang, bersama dengan sinarnya yang masih hangat menembus jendela kamar Satria yang masih tertidur mendekap guling di pelukannya.
Sebelum mengkerjap-kerjapkan matanya, bersamaan dengan badan tegapnya yang menggeliat akibat sinar dari sang Surya yang menyilaukan kornea matanya yang tertutup.
"Jam tujuh," batinnya, masih memicingkan kedua matanya melihat jam dinding yang menggantung di dinding kamarnya.
Merasa enggan untuk bangun, karena aktifitasnya semalam, menunggu Alira pacaran bertemankan kebosanan di depan taman hingga pukul sembilan malam.
Hanya karena tanggung jawabnya sebagai seorang lelaki yang telah membawa anak gadis orang, terutama anak gadis dari sahabat Papanya yang telah di titipkan kepadanya.
Sebelum melesatkan mobilnya menuju kafe yang ada di dekat rumahnya, menghabiskan waktu malamnya di sana untuk menghindari pertanyaan papanya mengenai dirinya yang salah bicara.
Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah pintu kamarnya yang di ketuk.
"Masuk!" ucap Satria, sebelum menjatuhkan kembali kepalanya malas karena langkah kaki Papa Bagas yang mendekatinya.
"Jelaskan maksud dari ucapan kamu kemarin Sat! apa maksud kamu menikahi Azkia?" selidik Papa Bagas, dengan hatinya yang tak sabar ingin mendengar jawaban dari putra tunggalnya.
"Aku baru bangun tidur Pa, belum juga mandi apalagi sarapan sudah di todong pertanyaan seperti ini," jawab Satria, masih berbaring dengan pandangannya ke atas.
"Jawab dulu baru kamu boleh mandi dan makan!" jawab Papa Bagas, duduk di tepi ranjang, mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam.
Hanya menghela nafas pelan, sebelum duduk dari tidurnya beradu pandang.
"Jawab Sat! jelaskan sama Papa! kamu berencana menceraikan Alira dan menikahi Azkia?" lanjut Papa Bagas, mencoba untuk menerka dan menebak isi kepala putranya.
Menyentakkan hati Satria, sebelum meraup wajah tampannya pelan.
"Aku hanya bercanda Pa, aku salah ngomong," kilah Satria.
"Yakin?"
"Yakinlah Pa, nggak ada maksud apa-apa,"
"Itu artinya kamu setuju ya dengan resepsi pernikahan kamu dengan Alira?"
"Aku tetap nggak setuju kalau masalah itu!" jawab Satria.
"Kenapa?"
"Karena aku nggak mencintainya! aku hanya perlu menikahinya seperti keinginan Papa kan? aku akan menikahinya, tapi aku nggak mau pernikahan ini di rayakan sama seperti pernikahan pada umumnya!" jawab Satria.
"Papa nggak akan mengundang banyak orang sat! hanya keluarga besar sama teman-teman Papa, setidaknya kasih kesempatan untuk Papa bisa berfoto bersama kamu dam Alira di pelaminan," tawar Papa Bagas, dengan wajah memelasnya ingin meruntuhkan ego di diri putranya.
"Terserahlah Pa, tapi aku sendiri yang akan menentukan tanggal pernikahannya." Jawab Satria akhirnya, setelah meraup wajahnya kasar karena wajah memelas Papanya yang meminta.
"Kan sudah di tentukan? tiga Minggu lagi?"
"Tanggalnya kan masih belum ada, biarkan aku sendiri yang memilih tanggalnya,"
"Oke, yang penting nggak boleh lebih dari satu bulan," jawab Papa Bagas.
Yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Satria, dengan niat dihatinya, ingin melakukan resepsi pernikahan sesuai dengan jam terbang Azkia ke luar negeri.
Bersambung.
H-10Satria telah memutuskan sendiri tanggal pernikahannya, tepat setelah satu hari keberangkatan Azkia keluar negeri dalam melakukan tugasnya sebagai seorang pramugari.Membuat Satria sedikit tenang, berbeda dengan Alira, hatinya tak tenang, di selimuti dengan rasa gundah dan gelisah.Begitu takut jika kekasihnya mendengar kabar resepsi pernikahannya.Bertemankan sinar mentari yang beranjak naik, tepat di pukul 10:00.Terlihat Alira, hanya duduk termenung sendirian di kursi panjang yang ada di teras rumahnya, memikirkan pernikahan yang tak di inginkannya semakin mendekat karena waktu yang berputar dengan sangat cepat.Membuatnya frustasi, meskipun sudah ada perjanjian pernikahan dengan calon suaminya, meskipun masih ada harapan untuknya bisa bersama dengan Adam setelah perceraian.Tapi bayangan Adam terus saja terbayang di pikirannya, banyangan akan kemarahan Adam jika mengetahui segala kebohongannya, apa Adam masih mau m
"Alira? Adam?" panggil Bu Rani, sesaat setelah berdiri di depan pintu utama mengalihkan pandangan Adam dan juga Alira.Menyentakkan hati Alira, dengan matanya yang membulat reflek berdiri dari duduknya."Bu," ucap Alira, dengan degup jantungnya yang kembali tak karuan menyeka cepat air matanya beradu pandang."Tante," sapa Adam, mengulaskan senyum termanisnya berdiri dari duduknya.Beradu pandang dengan Bu Rani yang terdiam, mengalihkan pandangan Alira panik menatapnya gelisah."Apa kabar Tante?" tanya Adam, sesaat setelah mencium tangan ibu dari kekasihnya tak mengalihkan pandangannya."Sehat Dam, kamu gimana kabarnya? kok duduk di sini? nggak masuk ke dalam?""Alhamdulillah Tante, saya juga sehat, nggak Papa Tante, duduk disini saja, sekalian cari angin," jawab Adam, dengan intonasi sopannya tak menghilangkan senyum di bibirnya.Memejamkan mata Alira, karena hatinya yang begitu ngilu, melihat kesempurnaan Adam, le
Sinar mentari di pagi hari begitu cerah, bertemankan semilirnya angin menggoyang dedaunan yang ada di halaman hotel bintang lima yang terlihat luas.Terlihat banyaknya mobil, dari pihak keluarga, sanak saudara dan juga teman-teman dari Papa Bagaskara dan Ayah Pras.Ingin menyaksikan pernikahan dari Satria dan juga Alira yang akan di langsungkan secara tertutup, dengan penjagaan yang begitu ketat.Terlihat Alira, tampak begitu cantik dan anggun, dengan kebaya putih tulang, di lengkapi dengan riasan dan juga sanggul khas daerahnya. Duduk bersebelahan dengan Satria yang terlihat tampan, gagah dan rupawan, menggunakan setelan jas putih pengantin menunggu kalimat ijab dari Ayah Pras yang ada di depannya."Saya nikahkan engkau, dan saya kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Alira Maulidina binti Prasetya, dengan mas kawin satu set perhiasan emas seberat 20 gram, beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai". Ucap Ayah Pras, dengan degup jan
Langit mulai menggelap, tanpa sinar rembulan maupun sang bintang, karena awan mendung yang bergelayut menutupi keindahan malam di atas hotel bintang lima tempat resepsi pernikahan Satria dan juga Alira di langsungkan.Di meriahkan alunan musik dan juga lagu yang terdengar merdu, dari suara penyanyi penghibur yang sedang berdiri dan bergoyang santai di atas panggung di samping pelaminan.Terlihat Alira, begitu cantik dan anggunnya, mengenakan gaun pengantin modern berwarna putih, di penuhi dengan hiasan payet bernuansa silver berdiri tegak di atas pelaminan.Berdampingan dengan Satria, di temani oleh kedua orang tua dan juga Papa mertuanya yang duduk bersanding di samping kanan dan kiri kursinya."Terimakasih Om," jawab Satria, terlihat begitu tampan dengan setelan jas putihnya, senada dengan gaun elegan yang dipakai istrinya mengulaskan senyum tipis di bibirnya.Beradu pandang dengan salah satu klien perusahaannya, sahabat dari papanya sendiri memb
"Alira? istri Pak Satria pacar kamu?" tanya Anton.Memecahkan tawa Adam, sebuah tawa pilu penuh luka, menertawakan kisah cintanya sendiri bersama dengan wanita yang sangat di cintainya, wanita yang selalu di jaganya namun mengkhianatinya.Menikah dengan lelaki lain di belakangnya, menciptakan luka yang begitu dalam mengoyak perasannya, karena tikaman Alira, begitu kuat menusuk tepat di hatinya.Membuatnya terlihat pilu, begitu memprihatinkan di depan beberapa tamu undangan di depan ballroom.Memperhatikannya dengan kasak kusuk yang terdengar membicarakannya."Kita pulang saja Dam," tawar Anton, masih menahan tubuh temannya.Beradu pandang dengan Adam, menggeleng cepat tak menyetujui kalimatnya."Aku harus memperkenalkan kamu sama Alira An! kamu harus berkenalan sama dia," jawab Adam, berusaha menegakkan kakinya yang gemetar.Menahan rasa s
Langit menggelap tanpa bintang dan rembulan, karena guyuran hujan, begitu derasnya membasahi halaman hotel yang telihat ramai oleh motor dan juga mobil di area parkiran.Terlihat Alira, si pengantin perempuan yang harusnya berbahagia, namun terluka oleh pernikahan paksa yang membuatnya merana.Hanya menangis, mengangkat gaun panjang yang di pakainya, berlari semampunya."Aku bisa jelasin semuanya Dam, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," gumamnya pelan, masih berlari mengacuhkan semua orang yang melihatnya.Karena hatinya, begitu sakit oleh bayangan kemarahan Adam yang terus saja berputar di kepalanya.Membuatnya pilu dengan tangisannya yang terisak, terus berlari, hendak menerobos derasnya hujan namun tertahan.Oleh gerakan tangan Satria, mencekal lengan tangannya menghentikan langkahnya."Apa kamu buta? lihat hujannya deras begini!" sentak Satria
"Nggak usah nangis!" ucap Satria, sudah duduk di kursi belakang mobilnya menuju ke apartemennya, bersebelahan dengan Alira yang menangis membelakanginya.Tak membuat Alira bersuara, hanya terdiam meratapi kisah cintanya yang begitu ironis, mencintai dan di cintai, tapi tak bisa bersanding di atas pelaminan karena perjodohan, pernikahan atas nama hutang budi yang dilakukan orang tuanya sendiri.Flashback di apartement Adam."Lebih baik kamu pulang sekarang Ra, biarkan aku sendiri, aku masih belum bisa menerima dan percaya sama semua ini," ucap Adam, meletakkan kembali ponsel Satria di atas ranjang, sesaat setelah membaca isi yang ada di dalam foto kontrak pernikahan."Kamu harus percaya Dam, pernikahan ini hanya kontrak, setahun lagi kami akan bercerai!" ucap Alira, menyeka air matanya kasar, mencoba meyakinkan hati Adam yang terdiam menatapnya sendu."Kita tetap
Semilirnya angin malam, begitu dingin menerobos masuk ke dalam jendela kamar Alira yang belum tertutup sempurna.Terlihat Alira, masuk ke dalam kamarnya, sambil membawa dua porsi nasi diatas nampan yang di bawanya.Mengayunkan langkahnya, mendekati nakas sebelum meletakkan nampan di atasnya.Masih dengan wajah murungnya, harus melayani Satria, karena statusnya sebagai seorang istri di dalam permainan pernikahan yang sedang di jalaninya.Sebelum mengayunkan kembali langkahnya, membuka jendela kamarnya, untuk berdiri, terdiam dan menyendekapkan kedua tangannya di atas dada.Menikmati gelapnya malam, terlihat begitu kelabu tanpa bintang, karena mendung yang bergelayut sama seperti suasana hatinya yang begitu sendu.Kembali mengingat kemarahan Adam, air mata Adam di dalam sorot mata kecewa kekasihnya.Menciptakan rasa sesak yang menyeruak, me
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"