"Yank...," panggil Azkia, menyentakkan hati Satria.
Melepaskan sentuhan tangannya spontan di lengan Alira, bersamaan dengan gerakan kepalanya yang menoleh, beradu pandang dengan Azkia yang berdiri, mengayunkan langkah mendekatinya."Ngapain kamu?" tanya Azkia.Tak membuat Satria bersuara, hanya berdiri tegak mengusap dahinya perlahan tak mengalihkan pandangannya."Siapa wanita ini? kamu mengenalnya?" tanya Azkia, menoleh ke arah Alira yang terdiam tak ingin ikut campur di dalam urusan Satria."Aku permisi," ucap Alira, segera mengayunkan langkahnya cepat, keluar dari lorong kamar mandi meninggalkan Satria dan Azkia yang terdiam menyaksikan kepergiannya."Siapa dia Yank?" tanya Azkia lagi, dengan jiwa ke ingin tahuannya yang meninggi, tak sabar dengan jawaban Satria."Dia anak dari teman Papa Yank," jawab Satria akhirnya, mengerutkan kening Azkia menatapnya dalam."Anak teman Papa kamu?" tanya Azkia memastikan, sebelum membalikkan badannya karena gerakan tangan Satria yang tiba-tiba merangkul bahunya."Sudah jangan terlalu di pikirkan, lagian kamu juga nggak kenal," ucap Satria, seraya mengayunkan langkahnya keluar dari area toilet kembali menuju meja tempatnya duduk memesan makanan.Sebelum melihat keberadaan Alira, sudah duduk di kursi dengan seorang lelaki yang tak di kenalnya.Tak mempengaruhinya, terus mengayunkan langkahnya, menggandeng tangan Azkia untuk duduk di kursinya."Dam, kita pulang sekarang ya?" ucap Alira, hendak mencangklong tas yang di bawanya mengerutkan kening kekasihnya."Kok pulang? ini makanannya belum habis di makan," tanya Adam."Kita jalan-jalan aja, katanya kamu mau ngajak aku jalan-jalan," jawab Alira.Menciptakan senyum genit di bibir Adam mencondongkan badan mendekatinya."Kita jalan-jalan kemana? terus kita mau ngapain aja?" goda Adam, sebelum tertawa karena cubitan Alira di bibirnya."Jangan macam-macam kamu ya! aku kebiri baru tahu rasa kamu!" lirih Alira, dengan senyum di bibirnya mencondongkan badannya."Aduh..., mau dong di kebiri sama kamu," goda Adam, sebelum tertawa bersama dengan Alira.Tak mengetahui pandangan Satria yang memperhatikannya, sudah duduk di kursi menatapnya diam."Kenapa Yank? lihat apa kamu?" tanya Azkia, ikut mengalihkan pandangannya ke arah pandang kekasihnya."Itu kan cewek tadi? kenapa kamu terus melihatnya?" lanjut Azkia, kembali beradu pandang dengan Satria yang tersenyum tipis kembali menikmati makanan yang telah di pesannya."Aku nggak melihatnya Yank, ayo cepat di makan, tadi katanya lapar," ucap Satria, menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut Azkia, ingin mengalihkan pembicaraan.Sebelum tersenyum, menyeka sudut bibir kekasihnya yang sedikit belepotan."Kamu cantik deh kalau belepotan begini," gombal Satria, menciptakan tawa di bibir Azkia.Segera menyendok makanan yang ada di piringnya untuk di suapkannya kepada Satria."Kamu juga tampan kalau belepotan begini," ucap Azkia, sedikit menggoreskan sendok ke sudut bibir kekasihnya."Cih," dengus Satria tertawa, segera mengusap sudut bibirnya sendiri.Sebelum mengalihkan pandangannya, beradu pandang dengan Alira yang terdiam, sudah berdiri mengayunkan langkah hendak melewatinya."Kenapa Ra?" tanya Adam, mengeratkan genggaman tangannya, masih ada di dalam pandangan Satria mengalihkan pandangan Alira menatapnya."Nggak papa Dam," jawab Alira, dengan ulasan senyum di bibirnya, masih mengayunkan langkahnya.Melewati Satria yang tak lagi melihatnya, sama sama menikmati romansa cinta di hati keduanya bersama dengan kekasih hati penghuni hati keduanya.***
Siang berganti sore, sore pun telah beganti dengan senja, terlihat gelap tanpa matahari yang baru saja terbenam kembali pulang ke peraduan.
Terlihat Alira, baru menyelesaikan mandinya, duduk tenang di depan meja riasnya.Memoleskan sedikit krim untuk menjaga kecantikan di wajahnya, dengan senyum tipis di bibirnya kembali mengingat godaan Adam yang terus saja membuatnya tertawa.Sedikit menghilangkan kesusahan di hatinya, karena rasa cintanya yang semakin merekah dengan hatinya yang penuh bunga.Sebelum terdiam, menghilangkan senyum tipis di bibirnya karena wajah Satria yang terngiang.Begitu arogan, kasar dan memaksa, membuatnya tak suka dengan lelaki yang harus di nikahinya."Ra," panggil Bu Rani, sesaat setelah membuka pintu kamar Alira yang tak di kunci, mengalihkan pandangan putrinya."Nanti kamu siap-siap ya Ra? ada undangan makan malam dari Om Bagas," lanjut Bu Rani, beradu pandang dengan Alira yang terdiam tak menjawab kalimatnya.Segera membuang pandangannya, seraya meraih sisir yang ada di atas meja riasnya, kembali menatap dirinya dari pantulan kaca yang ada di depannya."Kenapa diam?" tanya Bu Rani."Aku nggak ingin makan malam di rumah Om Bagas Bu," jawab Alira, sambil menyisir rambutnya menciptakan helaan nafas di bibir ibunya."Kenapa? Om Bagas calon mertua kamu," ucap Bu Rani, sudah berdiri tepat di belakang putrinya, segera mengambil alih sisir yang di pakai Alira.Membantu menyisir rambut putrinya, masih tak membuat Alira bersuara, hanya terdiam menundukkan kepala tak ingin menjawab pertanyaan ibunya."Om Bagas calon mertua kamu Ra, kamu harus tetap menghormatinya, dengan cara datang ke undangan makan malamnya," lanjut Bu Rani, masih menyisir lembut rambut panjang putrinya.Sebelum terdiam, beradu pandang dengan Alira dari pantulan kaca yang ada di depannya."Mungkin Om Bagas ingin ngobrol banyak sama kamu, kamu datang ya Ra? Om Bagas juga bilang nanti Satria yang akan jemput kamu," tambah Bu Rani,"Terserahlah Bu, aku juga nggak ada hak untuk menolaknya bukan?" lirih Alira, sudah berdiri dari duduknya menatap ibunya pasrah."Sudah adzan Bu," lanjut Alira, segera mengayunkan langkahnya keluar dari kamar meninggakan Bu Rani yang terdiam.Masih berdiri di tempatnya, menghela nafas panjang melihat kepergian putri sulungnya.***
"Siapa ya? cari siapa?" tanya seorang lelaki muda, dengan tampang cueknya membuka pintu utama rumah Alira."Satria," jawab Satria tak kalah cuek, sebelum mengerutkan keningnya, menatap bingung pemuda yang menatapnya lekat dari ujung kepala hingga ke kaki."Lihat apa kamu?""Lumayan! hampir samalah sama Mas Adam!" jawab Aksa, adik lelaki Alira.Baru duduk di bangku SMA Kelas dua, terlihat membandingkan fisik Satria dengan kekasih kakaknya.Mencebikkan bibir Satria, dengan perasannya yang tak mengerti tak menyukai sikap pemuda yang ada di depannya."Ayo masuk," lanjut Aksa, seraya membuka pintu rumah lebar membersilahkan calon suami kakaknya masuk ke dalam rumah."Mbak... calon suami kamu datang nih! tapi nggak bawa apa-apa!" teriak Aksa, dengan sangat entengnya membulatkan mata Satria.Menyadarkan Satria, dengan dirinya yang datang seorang diri tanpa membawa buah tangan atau apapun untuk keluarga calon istri yang tak di inginkannya."Br*ngsek! bocah sialan!" umpatnya dalam hati, sebelum beradu pandang dengan Aksa yang tersenyum tipis mengedikkan dagunya."Ayo duduk? ngapain berdiri aja disini?" ucap Aksa, tak membuat Satria bersuara, hanya terdiam mengumpat dalam hati menatap tajam."Bocah nggak tahu diri! nggak tahu sopan santun!" batin Satria kesal, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Ayah Pras yang mengayunkan langkah menjewer telinga pemuda yang ada di depannya."Ahh ahh ahh!" rintih Aksa, menyentuh telinga kananya berusaha melepaskan jeweran Ayahnya."Sama tamu yang sopan Sa!!!""Sakit Yah!" protes Aksa, seraya menggosok pelan telinganya menatap Ayahnya."Makanya jaga sopan santun kamu di depan calon kakak ipar kamu!" ucap Ayah Pras, yang di jawab dengan helaan nafas pelan putra lelakinya.Menciptakan senyum tipis di bibir Satria, mengejek lelaki yang ada di depannya.Hanya terdiam, menatap tampang nggak suka di wajah Aksa beradu pandang."Sudah sana masuk! panggil Mbak mu!" lanjut Ayah Pras, mengalihkan pandangan Aksa, sebelum mengayunkan langkahnya masuk ke dalam rumah, menaiki anak tangga menuju kamar kakaknya."Maaf ya Sat? Aksa memang begitu anaknya, tapi dia anak yang baik, hanya gayanya aja yang sedikit tengil," ucap Ayah Pras yang di sambut dengan senyum tipis di bibir Satria."Saya mau jemput Alira Om," ucap Satria, mengutarakan maksud dan tujuannya.Sebelum menggerakkan tangannya untuk mencium tangan calon mertuanya."Ayo duduk dulu Sat," ucap Ayah Pras, yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Satria segera mengayunkan langkahnya untuk duduk di atas sofa.Berseberangan dengan Ayah Pras yang duduk di depannya."Tunggu sebentar ya? sebentar lagi Alira keluar," ucap Ayah Pras, beradu pandang dengan Satria yang mengangguk pelan menjawab kalimatnya.Hanya beberapa menit, sebelum mengalihkan pandangan mereka kompak, menatap Alira yang beru keluar dari dalam rumah mendekati.Bersamaan dengan Bu Rani yang berjalan di belakang putrinya, mengulaskan senyum termanisnya, beradu pandang dengan Satria yang hendak berdiri dari duduk ingin mencium tangannya.Tak membuat Alira bersuara, hanya terdiam, karena hatinya yang tak rela untuk berangkat makan malam di rumah calon mertuanya."Ayo cepat berangkat, keburu malam," ucap Ayah Pras."Tante titip Alira ya Sat," timpal Bu Rani."Iya Tante, saya berangkat ya?" jawab Satria."Hati-hati ya?" ucap Bu Rani lagi, seraya membelai lembut puncak kepala putrinya yang terdiam mencium tangannya, sebelum mencium tangan suaminya."Assalamualaikum," ucap Alira, dengan rasa malasnya yang meninggi, segera mengayunkan langkahnya keluar dari rumah, meninggalkan Satria yang masih pamit di belakangnya.***Langit gelap dengan taburan bintang yang berkelip saling menunjukkan sinarnya, tepat di saat jarum jam yang melingkar di tangan kiri Satria, sudah menunjuk ke pukul tujuh malam.Terlihat sedan putih Satria, melesat dengan kecepatan sedang, menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Dengan suasana hening di dalam mobil, tanpa suara dari dua orang yang saling diam duduk bersebelahan di kursi depan.Satria yang terlihat fokus dengan stir yang di kendalikannya, sedangkan Alira yang terlihat sibuk dengan arah pandangnya, melihat jalanan kota dari balik kaca mobil di sebelahnya menyandarkan kepalanya.Sebelum menegakkan duduknya, mengedarkan pandangannya, karena Satria yang tiba-tiba saja menghentikan laju mobil tepat di pinggir jalan."Tanda tangani ini," ucap Satria, dengan wajah datarnya, melemparkan sebuah map bening ke pangkuan Alira."Mengalihkan pandangan Alira, dengan perasaan bingungnya segera mengambil berkas yang di lemparkan calon suaminya."Apa ini?" tanya Alira."Surat perjanjian pernikahan," jawab Satria, menyentakkan hati Alira segera membuka berkas di tangannya.Sebelum mengulaskan senyumnya, membekap mulutnya sendiri, dengan detak jantungnya yang tak karuan membaca surat perjanjian pernikahan.Mengerutkan kening Satria, tak menyangka dengan ekspresi yang di lihatnya di wajah calon istrinya.Bersambung.
"Apa ini?" tanya Alira."Surat perjanjian pernikahan," jawab Satria, menyentakkan hati Alira segera membuka berkas di tangannya.Sebelum mengulaskan senyumnya, membekap mulutnya sendiri, dengan detak jantungnya yang tak karuan membaca surat perjanjian pernikahan.Mengerutkan kening Satria, tak menyangka dengan ekspresi yang di lihatnya di wajah calon istrinya."Surat perjanjian pernikahan kita?" tanya Alira, tak menyadari binar bahagia di manik indahnya, beradu pandang dengan Satria yang terdiam."Kamu buta huruf? baca aja!" jawab Satria, tak melukai hati Alira, karena rasa bahagianya yang begitu bergelora.Menyejukkan hatinya yang sempat merana, karena surat perjanjian pernikahan yang a
"Ya sudah nggak papa, biar aku nanti ketemu sama Aksa di rumah kamu, sayang makanannya Ra, sudah aku bungkusin banyak,""Astaga...," batin Alira frustasi, meraup wajahnya kasar mencoba berpikir untuk mencari alasan.Karena dirinya yang tak ingin, kedua orang tuanya menceritakan perihal perjodohannya kepada Adam."Kita ketemu aja ya? aku akan pulang sekarang, kita bertemu di taman Puspa ya?" ucap Alira, mencoba untuk mengendalikan keadaan.Karena dirinya yang tak ingin kehilangan Adam karena perjodohan yang tak di inginkan ini."Please Dam jangan ke rumah," batin Alira, sebelum mengulaskan senyumnya karena kalimat kekasihnya."Ya sudah, aku tunggu ya? kita ketemu di taman Puspa,"&
H-10Satria telah memutuskan sendiri tanggal pernikahannya, tepat setelah satu hari keberangkatan Azkia keluar negeri dalam melakukan tugasnya sebagai seorang pramugari.Membuat Satria sedikit tenang, berbeda dengan Alira, hatinya tak tenang, di selimuti dengan rasa gundah dan gelisah.Begitu takut jika kekasihnya mendengar kabar resepsi pernikahannya.Bertemankan sinar mentari yang beranjak naik, tepat di pukul 10:00.Terlihat Alira, hanya duduk termenung sendirian di kursi panjang yang ada di teras rumahnya, memikirkan pernikahan yang tak di inginkannya semakin mendekat karena waktu yang berputar dengan sangat cepat.Membuatnya frustasi, meskipun sudah ada perjanjian pernikahan dengan calon suaminya, meskipun masih ada harapan untuknya bisa bersama dengan Adam setelah perceraian.Tapi bayangan Adam terus saja terbayang di pikirannya, banyangan akan kemarahan Adam jika mengetahui segala kebohongannya, apa Adam masih mau m
"Alira? Adam?" panggil Bu Rani, sesaat setelah berdiri di depan pintu utama mengalihkan pandangan Adam dan juga Alira.Menyentakkan hati Alira, dengan matanya yang membulat reflek berdiri dari duduknya."Bu," ucap Alira, dengan degup jantungnya yang kembali tak karuan menyeka cepat air matanya beradu pandang."Tante," sapa Adam, mengulaskan senyum termanisnya berdiri dari duduknya.Beradu pandang dengan Bu Rani yang terdiam, mengalihkan pandangan Alira panik menatapnya gelisah."Apa kabar Tante?" tanya Adam, sesaat setelah mencium tangan ibu dari kekasihnya tak mengalihkan pandangannya."Sehat Dam, kamu gimana kabarnya? kok duduk di sini? nggak masuk ke dalam?""Alhamdulillah Tante, saya juga sehat, nggak Papa Tante, duduk disini saja, sekalian cari angin," jawab Adam, dengan intonasi sopannya tak menghilangkan senyum di bibirnya.Memejamkan mata Alira, karena hatinya yang begitu ngilu, melihat kesempurnaan Adam, le
Sinar mentari di pagi hari begitu cerah, bertemankan semilirnya angin menggoyang dedaunan yang ada di halaman hotel bintang lima yang terlihat luas.Terlihat banyaknya mobil, dari pihak keluarga, sanak saudara dan juga teman-teman dari Papa Bagaskara dan Ayah Pras.Ingin menyaksikan pernikahan dari Satria dan juga Alira yang akan di langsungkan secara tertutup, dengan penjagaan yang begitu ketat.Terlihat Alira, tampak begitu cantik dan anggun, dengan kebaya putih tulang, di lengkapi dengan riasan dan juga sanggul khas daerahnya. Duduk bersebelahan dengan Satria yang terlihat tampan, gagah dan rupawan, menggunakan setelan jas putih pengantin menunggu kalimat ijab dari Ayah Pras yang ada di depannya."Saya nikahkan engkau, dan saya kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Alira Maulidina binti Prasetya, dengan mas kawin satu set perhiasan emas seberat 20 gram, beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai". Ucap Ayah Pras, dengan degup jan
Langit mulai menggelap, tanpa sinar rembulan maupun sang bintang, karena awan mendung yang bergelayut menutupi keindahan malam di atas hotel bintang lima tempat resepsi pernikahan Satria dan juga Alira di langsungkan.Di meriahkan alunan musik dan juga lagu yang terdengar merdu, dari suara penyanyi penghibur yang sedang berdiri dan bergoyang santai di atas panggung di samping pelaminan.Terlihat Alira, begitu cantik dan anggunnya, mengenakan gaun pengantin modern berwarna putih, di penuhi dengan hiasan payet bernuansa silver berdiri tegak di atas pelaminan.Berdampingan dengan Satria, di temani oleh kedua orang tua dan juga Papa mertuanya yang duduk bersanding di samping kanan dan kiri kursinya."Terimakasih Om," jawab Satria, terlihat begitu tampan dengan setelan jas putihnya, senada dengan gaun elegan yang dipakai istrinya mengulaskan senyum tipis di bibirnya.Beradu pandang dengan salah satu klien perusahaannya, sahabat dari papanya sendiri memb
"Alira? istri Pak Satria pacar kamu?" tanya Anton.Memecahkan tawa Adam, sebuah tawa pilu penuh luka, menertawakan kisah cintanya sendiri bersama dengan wanita yang sangat di cintainya, wanita yang selalu di jaganya namun mengkhianatinya.Menikah dengan lelaki lain di belakangnya, menciptakan luka yang begitu dalam mengoyak perasannya, karena tikaman Alira, begitu kuat menusuk tepat di hatinya.Membuatnya terlihat pilu, begitu memprihatinkan di depan beberapa tamu undangan di depan ballroom.Memperhatikannya dengan kasak kusuk yang terdengar membicarakannya."Kita pulang saja Dam," tawar Anton, masih menahan tubuh temannya.Beradu pandang dengan Adam, menggeleng cepat tak menyetujui kalimatnya."Aku harus memperkenalkan kamu sama Alira An! kamu harus berkenalan sama dia," jawab Adam, berusaha menegakkan kakinya yang gemetar.Menahan rasa s
Langit menggelap tanpa bintang dan rembulan, karena guyuran hujan, begitu derasnya membasahi halaman hotel yang telihat ramai oleh motor dan juga mobil di area parkiran.Terlihat Alira, si pengantin perempuan yang harusnya berbahagia, namun terluka oleh pernikahan paksa yang membuatnya merana.Hanya menangis, mengangkat gaun panjang yang di pakainya, berlari semampunya."Aku bisa jelasin semuanya Dam, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," gumamnya pelan, masih berlari mengacuhkan semua orang yang melihatnya.Karena hatinya, begitu sakit oleh bayangan kemarahan Adam yang terus saja berputar di kepalanya.Membuatnya pilu dengan tangisannya yang terisak, terus berlari, hendak menerobos derasnya hujan namun tertahan.Oleh gerakan tangan Satria, mencekal lengan tangannya menghentikan langkahnya."Apa kamu buta? lihat hujannya deras begini!" sentak Satria
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"