Sinar sang Surya mulai beranjak, namun tak terlalu naik bertemankan angin yang semilir menggoyangkan dedaunan yang tumbuh di halaman rumah Alira.
Tepat di saat pukul 10:00, terlihat sedan mewah Papa Bagaskara, melaju pelan memasuki pintu pagar rumah Alira yang terbuka, sebelum berhenti tepat di halaman rumah Alira yang cukup luas.
"Ayo masuk Sat!" ucap Papa Bagaskara, duduk di kursi belakang di samping anaknya.
Terlihat antusias ingin segera menemui calon besannya, sahabat baiknya sendiri.
Berbeda dengan Satria yang terlihat lesu, masih menyandarkan kepalanya di sandaran mobil tak ingin beranjak keluar dari mobil papanya.
"Ayo,"
"Aku masih belum yakin dengan keputusanku ini Pa!" lirih Satria, dengan wajah memelasnya, dengan harapannya yang sangat besar, bisa merubah pikiran Papanya.
"Sudah lah Sat! percaya sama Papa, Papa yakin kamu akan suka sama Alira, dia gadis baik juga cantik Sat! kamu nggak akan menyesal menikahinya!"
"Tapi aku nggak ada hati untuk dia Pa! aku mencintai Azkia!" jawab Satria, masih dengan tampang memelasnya mencoba menyentuh hati Papanya yang keras kepala.
Gagal, Papa Bagas masih tetap teguh dengan pendiriannya, sama sekali tak tersentuh dengan wajah melas putra tunggalnya.
Karena keinginan Papa Bagas yang begitu besar, ingin mendapatkan menantu sebaik dan secantik Alira.
Terlebih karena putri dari sahabatnya sendiri, membuatnya semakin yakin ingin segera meminang Alira sebagai menantu tunggalnya.
"Ayo cepat! itu Om Pras sudah kesini," lanjut Papa Bagas, segera turun dari mobilnya.
Menciptakan helaan nafas kasar di bibir Satria, mengacak rambutnya kesal karena rasa frustasinya yang meninggi.
"Assalamualaikum," ucap Papa Bagas, mengayunkan langkahnya mendekati Ayah Pras, segera menjabat dan memeluk tubuh calon besannya.
"Waalaikum salam," jawab Ayah Pras, mengulaskan senyum termanisnya, sebelum mengalihkan pandangan dan menjatuhkannya ke arah Satria yang baru turun dari mobil mendekatinya.
"Kenapa rambut kamu berantakan seperti itu Sat?" tanya Ayah Pras.
"Kena angin Om," jawab Satria asal, hanya memasang senyum tipis merapikan rambutnya sesaat setelah mencium tangan calon Papa mertuanya.
Menciptakan tawa di bibir Ayah Pras, segera mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam rumah.
Sementara itu di dalam sebuah kamar, Alira masih menangis, masih setia duduk di depan meja riasnya.
Sebelum mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamarnya yang terbuka, beradu pandang dengan Bu Rani yang terdiam di balik pintu menatapnya pilu.
"Calon suami kamu sudah datang Ra," lirih Bu Rani, mengayunkan langkahnya mendekati putri sulungnya.
Dengan rasa sakit di hatinya, menyayat perih perasannya beradu pandang dengan mata basah salah satu putri kesayangannya.
Putri yang selalu terlihat ceria, kini terlihat pilu dengan mata sembab menatapnya sendu.
Karena perjodohan yang di lakukan suaminya, karena hutang budi yang harus di bayar lunas oleh suaminya.
Ikut menitikan air matanya, membalas pelukan Alira yang berdiri dan berhambur ke dalam pelukannya.
"Aku nggak mau di lamar Bu! aku nggak mau di jodohkan...," ucap Alira, membenamkan wajah basahnya ke dalam pelukan ibunya, berusaha meminta dan memohon kebaikan hati wanita yang di sayanginya.
Menggetarkan bibir Bu Rani menahan tangis, seraya mencium puncak kepala putrinya mengeratkan pelukannya.
"Ibu sama Ayah minta maaf ya Ra..., kami minta maaf..."
"Aku nggak akan bisa bahagia Bu...! aku nggak mungkin bisa hidup bahagia bersama dengan orang asing, bersama dengan orang yang nggak aku kenal Bu," lanjutnya lagi, semakin terisak dengan tangisannya yang tergugu.
"Kamu mengenalnya Sayang, dia putra Om Bagaskara, kamu juga pernah bertemu dengan dia kan?" jawab Bu Rani yang di sambut dengan gelengan cepat kepala putrinya.
"Aku nggak mengenalnya Bu, aku hanya sekedar tahu, untuk bicara pun aku nggak pernah Bu..." lanjut Alira, masih dengan isakan tangisnya semakin tergugu.
Menahan gejolak rasa ego di dirinya, ingin sekali lari dari rumah, meninggalkan perjodohan paksa kedua orang tuanya.
Namun sayang, karena kelembutan hati yang dia punya, membuatnya tak berdaya untuk melawan, hanya bertahan di dalam kesedihan, penghancur impiannya bersama Adam.
Karena kasih sayangnya, rasa cintanya yang begitu besar kepada ayah dan ibunya.
Tak ingin mempermalukan kedua orang tuanya, terlebih karena dirinya yang tak ingin menyandang status durhaka, yang tak punya bakti untuk mengurangi beban hutang Budi di pundak Ayahnya.
"Kamu akan bahagia Ra, Ibu sangat yakin kamu akan bahagia, karena ibu sendiri yang akan meminta kepada Allah, Ibu akan selalu berdoa untuk kamu Ra, di setiap sujud Ibu, Ibu nggak akan pernah lupa menyebut nama kamu," ucap Bu Rani, membelai puncak kepala putrinya, menahan rasa ngilu di hatinya.
Dengan tatapan nanar lurus kedepan, sebelum beradu pandang dengan Alira yang menegakkan kepala menatapnya dalam.
"Aku mencintai Adam Bu, aku nggak mau putus sama Adam Bu, aku nggak mau..." lirih Alira, dengan bibirnya yang bergetar menatap pilu.
"Nggak semua cinta bisa menciptakan pernikahan Ra, tapi pernikahan yang sadar dan terencana yang akan menciptakan cinta, meskipun nggak sekarang, mungkin nanti, suatu hari nanti, di saat Allah sendiri yang membuka hati kalian berdua untuk saling mencintai," jawab Bu Rani, mencakup kedua pipi putrinya beradu pandang.
"Kamu hanya perlu bersahabat dengan Satria Sayang, bersikap baiklah sebagai seorang istri, ibu yakin kalian berdua akan bahagia." Lanjut Bu Rani, dengan intonasinya yang sangat lembut menyeka air mata di pipi putrinya.
Berusaha memberi kekuatan di hati Alira, dengan senyum tipis yang tersunging di bibirnya beradu pandang.
Sebelum merengkuh kembali tubuh putrinya, membawa Alira ke dalam pelukannya sesaat setelah mengecup puncak kepala putrinya dalam.
Berusaha menahan rasa sakit yang menyesakkan hatinya, karena dirinya yang tak tega melihat tangisan putrinya yang merana.
Sementara itu di ruang tamu, sudah ditemani beberapa hidangan yang tersaji dia atas meja, terlihat Papa Bagas sudah duduk di atas sofa.
Bersebelahan dengan putranya yang terlihat lesu tak bergairah, bersebrangan dengan Ayah Pras yang terlihat semringah menimpali setiap obrolannya.
"Rani sama Alira mana?" tanya Papa Bagas, mengedarkan pandangannya mencari keberadaan calon besan perempuan dan calon menantunya.
"Masih di kamar Alira, bantuin Alira dandan mungkin," jawab Ayah Pras, dengan tawa renyahnya menjawab pertanyaan sahabatnya.
"Assalamuaikum," ucap Bu Rani, mengayunkan langkahnya keluar dari dalam rumah menemui calon besan dan menantunya.
Sudah tak ada lagi air mata, yang ada hanya senyum tipis yang di ulaskannya, sebagai bentuk sopan santunnya kepada tamu yang harus di sambutnya.
"Waalaikum salam," jawab semua nya, mengalihkan pandangan kompak menatap Bu Rani.
"Alira mana?" tanya Ayah Pras, beradu pandang dengan istrinya yang baru saja selesai menjabat tangan kedua tamunya bergantian.
"Itu Yah, Alira masih ada di kamar, lagi nggak enak badan," jawab Bu Rani, seraya mengayunkan langkahnya hendak duduk di samping Ayah Pras mengerutkan kening suaminya.
"Alira sakit?" tanya Papa Bagas yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Bu Rani.
"Iya, masuk angin Mas, jadi belum bisa menemui Mas Bagas sama Satria, kalau Mas Bagas nggak keberatan kita bisa mendiskusikan pernikahan anak kita tanpa Alira, " jawab Bu Rani yang di jawab dengan anggukan pelan calon besannya.
"Nggak papa, ini langsung saja ya Pras, Ran, aku ingin pernikahan putra putri kita di percepat, karena aku sudah nggak sabar ingin segera menggendong cucu," ucap Papa Bagas, menyentakkan hati Anaknya.
"Pa," panggil Satria menatap Papanya.
Bersamaan dengan gerakan kepala Ayah Pras dan Mama Rani yang menoleh beradu pandang.
"Papa ingin cepat punya cucu Sat! usia Papa sudah nggak muda lagi, jadi Papa ingin menggendong cucu dulu sebelum meninggal,"
"Astaga... meninggal lagi! meninggal lagi!" batin Satria frustasi, membuang pandangannya ke sembarang arah menahan kesal.
"Kapan Mas?" tanya Papa Pras.
"Bulan depan gimana?" jawab Papa Bagas.
"Ya Tuhan....!" batin Satria, menundukkan kepalanya, memejamkan matanya dalam menggosok dahinya pelan.
"Ayolah Pa, terlalu cepat...," melas Satria, mengalihkan pandangan papanya beradu pandang.
"Ya sudah tiga Minggu lagi,"
"Jangan bercanda lah Pa...,"
"Dua Minggu lagi!"
"Oke satu bulan lagi!" jawab Satria akhirnya, dengan rasa frustasinya yang meninggi mengakhiri.
Tak ingin lagi berdebat, karena gejolak rasa di hati, berusaha keras untuk menahan rasa kesal yang menguasai.
"Gimana Pras? Ran? kalian setuju kan kalau acara pernikahannya bulan depan?" tanya Papa Bagas, dengan senyum penuh harap, menatap kedua calon besannya bergantian.
"Terserah kamu saja Mas," jawab Ayah Pras, dengan senyum tipisnya beradu pandang.
***
Langit mulai menggelap tanpa sinar dari sang bintang dan rembulan, karena mendung yang menggantung bertemankan petir sebagai pertanda hujan akan turun.
Terlihat Alira, hanya berbaring di atas ranjang selepas melakukan kewajibannya kepada Tuhannya.
Tak ingin bangun dari tidurnya karena rasa lelah yang menguasainya, lelah akan tangisannya, akibat pupusnya harapan untuk masa depannya.
Yang ada hanya rasa pasrah, pasrah meskipun suram, pasrah meskipun menyakitkan.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu kamarnya, tak membuatnya bergerak, hanya terdiam memejamkan matanya.
"Lira...," panggil Bu Rani, sesaat setelah membuka pintu kamar putrinya yang tak terkunci.
Sebelum mengayunkan langkahnya, hendak duduk di tepi ranjang mendekati Alira.
"Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu, kamu makan dulu ya? sudah di tunggu ayah sama adik kamu di meja makan," lirih Bu Rani, menyentuh kaki putrinya.
"Aku nggak lapar Bu," jawab Alira masih memejamkan matanya tak menggerakkan tubuhnya.
Menciptakan helaan nafas di bibir Bu Rani, membenarkan posisi tubuhnya, mengalihkan pandangannya lurus ke depan.
"Om Bagas ingin pernikahan kalian di percepat, dan Ayah kamu juga sudah menyetujuinya." Lirih Bu Rani, menahan buliran bening di balik kelopak matanya tak mengalihkan pandangannya.
Membuka mata Alira, tak merubah posisi tidurnya membelakangi Ibunya.
"Kapan Bu?" lirih Alira.
"Satu bulan lagi," jawab Bu Rani.
Tak membuat Alira bersuara, hanya memejamkan matanya dalam, menitikan buliran bening di mata indahnya.
Menahan rasa sesak di hatinya, kembali menyeruak menyakiti perasaannya, karena harapannya yang telah pupus, karena impiannya yang telah hancur.
Bersambung.
Satu Minggu telah berlalu...Angin begitu semilir, menggoyangkan dedaunan di bawah sinar mentari yang masih hangat tepat di hari Minggu.Menemani perjalan Alira, dengan menggunakan motor matic yang dikendarainya, melajukan motornya dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Dengan perasaannya yang sedikit bahagia, setelah dua Minggu lamanya menahan nestapa.Karena kedatangan sang pujaan hatinya yang baru pulang dari luar kota, membuatnya tak sabar ingin segera bertemu di sebuah kafe tempat biasanya saling ngobrol dan bercerita.Sementara itu di tempat lainnya, tampak Satria, mengulaskan senyum semringahnya, menggenggam erat tangan seorang gadis cantik berambut panjang, yang sedang duduk di kursi penumpang depan di sebelahnya.Beberapa kali menolehkan kepalanya, saling bicara dan bercanda, bersama dengan Azkia, wanita pujaan hatinya, menikmati ken
"Yank...," panggil Azkia, menyentakkan hati Satria.Melepaskan sentuhan tangannya spontan di lengan Alira, bersamaan dengan gerakan kepalanya yang menoleh, beradu pandang dengan Azkia yang berdiri, mengayunkan langkah mendekatinya."Ngapain kamu?" tanya Azkia.Tak membuat Satria bersuara, hanya berdiri tegak mengusap dahinya perlahan tak mengalihkan pandangannya."Siapa wanita ini? kamu mengenalnya?" tanya Azkia, menoleh ke arah Alira yang terdiam tak ingin ikut campur di dalam urusan Satria."Aku permisi," ucap Alira, segera mengayunkan langkahnya cepat, keluar dari lorong kamar mandi meninggalkan Satria dan Azkia yang terdiam menyaksikan kepergiannya."Siapa dia Yank?" tanya Azkia lagi, dengan jiwa ke ingin tahuannya yang meninggi, tak sabar dengan jawaban Satria."Dia anak dari teman Papa Yank," jawab Satria akhirnya, mengerutkan kening Azkia menatapnya dalam."Anak teman Papa
"Apa ini?" tanya Alira."Surat perjanjian pernikahan," jawab Satria, menyentakkan hati Alira segera membuka berkas di tangannya.Sebelum mengulaskan senyumnya, membekap mulutnya sendiri, dengan detak jantungnya yang tak karuan membaca surat perjanjian pernikahan.Mengerutkan kening Satria, tak menyangka dengan ekspresi yang di lihatnya di wajah calon istrinya."Surat perjanjian pernikahan kita?" tanya Alira, tak menyadari binar bahagia di manik indahnya, beradu pandang dengan Satria yang terdiam."Kamu buta huruf? baca aja!" jawab Satria, tak melukai hati Alira, karena rasa bahagianya yang begitu bergelora.Menyejukkan hatinya yang sempat merana, karena surat perjanjian pernikahan yang a
"Ya sudah nggak papa, biar aku nanti ketemu sama Aksa di rumah kamu, sayang makanannya Ra, sudah aku bungkusin banyak,""Astaga...," batin Alira frustasi, meraup wajahnya kasar mencoba berpikir untuk mencari alasan.Karena dirinya yang tak ingin, kedua orang tuanya menceritakan perihal perjodohannya kepada Adam."Kita ketemu aja ya? aku akan pulang sekarang, kita bertemu di taman Puspa ya?" ucap Alira, mencoba untuk mengendalikan keadaan.Karena dirinya yang tak ingin kehilangan Adam karena perjodohan yang tak di inginkan ini."Please Dam jangan ke rumah," batin Alira, sebelum mengulaskan senyumnya karena kalimat kekasihnya."Ya sudah, aku tunggu ya? kita ketemu di taman Puspa,"&
H-10Satria telah memutuskan sendiri tanggal pernikahannya, tepat setelah satu hari keberangkatan Azkia keluar negeri dalam melakukan tugasnya sebagai seorang pramugari.Membuat Satria sedikit tenang, berbeda dengan Alira, hatinya tak tenang, di selimuti dengan rasa gundah dan gelisah.Begitu takut jika kekasihnya mendengar kabar resepsi pernikahannya.Bertemankan sinar mentari yang beranjak naik, tepat di pukul 10:00.Terlihat Alira, hanya duduk termenung sendirian di kursi panjang yang ada di teras rumahnya, memikirkan pernikahan yang tak di inginkannya semakin mendekat karena waktu yang berputar dengan sangat cepat.Membuatnya frustasi, meskipun sudah ada perjanjian pernikahan dengan calon suaminya, meskipun masih ada harapan untuknya bisa bersama dengan Adam setelah perceraian.Tapi bayangan Adam terus saja terbayang di pikirannya, banyangan akan kemarahan Adam jika mengetahui segala kebohongannya, apa Adam masih mau m
"Alira? Adam?" panggil Bu Rani, sesaat setelah berdiri di depan pintu utama mengalihkan pandangan Adam dan juga Alira.Menyentakkan hati Alira, dengan matanya yang membulat reflek berdiri dari duduknya."Bu," ucap Alira, dengan degup jantungnya yang kembali tak karuan menyeka cepat air matanya beradu pandang."Tante," sapa Adam, mengulaskan senyum termanisnya berdiri dari duduknya.Beradu pandang dengan Bu Rani yang terdiam, mengalihkan pandangan Alira panik menatapnya gelisah."Apa kabar Tante?" tanya Adam, sesaat setelah mencium tangan ibu dari kekasihnya tak mengalihkan pandangannya."Sehat Dam, kamu gimana kabarnya? kok duduk di sini? nggak masuk ke dalam?""Alhamdulillah Tante, saya juga sehat, nggak Papa Tante, duduk disini saja, sekalian cari angin," jawab Adam, dengan intonasi sopannya tak menghilangkan senyum di bibirnya.Memejamkan mata Alira, karena hatinya yang begitu ngilu, melihat kesempurnaan Adam, le
Sinar mentari di pagi hari begitu cerah, bertemankan semilirnya angin menggoyang dedaunan yang ada di halaman hotel bintang lima yang terlihat luas.Terlihat banyaknya mobil, dari pihak keluarga, sanak saudara dan juga teman-teman dari Papa Bagaskara dan Ayah Pras.Ingin menyaksikan pernikahan dari Satria dan juga Alira yang akan di langsungkan secara tertutup, dengan penjagaan yang begitu ketat.Terlihat Alira, tampak begitu cantik dan anggun, dengan kebaya putih tulang, di lengkapi dengan riasan dan juga sanggul khas daerahnya. Duduk bersebelahan dengan Satria yang terlihat tampan, gagah dan rupawan, menggunakan setelan jas putih pengantin menunggu kalimat ijab dari Ayah Pras yang ada di depannya."Saya nikahkan engkau, dan saya kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Alira Maulidina binti Prasetya, dengan mas kawin satu set perhiasan emas seberat 20 gram, beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai". Ucap Ayah Pras, dengan degup jan
Langit mulai menggelap, tanpa sinar rembulan maupun sang bintang, karena awan mendung yang bergelayut menutupi keindahan malam di atas hotel bintang lima tempat resepsi pernikahan Satria dan juga Alira di langsungkan.Di meriahkan alunan musik dan juga lagu yang terdengar merdu, dari suara penyanyi penghibur yang sedang berdiri dan bergoyang santai di atas panggung di samping pelaminan.Terlihat Alira, begitu cantik dan anggunnya, mengenakan gaun pengantin modern berwarna putih, di penuhi dengan hiasan payet bernuansa silver berdiri tegak di atas pelaminan.Berdampingan dengan Satria, di temani oleh kedua orang tua dan juga Papa mertuanya yang duduk bersanding di samping kanan dan kiri kursinya."Terimakasih Om," jawab Satria, terlihat begitu tampan dengan setelan jas putihnya, senada dengan gaun elegan yang dipakai istrinya mengulaskan senyum tipis di bibirnya.Beradu pandang dengan salah satu klien perusahaannya, sahabat dari papanya sendiri memb
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"