Di kediaman Papa Bagaskara.
Malam telah menjelang, setelah kehilangan senja sore yang begitu indah di pandang mata, karena langit yang telah menggelap sempurna, dengan hiasan bintang yang menemani sang rembulan.
Terlihat Satria, duduk berselonjor diatas sofa kamarnya yang terlihat luas, tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya yang menyala di atas pangkuannya.
Karena dirinya yang tengah sibuk, membaca beberapa file yang di kirim oleh sekretarisnya lewat email.
Sebelum mengalihkan pandangannya, hanya sesaat karena suara ponselnya yang berdering di atas meja.
"Siapa sih?" gumamnya pelan, seraya meraih ponselnya tak mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.
"Halo!" ucap Satria, sesaat setelah menggeser layar ponselnya, segera meletakkannya di telinga tak membaca nama yang tertera di dalamnya.
"Galak benar sih Yank?" protes wanita dari dalam ponselnya, menyentakkan hati Satria segera menutup layar laptopnya.
"Astaga Yank..., maaf ya aku nggak sengaja...," jawab Satria, dengan kekehan di bibirnya menyadari suara kekasih hatinya.
Azkia Caera 25 tahun, seorang pramugari yang selalu sibuk dengan jadwal terbangnya.
"Kenapa? ada apa?" tanya Satria.
"Nggak jadi!" ngambek Kia yang di sambut kembali dengan kekehan Satria.
"Jangan ngambek lah Yank..., maaf ya...," bujuk Satria, tak ingin wanita yang dicintainya marah, sebelum mengulaskan senyum termanisnya.
Karena mempannya permintaan maafnya, untuk menghilangkan rasa kesal di hati pujaan hatinya.
Satria Abraham, Direktur muda yang baru saja mengambil alih perusahaan Papanya, terlihat sangat dingin dan cuek untuk siapa saja yang tak mengenalnya.
Namun sangat sayang dan perhatian untuk orang-orang yang di kasihinya, termasuk kekasih hatinya, apapun pasti akan dia usahakan hanya untuk bisa membahagiakan wanita penghuni hatinya.
Setengah jam sudah waktu yang telah Satria habiskan untuk mengobrol bersama Azkia.
"Masuk," ucap Satria, mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamarnya yang terketuk.
Sebelum beradu pandang dengan Papa Bagaskara, sudah berdiri tegak di balik pintu kamarnya yang terbuka beradu pandang.
"Sibuk ya Sat?" tanya Papa Bagas, mengayunkan langkahnya mendekati putra tunggalnya.
"Aku tutup dulu ya Yank? ada Papa," ucap Satria kepada Kia, segera memutus panggilan teleponnya menatap Papanya.
"Nggak Pa, ada apa?" tanya Satria, meletakkan ponselnya di atas meja beradu pandang.
"Papa ingin bicara sama kamu," ucap Papa Bagas yang di sambut dengan anggukan pelan kepala anaknya.
Segera menurunkan kakinya, sesaat sebelum meletakkan laptopnya di atas meja.
"Bicara aja Pa," lanjut Satria, beradu pandang dengan Papa Bagaskara yang mengayunkan langkah hendak duduk di sofa kosong yang ada di sebelahnya.
"Papa ingin kamu nikah Sat," ucap Papa Bagas mengarutkan kening anaknya.
"Azkia belum siap nikah Pa, nanti satu satu tahun lagi katanya."
"Kelamaan! apa kamu ingin Papa meninggal dulu baru mau nikah?"
"Papa ini ngomong apa sih Pa?" protes Satria, merasa tak suka dengan kalimat Papanya.
"Makanya Sat! kamu nikah cepat! kalau memang pacar kamu itu belum siap, kamu bisa menikah sama wanita lain selain pacar kamu itu!" tegas Papa Bagas, semakin menyentakkan hati Satria.
"Ya nggak bisa seperti itu lah Pa! aku cintanya sama Azkia, nggak mungkin aku nikah sama perempuan lain selain Azkia!" jawab Satria.
"Papa sudah bicara sama Om Pras, Papa ingin melamar anaknya Alira untuk di nikahkan sama kamu!" lanjut Papa Bagas, semakin membulatkan mata anaknya menatapnya.
Dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, sama sekali tak menyangka dengan kalimat Papanya.
"Hari Minggu kita akan datang ke rumah Om Pras, kosongin jadwal kamu, dan Papa akan menyiapkan semuanya," tambah Papa Bagas, menciptakan senyum getir di bibir Satria.
Segera membuang pandangannya ke sembarang arah, sama sekali tak bisa percaya dengan kalimat yang baru di dengarnya.
"Papa bercanda kan?" jawab Satria, kembali mengalihkan pandanganya menatap Papanya.
"Papa serius Sat! Papa sangat ingin berbesan sama Om Pras!"
"Dan Papa ingin mengorbankan perasaan anak Papa untuk keinginan Papa itu?" protes Satria, dengan deru nafasnya yang mulai memburu, menahan emosi di hatinya.
Karena keinginan Papanya yang nggak masuk akal sangat jauh dari nalar.
Sebelum terdiam, karena wajah murung Papanya, dengan pandangan menerawang ke depan tak menatapnya.
"Tunggu satu tahun lagi ya Pa? aku akan menikahi Azkia," ucap Satria, dengan intonasi lirihnya mencoba untuk bernegosiasi sama Papanya.
Mengalihkan pandangan Papa Bagas menatapnya.
"Papa sangat ingin berbesan dengan Om Pras Sat, dan kamu satu-satunya anak Papa, kalau kamu nggak mau menikah sama Alira, apa kamu tahu betapa sedihnya Papa Sat?" jawab Papa Bagas, dengan wajahnya yang memelas mendesirkan hati anaknya.
Menghilangkan rasa kesal di hati Satria kembali membuang pandangannya ke sembarang arah.
Karena hatinya yang dilema, harus memilih satu di antara dua orang yang sangat dicintainya, antara Papanya atau kekasih hatinya.
"Kenapa kamu ninggalin Papa sih Setya? kamu yang paling menyayangi Papa, harusnya kamu masih hidup bersama dengan Papa di sini Ya, pasti kamu mau menikahi Alira demi kebahagiaan Papa," gumam Papa Bagas, kembali mengingat putra keduanya yang telah meninggal empat tahun yang lalu karena kecelakaan.
Semakin menyakiti hati Satria, karena kalimat papanya yang membuatnya merasa bersalah, menjadi anak durhaka yang tak bisa membahagiakan hati Papanya sendiri.
"Aku juga sayang Papa Pa!" ucap Satria, mengalihkan pandangan Papa Bagas menatapnya.
"Sayang gimana? nikah sama Alira saja kamu nggak mau!"
"Ya karena aku nggak mencintainya Pa! aku sudah punya Azkia!" jawab Satria menekankan.
Sebelum menghela nafasnya pelan karena kalimat Papanya.
"Bagaimana dengan keinginan Papa? kamu nggak ingin membahagiakan Papa?" ucap Papa Bagaskara, semakin mengecewakan hati Satria.
"Oke! aku akan kosongin jadwalku Pa! Minggu kan? kita akan datang ke rumah Om Pras," ucao Satria akhirnya.
Dengan hatinya yang penuh beban dan keterpaksaan menatap lekat manik mata Papa Bagaskara yang penuh binar.
"Kamu serius kan?" tanya Papa Bagas memastikan.
Tak membuat Satria bersuara, hanya mengangguk lemah membuang pandangannya ke sembarang arah.
"Kamu memang anak Papa Sat, terimakasih ya?" ucap Papa Bagas, menepuk pelan pundak anaknya yang tengah terluka.
"Papa keluar dulu ya? kamu juga turun, kita makan malam bersama," lanjut Papa Bagas antusias segera berdiri dari duduknya.
"Papa duluan aja, nanti aku nyusul," jawab Satria, menatap kepergian Papanya sebelum menjatuhkan tubuhnya di sandaran sofa.
"Ahhhh! br*ngsek!" dengus Satria kesal, kembali menegakkan duduknya menatap ke depan.
Memikirkan masa depannya yang akan berantakan, memikirkan kisah cintanya yang bisa saja kandas.
***
Sang Surya kembali datang dengan sinarnya yang masih begitu hangat, di hari Minggu yang tak pernah di tunggu pun tiba, Terlihat Alira, duduk terdiam di depan meja riasnya terlihat sendu dengan wajahnya yang terlihat sembab.
Hanya menatap dalam dirinya sendiri yang terlihat cantik dengan polesan make up tipis di wajah cantiknya, dari pantulan kaca rias yang ada di depannya, dengan bibirnya yang bergetar menahan rasa sesak yang begitu dalam menghimpit keras menyakitinya.
Memecahkan tangisannya, membiarkan air matanya mengalir, membasahi pipi putihnya menghilangkan make up tipis yang telah di polesnya.
Dengan bibirnya yang bergetar, tak ingin menyeka air matanya.
Sebuah aliran air matanya yang terus saja menetes, sebagai bentuk bukti baktinya kepada kedua orang tua yang sangat di sayanginya, kedua orang tua yang telah memaksanya untuk hidup bersama dengan lelaki yang tak pernah di inginkannya.
Sebelum mengalihkan pandangannya, ke arah ponselnya yang bergetar di atas meja rias yang ada di depannya.
Semakin menggetarkan bibirnya, menahan tangisnya yang semakin pecah membaca nama yang tertera di dalam layar ponselnya yang menyala.
"Adam...," gumamnya pelan tak mengalihkan pandangannya, semakin membuat bibirnya bergetar dengan tangisannya yang terisak.
"Ha...loo," ucap Alira, sesaat setelah menggeser layar ponselnya, dengan suara paraunya menjawab panggilan dari Adam, kekasih hatinya, penghuni hatinya.
"Halo Sayang..., kenapa suara kamu? kamu nangis ya? ada apa Ra? cerita sama aku," ucap Adam, dengan suara lembutnya semakin meyesakkan hati Alira.
Dengan air matanya yang mengalir, semakin deras membasahi pipi hingga ke bibirnya yang bergetar, tak mampu menjawab kalimat kekasihnya.
Karena hatinya yang terasa ngilu, membuat lidahnya menjadi kelu ingin sekali terisak dan berteriak untuk melegakan hatinya yang terasa sesak.
"Kenapa Sayang? ada masalah apa?" lirih Adam.
"Aku kangen Dam... aku kangen sama kamu...," jawab Alira akhirnya, dengan tangisannya yang terisak dan tergugu.
"Aku minta maaf Dam...," batin Alira, menepuk pelan dadanya ingin mengurai rasa sesak yang menghimpit perasaannya.
"Aku juga kangen Sayang," jawab Adam, menciptakan senyum getir di bibir Alira.
"Minggu depan aku pulang Sayang, kita ketemu ya? kita jalan-jalan berdua, kamu ingin kemana?" lanjut Adam, dengan intonasi lembutnya semakin menyakiti hati kekasihya.
"Ayolah Sayang, jangan nangis seperti itu, jangan membuatku menyesal karena tak bisa berada di samping kamu untuk memeluk dan menyeka air mata kamu,"
"Aku mencintai kamu Dam..., aku sangat mencintai kamu...," jawab Alira dengan suara paraunya tak ingin menyeka air matanya.
"Aku minta maaf," batin Alira lagi, kembali menepuk dadanya pelan ingin bisa bernafas, karena rasa sakit di hatinya yang begitu dalam meremas kuat perasaan membuatnya sesak.
"Aku lebih mencintai kamu Sayang," jawab Adam.
Sebelum pamit hendak memutus panggilan teleponnya, untuk melanjutkan tugas dan pekerjaannya yang terjeda.
"Aku tutup dulu ya Sayang, ini aku lagi lembur, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan," ucap Adam.
"Iya," lirih Alira.
"Sudah ya? jangan nangis lagi ya? nanti aku telepon lagi," bujuk Adam yang di sambut dengan anggukan kekasihnya yang tak dapat di lihatnya.
"Iya," jawab Alira lagi, tak mampu merangkai kata untuk menjawab kalimat kekasih hatinya.
Sebelum menurunkan ponsel yang di pakainya, meletakkannya di atas meja dengan tangisannya yang tergugu.
Karena rasa sakit dan sesak di hati yang menguasai, meremas kuat hatinya yang terluka dalam, di tambah dengan rasa bersalahnya yang sangat besar, kepada kekasih hatinya yang sangat mencintainya dan dicintainya.
Setelah sekian lama kisah cinta yang telah di rajutnya begitu indah penuh tawa dan kebahagian, dengan harapan di hatinya dan kekasihnya.
Ingin sekali menikah, membangun sebuah rumah tangga yang bahagia.
Naas, Tuhan ternyata tak memihak impiannya, tak ingin memihak perasaannya yang mencinta, menghancurkan impiannya bersama Adam, lelaki yang sangat di cintainya karena perjodohan yang tak di inginkannya.
Bersambung.
Sinar sang Surya mulai beranjak, namun tak terlalu naik bertemankan angin yang semilir menggoyangkan dedaunan yang tumbuh di halaman rumah Alira.Tepat di saat pukul 10:00, terlihat sedan mewah Papa Bagaskara, melaju pelan memasuki pintu pagar rumah Alira yang terbuka, sebelum berhenti tepat di halaman rumah Alira yang cukup luas."Ayo masuk Sat!" ucap Papa Bagaskara, duduk di kursi belakang di samping anaknya.Terlihat antusias ingin segera menemui calon besannya, sahabat baiknya sendiri.Berbeda dengan Satria yang terlihat lesu, masih menyandarkan kepalanya di sandaran mobil tak ingin beranjak keluar dari mobil papanya."Ayo,""Aku masih belum yakin dengan keputusanku ini Pa!" lirih Satria, dengan wajah memelasnya, dengan harapannya yang sangat besar, bisa merubah pikiran Papanya."Sudah lah Sat! percaya sama Papa, Papa yakin kamu akan suka sama Alira, d
Satu Minggu telah berlalu...Angin begitu semilir, menggoyangkan dedaunan di bawah sinar mentari yang masih hangat tepat di hari Minggu.Menemani perjalan Alira, dengan menggunakan motor matic yang dikendarainya, melajukan motornya dengan kecepatan sedang menembus jalanan kota yang terlihat lenggang.Dengan perasaannya yang sedikit bahagia, setelah dua Minggu lamanya menahan nestapa.Karena kedatangan sang pujaan hatinya yang baru pulang dari luar kota, membuatnya tak sabar ingin segera bertemu di sebuah kafe tempat biasanya saling ngobrol dan bercerita.Sementara itu di tempat lainnya, tampak Satria, mengulaskan senyum semringahnya, menggenggam erat tangan seorang gadis cantik berambut panjang, yang sedang duduk di kursi penumpang depan di sebelahnya.Beberapa kali menolehkan kepalanya, saling bicara dan bercanda, bersama dengan Azkia, wanita pujaan hatinya, menikmati ken
"Yank...," panggil Azkia, menyentakkan hati Satria.Melepaskan sentuhan tangannya spontan di lengan Alira, bersamaan dengan gerakan kepalanya yang menoleh, beradu pandang dengan Azkia yang berdiri, mengayunkan langkah mendekatinya."Ngapain kamu?" tanya Azkia.Tak membuat Satria bersuara, hanya berdiri tegak mengusap dahinya perlahan tak mengalihkan pandangannya."Siapa wanita ini? kamu mengenalnya?" tanya Azkia, menoleh ke arah Alira yang terdiam tak ingin ikut campur di dalam urusan Satria."Aku permisi," ucap Alira, segera mengayunkan langkahnya cepat, keluar dari lorong kamar mandi meninggalkan Satria dan Azkia yang terdiam menyaksikan kepergiannya."Siapa dia Yank?" tanya Azkia lagi, dengan jiwa ke ingin tahuannya yang meninggi, tak sabar dengan jawaban Satria."Dia anak dari teman Papa Yank," jawab Satria akhirnya, mengerutkan kening Azkia menatapnya dalam."Anak teman Papa
"Apa ini?" tanya Alira."Surat perjanjian pernikahan," jawab Satria, menyentakkan hati Alira segera membuka berkas di tangannya.Sebelum mengulaskan senyumnya, membekap mulutnya sendiri, dengan detak jantungnya yang tak karuan membaca surat perjanjian pernikahan.Mengerutkan kening Satria, tak menyangka dengan ekspresi yang di lihatnya di wajah calon istrinya."Surat perjanjian pernikahan kita?" tanya Alira, tak menyadari binar bahagia di manik indahnya, beradu pandang dengan Satria yang terdiam."Kamu buta huruf? baca aja!" jawab Satria, tak melukai hati Alira, karena rasa bahagianya yang begitu bergelora.Menyejukkan hatinya yang sempat merana, karena surat perjanjian pernikahan yang a
"Ya sudah nggak papa, biar aku nanti ketemu sama Aksa di rumah kamu, sayang makanannya Ra, sudah aku bungkusin banyak,""Astaga...," batin Alira frustasi, meraup wajahnya kasar mencoba berpikir untuk mencari alasan.Karena dirinya yang tak ingin, kedua orang tuanya menceritakan perihal perjodohannya kepada Adam."Kita ketemu aja ya? aku akan pulang sekarang, kita bertemu di taman Puspa ya?" ucap Alira, mencoba untuk mengendalikan keadaan.Karena dirinya yang tak ingin kehilangan Adam karena perjodohan yang tak di inginkan ini."Please Dam jangan ke rumah," batin Alira, sebelum mengulaskan senyumnya karena kalimat kekasihnya."Ya sudah, aku tunggu ya? kita ketemu di taman Puspa,"&
H-10Satria telah memutuskan sendiri tanggal pernikahannya, tepat setelah satu hari keberangkatan Azkia keluar negeri dalam melakukan tugasnya sebagai seorang pramugari.Membuat Satria sedikit tenang, berbeda dengan Alira, hatinya tak tenang, di selimuti dengan rasa gundah dan gelisah.Begitu takut jika kekasihnya mendengar kabar resepsi pernikahannya.Bertemankan sinar mentari yang beranjak naik, tepat di pukul 10:00.Terlihat Alira, hanya duduk termenung sendirian di kursi panjang yang ada di teras rumahnya, memikirkan pernikahan yang tak di inginkannya semakin mendekat karena waktu yang berputar dengan sangat cepat.Membuatnya frustasi, meskipun sudah ada perjanjian pernikahan dengan calon suaminya, meskipun masih ada harapan untuknya bisa bersama dengan Adam setelah perceraian.Tapi bayangan Adam terus saja terbayang di pikirannya, banyangan akan kemarahan Adam jika mengetahui segala kebohongannya, apa Adam masih mau m
"Alira? Adam?" panggil Bu Rani, sesaat setelah berdiri di depan pintu utama mengalihkan pandangan Adam dan juga Alira.Menyentakkan hati Alira, dengan matanya yang membulat reflek berdiri dari duduknya."Bu," ucap Alira, dengan degup jantungnya yang kembali tak karuan menyeka cepat air matanya beradu pandang."Tante," sapa Adam, mengulaskan senyum termanisnya berdiri dari duduknya.Beradu pandang dengan Bu Rani yang terdiam, mengalihkan pandangan Alira panik menatapnya gelisah."Apa kabar Tante?" tanya Adam, sesaat setelah mencium tangan ibu dari kekasihnya tak mengalihkan pandangannya."Sehat Dam, kamu gimana kabarnya? kok duduk di sini? nggak masuk ke dalam?""Alhamdulillah Tante, saya juga sehat, nggak Papa Tante, duduk disini saja, sekalian cari angin," jawab Adam, dengan intonasi sopannya tak menghilangkan senyum di bibirnya.Memejamkan mata Alira, karena hatinya yang begitu ngilu, melihat kesempurnaan Adam, le
Sinar mentari di pagi hari begitu cerah, bertemankan semilirnya angin menggoyang dedaunan yang ada di halaman hotel bintang lima yang terlihat luas.Terlihat banyaknya mobil, dari pihak keluarga, sanak saudara dan juga teman-teman dari Papa Bagaskara dan Ayah Pras.Ingin menyaksikan pernikahan dari Satria dan juga Alira yang akan di langsungkan secara tertutup, dengan penjagaan yang begitu ketat.Terlihat Alira, tampak begitu cantik dan anggun, dengan kebaya putih tulang, di lengkapi dengan riasan dan juga sanggul khas daerahnya. Duduk bersebelahan dengan Satria yang terlihat tampan, gagah dan rupawan, menggunakan setelan jas putih pengantin menunggu kalimat ijab dari Ayah Pras yang ada di depannya."Saya nikahkan engkau, dan saya kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku Alira Maulidina binti Prasetya, dengan mas kawin satu set perhiasan emas seberat 20 gram, beserta seperangkat alat sholat dibayar tunai". Ucap Ayah Pras, dengan degup jan
Kebahagiaan yang sudah menyelimuti, merasa saling membutuhkan dan terlebih lagi mencintai. Setelah kehilangan yang begitu sangat menyakiti hati, dan di tambah lagi dengan kesalahpahaman yang menyesakkan, menyayat perih luka hati yang sudah saling mencintai.Setelah dua Minggu berlalu, Alira yang kini telah menyadari untuk siapa sebenarnya hatinya di labuhkan, setelah dilema panjang yang menderanya, dan masih belum bisa melupakan Adam secara sempurna.Tapi kali ini, dirinya sudah memantapkan nya, memilih untuk mencintai sepenuh hati. Satria, sang suami, pendamping hidupnya pemilik hatinya.Tanpa bayang bayang Adam yang membayangi, tanpa bayangan dari kisah cinta lamanya yang telah ia lepaskan seutuhnya."Mas," panggil Alira suatu sore, tepat di hari minggu di ruang tengah di dalam apartemennya.Mengalihkan pandangan Satria, yang sedang menikmati buah apel hasil irisan tangannya, m
Kemarahan yang menguasai, membuat Satria tak lagi bisa mengontrol diri. Sudah berada di dalam perjalanan, sedang mencoba menelepon mantan kekasihnya."Dimana?" sengit Satria, dengan sorot mata tajamnya. Duduk di kursi depan di mobilnya yang di kemudikan Adi."Di kafe, kenapa? mau kesini?" jawab Azkia, dengan suaranya yang terdengar biasa, sama sekali tak mengetahui gemuruh di dalam dada Satria."Share lokasi, aku kesana sekarang,""Jadi ngajak ketemu terus ya sekarang? goda Azkia terdengar senang. "Apa mungkin kamu sudah mulai..."Mengembangkan amarah di hati Satria, segera mematikan panggilan teleponnya spontan. Karena dirinya yang merasa tak sabar, untuk memberikan mantan kekasihnya itu pelajaran."Ke kafe Memory," suara Satria, sesaat setelah menerima pesan dari Azkia.Dan tak membuat sahabatnya itu bersuara, hanya menginjak gas mobil
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
Keheningan menyelimuti, di antara Alira dan juga Satria yang saling diam, membisu tak ada yang bersuara di dalam ruang rawat Alira.Sudah duduk berdampingan di atas sofa, dengan pandangan keduanya yang menatap lurus ke depan."Azkia yang memasang penyadap di apartemen kita," suara Satria Akhirnya, setelah membisu beberapa saat tak mengalihkan pandangan Alira."Aku kesana untuk menyelesaikan semuanya, untuk menanyakan alasan kenapa dan apa maksudnya dia melakukan hal gila seperti itu.""Aku sudah berniat untuk menemuinya di apartemennya, tapi dia memintaku untuk menemuinya di Super Land.""Dan aku juga sudah menolak untuk bermain bersama dengan dia, tapi dia menarikku, memaksaku untuk bermain bersama." Berusaha untuk menjelaskan semuanya, dengan harapan di hatinya, semoga istrinya itu mengerti."Aku minta maaf," lanjut Satria lagi, hendak menyentuh punggung tangan istrinya namun tak bisa. Karena Alira yang
"Gila kamu Sat," lirih Adi, sesaat setelah mendengarkan cerita dari Satria, mengenai situasi yang sebenarnya sama sekali tak menyangka. "Bodoh sekali kamu,""Aku tahu," sahut Satria, semakin sendu membuang pandangan. "Dan aku menyesalinya.""Apa kamu tahu apa yang sudah aku katakan kemarin ke Alira saat kamu pergi menemui Azkia dalam keadaan marah?"Mengalihkan pandangan Satria menatapnya diam."Jangan panik Ra, Satria lebih tahu apa yang harus di lakukannya, dia hanya sedang menjaga dan melindungi kamu," menirukan ucapannya sendiri mencebikkan bibirnya."Dan aku benar benar malu dengan kalimatku itu Sat, kamu nggak sebaik yang aku kira, kamu nggak tahu apa yang harus kamu lakukan, bukannya menjaga istri kamu, kamu malah... ck," berdecak kesal."Lebih baik kamu masuk ke dalam sekarang Di! lihat kondisinya Alira, daripada terus menyalahkan ku dan semakin membu
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
Suasana dingin yang menguasai, menambahkan aura ketegangan yang terjadi antara Papa Bagaskara dan juga Satria, saling membisu, sudah duduk di atas sofa yang ada di dalam ruang tamu saling membuang pandangan.Setelah melakukan pembicaraan sengit, saling berdebat. Papa Bagaskara yang terus saja menyalahkan putranya, dan Satria yang tetap kekeh dengan pembelaan atas dirinya.Sudah menjelaskan semuanya, mengenai penyadap yang di temukannya di Apartemen, hingga berakhir di sebuah pertemuannya dengan Azkia dan berujung ke kesalahpahaman.Tak terkecuali rasa curiga yang ada di dalam pikirannya, sudah memerintahkan Adi untuk mencari tahu kenapa istrinya itu bisa tertabrak.Membuat keduanya seperti ini, saling diam dan membisu, tak ada lagi yang bersuara demi untuk bisa mengendalikan rasa di hati yang berkecamuk tak karuan, menghela nafas kompak."Bodoh sekali kamu Sat! bodoh! benar benar Bodoh!" umpat Papa Bagaskara, t
"Apa maksud kamu Ra?" tanya Bu Rani.Membisukan Alira, menyadari kalimatnya yang tak terkontrol membuang pandangan."Alira, bisa jelaskan ke Ibu maksudnya apa? surat perjanjian? surat perjanjian Apa?" semakin tak sabar menuntut jawaban."Pernikahan," menelan salivanya pelan menundukkan kepalanya.Tak mengetahui sorot mata terkejut di netra Ibunya, semakin tersentak dengan jawabannya tak percaya."Sewaktu makan malam dulu, saat pertama kalinya aku ke rumah Papa untuk menghadiri undangan makan malam dari Papa. Ibu mengingatnya?"Menganggukkan lemah kepala Bu Rani. "Kenapa dengan makam malamnya?""Mas Satria memberikanku surat perjanjian pernikahan."Semakin mempercepat degup jantung Bu Rani membekap mulutnya sendiri. "Ya Allah" gumamnya lirih.Sama sekali tak menyangka dengan apa yang baru di dengar
Flashback sebelum pertemuan Satria dan Azkia."Selamat siang, Antariksa Group di sini, ada yang bisa saya bantu?" suara wanita, terdengar begitu sopan dari dalam layar ponsel Azkia yang menyala."Selamat siang, bisa bicara dengan Alira?""Bu Alira di bagian apa Bu?""Keuangan," bagian Alira yang diketahuinya dari alat penyadap yang di pasangnya."Maaf dengan Ibu siapa saya berbicara?" Membisukan Azkia, mengingat nama salah satu teman Alira yang sudah meyerang nya menyembunyikan identitasnya. "Rani,"Dan terdiam, menunggu teleponnya yang sedang di sambungkan, mendengar alunan musik sebagai nada tunggunya."Halo Ran, kok tumben telepon kantor?" terdengar suara Alira, menciptakan seulas senyum seringai di bibir Azkia."Hai, apa kabar?"