"Ben... Benjamin!" Panggil seorang perempuan paruh baya di bawah sebuah tangga besar di rumah megah yang terletak tak jauh dari Bandar Seri Begawan.
"Iya Ibu..." Jawabku. Aku terburu-buru membenarkan jasku yang kupakai asal tadi saat keluar dari kamar. Aku berlari menuruni tangga sudah lengkap dengan pakaian kerja dan rambut tersisir rapih.
"Kamu jadi hari ini ....kan? Ada penerbangan ke Jakarta?" Tanya ibunya. Nyonya Fatimah istri dari mendiang Bapak Yusuf.
"Iya. Nanti siang aku ada penerbangan ke Jakarta, sekarang aku mau ke kantor dulu."
"Oh ya. Kirim salam ya...dengan keluarga Bapak Reza. Ibu sudah lama tidak melihat anaknya mungkin ia sudah besar sekarang." Ucap sang Ibu membenarkan letak jas yang dipakai olehku.
"Iya Bu!" Jawabku melihat kerutan di dahi ibu. Aku adalah anak pertama, namun satu-satunya anak ibu yang masih mau tinggal di rumah ini. Adikkku, Salim memilih tinggal di apartemen tak jauh dari perusahaan milik ayah. Kami berdua bekerja sama menjalankan bisnis milik ayah, walaupun aku lebih tertarik untuk menekuni hanya di bidang seni. Aku lebih memfokuskan diri di beberapa usaha lainnya di luar negri, sementara Salim diberi kepercayaan penuh untuk menjadi pimpinan perusahaan ayah di sini. Aku hanya diminta sesekali datang untuk membantu atau sekedar untuk menghadiri rapat direksi.
"Iya Bu. Aku berangkat dulu."
"Kau jangan lupa... untuk bertemu dengan Pak Reza yaa! Jangan lupa berikan titipan ibu."
"Bungkusan di kamarku itu, maksudnya Ibu?"
"Iya tentu saja."
"Iya Bu. Aku berangkat dulu!" Aku mengecup punggung tangan ibuku. Satu-satunya orang tua yang kupunya saat ini.
Sebenarnya aku agak berat untuk meninggalkan ibu di sini sendirian, mengingat kebanyakan pekerjaanku dan waktuku, kuhabiskan di Seoul. Aku menjadi seorang produser musik dari salah satu agensi ternama di sana, untuk beberapa bisnis lainnya... aku hanya memantaunya melalui video conference, walaupun beberapa kali... aku harus berpergian mengunjungi beberapa perusahaan itu di waktu senggangku.
Apabila ada jadwalku untuk pergi ke Jakarta, ibu selalu mengingatkanku untuk mampir di salah satu rumah kerabatnya di Jakarta, Bapak Reza. Bahkan aku sudah hafal namanya, karena setiap aku akan terbang ke Jakarta... pasti ibu menyebut nama itu, bapak Reza mempunyai istri yang dulunya adalah sahabat Ibuku dan istrinya sudah lama meninggal. Ibu merasa kasihan dan simpati kepada anaknya. Anak itu sudah harus ditinggal oleh ibunya di usia sangat muda. Oleh karena itu setiap, aku pergi ke Jakarta, ibu selalu menitipkan beberapa barang untuk diberikan kepada Pak Reza untuk selanjutnya diberikan kepada anak perempuannya itu.
Setelah ini, aku harus masuk ke kantor dan mengikuti rapat sampai jam 8. Setelahnya aku harus langsung terbang ke Jakarta. Aku memiliki beberapa urusan yang harus diselesaikan di Jakarta, dan semoga dalam satu hari, urusan itu bisa selesai. Aku akan bertemu dengan salah satu pengacaraku, karena aku sedang mengurus untuk membeli sebidang tanah untuk dijadikan properti baruku. Aku sendiri sedang merintis bisnis properti di beberapa negara, tapi aku sendiri tidak akan memegangnya... aku sudah terlalu sibuk untuk bersenang-senang di dunia keartisan.
Aku tertawa dalam hati, kalau saja ayahku sekarang masih hidup, ia pasti sudah menjewer telingaku sampai sakit, karena bisa-bisanya aku bekerja dengan para artis yang berpakaian seksi itu, sedangkan dari kecil ayah selalu berpesan... untuk tidak dekat-dekat dengan perempuan semacam itu bisa menjerumuskan. Tapi aku sekarang sudah besar, tidak mungkin aku terpengaruh dengan hal-hal seperti itu. Aku hanya menikmati membuat musik dan melihatnya ditampilkan dengan sempurna oleh artis-artis berbakat. Aku tidak mendapatkan gaji yang besar dari pekerjaan yang satu itu. Tapi aku sangat puas dan menikmati hasilnya. Sebuah karya musik yang indah dan dibawakan dengan sempurna.
Aku tiba di ruangan Salim. Ia sudah siap untuk rapat, aku sudah bilang padanya... bahwa aku hanya bisa mengikuti rapat sampai dengan jam 8 dan akhirnya ia hanya mengangguk pasrah dan setuju.
Kami berjalan bersama menuju ruangan rapat, di perjalanan... adikku memperhatikan penampilanku dari atas ke bawah.
"Kudengar, setelah ini... katanya kau mau ke Jakarta." Tanya adikku yang lebih muda 5 tahun dariku.
"Iya." Jawabku singkat sekali. Salim memiliki perawakan yang lebih mirip dengan ibuku. Ia memiliki wajah yang lebih lembut dengan garis-garis wajah maskulin. Sedangkan aku, memiliki paras wajah kasar yang diwarisi dari perawakan Ayah, wajahku cenderung kotak dengan rahang yang sangat tajam. Tubuhku berisi, walaupun aku sudah berusaha setengah mati untuk mengurangi berat badan ke gym... justru tubuhku tidak bisa kurus sepenuhnya seperti Salim, tubuhku berisi dan berotot... namun justru dengan penampilan seperti ini para perempuan di Seoul sana, semakin tergila-gila kepadaku. Mungkin perempuan-perempuan itu sudah bosan dengan lelaki-lelaki kurus yang hobi berjoget dan berwajah lembut mulus. Mungkin mereka sedang mencari sensasi baru, mencari pria berotot dan besar dengan perawakan kasar sepertiku. Ha! Aku hanya bisa tersenyum miris.
Rapat direksi sudah selesai, aku sedang menuju parkiran dan pulang ke rumah untuk berganti pakaian. Aku tadi sudah berpesan kepada Salim agar ia sesekali menengok ibu di rumah yang hanya dijawab anggukan lemas darinya. Ia orang yang sangat bebas, Salim sangat menikmati masa sendirinya, berbeda denganku, aku tersiksa dengan kesendirianku.
Aku seorang duda, dan beberapa kali gagal mau menikah. Aku pernah menikah dengan sorang perempuan asal Malaysia. Bella namanya, kami bercerai karena aku memergoki dirinya selingkuh, padahal kami sudah lima tahun menikah… dan kami telah memiliki anak berusia satu tahun, Alissa. Aku sangat mencintai Bella dan Alissa, sampai aku memergokinya dengan pria yang ternyata selama ini selalu bersamanya disaat aku sedang keluar rumah, bahkan saat aku memeriksa Alissa dan kecocokan DNA, terbukti malaikat kecil itu bukanlah anakku. Aku hancur, kalau diibaratkan sebuah rumah… aku sudah hancur berkeping-keping akibat sebuah bom yang meledakkan seisi rumah beserta fondasinya.
Aku bercerai dari Bella beberapa tahun yang lalu. Sejak saat itu aku mulai tinggal dengan ibu, mungkin ibu paham dengan situasiku, ia berusaha menjodohkanku dengan Aisha… anak dari paman jauhku.. kami masih sepupu jauh. Aisha gadis cantik dan sangat alim, ia berprofesi sebagai ustadzah di sebuah pondok pesantren. Aku menyukainya… ralat, aku mencintainya.. sangat dalam, karena memang beberapa kali kami pernah bertemu untuk pertemuan keluarga. Aku menyukai perangainya yang kalem dan suka dengan anak kecil. Saat itu aku sangat sibuk dengan bisnis propertiku di Bangkok, dan walaupun ibu terus memintaku untuk melamar Aisha… aku belum sempat melakoninya, sampai satu bulan setelahnya aku dapat kabar Aisha akan menikah dengan calon dari Ayahnya. Ah… bukan jodoh. Apa aku sakit hati? Tentu. Apa aku patah semangat? Ya, pasti. Tapi semua itu tak kutunjukkan kepada ibu, biarlah kulampiaskan semua sakit dengan cara bekerja.
Aku menyelesaikan projek Bangkok, dan sejak saat itu aku memilih menikmati hidup dan menjalani passionku terhadap musik. Aku kenal beberapa idol asuhan sebuah manajemen asal Korea Selatan, ia memperkenalkanku dengan salah satu bosnya, kami cocok… dan ia memintaku menjadi produser atas artis asuhannya, jadilah sejak saat itu aku merangkap bekerja sebagai produser musik. Tugasku adalah menciptakan lagu yang hits dan laku di pasar.
Aku memakirkan mobil di depan rumah. Aku akan berganti baju dan membawa titipan ibu yang akan kusampaikan kepada Pak Reza di Jakarta. Aku berganti pakaian lebih santai, sebuah jeans hitam dan kemeja berwarna hitam. Aku membawa sebuah tas ransel dan bingkisan titipan Ibu, aku pamit dan mengecup punggung tangannya. Aku pamit dan baru akan pulang bulan depan. Aku berencana langsung terbang ke Seoul setelah urusan Jakarta selesai.
Aku sedang di bandara Soekarno Hatta, Jakarta, menunggu jemputanku. Pengacaraku berjanji akan menjemputku di bandara dan langsung ke lokasi. Aku membuka notifikasi ponselku, aku baru mengganti sim untuk digunakan di Jakarta. Aku memang menyimpan beberapa Sim card, mengingat aku sering berpergian antar negara. Ada sebuah pesan lewat salah satu messenger yang terinstal di ponselku. Dari Bella. Walau dengan sangat malas, aku tetap membukanya karena penasaran, mau apa lagi perempuan itu.
“Alissa sakit, ia meracau memanggil namamu, Ben.” Isi pesannya.
Ah… Bella selalu menggunakan Alissa sebagai senjata, sudah kesekian kalinya ia berbuat hal yang sama… walau dengan alasan berbeda. Kali ini Alissa sakit, kemarin Alissa minta bertemu karena kangen, lalu Alissa akan tampil dalam kejuaraan balet di sekolahnya… Alissa memang sudah kuanggap anakku sendiri, malaikat kecil yang tak berdosa… semua kerumitan ini diakibatkan oleh ibunya, Bella.
“Aku di Jakarta, dan masih harus terbang ke Seoul. Bawa Alissa ke dokter.” Balasku sedikit mencebik.
Sebuah mobil Alphard keluaran terbaru berhenti di depanku, kaca mobil diturunkan. Reno, pengacaraku yang juga sahabat lamaku sewaktu kuliah tersenyum lebar.“Ayo… masuk!” Ucapnya dari balik kemudi. Aku berdiri dan menenteng tas dan bingkisan dari Ibu, masuk ke dalam mobil.“Thanks sudah menjemput. Bagaimana keluargamu? Sehat?”“Ya. Thanks. Sehat semua, istriku sedang hamil lagi… sudah tiga bulan. Doakan ya…” Ucapnya tersenyum lebar. Ah… sebuah keluarga yang bahagia. Reno cukup beruntung, ia memiliki karir sukses dan istri yang membahagiakannya, terlihat… lerut pria ini semakin lama semakin membesar… Reno selalu bilang, istrinya pintar memasak. Sungguh beruntung. Terkadang penampilan memang tak ada harganya, value… sikap dan ahlak seorang perempuanlah yang lebih penting untuk dijadikan istri. Aku sudah melakukan kesalahan besar dulu, aku
Pak Reza seakan baru tersadar dari lamunannya mengenai gadis kesayangannya, lalu memandang ke arahku dengan senyuman lebar.“Ah…Tepat sekali Pak. Ben ini memang hidupnya muram dan suram sekali.” Ucap Reno yang ingin sekali kujambak rambutnya karena lancang. Dasar pria menyebalkan.“Lihat dulu… kalau kau mau bertemu dulu juga boleh. Walaupun ia hidup di negara berpergaulan bebas… bapak bisa jamin… ia menjaga dirinya dengan baik, urusan itu saya sampai sewa mata-mata untuk mengikutinya setiap hari.” Pak Reza meringis, ia sedikit malu dengan sikap over-protectivenya. “Dia cuma muter-muter, kampus.. apartemen… mall… restoran dan perpustakaan, sekali-kali ia pergi ke salon. Itu saja rutinitasnya setiap hari.” Jelas Pak Reza.“Wah anak jaman sekarang… gak ada tuh Pak yang model begitu… pasti pada clubbing dan hang-out malem-malem.” Ucap Reno. Aku yang sebenarnya menjadi subjek obrolan perjodohan teman ibuku dan sahabat seumuranku ha
Aku tiba di Seoul saat dini hari. Aku langsung menyewa taksi dan memberitahu alamat apartemenku. Aku sengaja menyewa apartemen tak jauh dari kantor agensi besar dan populer di negara ini, agar mobilitasku dan aktivitas sehari-hari lebih mudah. Aku biasanya hanya berjalan kaki menuju kantor. Jam kerjaku tidak seperti jam kerja karyawan lainnya, aku bebas masuk kapan saja... tapi terkadang, aku tidak bisa pulang untuk menyelesaikan satu buah project seperti saat ini, aku sedang memulai sebuah project mengorbitkan seorang Idol Solo perempuan bernama Lea. Ia dulu pernah debut bersama girlbandnya dari agensi yang sama.Tahun ini, ia akan didebutkan menjadi penyanyi solo. Aku yang bertanggung jawab penuh atas semua lagu, musik, lirik bahkan pembuatan video klipnya. Sang big boss mempercayakan project Lea kepadaku dan memang sejak awal dicetuskannya ide ini, aku sudah memikirkan banyak konsep dan rencana-rencana ke depan untuk karir solo perempuan asal Seoul itu.&nbs
Aku berjalan menuju kantor agensi ternama di Seoul. Hari ini, rencananya aku akan rapat dengan pemilik utama agency ini dan membahas mengenai kelanjutan Project Lea. Jarak antara apartemenku dan tempat ini cukup dekat, aku memilih berjalan kaki, dan memang selama aku di Seoul aku belum membeli mobil, selain pajaknya yang cukup mahal, aku juga lebih suka berjalan.Aku disapa beberapa karyawan internal dari agency ini, aku juga termasuk dalam tim manajemen... selain menjadi produser. Pengalamanku bekerja di beberapa perusahaan dan mengelola bisnis ayahku, membuat sang owner memintaku untuk membantunya mengelola di bagian promosi... khususnya urusan konser artis asuhannya.Aku berjalan menuju lantai 3 gedung eksentrik ini. Di beberapa lantai di khususkan untuk studio dan tempat berlatih, baik vocal dan dance. Aku menghuni lantai empat, di sana aku memiliki satu ruangan tempatku membuat musik dan lagu untuk artis asuhan agensi ini.
Aku pulang ke apartemen, ada beberapa karyawan dan manajer Lea memintaku untuk hang-out bersama di kafetaria. Kafetaria agensi yang katanya mahsyur karena kelezatannya... nyatanya aku tak pernah makan di sana.. aku memilih memasak makananku sendiri. Aku ingin cepat pulang ke apartemen.. karena ingin langsung menelepon ibu. Aku benar-benar penasaran dengan pendapatnya tentang video yang dikirim.Aku sampai di apartemenku, sebuah unit bergaya modern dengan furniture canggih. Aku membuka sepatu dan melepas tas laptopku. Aku langsung mengambil air mineral di dalam kulkas dan meminumnya di meja makan. Aku mendial dan meminta panggilan video call dengan ibu."Ibu!" Panggilku saat terhubung. Aku tertawa ...."Pesan darimu.. hampir membuatku tertawa di sepanjang rapat penting di sini.""Hha.. ha. Benarkah? Kubilang apa! Fay memang menyebarkan virus bahagia."Aku tertawa. Memang harus kuakui.. ia sangat lucu. Ibuku tadi mengi
Aku kembali datang ke kantor ke esokan harinya. Aku langsung menuju ke ruanganku, di sana sudah ada Lea dan manajernya Su Min."Sudah menunggu lama?" Sapaku saat aku masuk ke dalam ruangan yang berisi perlengkapanku bekerja dan membuat musik. Bisa dibilang ini adalah mini studio tempatku bekarya dan menghasilkan musik plus lirik lagu. Aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti gitar, piano dan keyboard bahkan drum... tapi dengan kemajuan tekhnologi aku bisa cepat menguasai semua alat musik."Ah... tidak. Kami baru sebentar di sini." Sapa Su Min. Ia pria yang hampir seusia denganku, aku beberapa kali terlibat perbincangan ringan dengannya.Lea berdiri, ia seperti biasa membungkuk 45 derajat dan menyapaku selamat pagi. Aku mengangguk dan menjawab sapaannya. Aku duduk di kursiku dan mengeluarkan bungkusan berisi roti lapis selai yang kubungkus dari apartemen. Aku membawa beka
Hari ini adalah moment-moment terakhirku di Aussy, saat ini aku sedang berdiri di lounge bandara internasional Sydney. Sambil menyesap iced caramel macchiato yang kupesan dari cafe bandara ini, aku menikmati saat-saat terakhirku disini, well... gak sepenuhnya saat terakhir sih, aku bisa minta tiket sama Papi untuk liburan lagi ke sini kapanpun aku mau, tapi yah.. tetap aja.. my last day in Aussy, sebelum kepulanganku ke Jakarta, mengingat si bokap yang ga ngertiin aku banget, hiks.Baruu.. aja aku wisuda, dan baruu.. aja aku merdeka dari kata 'BELAJAR'.. eh.. disuruh pulang ke Jakarta."You've had enough fun already!!" Katanya.. ishhh.... kupandangi sekelilingku.. hummh.. pemandangan yang selalu membuat segar mata semua kaum hawa, lelaki pirang dengan tubuh tinggi berisi, seliweran kesana-kesini. Mau yang pakai setelan kerja.. ada, mau yang rocker-style.. ada, mau yang church-boy style pun ada, tinggal pilih dan yang pasti hampir semua orang yang kutegur disini a
"Astaghfirullah... kamu tu!! masuk rumah, bukannya Assalamualaikum.. malah teriak-teriak begitu!!" Omel papi sambil berjalan menghampiriku, kulihat beliau sudah dengan setelan kerjanya.Kubuka tanganku dan tersenyum semanis mungkin, menunggu pelukan selamat datang dari ayah yang merangkap ibuku sejak lima belas tahun yang lalu. Yang ditunggu pelukannya malah melotot seram kearahku, "Ih.. kok gitu si papi.." dumelku dalam hati."Kamu..!" Ucapnya sambil menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya. "Keluar lagi lewat pintu itu sekarang juga, dan masuk lagi ke dalam dengan memberi salam yang baik dan benar," lanjut papi sambil melipat tangannya di dada.Kok... Jadi garang begini papiku.. takut dengan pemandangan menyeramkan si papi, aku langsung keluar rumah dan menutup pintu dengan tergesa-gesa. "Itu.. Papikan..?" Ucapku pelan sambil meyakinkan diri, kalau aku tak salah masuk rumah orang.Aku mengetuk sekali pintu rumah, lalu membukanya sambil men
"Ben! Kamu itu..." Aku memukul bahu Ben, saat ia baru saja datang ke kamar. Wajahnya kaget dengan seranganku yang tanpa pemanasan. "Eh...what? Apa? Kenapa?" Tanyanya bingung. "Nih!" Ucapku menyodorkan ponselnya. "Kau dapat video dari mantan pacarmu!" Ucapku setengah berteriak. Ia duduk di atas kasur dan membuka isi video itu. Ia mendengarkan denganw ajah datar, aku memperhatikan reaksi wajahnya yang sama sekali tak berubah dari awal sampai akhir. "So?" Tanyanya kepadaku, seperti menantang. "Itu mantanmu minta balikan... Secara gak langsung nyuruh kamu pisah sama aku kan? Dia mau nunggu sampai kamu single lagi..." Ucapku setengah berteriak. Saat marah seperti ini, aku menjadi bar-bar. "Kan dia yang bilang...bukan aku." Ucapnya lagi. He? Apa dia bilang, aku seperti sudah dibutakan oleh amarah. Serasa ada asap yang menguap di k
Su Min : Aku tahu, kau dan Fay adalah sepasang kekasih.Aku hampir saja memekik saat ikut membacanya. Ben menoleh dan memberi kode dengan matanya, agar aku diam tak bersuara.Ia dengan tenang membalas isi pesan itu.Ben: Maaf kau salah menyimpulkan.Ucapnya lalu dengan tenang mematikan ponselnya. Aku dengan otomatis memgang tangan Ben. Kalau sampai orang tahu, karirnya bisa selesai, dan aku akan sangat menyesal kalau itu semua karena aku."Ben...gimana kalau ketahuan?" Bisikku."Tak usah risau... Aku takkan jatuh miskin kalau tak bekerja sebagai produser." Jawabnya tenang, kami sudah memasangkan seat belt karena pesawat akan mau take off. Ia menjawab tanpa menoleh ke arahku. Namun genggamannya meremas telapak tanganku.Aku diam, ada banyak yang ingin kutanyakan nanti. Saat tiba di Busan...semoga kami punya waktu berduaan untuk
Kami berujung...berkendara bersama, kami akan pergi ke Busan dengan pesawat, karena akan memakan waktu sekitar empat sampai lima jam untuk tiba di sana dengan mobil, jalur paling cepat adalah pesawat…hanya akan memakan waktu kurang lebih satu jam di udara.“Kita akan langsung ke hotel, dan aku akan rapat dengan manajernya. Kalian bisa beristirahat dulu.” Ucap Ben, Lea dan Su Min akhirnya ikut mobil Ben ke bandara karena tim lainnya sudah berangkat dengan kereta cepat, yang hanya memakan waktu dua jam lebih perjalanan. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan kereta itu, tapi Ben sepertinya sangat buru-buru.Aku duduk di kursi depan, hasil kelincahanku di parkiran, Lea sebenarnya sudah membuka kursi penumpang depan, dan aku dengan sangat jenius langsung menunduk dan duduk di depan. Ia sempat protes, tapi Ben sudah meneriaki agar cepat karena penerbangan kami sudah sangat mepet.Di bandara aku merengek ingin caramel macchiato, aku belum
Aku duduk seperti biasa di kursi tamu milik Ben, sebuah sofa kecil di pinggir ruangan. Lea duduk di depan Ben, ia dengan pakaian formalnya…sebuah blazer dan celana skinny. Ia mengikat rambutnya agar berkesan pintar. Apakah ia pintar? Aku pun tak paham. Tuan Su Min terlihat santai duduk di sampingku.“Kau terlihat santai..” Sapaku kepada Su Min.“Kau terlihat bersinar..” Ucap Su Min yang membuatku duduk lebih tegak.“What do you mean?”“Kau dan Ben… terlihat berbeda…ada aura yang bersinar. Kalau kalian bukan sepupu… aku pasti akan curiga kalian seorang suami istri.” Ucapnya santai, ia masih memainkan sebuah game di ponselnya.Jeder! Kok bisa Su Min bicara seperti itu?Mencoba untuk tak terpengaruh, aku alihkan topic. “Kau ikut ke Busan?”Su Min mengangguk.“Padat acara di sana?”Ia menggeleng, “kebanyakan sudah diu
Ben sudah lebih dahulu mandi dan bersiap, saat kemarin ia bilang hari itu hanya untuk aku dan ia, ia benar-benar melakukannya. Seharian aku dan Ben hanya berada di kamar… walau sekali kami melakukannya di ruang tamu. Ah… sepertinya aku tak bisa lagi berpikiran lurus kalau melihat sofa hitam tua yang empuk itu. Ben…dengan segala idenya yang meledakkan kepalaku.“Fay… aku ada rapat di Busan mungkin akan seharian, kau mau ikut?” Tawar Ben.“Hmm…?” Aku masih bermalas-malasan ria, aku sudah mandi…jangan slah! Sebelum subuh… aku sudah mandi dan beribadah, tapi tidur lagi. Hehe…“Aku mau ke Busan, rapat untuk road tour.” Ulang Ben yang sudah rapih dengan kemeja plus celana jeansnya.“Oo… ok.”“Kamu mau ikut? Aku sepertinya akan seharian di sana… mungkin tengah malam baru pulang.
Kami tiba di apartemen Ben, hampir tengan hari di hari berikutnya. Ben sudah meemsan makanan yang akan diantar dalam beberala menit. Sebuah mie jjampong dengan logo halal. Yumm."Mau mandi?" Tanya Ben, ia melepaskan Jeansnya. Sekarang ia hanya mengenakan celana boxernya. Aish.."Gak deh. Kamu aja." Jawabku malu. Kenapa jadi canggung seperti ini sih? Tapi salah dia juga...ngapain pake buka-buka baju segala!"Bareng...yok!" Ucapnya lagi sudah berjalan menuju tempatku berdiri."Mmh.. dingin. Malas, mmmh..nanti aja!" Jawabku sekenanya."Ada aku ..yang bisa buat kamu hangat." Ucapnya dengan pandangan mata yang penuh maksud.Tapi aku cringe! Pake banget! Gimana dong!"Mmh..."Ben tak menjawab lagi, ia langsung menggandengku masuk ke dalam kamar mandi."Ben..." Rengekku dengan suara kecil. Aku benci diri
Aku menghabiskan waktu sampai sebelum tengah hari. Untung Ben sudah memberitahu jadwal kepulangan kami, dan aku sudah berkemas, karena sesampainya di rumah Aisha kami hanya mengambil koper dan pamit. Kami akan langsung berangkat ke bandara…menuju terminal airport internasional Surabaya, lalu melanjutkan ke Seoul.“Kenapa sangat cepat, Ben?” Tanya Ibu Aisha memeluk Ben dengan erat, wajahnya amsih penuh dengan sedih, kehilangan suaminya.“Ben, ada yang harus dikerjakan di Seoul.” Jawab Ben dengan sabar. Ibu Fatimah juga akan langsung pulang ke Brunei, kami akan pergi bersama menuju Surabaya, lalu berpisah di penerbangan yang berbeda.“Aku mau main ke sana… nanti aku kabari ya!” Ucap Aisha yang hanya dijawab senyuman kecil dari Ben. Ingin rasanya aku mencubit perutnya saat ini, agar ia menjawab tidak.Ben dan aku, bersama Ibu Fatimah berangkat dengan supir yang akan membawa kami ke bandara. Di sepanjang perjalanan Ibu Fatimah tertidur
Aku dan Ben sekarang sedang berada di sebuah pantai, di pinggiran kabupaten Malang. Aku melihatnya di google dna tertarik dengan pemandangan pantai ini , yang mengingatkanku dengan Bali.Ia menyewa sebuah mobil dan mengemudi ke tempat ini dengan bantuan google map. Ibu Fatimah menolak ikut, karena ia sudah merasa lelah mendengar bahwa jarak tempuh yang lumayan jauh. Kami berkendara lebih dari tiga jam, baru sampai di pantai ini.Aku sempat kesal, saat Aisha memaksa untuk ikut, beruntung ia belum mandi dan siap-siap, sehingga aku beralasan takut kemalaman kalau tak berangkat saat ini juga.Ha..ha..ha. berhasil!Kami hanya berduaan, duduk di atas pasir putih kekcoklatan pantai Balekambang. Aku menikmati angin dan mataku sangat dimanjakan dengan pemadangan di depanku. Ombak yang cukup besar mematahkan air pantai yang terkadang tenang. Ada sebuah aliran kecil di pinggir pantai, dan digunakan untuk para anak kecil bermain air. Aliran it
Jadi semalaman mereka bersama?Aku tidur, dan ia asik-asikan sama si mantan?Haish….Rasanya amarahku mau menyembur keluar seperti gunung meletus. Aku kesal luar biasa. Bukan karena aku cemburu…no! aku merasa ini tak adil!Aku masuk ke dalam kamar dan memasukkan semua bajuku ke dalam koper. Ia suka tak suka, aku mau pergi dari tempat ini hari ini.Setelah selesai, aku masuk ke dalam kamar mandi dan berganti pakaian. Aku melampiaskan amarahku dengan memukuli sebuah curtain untuk mandi sampai ia jatuh dari tempatnya. Masa bodoh!Aku keluar dalam keadaan rambut basah dan sudah berpakaian baru. Dan disaat yang sama… Ben masuk ke dalam kamar, ia memandangiku dengan bingung, alisnya terangkat dan ada sedikit kerutan di dahinya saat melihatku dengan rambut basah kuyup dan mulut menggumam tak jelas.“Kau sudah mandi?” Tanyanya melihatku dari atas ke bawah.“Sudah.” Jawabku ketus, aku ke depan meja ria