Sebuah mobil Alphard keluaran terbaru berhenti di depanku, kaca mobil diturunkan. Reno, pengacaraku yang juga sahabat lamaku sewaktu kuliah tersenyum lebar.
“Ayo… masuk!” Ucapnya dari balik kemudi. Aku berdiri dan menenteng tas dan bingkisan dari Ibu, masuk ke dalam mobil.
“Thanks sudah menjemput. Bagaimana keluargamu? Sehat?”
“Ya. Thanks. Sehat semua, istriku sedang hamil lagi… sudah tiga bulan. Doakan ya…” Ucapnya tersenyum lebar. Ah… sebuah keluarga yang bahagia. Reno cukup beruntung, ia memiliki karir sukses dan istri yang membahagiakannya, terlihat… lerut pria ini semakin lama semakin membesar… Reno selalu bilang, istrinya pintar memasak. Sungguh beruntung. Terkadang penampilan memang tak ada harganya, value… sikap dan ahlak seorang perempuanlah yang lebih penting untuk dijadikan istri. Aku sudah melakukan kesalahan besar dulu, aku menikahi Bella karena ia adalah seorang perempuan yang sangat cantik… nyatanya ia tak bisa membahagiakanku dan justru menghancurkan rumah tangga kami.
“Kita mau langsung ke lokasi?” Tawar Reno yang langsung kuberi anggukan.
“Nanti antarkan aku ke kantor teman ibuku ya. Di daerah Jakarta Selatan.” Ucapku kepada Reno, aku berjanji dengan Pak Reza bertemu di kantor saja. Ia saat ini sudah berada di kantornya, dan ia bilang tak ada orang di rumah… jadi sebaiknya aku langsung ke kantor. Aku menghubunginya via email.
“Siap boss. Kau belum ada rencana menikah lagi?” Tanya Reno padaku. Ia adalah salah satu sahabat dekatku, kalau ia tak akrab.. ia tak akan bertanya selancang itu. Hampir semua orang yang mengenalku selalu sungkan bertanya dan membahas kehidupan pribadiku, kalau tak mengenai pekerjaan, mereka lebih banyak diam dan tak mengajakku berbicara. Mungkin mereka semua sudah tahu tentang sejarah kelam hidupku… entah mereka mengejek atau mereka simpati.
“Belum ada calon, dan belum niat.” Jawabku asal, aku memperhatikan jalanan Jakarta yang semakin hari semakin padat saja. Ada beberapa perbaikan jalan dan infrastruktur yang justru membuat jalanan ibu kota ini macet parah, ditambah ini jam makan siang.
“Ayo cepat. Kau sudah berumur loh… nanti kau punya anak, kaunya sudah tak bisa gendong.” Ejeknya. Aku hanya tertawa. Ah… betapa ironinya hidup ini.
Kami tiba di lokasi dan mensurvei berkeliling, aku mempertimbangkan kedekatannya dengan beberapa akses dan fasilitas umum yang kira-kira akan menjual property ini. Aku berencana membuat sebuah apartemen yang bersebelahan dengan sekolah dan mall. Ini adalah projek property pertamaku di Jakarta, aku telah sukses membangun jaringan bisnis property di beberapa kota speerti Bangkok, Manila dan Kyoto. Tahun ini targetku adalah Jakarta dan Jeju.
Aku dan Reno merasa memang harga yang ditawarkan untuk bidang tanah di sini cukup masuk akal, karena berdekatan dengan beberapa fasilitas umum, aku setuju dengan pembelian ini, dan meminta Reno mengurus secepatnya. Aku akan datang ke Jakarta lagi begitu surat-surat sudah selesai. Aku sudah meminta arsitekku untuk mendesain bentuk dan berbagai macam desain untuk Jakarta dan Jeju.
Aku meminta Reno untuk mengantarkanku ke kantor milik Pak Reza, aku bercerita tentang pesan dari ibuku yang harus kusampaikan. Aku tiba di kantor besar dan masuk bersama Reno, aku juga memintanya menemaniku. Kami masuk dan diantar oleh seorang sekretaris menuju sebuah ruang kerja bertema kayu dan bernuansa alam yang tenang. Sang sekretaris mengetuk pintu kayu besar dua kali, lalu menlongokkan kepalanya ke dalam.
“Pak. Tuan Benjamin Yusuf ingin bertemu.” Ucap sekretaris itu lalu ia menoleh ke arahku dan mengangguk, memberi isyarat agar aku dan Reno masuk ke dalam.
“Selamat siang Pak Reza.” Ucapku kepada pria yang sudah berusia lebih dari ibuku. Pria dengan beberapa helai uban dan kerutan halus di wajah dan dahinya. Pria yang dengan setia tak menikah lagi… walau telah ditinggal bertahun-tahun oleh mendiang istrinya. Entah kenapa ia tak mau menikah lagi, aku hanya mendengar semua itu dari ibuku.
“Siang. Kamu Ben? Wah.. kau semakin dewasa... gagah pula. Duduk. Ini siapa?” Tanyanya kepada Reno.
“Saya pengacara Ben, Pak. Reno.” Jawab Reno sedikit membungkukkan punggungnya, sebuah gesture seorang Indonesia sejati saat bertemu dengan orang yang lebih tua.
“Ah…orang Indonesia ya?”
“Iya pak. Asli Magetan.” Jawab Reno dengan senyum khasnya.
“Ah… ya. Silahkan duduk. Bagaimana kabar ibumu Ben? Sehat kan?” Tanya Pak Reza.
“Iya Pak. Alhamdulillah. Ini saya ada titipan dari ibu, untuk anak Bapak.” Aku menyodorkan sebuah bingkisan dari ibuku. Pak Reza menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
“Anak saya sebentar lagi lulus kuliah, dia mengambil jurusan photografi di Austrlia, ucapkan terima kasih untuk Fatimah… ada sangat perhatian dengan Faiza anakku.” Ucapnya menyimpan bingkisan itu di ujung mejanya.
“Loh… berarti anaknya Bapak sudah gadis dong Pak! Ini jodohkan saja sama Ben. Kasihan Pak, masih jomlo.” Ucap Reno, yang berhadiah lirikan maut dari ku. Berani-beraninya ia!
“Ah ya? Bukannya kamu sudah menikah Ben? Seingat saya kamu sudah punya anak malah.” Ucap Pak Reza yang membuatku membelalak kaget. Pria tua ini dengan santainya membicarakan masa laluku, sebuah hal yang sangat tabu untuk dibicarakan di depanku bagi banyak orang. Reno hanya nyengir tak enak hati denganku.
Aku megembuskan nafas panjang. “Saya sudah bercerai Pak, anak itu ternyata bukan anak saya… mantan istri saya selama ini berselingkuh. Saya sudah bercerai dua tahun yang lalu.” Ucapku menjelaskan statusku saat ini.
“Kenapa Fatimah tak bilang, biasanya ia selalu bertukar kabar dengan saya. Jangan salah pengertian… saya dengan ibumu tak ada relationship spesial, kami hanya saling kontak. Ia sahabat dekat almarhum istri saya… saya juga akrab dengan Almarhum Yusuf. Dulu awal-awal kematian istri saya, ibumu sering ke sini untuk menghibur Fay… yah… kau maklum saja, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun kehilangan Ibunya untuk selamanya.. disaat ia butuh cinta dan bimbingan sosok Ibu, beruntung ada ibumu yang menghiburnya. Sejak saat itu kami selalu bertukar kabar… tapi Fatimah tak bilang apapun tentang perceraianmu, Ben. Kalau tahu begitu… kan biar saya jodohkan saja Fay dengan kamu.”
“Ah… Jadi anak Bapak sudah dijodohkan dengan orang lain ya Pak?” Tanya Reno ingin tahu.
Pak Reza tersenyum menggeleng, “Tidak. Tapi anak saya minta perpanjang masa belajarnya di sana tahun kemarin… ia mau mengambil magister. Sudah saya ijinkan, mungkin ia baru selesai akhir tahun depan. Kenapa… Ben mau sama anak saya?” Tawarnya tersenyum menggoda. Aku hanya memasang wajah serba tak enak, kalau kujawab tak mau… aku sungkan, tapi..
“Ya. Mau Pak. Dikenalin aja dulu. Atau ada fotonya Pak?” Reno menjawab. What the…
“Ada… Fotonya. Kalau Ben mau… saya dengan ikhlas mengijinkan kamu menikah dengan anak satu-satunya milik saya. Keluarga kalian sangat baik terhadapku dan Fay.”
“Kami… maksud saya, ibu saya.. ikhlas membantu. Jadi Bapak tidak usah merasa sungkan dan mau membalas budi..”
“Tidak Ben. Saya sejak kecil tau sepak terjangmu. Saya percaya dengan kamu. Saya tulus… kalau kau mau, saya akan menjodohkanmu dengan Faiza. Ia memang anak yang sedikit ramai… tapi dengan sikapnya itu… hidup saya menjadi bewarna. Ia punya virus mematikan yang membuat orang di sekelilingnya tertawa.. dijamin, kalau anak itu sudah membuka mulutnya… kalian tak akan bisa berhenti tertawa.” Jelas Pak Reza, matanya seperti menerawang… mengenang sosok sang anak yang sepertinya sangat dirindukannya.
Pak Reza seakan baru tersadar dari lamunannya mengenai gadis kesayangannya, lalu memandang ke arahku dengan senyuman lebar.“Ah…Tepat sekali Pak. Ben ini memang hidupnya muram dan suram sekali.” Ucap Reno yang ingin sekali kujambak rambutnya karena lancang. Dasar pria menyebalkan.“Lihat dulu… kalau kau mau bertemu dulu juga boleh. Walaupun ia hidup di negara berpergaulan bebas… bapak bisa jamin… ia menjaga dirinya dengan baik, urusan itu saya sampai sewa mata-mata untuk mengikutinya setiap hari.” Pak Reza meringis, ia sedikit malu dengan sikap over-protectivenya. “Dia cuma muter-muter, kampus.. apartemen… mall… restoran dan perpustakaan, sekali-kali ia pergi ke salon. Itu saja rutinitasnya setiap hari.” Jelas Pak Reza.“Wah anak jaman sekarang… gak ada tuh Pak yang model begitu… pasti pada clubbing dan hang-out malem-malem.” Ucap Reno. Aku yang sebenarnya menjadi subjek obrolan perjodohan teman ibuku dan sahabat seumuranku ha
Aku tiba di Seoul saat dini hari. Aku langsung menyewa taksi dan memberitahu alamat apartemenku. Aku sengaja menyewa apartemen tak jauh dari kantor agensi besar dan populer di negara ini, agar mobilitasku dan aktivitas sehari-hari lebih mudah. Aku biasanya hanya berjalan kaki menuju kantor. Jam kerjaku tidak seperti jam kerja karyawan lainnya, aku bebas masuk kapan saja... tapi terkadang, aku tidak bisa pulang untuk menyelesaikan satu buah project seperti saat ini, aku sedang memulai sebuah project mengorbitkan seorang Idol Solo perempuan bernama Lea. Ia dulu pernah debut bersama girlbandnya dari agensi yang sama.Tahun ini, ia akan didebutkan menjadi penyanyi solo. Aku yang bertanggung jawab penuh atas semua lagu, musik, lirik bahkan pembuatan video klipnya. Sang big boss mempercayakan project Lea kepadaku dan memang sejak awal dicetuskannya ide ini, aku sudah memikirkan banyak konsep dan rencana-rencana ke depan untuk karir solo perempuan asal Seoul itu.&nbs
Aku berjalan menuju kantor agensi ternama di Seoul. Hari ini, rencananya aku akan rapat dengan pemilik utama agency ini dan membahas mengenai kelanjutan Project Lea. Jarak antara apartemenku dan tempat ini cukup dekat, aku memilih berjalan kaki, dan memang selama aku di Seoul aku belum membeli mobil, selain pajaknya yang cukup mahal, aku juga lebih suka berjalan.Aku disapa beberapa karyawan internal dari agency ini, aku juga termasuk dalam tim manajemen... selain menjadi produser. Pengalamanku bekerja di beberapa perusahaan dan mengelola bisnis ayahku, membuat sang owner memintaku untuk membantunya mengelola di bagian promosi... khususnya urusan konser artis asuhannya.Aku berjalan menuju lantai 3 gedung eksentrik ini. Di beberapa lantai di khususkan untuk studio dan tempat berlatih, baik vocal dan dance. Aku menghuni lantai empat, di sana aku memiliki satu ruangan tempatku membuat musik dan lagu untuk artis asuhan agensi ini.
Aku pulang ke apartemen, ada beberapa karyawan dan manajer Lea memintaku untuk hang-out bersama di kafetaria. Kafetaria agensi yang katanya mahsyur karena kelezatannya... nyatanya aku tak pernah makan di sana.. aku memilih memasak makananku sendiri. Aku ingin cepat pulang ke apartemen.. karena ingin langsung menelepon ibu. Aku benar-benar penasaran dengan pendapatnya tentang video yang dikirim.Aku sampai di apartemenku, sebuah unit bergaya modern dengan furniture canggih. Aku membuka sepatu dan melepas tas laptopku. Aku langsung mengambil air mineral di dalam kulkas dan meminumnya di meja makan. Aku mendial dan meminta panggilan video call dengan ibu."Ibu!" Panggilku saat terhubung. Aku tertawa ...."Pesan darimu.. hampir membuatku tertawa di sepanjang rapat penting di sini.""Hha.. ha. Benarkah? Kubilang apa! Fay memang menyebarkan virus bahagia."Aku tertawa. Memang harus kuakui.. ia sangat lucu. Ibuku tadi mengi
Aku kembali datang ke kantor ke esokan harinya. Aku langsung menuju ke ruanganku, di sana sudah ada Lea dan manajernya Su Min."Sudah menunggu lama?" Sapaku saat aku masuk ke dalam ruangan yang berisi perlengkapanku bekerja dan membuat musik. Bisa dibilang ini adalah mini studio tempatku bekarya dan menghasilkan musik plus lirik lagu. Aku bisa memainkan beberapa alat musik seperti gitar, piano dan keyboard bahkan drum... tapi dengan kemajuan tekhnologi aku bisa cepat menguasai semua alat musik."Ah... tidak. Kami baru sebentar di sini." Sapa Su Min. Ia pria yang hampir seusia denganku, aku beberapa kali terlibat perbincangan ringan dengannya.Lea berdiri, ia seperti biasa membungkuk 45 derajat dan menyapaku selamat pagi. Aku mengangguk dan menjawab sapaannya. Aku duduk di kursiku dan mengeluarkan bungkusan berisi roti lapis selai yang kubungkus dari apartemen. Aku membawa beka
Hari ini adalah moment-moment terakhirku di Aussy, saat ini aku sedang berdiri di lounge bandara internasional Sydney. Sambil menyesap iced caramel macchiato yang kupesan dari cafe bandara ini, aku menikmati saat-saat terakhirku disini, well... gak sepenuhnya saat terakhir sih, aku bisa minta tiket sama Papi untuk liburan lagi ke sini kapanpun aku mau, tapi yah.. tetap aja.. my last day in Aussy, sebelum kepulanganku ke Jakarta, mengingat si bokap yang ga ngertiin aku banget, hiks.Baruu.. aja aku wisuda, dan baruu.. aja aku merdeka dari kata 'BELAJAR'.. eh.. disuruh pulang ke Jakarta."You've had enough fun already!!" Katanya.. ishhh.... kupandangi sekelilingku.. hummh.. pemandangan yang selalu membuat segar mata semua kaum hawa, lelaki pirang dengan tubuh tinggi berisi, seliweran kesana-kesini. Mau yang pakai setelan kerja.. ada, mau yang rocker-style.. ada, mau yang church-boy style pun ada, tinggal pilih dan yang pasti hampir semua orang yang kutegur disini a
"Astaghfirullah... kamu tu!! masuk rumah, bukannya Assalamualaikum.. malah teriak-teriak begitu!!" Omel papi sambil berjalan menghampiriku, kulihat beliau sudah dengan setelan kerjanya.Kubuka tanganku dan tersenyum semanis mungkin, menunggu pelukan selamat datang dari ayah yang merangkap ibuku sejak lima belas tahun yang lalu. Yang ditunggu pelukannya malah melotot seram kearahku, "Ih.. kok gitu si papi.." dumelku dalam hati."Kamu..!" Ucapnya sambil menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya. "Keluar lagi lewat pintu itu sekarang juga, dan masuk lagi ke dalam dengan memberi salam yang baik dan benar," lanjut papi sambil melipat tangannya di dada.Kok... Jadi garang begini papiku.. takut dengan pemandangan menyeramkan si papi, aku langsung keluar rumah dan menutup pintu dengan tergesa-gesa. "Itu.. Papikan..?" Ucapku pelan sambil meyakinkan diri, kalau aku tak salah masuk rumah orang.Aku mengetuk sekali pintu rumah, lalu membukanya sambil men
Aku masuk ke kamarku dan menyalakan laptopku sambil berbaring di kasur super empukku, aku akan menghubungi Evan, si superman yang merangkap pengikut setiaku lewat aplikasi skype. Kuhubungi dia dan dalam dua kali panggilan, muncullah wajah Clark Kent kw.3 di monitor laptopku."Evan... you must help me..!" Aku berteriak pelan ke headset yang kupasang agar pembicaraanku tidak didengar siapapun."Help?" Tanyanya gak connect, bingung dengan ekspresi lebayku barusan."Yup... Bokap gw mau ngawinin gw sama om-om dari Brunei..!!" Jawabku dengan dramatis ke sohib kelahiran Melbourneku ini."Soo...??" Jawabnya lagi.. ihh ni anak, otaknya rakitan mana sih.. lemot banget gak loading-loading. Aku diam sambil memelototi layar laptop, menunggu si superman abal ini nyambung dan menangkap maksudku."Oh... my... Gosh... really??" Teriaknya lebay, "tell me... tell me..," dan akhirnya aku menceritakan kejadian aku di sofa ruang tamuku itu.Evan
"Ben! Kamu itu..." Aku memukul bahu Ben, saat ia baru saja datang ke kamar. Wajahnya kaget dengan seranganku yang tanpa pemanasan. "Eh...what? Apa? Kenapa?" Tanyanya bingung. "Nih!" Ucapku menyodorkan ponselnya. "Kau dapat video dari mantan pacarmu!" Ucapku setengah berteriak. Ia duduk di atas kasur dan membuka isi video itu. Ia mendengarkan denganw ajah datar, aku memperhatikan reaksi wajahnya yang sama sekali tak berubah dari awal sampai akhir. "So?" Tanyanya kepadaku, seperti menantang. "Itu mantanmu minta balikan... Secara gak langsung nyuruh kamu pisah sama aku kan? Dia mau nunggu sampai kamu single lagi..." Ucapku setengah berteriak. Saat marah seperti ini, aku menjadi bar-bar. "Kan dia yang bilang...bukan aku." Ucapnya lagi. He? Apa dia bilang, aku seperti sudah dibutakan oleh amarah. Serasa ada asap yang menguap di k
Su Min : Aku tahu, kau dan Fay adalah sepasang kekasih.Aku hampir saja memekik saat ikut membacanya. Ben menoleh dan memberi kode dengan matanya, agar aku diam tak bersuara.Ia dengan tenang membalas isi pesan itu.Ben: Maaf kau salah menyimpulkan.Ucapnya lalu dengan tenang mematikan ponselnya. Aku dengan otomatis memgang tangan Ben. Kalau sampai orang tahu, karirnya bisa selesai, dan aku akan sangat menyesal kalau itu semua karena aku."Ben...gimana kalau ketahuan?" Bisikku."Tak usah risau... Aku takkan jatuh miskin kalau tak bekerja sebagai produser." Jawabnya tenang, kami sudah memasangkan seat belt karena pesawat akan mau take off. Ia menjawab tanpa menoleh ke arahku. Namun genggamannya meremas telapak tanganku.Aku diam, ada banyak yang ingin kutanyakan nanti. Saat tiba di Busan...semoga kami punya waktu berduaan untuk
Kami berujung...berkendara bersama, kami akan pergi ke Busan dengan pesawat, karena akan memakan waktu sekitar empat sampai lima jam untuk tiba di sana dengan mobil, jalur paling cepat adalah pesawat…hanya akan memakan waktu kurang lebih satu jam di udara.“Kita akan langsung ke hotel, dan aku akan rapat dengan manajernya. Kalian bisa beristirahat dulu.” Ucap Ben, Lea dan Su Min akhirnya ikut mobil Ben ke bandara karena tim lainnya sudah berangkat dengan kereta cepat, yang hanya memakan waktu dua jam lebih perjalanan. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan kereta itu, tapi Ben sepertinya sangat buru-buru.Aku duduk di kursi depan, hasil kelincahanku di parkiran, Lea sebenarnya sudah membuka kursi penumpang depan, dan aku dengan sangat jenius langsung menunduk dan duduk di depan. Ia sempat protes, tapi Ben sudah meneriaki agar cepat karena penerbangan kami sudah sangat mepet.Di bandara aku merengek ingin caramel macchiato, aku belum
Aku duduk seperti biasa di kursi tamu milik Ben, sebuah sofa kecil di pinggir ruangan. Lea duduk di depan Ben, ia dengan pakaian formalnya…sebuah blazer dan celana skinny. Ia mengikat rambutnya agar berkesan pintar. Apakah ia pintar? Aku pun tak paham. Tuan Su Min terlihat santai duduk di sampingku.“Kau terlihat santai..” Sapaku kepada Su Min.“Kau terlihat bersinar..” Ucap Su Min yang membuatku duduk lebih tegak.“What do you mean?”“Kau dan Ben… terlihat berbeda…ada aura yang bersinar. Kalau kalian bukan sepupu… aku pasti akan curiga kalian seorang suami istri.” Ucapnya santai, ia masih memainkan sebuah game di ponselnya.Jeder! Kok bisa Su Min bicara seperti itu?Mencoba untuk tak terpengaruh, aku alihkan topic. “Kau ikut ke Busan?”Su Min mengangguk.“Padat acara di sana?”Ia menggeleng, “kebanyakan sudah diu
Ben sudah lebih dahulu mandi dan bersiap, saat kemarin ia bilang hari itu hanya untuk aku dan ia, ia benar-benar melakukannya. Seharian aku dan Ben hanya berada di kamar… walau sekali kami melakukannya di ruang tamu. Ah… sepertinya aku tak bisa lagi berpikiran lurus kalau melihat sofa hitam tua yang empuk itu. Ben…dengan segala idenya yang meledakkan kepalaku.“Fay… aku ada rapat di Busan mungkin akan seharian, kau mau ikut?” Tawar Ben.“Hmm…?” Aku masih bermalas-malasan ria, aku sudah mandi…jangan slah! Sebelum subuh… aku sudah mandi dan beribadah, tapi tidur lagi. Hehe…“Aku mau ke Busan, rapat untuk road tour.” Ulang Ben yang sudah rapih dengan kemeja plus celana jeansnya.“Oo… ok.”“Kamu mau ikut? Aku sepertinya akan seharian di sana… mungkin tengah malam baru pulang.
Kami tiba di apartemen Ben, hampir tengan hari di hari berikutnya. Ben sudah meemsan makanan yang akan diantar dalam beberala menit. Sebuah mie jjampong dengan logo halal. Yumm."Mau mandi?" Tanya Ben, ia melepaskan Jeansnya. Sekarang ia hanya mengenakan celana boxernya. Aish.."Gak deh. Kamu aja." Jawabku malu. Kenapa jadi canggung seperti ini sih? Tapi salah dia juga...ngapain pake buka-buka baju segala!"Bareng...yok!" Ucapnya lagi sudah berjalan menuju tempatku berdiri."Mmh.. dingin. Malas, mmmh..nanti aja!" Jawabku sekenanya."Ada aku ..yang bisa buat kamu hangat." Ucapnya dengan pandangan mata yang penuh maksud.Tapi aku cringe! Pake banget! Gimana dong!"Mmh..."Ben tak menjawab lagi, ia langsung menggandengku masuk ke dalam kamar mandi."Ben..." Rengekku dengan suara kecil. Aku benci diri
Aku menghabiskan waktu sampai sebelum tengah hari. Untung Ben sudah memberitahu jadwal kepulangan kami, dan aku sudah berkemas, karena sesampainya di rumah Aisha kami hanya mengambil koper dan pamit. Kami akan langsung berangkat ke bandara…menuju terminal airport internasional Surabaya, lalu melanjutkan ke Seoul.“Kenapa sangat cepat, Ben?” Tanya Ibu Aisha memeluk Ben dengan erat, wajahnya amsih penuh dengan sedih, kehilangan suaminya.“Ben, ada yang harus dikerjakan di Seoul.” Jawab Ben dengan sabar. Ibu Fatimah juga akan langsung pulang ke Brunei, kami akan pergi bersama menuju Surabaya, lalu berpisah di penerbangan yang berbeda.“Aku mau main ke sana… nanti aku kabari ya!” Ucap Aisha yang hanya dijawab senyuman kecil dari Ben. Ingin rasanya aku mencubit perutnya saat ini, agar ia menjawab tidak.Ben dan aku, bersama Ibu Fatimah berangkat dengan supir yang akan membawa kami ke bandara. Di sepanjang perjalanan Ibu Fatimah tertidur
Aku dan Ben sekarang sedang berada di sebuah pantai, di pinggiran kabupaten Malang. Aku melihatnya di google dna tertarik dengan pemandangan pantai ini , yang mengingatkanku dengan Bali.Ia menyewa sebuah mobil dan mengemudi ke tempat ini dengan bantuan google map. Ibu Fatimah menolak ikut, karena ia sudah merasa lelah mendengar bahwa jarak tempuh yang lumayan jauh. Kami berkendara lebih dari tiga jam, baru sampai di pantai ini.Aku sempat kesal, saat Aisha memaksa untuk ikut, beruntung ia belum mandi dan siap-siap, sehingga aku beralasan takut kemalaman kalau tak berangkat saat ini juga.Ha..ha..ha. berhasil!Kami hanya berduaan, duduk di atas pasir putih kekcoklatan pantai Balekambang. Aku menikmati angin dan mataku sangat dimanjakan dengan pemadangan di depanku. Ombak yang cukup besar mematahkan air pantai yang terkadang tenang. Ada sebuah aliran kecil di pinggir pantai, dan digunakan untuk para anak kecil bermain air. Aliran it
Jadi semalaman mereka bersama?Aku tidur, dan ia asik-asikan sama si mantan?Haish….Rasanya amarahku mau menyembur keluar seperti gunung meletus. Aku kesal luar biasa. Bukan karena aku cemburu…no! aku merasa ini tak adil!Aku masuk ke dalam kamar dan memasukkan semua bajuku ke dalam koper. Ia suka tak suka, aku mau pergi dari tempat ini hari ini.Setelah selesai, aku masuk ke dalam kamar mandi dan berganti pakaian. Aku melampiaskan amarahku dengan memukuli sebuah curtain untuk mandi sampai ia jatuh dari tempatnya. Masa bodoh!Aku keluar dalam keadaan rambut basah dan sudah berpakaian baru. Dan disaat yang sama… Ben masuk ke dalam kamar, ia memandangiku dengan bingung, alisnya terangkat dan ada sedikit kerutan di dahinya saat melihatku dengan rambut basah kuyup dan mulut menggumam tak jelas.“Kau sudah mandi?” Tanyanya melihatku dari atas ke bawah.“Sudah.” Jawabku ketus, aku ke depan meja ria