Share

BAB 2 - Melarikan Diri

Penulis: W_udin
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-17 13:01:47

Adzan subuh berkumandang dengan merdu di mushola sebelah rumah Purnomo.

Lelaki berkumis tipis itu sudah bangun sepuluh menit sebelum adzan berkumandang. Sudah siap dengan baju koko dan sarungnya.

Setelah adzan usai, dia pun langsung melangkahkan kakinya menuju mushola untuk ikut salat subuh berjamaah. Rutinitas Purnomo setiap pagi. Dia berusaha untuk tidak absen untuk ikut salat berjamaah di mushola.

“Segar kali pagi-pagi gini sudah keramas. Macam punya istri saja,” ledek salah satu tetangganya saat melihat rambut Purnomo yang sedikit ikal itu basah klimis.

Dia memang menyempatkan mandi sebelum berangkat ke masjid. Namun, tidak selalu keramas.

“Ya Allah, gini amat nasib jomlo,” keluhnya sambil menepuk keningnya pelan. Lalu berjalan mendahului tetangganya yang tertawa.

Jahat sekali ....

Usai salat, Purnomo menyempatkan diri membaca Al-Qur'an beberapa lembar. Kemudian olahraga rutin angkat beban dan push-up selama tiga puluh menit.

Setelah keringat hilang, baru dia mandi dan sarapan di meja makan bersama dengan ibu dan adiknya yang sudah bersiap untuk berangkat kerja di salah satu rumah sakit yang ada di Jogjakarta.

“Mas, jangan lupa, ya!” katanya mengingatkan sang Kakak untuk permintaannya yang selalu harus dituruti.

“Apa?” jawab Purnomo dengan santai. Meski dia tahu arah pembicaraan adiknya ke mana.

“Bu, Mas Pur nih pura-pura lupa,” rengek Bintang yang mengacu pada ibunya.

“Ibu yakin kalau Mas kamu itu nggak akan lupa kok, Nduk. Tenang saja,” sahut sang Ibu sambil mengusap punggung tangan Bintang.

“Belain aja terooossss!” balasnya setelah menghabiskan suapan terakhirnya. Minum hingga tandas. Setelahnya dia bangkit dari kursinya dan menuju kamarnya seperti biasa.

“Tuh kan, Bu. Mas Pur selalu saja begitu,” rajuknya sambil menekuk wajahnya.

“Udah. Makan dulu habiskan. Mas kamu biar jadi urusan Ibu,” katanya berusaha menenangkan anak bungsunya.

Purnomo hanya bisa mengembuskan napas kasar sambil menyugar rambutnya usai menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Kemudian duduk di depan laptopnya yang sudah terbuka, tapi belum dihidupkan.

“Gini amat nasib jadi anak pertama. Harus jadi contoh yang baik, harus memperlakukan adik dengan baik. Harus ngalah sama adik. Apa-apa adik, apa-apa adik. Lalu kapan giliranku? Kapan orang-orang bisa memahamiku?”

Purnomo ngedumel sendiri sambil mengeluarkan unek-unek yang ada di dalam hatinya. Mengendap sudah cukup lama. Namun tidak ada yang tahu.

“Dikira menikah itu gampang apa? Cari istri selama tiga bulan? Emang bayar angsuran? Aneh!”

Suara ketukan di pintu kamarnya membuat Purnomo menoleh dan mengembuskan napas kasar.

“Pur, buka sebentar. Ibu mau bicara,” pinta Ningsih.

“Iya, sebentar.”

Dengan berat hati, Purnomo bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati pintu. Kemudian membukanya.

“Ibu mau bicara,” katanya dengan lembut.

“Masuk, Bu!” Lelaki berkumis tipis itu membuka pintu lebih lebar. Mempersilakan ibunya masuk. Lalu sama-sama duduk di tepian tempat tidur.

“Le, kamu sayang kan sama adik kamu?” tanya Ningsih sambil menepuk bahu anak sulungnya. Menatapnya lekat.

“Iya, Bu,” jawabnya dengan menganggukkan kepala yang tertunduk.

“Le, Ibu seperti ini bukan berarti nggak sayang sama kamu. Justru karena Ibu sayang. Ibu menghormati kamu sebagai anak pertama. Apalagi laki-laki. Ibu ingin kamu menikah lebih dulu. Biar ada yang mengurus semua kebutuhan kamu.”

Ningsih menjeda kalimatnya. Ditariknya napas dalam-dalam. Ditatapnya Purnomo yang merupakan anak kebanggaannya.

“Ibu ini sudah tua. Sudah nggak sehebat dulu buat jagain kalian. Apalagi Ibu sendiri. Bapak kalian sudah nggak ada.”

Ningsih mulai terisak. Dia selalu seperti itu jika mengingat almarhum suaminya yang meninggal dua puluh tahun yang lalu.

Perempuan paruh baya itu membesarkan kedua anaknya seorang diri tanpa bantuan suaminya. Kerja banting tulang untuk mencukupi kebutuhannya juga kedua anaknya.

“Bu ….”

Purnomo mengangkat wajah dan menatap ibunya yang kini menangis mengingat suami yang begitu dicintainya.

“Ibu hanya ingin melihat kamu menikah, Le. Ibu takut nggak bisa melihat keluarga kecil kamu. Nggak bisa lihat cucu-cucu ibu,” isaknya lagi sambil mengusap wajahnya.

“Jangan bicara seperti itu, Bu.” Purnomo menghembuskan napas panjang. Dia paling tidak tega jika sudah melihat wanita yang paling dicintainya menangis seperti ini. Kelemahannya adalah tidak bisa melihat wanita yang dicintainya menangis.

“Pur juga ingin menikah, Bu. Tapi bukan dalam waktu dekat ini. Karena … jodohnya saja belum kelihatan,” lirihnya sambil kembali menundukkan kepala.

“Jodoh itu dicari, Pur. Dikejar. Kamu nggak bisa kalau cuma duduk manis menunggu. Laki-laki itu mencari dan mengejar, bukan menunggu.”

Lagi. Lelaki berkumis tipis itu hanya menghembuskan napas panjang.

Mencari?

Mengejar?

Perempuan mana yang akan dia cari dan dia kejar jika di hatinya saja masih tersimpan rapi satu nama yang begitu sulit dia lupakan. Bahkan mungkin hatinya telah mati rasa pada perempuan lain.

“Cobalah membuka hati, Pur. Kasihan adik kamu kalau sampai batal menikah.” Ningsih kembali mengingatkan.

“Nikahkanlah Bintang dulu, Bu. Pur nggak papa kok dilangkahi,” katanya pelan.

“Pur, kamu tahu kan tradisi di dalam keluarga kita? Anak pertama tidak boleh dilangkahi. Ibu nggak setuju kalau Bintang menikah lebih dulu dibanding kamu.” Ningsih menatap putranya sungguh-sungguh.

“Ayolah, Pur. Ibu akan tetap menunggu kamu membawa calon istri dalam waktu tiga bulan. Kasihan kalau sampai Bintang jadi perawan tua juga seperti kamu yang nggak nikah-nikah. Karena dia perempuan,” paparnya dengan kalimat terakhir yang begitu menusuk relung hati Purnomo.

Tak ada pilihan lain selain memberikan jawabannya dengan anggukan kepala hingga perempuan paruh baya itu diam dan akhirnya pergi meninggalkan kamar putra sulungnya.

“Hahhhh … Ya Allah … gimana coba cari jodoh dalam waktu tiga bulan? Rasa-rasanya kayak dikejar debtcolector yang lagi nagih hutang!” desisnya sambil memegangi kepalanya yang rasanya hampir meledak setiap kali ditekan untuk segera menikah. Padahal calon saja belum punya.

***

Jenuh dengan rentetan pertanyaan kapan nikah. Purnomo pun mengemasi beberapa peralatan mendakinya, seperti tenda, sleeping bag, alat masak beserta tabung gas portable, jaket gunung, baju ganti, alat salat, dan logistic yang harus dipersiapkan selama beberapa hari di gunung.

Tujuannya kini adalah Gunung Sindoro yang ada diantara dua kabupaten, yaitu Kabupaten Temanggung dan Wonosobo.

Dengan mengendarai motor trailnya, Purnomo melaju dengan kecepatan sedang menuju arah Temanggung. Dia akan naik Gunung Sindoro melalui jalur Kledung yang mudah dicapai karena letaknya berada di dekat jalan utama.

Menempuh waktu dua jam setengah dari Sleman menuju Temanggung, Purnomo pun akhirnya sampai di basecamp pendakian Gunung Sindoro via Kledung pada pukul lima sore.

Sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu dua jam saja perjalanan. Namun tadi sempat hujan di jalan. Sehingga Purnomo memutuskan untuk berteduh sejenak sambil mengisi perut yang terasa keroncongan saat di Magelang.

Setibanya di basecamp, dia pun langsung menuju loket pendaftaran dan mengisi beberapa chek list.

“Berapa orang, Mas?” tanya petugas basecamp.

“Satu orang, Mas. Sendirian saja,” katanya dengan percaya diri.

Purnomo sudah dua kali mendaki Gunung Sindoro, namun itu sudah lama. Sekitar lima tahun yang lalu. Dia memang suka mendaki gunung, tapi menolak disebut pendaki. Hanya seorang penikmat alam.

“Maaf, Mas. Sekarang aturannya tidak boleh mendaki sendirian. Kalau mau, nanti Mas gabung saja sama pendaki lain yang mau naik,” kata petugas basecamp.

Namun, ini sudah sore. Basecamp pun sepi dan hanya ada dia yang akan naik di jam itu. Ada beberapa pendaki di basecamp, tapi mereka rata-rata sudah turun dan sedang istirahat.

Yah … gimana ini? Sudah jauh-jauh ke sini mau naik gunung. Masa nggak jadi?

Bab terkait

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   BAB 3 - Ditawari Janda

    Pasrah. Purnomo akhirnya memutuskan untuk menginap satu malam dulu di basecamp. Menunggu hari esok. Berharap ada pendaki lain yang mau membawa dirinya ikut serta.Dia pun memilih untuk mengambil wudhu untuk salat Isya di mushola kecil yang ada di basecamp. Setelahnya, dia mengecek ponsel yang sempat dia matikan agar tidak diganggu lagi oleh ibu maupun adiknya yang terus menekannya untuk mencari calon istri dalam waktu tiga bulan. Ada beberapa pesan masuk dan riwayat panggilan tak terjawab yang berasal dari adik juga ibunya. Lelaki berkumis tipis itu membalas pesan ibunya yang menanyakan keadaannya setelah pamit mendaki Gunung Sindoro. Tak lama, panggilan telepon masuk sebelum Purnomo sempat mematikan kembali ponselnya. “Assalamu’alaikum,” sapanya sambil menempelkan ponsel di telinga kanannya. Dia duduk menyandar dengan tatapan kosong. [“Wa’alaikumsalam. Dari tadi Ibu sama adekmu telepon kok nggak diangkat, Le? Khawatir karena di sini hujan.”]“Tadi lagi di jalan. Hujan juga. Jadi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   BAB 4 - Rencana Perjodohan

    “Coba, umur Mas Pur sekarang berapa?” tanyanya menatap lelaki berkulit sawo matang itu lekat-lekat. “Tiga puluh tahun.”“Nah, pas sekali!” serunya sambil menepuk paha Purnomo. Membuat lelaki itu menatap dengan sedikit terkejut. “Pas apanya?” Lelaki itu semakin bingung dengan tingkah pemuda di hadapannya. “Pas sama Mas Pur. Kalau sama aku, tua dia. Rasanya sungkan.”“Usia bukan jadi penghalang saat menjalin hubungan suami istri, Bro. Yang terpenting dewasa dan ngemong. Ya… saling melengkapi gitu. Mengisi kekosongan,” paparnya. “Masalahnya, aku punya cewek, Mas. Aku udah cinta banget sama dia dan dia pun sama. Kita punya mimpi yang sama. Nggak mungkin dong kita pisah demi bisa nurutin keinginan Mama buat menikahi kakak ipar,” katanya menatap lurus. Kemudian membuang napas panjang. Purnomo menatapnya dan ikut membuang napas panjang. Tidak tahu apa yang akan dia katakan. Karena dia pun tengah pusing dengan masalahnya sendiri. “Ini bisa jadi solusi kita bersama, Mas,” katanya membua

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   BAB 5 - Perempuan di Masa Lalu

    Berkali-kali Purnomo mengecek ponselnya. Mengetik pesan, lalu menghapusnya. Entah sudah yang ke berapa kali di menghapus pesan yang akan dikirim pada Awan. Sejak pertemuannya seminggu yang lalu dengan pemuda asal Klaten itu, otaknya tiba-tiba dipenuhi dengan ekspektasi janda yang baru ditinggal suaminya tiga bulan yang lalu yang tak lain adalah kakak ipar Awan yang katanya akan dijodohkan dengan Awan, tapi dia menolak.Entah kenapa, dia jadi sangat penasaran dengan sosok yang sering dipanggil Awan dengan sebutan kakak ipar, bukan nama. Ingin bertanya, tapi ragu. Karena Awan tidak lagi membahas tentang kakak iparnya yang baru saja menjadi janda ditinggal mati itu saat saling berkirim pesan. Hingga suara dering ponsel membuat Purnomo yang tengah mengetik naskah novel itu menoleh cepat dan mengambilnya. Lalu mendesah panjang saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. “Halo, Dek.” [“Mas, nanti jam tiga tolong jemput aku dong di rumah sakit.”] pinta sang Adik, Bintang. “Insya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Modus

    “Mas, ngapain di sini? Bukannya nunggu di luar.” Teguran dari Bintang membuat Purnomo menoleh dan mengembuskan napas sedikit kasar. Lalu menariknya menjauh dan menuruni tangga. “Kamu udah selesai?” Purnomo bertanya balik. “Udah. Tapi, Mas ngapain di sini? Aku baru mau turun. Eh, liat Mas Pur di sini.” Sang Adik menatap wajah kakaknya penuh selidik. Apalagi tadi terlihat tersenyum-senyum sendiri dengan wajah yang merona. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. “Nggak papa. Udah yuk pulang. Udah ashar!” ajaknya sambil menarik tangan adiknya menuju parkiran motor. “Jangan gandengan, Mas. Nanti dikira aku selingkuh!” protesnya sambil melepaskan genggaman tangan kakaknya. “Ya ampun!” geramnya yang langsung menggandeng lagi tangan sang Adik dan membuatnya kesal. Tapi malah Purnomo tertawa jahil. “Udah ayo naik!” Bintang pun naik di belakang Purnomo sambil berpegangan pada jaket lelaki bertubuh tinggi itu. “Ada yang Mas Pur intai kah di lantai dua tadi? Kayak lagi mengintai seseorang,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Klarifikasi Hati

    “Wulan, ayo sini masuk. Mama kenalin sama temannya Awan. Ketemu di Gunung Sindoro katanya,” ujar ibunya Awan dengan senyuman. “I-iya, Ma,” lirihnya dengan kepala tertunduk. Lalu berjalan perlahan menghampiri mantan ibu mertuanya dan berdiri di sisinya. “Tadi Wulan beli bubur ayam pesanan Mama,” katanya. “Mau dimakan sekarang?” tawarnya. “Kok beli di luar, Ma? Kan dapat jatah makan dari rumah sakit?” tanya Awan menatap heran. “Nggak enak, Wan. Malah bikin Mama enek kalau makan makanan rumah sakit,” sahutnya. “Makan sekarang saja, Nak,” pintanya menoleh pada Wulan yang mengangguk. Sedangkan pandangan Purnomo terpaku pada sosok perempuan yang begitu dia rindukan selama sepuluh tahun tak berjumpa dan tak pernah terjalin komunikasi. Dia begitu menikmati apa yang tersaji di hadapannya. Sikap lembut dan sopan santun yang membuatnya semakin terkesima. Padahal dulu saat masih pacarana dengannya, Wulan adalah sosok perempuan yang keras kepala, tapi manja. Meski begitu, Purnomo tetap

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Usaha Merebut Hatimu lagi

    Sejak pertemuan itu, Purnomo pun gencar mendekati Wulan. Apalagi Awan sudah tahu dan memberinya jalan. Karena lelaki itu tidak ingin dinikahkan dengan mantan kakak iparnya. “Mas, pokoknya aku bantu buat dapatin Mbak Wulan. Pepet terus. Perjuangkan jika memang Mas Pur masih cinta sama Mbak Wulan!” ujar Awan saat mereka kembali bertemu. “Tapi aku nggak tahu gimana caranya, Wan. Wulan kayak masih marah sama aku,” sahutnya. Lalu mengembuskan napas sedikit kasar. “Aku yakin, dia sebenarnya nggak marah. Hanya sedang dilema,” katanya sambil menepuk bahu temannya. “Dulu, Mbak Wulan itu kerja jadi asisten Mama. Karena kebaikannya mengabdi, jadilah dinikahkan dengan kakak aku. Mbak Wulan pun nggak bisa bantah karena merasa nggak enak. Pun Mas Langit juga sebenarnya menaruh rasa pada Mbak Wulan,” katanya pelan. “Pasti Wulan bahagia dan beruntung banget dicintai sama kakakmu, ya,” katanya sambil tersenyum perih. Membayangkan perempuan yang dicintainya dicintai lelaki lain dengan begitu bes

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Cek Kandungan

    Acara reuni diadakan di sebuah restoran yang mengusung tema outdoor. Sebuah restoran yang biasa digunakan untuk pertemuan-pertemuan dan meeting. Reuni atau acara-acara tertentu yang mengusung tema outdoor. Wulan datang diantar oleh Awan, tapi dia terlebih dulu memeriksakan kehamilannya di rumah sakit. Kontrol rutin bulanan. Kali ini, Wulan tidak hanya bersama dengan Awan, tapi juga dengan kekasih Awan, Bella namanya. “Mbak Wulan!” sapa gadis bermata biru yang merupakan keturunan Belanda itu. Namun sudah menjadi mualaf sejak kedua orangtuanya memutuskan tinggal di Indonesia sepuluh tahun yang lalu. “Hai, Bell. Sehat?” Wulan memeluk hangat Bella yang tetap terlihat ceria dan penuh energik itu. “Tentu saja, Mbak. Semangat banget ini mau nemenin Mbak Wulan cek kandungan. Pengin lihat dedek gemes,” kekehnya sambil mengusap perut Wulan yang sudah terlihat membuncit di usia kehamilan lima bulan. “

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Acara Reuni

    “Wulan, kayaknya dari tadi Purnomo lihatin kamu terus tuh,” bisik salah satu temannya saat tak sengaja melihat Purnomo yang diam-diam mencuri pandang pada Wulan. “Biar sajalah. Nanti juga bosan sendiri,” balas Wulan dengan senyuman. Dia masih bersikap santai. Namun penasaran dengan apa yang dikatakan oleh temannya itu. Tapi, Wulan enggan melihat ke arah di mana Purnomo duduk bersama dengan temannya yang lain. “Kayaknya masih cinta sama kamu. Belum menikah juga dia kan?” “Nggak tahu dan nggak mau tahu aku, Her,” kekeh Wulan yang masih kecewa pada Purnomo karena kesalahannya di masa lalu. Saat dia sudah menyerahkan cintanya, dia malah ditinggal. Dan yang paling menyakitkan adalah karena gossip yang beredar jika Purnomo selingkuh dengan perempuan lain. Itu yang membuat Wulan begitu membenci Purnomo. “Jangan gitu. Nanti cinta lama bisa bersemi kembali,” goda Herni sambil menyenggol lengan Wulan yang hanya ter

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16

Bab terbaru

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Meluruskan Kesalahpahaman

    "Sudah punya suami juga. Masih saja gatal gangguin calon suami orang. Memang suami kamu kurang memuaskan, hah! Apa kurang dibelai karena suami jarang di rumah?” tuding Shela sambil mendorong dada Wulan dengan jari telunjuknya. “Hei, jaga sikapmu, ya!” tegur Langit. “Istri saya tidak mungkin seperti itu. Jadi, jangan menuduhnya!” “Kata siapa aku asal nuduh? Aku punya bukti kok,” katanya. Lalu mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto Wulan dengan Purnomo yang dia ambil sewaktu berada di resto sebelum kedatangan Awan dan Bella. Shela sengaja membuntuti Purnomo yang diyakini akan bertemu dengan Wulan. Lalu mengambil beberapa foto mereka saat masih berdua.“Ini istrimu yang sok sholehah itu kan?” Shela tersenyum sinis melihat reaksi Langit yang berubah tegang setelah melihat foto di ponsel Shela. “Ini benar kamu, Wulan?” tanyanya memeperlihatkan fotonya pada sang Istri. “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Mas. Aku akan jelaskan sama Awa

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Dituduh Pelakor

    Laki-laki berkumis tipis itu menghela napas panjang dengan sedikit berat. Ini memang pilihan yang tidak mudah. Purnomo hanya akan berusaha meyakinkan ibunya tentang apa yang sudah menjadi keputusannya, yaitu tidak akan menikah dengan Shela. “Mas … tolonglah. Melembut sedikit hatinya untuk mau menuruti permintaan Ibu,” pinta Bintang. Kedua telapak tangan gadis itu sampai ditangkupkan di depan dada. “Tapi nggak sama Shela juga, Dek. Mas tahu tabiat dia seperti apa. Mas nggak mau salah pilih jodoh. Seumur hidup sama dia itu terlalu lama,” ungkapnya. “Terus mau sama siapa? Menunggu Mbak Wulan kan lama. Mas nggak bisa menikahinya sekarang kan? Dia statusnya masih istri orang meski suaminya sudah dinyatakan meninggal, tapi kan surat kematiannya belum diambil. Itu berarti dia masih mengharap suaminya kembali.” “Mas akan berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan Wulan jika suaminya sudah tidak ada dan ada Mas yang akan menggantikannya sebagai suami

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Harapan yang Terwujud

    Wulan menoleh dan menatap suaminya dengan senyum lebar. Lalu kembali menatap sang Ibu mertua yang masih terlihat syok. Dia menggeser tubuhnya sambil membuka pintu kamar lebih lebar dari sebelumnya. Membiarkan suaminya itu mendekati ibunya. Kemudian memeluk perempuan itu penuh rindu. “Ya Allah … ini bener kamu, Langit?” isak Maya sambil mendekap putranya yang sudah lebih tinggi darinya itu dengan erat. Seolah enggan melepaskan. “Iya, Ma. Aku masih hidup. Aku belum mati. Dan aku kembali untuk kalian, juga untuk anakku,” balas Langit sambil menyeka sudut matanya yang basah. “Alhamdulillah, Ya Allah … Kau kembalikan putraku.” Wulan menatap haru. Dia pun sangat bahagia karena akhirnya suaminya yang sebelumnya sudah dinyatakan meninggal kembali dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun. Maya melepas pelukannya. Tangannya beralih menyentuh wajah hingga bahu putranya yang kokoh. “Maasayaallah … Mama nggak nyangka,” katanya lagi sambil menatap penuh haru. “Aku bersyukur banget akhir

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Kejutan untuk Wulan dan Maya

    "Diam, aku suamimu!” Seketika itu Wulan berhenti memberontak. Dia memutar tubuhnya saat pelukan di perutnya mulai renggang. Kedua netranya lekat menatap sosok berbaju serba hitam yang membuka penutup kepalanya. Perlahan … rasa takut di hatinya sirna. Tergantikan dengan rasa bahagia yang tak pernah terpikirkan oleh Wulan saat wajah yang dinantikan kini berada di hadapannya. “Mas Langit …,” panggilnya terbata. Dia bahkan membekap mulutnya. Seolah tak percaya dengan apa yang tersaji di depan mata. “Iya, aku suamimu. Suamimu sudah kembali,” katanya dengan senyum manis. “Ya Allah ….” Wulan langsung memeluk suaminya dengan perasaan haru. Dia menangis di pelukan lelaki yang telah dianggap meninggal itu, tapi Wulan meyakini jika suaminya masih hidup. Dan keyakinan itu sekarang berubah menjadi kenyataan. “Aku sangat merindukanmu, Wulan.” Nada bicara Langit sedikit bergetar. Lelaki bertubuh tegap itu ikut terharu karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan istri dan keluarganya setelah

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Acara Tujuh Bulanan

    Semakin hari, Purnomo selalu menunjukkan cintanya pada Wulan. Dari diam-diam mengirim makanan, hadiah-hadiah kecil, sampai beberapa perlengkapan bayi yang Purnomo sendiri tahu jika bayi yang dikandung Wulan berjenis kelamin perempuan. Semua itu demi membuktikan kalau Purnomo benar-benar mencintai Wulan. Maya sampai heran melihat beberapa kali tukang paket datang ke rumah mengirim sesuatu pada Wulan. “Kamu beli lagi?” tanyanya menatap heran. “Iya, Ma,” jawab Wulan merasa sungkan. Takut dibilang boros, padahal itu semua karena pemberian Purnomo. Bukan Wulan yang membelinya sendiri. “Beli apapun lah yang kamu mau, Nak. Asal cucu Mama nggak kelaparan,” kekeh Maya sambil mengusap perut Wulan yang sudah semakin buncit saat usia kehamilannya hampir memasuki minggu ke dua puluh tiga. “Iya, Ma. Wulan permisi dulu, ya,” pamitnya menuju kamar. Lalu membuka paket yang dikirim dari Purnomo. Sebuah novel bertema romantic yang menceritakan tentang sebuah perjalanan cinta dua manusia yang salin

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Berdebat dan Menggoda

    "Dia yang menjadi pelipur lara di saat aku tersakiti olehmu. Dia juga yang sudah membantuku berdiri saat aku terjatuh. Jadi, apa salahnya kalau aku mencintainya? Dia suamiku. Sudah sepatutnya aku mencintainya,” balasnya menatap serius. Ada gemuruh di dadanya saat mengatakan kalimat tersebut. Purnomo mengembuskan napas panjang. Dadanya terasa sesak mendengar pengakuan perempuan yang selalu menjadi pujaan hatinya. Rasa penyesalan itu semakin besar. “Aku minta maaf. Tapi, sumpah, Lan. Aku nggak pernah selingkuh selama kita menjalani hubungan dulu. Semua yang kamu dengar itu hanya fitnah.” Purnomo kembali menjelaskan. “Aku sudah tidak mau dengar lagi apapun alasanmu, Pur. Bagiku, pengkhianat tetap pengkhianat. Lebih baik kamu lupakan aku. Biarpun nanti jika suamiku tidak benar-benar kembali, aku akan mengikhlaskannya dan memilih untuk tetap sendiri. Ataupun kalau menikah lagi, tidak dengan pengkhianat sepertimu,” katanya seraya menahan geram. Perasaan benci seketika itu muncul setiap

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Kebetulan yang Disengaja

    [“Mbak, nanti makan siang, yuk! Aku pengin makan yang segar-segar gitu,”] ajak Bella melalui sambungan telepon. “Makan siang di mana, Bell?” balas Wulan tampak antusias. Sejak hamil, Wulan memang sering kali tidak betah di rumah. Ibu mertuanya tahu itu, makanya sering kali diajak ke mana saja selama Wulan tidak mengeluh sakit atau capek. Untuk hiburan kata ibu mertuanya. [“Watu Langit Jogja Coffee and Resto. Gimana?”] “Emm … boleh. Berdua aja atau sama Awan?” [“Sama Awan dong. Tapi, nanti Mbak berangkat sendiri nggak apa? Soalnya Awan kan berangkat langsung dari tempat kerjanya.”] “Nggak papa. Santai ….”[“Oke. Jam sebelas sudah di tempat, ya, Mbak.”] “Oke. Insyallah …,” balas Wulan. Lalu mematikan sambungan teleponnya. Perempuan hamil itu kemudian keluar kamar. Mencari ibu mertuanya. Dia hendak izin untuk keluar makan siang bersama teman-temannya. “Ma,” panggil Wulan pada ibu mertuany

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Meyakinkan sang Ibu

    Jawabannya sudah diprediksi oleh Purnomo. Sehingga, lelaki berkumis tipis itu pun sudah mempersiapkan jawaban lain untuk menghadapi ibunya. Diembuskannya napas kasar demi melegakan hatinya yang sedikit sesak karena desakan ibunya untuk segera menikah. “Bu, jangan menyulitkan sesuatu yang sebenarnya mudah,” sahut Purnomo dengan tenang. Lebih tepatnya berusaha tenang menghadapi ibunya. Biar bagaimana pun, perempuan itu sudah berjuang untuk membesarkannya hingga tumbuh sampai sebesar ini. Sesebal-sebalnya, dia akan selalu berusaha untuk menghormati yang namanya orangtua. Namun jika salah, dia tak segan untuk menegurnya dengan cara yang lembut tentunya. “Ini sudah menjadi tradisi, Pur. Memang kamu mau dilangkahi sama adikmu?” “Kalau jodohnya Bintang datang lebih cepat daripada aku kenapa nggak, Bu? Aku ikhlas lahir batin!” tegas Purnomo menatap ibunya. Lalu meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. “Kasihan mereka, Bu.

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Memperjelas Niat Baik

    “Mas, kenapa sih?” tanya Bintang dengan wajah ketakutan saat melihat ekspresi kakaknya yang seperti orang marah. Dia khawatir kalau Purnomo akan memarahi kekasihnya yang sudah dipacarinya selama satu tahun ini. Purnomo hanya berdecak. Lalu masuk ke dalam mobil jenis SUV berwarna silver itu. Dia duduk di jok depan. Membuat Bintang duduk di bangku tengah. “Sepertinya ada hal penting, Mas?” Rio menatap Purnomo serius. “Penting sekali. Tentang kelanjutan hubungan kalian,” katanya tak kalah serius. Membuat Rio dan Bintang saling melempar pandang. Lalu kembali fokus pada Purnomo, menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut lelaki yang usianya mendekati angka tiga puluh. “Ada apa?” desak Bintang tak sabar. Sungguh dia penasaran.“Rio, kamu serius sama Bintang?” “Pertanyaan macam apa itu, Mas?” sergah sang Adik seolah tak terima jika hubungannya dengan Rio dikira hanya main-main saja. “Tentu saja seriuslah.” “Dek, yang Ma

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status