Pasrah. Purnomo akhirnya memutuskan untuk menginap satu malam dulu di basecamp. Menunggu hari esok. Berharap ada pendaki lain yang mau membawa dirinya ikut serta.
Dia pun memilih untuk mengambil wudhu untuk salat Isya di mushola kecil yang ada di basecamp. Setelahnya, dia mengecek ponsel yang sempat dia matikan agar tidak diganggu lagi oleh ibu maupun adiknya yang terus menekannya untuk mencari calon istri dalam waktu tiga bulan. Ada beberapa pesan masuk dan riwayat panggilan tak terjawab yang berasal dari adik juga ibunya. Lelaki berkumis tipis itu membalas pesan ibunya yang menanyakan keadaannya setelah pamit mendaki Gunung Sindoro. Tak lama, panggilan telepon masuk sebelum Purnomo sempat mematikan kembali ponselnya. “Assalamu’alaikum,” sapanya sambil menempelkan ponsel di telinga kanannya. Dia duduk menyandar dengan tatapan kosong. [“Wa’alaikumsalam. Dari tadi Ibu sama adekmu telepon kok nggak diangkat, Le? Khawatir karena di sini hujan.”] “Tadi lagi di jalan. Hujan juga. Jadi hp-nya Pur matiin. Ini sudah sampai basecamp kok,” jawabnya sambil menatap keluar basecamp yang ternyata mulai turun hujan. Ada untungnya juga dia tidak jadi naik malam ini. Bisa dibayangkan jika tetap nekat melakukan solo hiking dengan kondisi hati kacau? Belum lagi hujan mengguyur semakin deras. Jalur licin dan pastinya bahaya. Maka dari itu, basecamp membuat peraturan baru, tidak boleh melakukan solo hiking apalagi mendaki malam hari. Takut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka akan membahayakan pendaki itu sendiri. [“Jangan lama-lama, Mas. Ingat, harus cari istri juga.”] Suara Bintang terdengar di samping ibunya. Membuat Purnomo menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap ponsel itu tak suka. “Bawel!” sahut Purnomo kesal. “Ya sudahlah, Pur mau tidur. Besok baru mulai mendaki,” katanya pamit setelah mengucap salam dan memutus sambungan telepon dengan ibu dan adiknya. Kemudian kembali mematikan ponsel dan menyimpannya di dalam tas. Saat dia hendak memejamkan mata, terlihat seorang laki-laki masuk ke basecamp setelah melepas jas hujan dan menggantungnya di tempat yang telah disediakan. Pandangan Purnomo tak lepas dari laki-laki yang menggendong tas ransel dan berjalan menuju loket pendaftaran. Dia mendengar jika laki-laki itu ingin mendaki esok hari dan petugas basecamp pun menyarankan agar mendaftar besok pagi saja. Lelaki yang tampak lebih muda dari Purnomo itu berjalan mendekat ke arah Purnomo yang sudah mengubah posisinya dari rebahan menjadi duduk. “Mau naik juga, Mas?” tanya Purnomo menatap lelaki itu yang meletakkan tas ransel di sebelah ranselnya. “Iya, Mas. Rencananya mau naik malam ini. Eh, malah hujan. Terus kata orang basecamp juga nggak ada barengan. Jadi nggak boleh naik,” paparnya sambil mengambil posisi duduk di atas karpet. Lalu membuka ransel dan mengeluarkan sleeping bag untuk dijadikan selimut saat dia tidur. “Mas sendirian emang?” “Iya. Biasa. Suka nebeng-nebeng sama pendaki lain. Biar sat set,” kekehnya. “Nebeng jalan bareng gitu maksudnya,” imbuhnya menjelaskan. “Oh …,” desis Purnomo menganggukkan kepalanya. “Mas sendiri mau naik atau baru turun?” lelaki itu menatap Purnomo. “Baru mau naik. Mau solo hiking malah nggak dibolehin. Padahal dulu boleh. Jadi, nunggu besok ada barengan,” kekehnya. “Bareng aja kalau gitu. Kan jadi berdua, nggak solo lagi!” ajaknya dengan sangat antusias. “Boleh!” sahutnya tak kalah semangat karena akhirnya menemukan pendaki lain yang akan menjadi teman selama pendakian Gunung Sindoro. “Aku Awan. Mas siapa? Belum kenalan,” kekehnya sambil mengulurkan tangan pada Purnomo. “Aku Purnomo. Panggil Pur saja,” balasnya menjabat tangan Awan. “Tapi … sepertinya Mas Pur ini lebih tua beberapa tahun dariku. Lebih senior,” kekehnya. “Ah, nggak juga. Hanya suka menikmati alam. Bukan pendaki,” balasnya tersenyum. Setelah ngobrol dan bertanya-tanya banyak hal yang ternyata Awan ini berasal dari Klaten, mereka pun memutuskan untuk istirahat agar besok saat pendakian stamina masih prima. **** Pagi harinya, usai sarapan, briefing, juga olahraga ringan, Purnomo dan Awan memulai pendakian di jam delapan pagi. Mereka akhirnya berangkat berdua saja. Dari basecamp menuju pos satu mereka memanfaatkan jasa ojek gunung. Setelahnya baru berjalan di track pendakian. “Mas, kok sendirian aja sih? Nggak sama teman atau komunitas gitu? Biasanya kan pendaki pada rame-rame naik gunungnya,” tanya Awan yang berjalan di belakang Purnomo. “Sudah kubilang bukan pendaki, hanya penikmat alam,” kekehnya. “Lebih senang sendiri. Sat set. Lebih cepat nggak kelamaan. Kebanyakan ngajak orang, banyak rencana, yang akhirnya hanya jadi wacana,” imbuhnya dan tertawa. “Iya juga sih.” Awan ikut tertawa membenarkan. “Kamu sendiri kenapa naik gunung sendiri?” Purnomo menoleh sekilas ke belakang. “Seperti yang Mas Pur bilang tadi. Rencanya akan mendaki lima orang. Sudah direncanakan dua bulan sebelumnya. Eh, pas udah mendekati hari-H malah pada ngilang orangnya. Jadilah aku sendiri, daripad batal,” balasnya membuang napas kasar. “Nah, maka dari itu, aku lebih suka ke mana-mana sendiri. Bebas mau ke mana sesuai dengan keinginan hati,” balasnya. “Iya, ya.” Pos demi pos mereka lewati hingga akhirnya mereka sampai di Sunrise Camp sekitar pukul setengah dua siang. Purnomo dan Awan pun salat dzuhur terlebih dahulu. Setelahnya sama-sama mendirikan tenda masing-masing dan makan siang bersama dengan nasi rames yang dibawa saat di basecamp tadi. Setelahnya istirahat karena lelah. Sore, sekitar jam tiga lebih lima belas menit, Purnomo terbangun. Dia mengusap wajahnya dan keluar tenda. Ditatapnya Awan yang tengah menatap langit, namun berkali-kali terlihat mengembuskan napas panjang dan terasa berat. Seperti sedang ada masalah yang menimpa. “Kenapa, Bro? Kayaknya lagi ada masalah?” tanya Purnomo sambil menepuk bahu Awan dan membuat tubuhnya sedikit berjingkat. Dia menoleh dan tersenyum. “Biasalah. Masalah keluarga,” balasnya. “Memang sudah menikah?” Purnomo duduk di sebelah Awan. “Belum.” Lelaki itu menggeleng pelan. “Tapi sama Mama dipaksa nikah sama kakak ipar. Padahal aku udah punya pilihan hati sendiri.” Awan pun menceritakan masalahnya. Karena dia tipe orang yang terbuka. “Lha, memang …?” Pertanyaan Purnomo menggantung. “Iya. Dia janda, Mas. Kakakku menikah belum ada satu tahun. Sebulan setelah menikah, kakakku yang seorang tantara itu dapat tugas khusus dari kesatuannya. Karena dia salah satu tim elite di kesatuannya. Tapi … sampai sekarang belum ada kabar. Padahal teman-teman yang berangkat bersama itu sudah pulang seminggu setelah pemberian tugas itu. Dan kami dapat kabar kalau Mas Langit, kakakku hilang tanpa jejak. “Setelah dilakukan pencarian dua bulan pun tidak ditemukan tanda-tanda keberadaannya. Jadi … kesatuan menyatakan kalau Mas Langit gugur dalam tugas. Tanpa jasad yang ditemukan. Nah, karena saking sayangnya Mama sama kakak ipar, Mama berniat menikahkan kami agar kakak ipar tetap jadi menantu di keluarga kami. Mama enggan melepasnya,” jelasnya. Lalu menarik napas panjang. Purnomo melebarkan kedua matanya mendengar kisah cinta Awan yang hampir mirip dengannya. Sama-sama dipaksa nikah. “Mas, gimana kalau dia buat Mas Purnomo saja? Katanya Mas Pur lagi cari jodoh!” ujarnya menoleh dan membuat Purnomo semakin melebarkan kedua matanya. “Eh, kok jadi aku?” Purnomo menatap Awan dengan kening berkerut.“Coba, umur Mas Pur sekarang berapa?” tanyanya menatap lelaki berkulit sawo matang itu lekat-lekat. “Tiga puluh tahun.”“Nah, pas sekali!” serunya sambil menepuk paha Purnomo. Membuat lelaki itu menatap dengan sedikit terkejut. “Pas apanya?” Lelaki itu semakin bingung dengan tingkah pemuda di hadapannya. “Pas sama Mas Pur. Kalau sama aku, tua dia. Rasanya sungkan.”“Usia bukan jadi penghalang saat menjalin hubungan suami istri, Bro. Yang terpenting dewasa dan ngemong. Ya… saling melengkapi gitu. Mengisi kekosongan,” paparnya. “Masalahnya, aku punya cewek, Mas. Aku udah cinta banget sama dia dan dia pun sama. Kita punya mimpi yang sama. Nggak mungkin dong kita pisah demi bisa nurutin keinginan Mama buat menikahi kakak ipar,” katanya menatap lurus. Kemudian membuang napas panjang. Purnomo menatapnya dan ikut membuang napas panjang. Tidak tahu apa yang akan dia katakan. Karena dia pun tengah pusing dengan masalahnya sendiri. “Ini bisa jadi solusi kita bersama, Mas,” katanya membua
Berkali-kali Purnomo mengecek ponselnya. Mengetik pesan, lalu menghapusnya. Entah sudah yang ke berapa kali di menghapus pesan yang akan dikirim pada Awan. Sejak pertemuannya seminggu yang lalu dengan pemuda asal Klaten itu, otaknya tiba-tiba dipenuhi dengan ekspektasi janda yang baru ditinggal suaminya tiga bulan yang lalu yang tak lain adalah kakak ipar Awan yang katanya akan dijodohkan dengan Awan, tapi dia menolak.Entah kenapa, dia jadi sangat penasaran dengan sosok yang sering dipanggil Awan dengan sebutan kakak ipar, bukan nama. Ingin bertanya, tapi ragu. Karena Awan tidak lagi membahas tentang kakak iparnya yang baru saja menjadi janda ditinggal mati itu saat saling berkirim pesan. Hingga suara dering ponsel membuat Purnomo yang tengah mengetik naskah novel itu menoleh cepat dan mengambilnya. Lalu mendesah panjang saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. “Halo, Dek.” [“Mas, nanti jam tiga tolong jemput aku dong di rumah sakit.”] pinta sang Adik, Bintang. “Insya
“Mas, ngapain di sini? Bukannya nunggu di luar.” Teguran dari Bintang membuat Purnomo menoleh dan mengembuskan napas sedikit kasar. Lalu menariknya menjauh dan menuruni tangga. “Kamu udah selesai?” Purnomo bertanya balik. “Udah. Tapi, Mas ngapain di sini? Aku baru mau turun. Eh, liat Mas Pur di sini.” Sang Adik menatap wajah kakaknya penuh selidik. Apalagi tadi terlihat tersenyum-senyum sendiri dengan wajah yang merona. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. “Nggak papa. Udah yuk pulang. Udah ashar!” ajaknya sambil menarik tangan adiknya menuju parkiran motor. “Jangan gandengan, Mas. Nanti dikira aku selingkuh!” protesnya sambil melepaskan genggaman tangan kakaknya. “Ya ampun!” geramnya yang langsung menggandeng lagi tangan sang Adik dan membuatnya kesal. Tapi malah Purnomo tertawa jahil. “Udah ayo naik!” Bintang pun naik di belakang Purnomo sambil berpegangan pada jaket lelaki bertubuh tinggi itu. “Ada yang Mas Pur intai kah di lantai dua tadi? Kayak lagi mengintai seseorang,
“Wulan, ayo sini masuk. Mama kenalin sama temannya Awan. Ketemu di Gunung Sindoro katanya,” ujar ibunya Awan dengan senyuman. “I-iya, Ma,” lirihnya dengan kepala tertunduk. Lalu berjalan perlahan menghampiri mantan ibu mertuanya dan berdiri di sisinya. “Tadi Wulan beli bubur ayam pesanan Mama,” katanya. “Mau dimakan sekarang?” tawarnya. “Kok beli di luar, Ma? Kan dapat jatah makan dari rumah sakit?” tanya Awan menatap heran. “Nggak enak, Wan. Malah bikin Mama enek kalau makan makanan rumah sakit,” sahutnya. “Makan sekarang saja, Nak,” pintanya menoleh pada Wulan yang mengangguk. Sedangkan pandangan Purnomo terpaku pada sosok perempuan yang begitu dia rindukan selama sepuluh tahun tak berjumpa dan tak pernah terjalin komunikasi. Dia begitu menikmati apa yang tersaji di hadapannya. Sikap lembut dan sopan santun yang membuatnya semakin terkesima. Padahal dulu saat masih pacarana dengannya, Wulan adalah sosok perempuan yang keras kepala, tapi manja. Meski begitu, Purnomo tetap
Sejak pertemuan itu, Purnomo pun gencar mendekati Wulan. Apalagi Awan sudah tahu dan memberinya jalan. Karena lelaki itu tidak ingin dinikahkan dengan mantan kakak iparnya. “Mas, pokoknya aku bantu buat dapatin Mbak Wulan. Pepet terus. Perjuangkan jika memang Mas Pur masih cinta sama Mbak Wulan!” ujar Awan saat mereka kembali bertemu. “Tapi aku nggak tahu gimana caranya, Wan. Wulan kayak masih marah sama aku,” sahutnya. Lalu mengembuskan napas sedikit kasar. “Aku yakin, dia sebenarnya nggak marah. Hanya sedang dilema,” katanya sambil menepuk bahu temannya. “Dulu, Mbak Wulan itu kerja jadi asisten Mama. Karena kebaikannya mengabdi, jadilah dinikahkan dengan kakak aku. Mbak Wulan pun nggak bisa bantah karena merasa nggak enak. Pun Mas Langit juga sebenarnya menaruh rasa pada Mbak Wulan,” katanya pelan. “Pasti Wulan bahagia dan beruntung banget dicintai sama kakakmu, ya,” katanya sambil tersenyum perih. Membayangkan perempuan yang dicintainya dicintai lelaki lain dengan begitu bes
Acara reuni diadakan di sebuah restoran yang mengusung tema outdoor. Sebuah restoran yang biasa digunakan untuk pertemuan-pertemuan dan meeting. Reuni atau acara-acara tertentu yang mengusung tema outdoor. Wulan datang diantar oleh Awan, tapi dia terlebih dulu memeriksakan kehamilannya di rumah sakit. Kontrol rutin bulanan. Kali ini, Wulan tidak hanya bersama dengan Awan, tapi juga dengan kekasih Awan, Bella namanya. “Mbak Wulan!” sapa gadis bermata biru yang merupakan keturunan Belanda itu. Namun sudah menjadi mualaf sejak kedua orangtuanya memutuskan tinggal di Indonesia sepuluh tahun yang lalu. “Hai, Bell. Sehat?” Wulan memeluk hangat Bella yang tetap terlihat ceria dan penuh energik itu. “Tentu saja, Mbak. Semangat banget ini mau nemenin Mbak Wulan cek kandungan. Pengin lihat dedek gemes,” kekehnya sambil mengusap perut Wulan yang sudah terlihat membuncit di usia kehamilan lima bulan. “
“Wulan, kayaknya dari tadi Purnomo lihatin kamu terus tuh,” bisik salah satu temannya saat tak sengaja melihat Purnomo yang diam-diam mencuri pandang pada Wulan. “Biar sajalah. Nanti juga bosan sendiri,” balas Wulan dengan senyuman. Dia masih bersikap santai. Namun penasaran dengan apa yang dikatakan oleh temannya itu. Tapi, Wulan enggan melihat ke arah di mana Purnomo duduk bersama dengan temannya yang lain. “Kayaknya masih cinta sama kamu. Belum menikah juga dia kan?” “Nggak tahu dan nggak mau tahu aku, Her,” kekeh Wulan yang masih kecewa pada Purnomo karena kesalahannya di masa lalu. Saat dia sudah menyerahkan cintanya, dia malah ditinggal. Dan yang paling menyakitkan adalah karena gossip yang beredar jika Purnomo selingkuh dengan perempuan lain. Itu yang membuat Wulan begitu membenci Purnomo. “Jangan gitu. Nanti cinta lama bisa bersemi kembali,” goda Herni sambil menyenggol lengan Wulan yang hanya ter
“Hentikan semua usahamu, Pur. Aku tidak mau semua perjuangan kamu sia-sia. Kita sudah selesai dan sekarang aku masih istri orang!” tegasnya menatap tak suka. “Mana suamimu kalau kamu memang masih istri orang?” tantang Purnomo membuat Wulan mengembuskan napas kasar. “Aku ingin berkenalan dengannya jika memang masih ada, Wulan. Dia sudah tidak ada. Mengertilah ….” “Aku yakin suamiku masih hidup!”“Keyakinan apa yang membuatmu sangat berharap seperti ini? Kesatuannya saja sudah menyatakan jika suamimu gugur dalam tugas.” Purnomo masih tetap dengan pendapatnya. “Firasat seorang istri tidak pernah salah, Pur. Sudahlah … aku hanya ingin menunggunya kembali. Aku juga tidak ingin memberi harapan padamu. Jadi, carilah perempuan lain dan menikah dengannya.” Purnomo menggeleng pelan. “Di hati ini, masih ada nama kamu, Wulan. Bagaimana bisa aku mencintai perempuan lain? Bagaimana bisa aku mengganti namamu yang sudah terpatri dengan perempuan lain? Tidak akan semudah itu!” katanya sambil menu
"Sudah punya suami juga. Masih saja gatal gangguin calon suami orang. Memang suami kamu kurang memuaskan, hah! Apa kurang dibelai karena suami jarang di rumah?” tuding Shela sambil mendorong dada Wulan dengan jari telunjuknya. “Hei, jaga sikapmu, ya!” tegur Langit. “Istri saya tidak mungkin seperti itu. Jadi, jangan menuduhnya!” “Kata siapa aku asal nuduh? Aku punya bukti kok,” katanya. Lalu mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto Wulan dengan Purnomo yang dia ambil sewaktu berada di resto sebelum kedatangan Awan dan Bella. Shela sengaja membuntuti Purnomo yang diyakini akan bertemu dengan Wulan. Lalu mengambil beberapa foto mereka saat masih berdua.“Ini istrimu yang sok sholehah itu kan?” Shela tersenyum sinis melihat reaksi Langit yang berubah tegang setelah melihat foto di ponsel Shela. “Ini benar kamu, Wulan?” tanyanya memeperlihatkan fotonya pada sang Istri. “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Mas. Aku akan jelaskan sama Awa
Laki-laki berkumis tipis itu menghela napas panjang dengan sedikit berat. Ini memang pilihan yang tidak mudah. Purnomo hanya akan berusaha meyakinkan ibunya tentang apa yang sudah menjadi keputusannya, yaitu tidak akan menikah dengan Shela. “Mas … tolonglah. Melembut sedikit hatinya untuk mau menuruti permintaan Ibu,” pinta Bintang. Kedua telapak tangan gadis itu sampai ditangkupkan di depan dada. “Tapi nggak sama Shela juga, Dek. Mas tahu tabiat dia seperti apa. Mas nggak mau salah pilih jodoh. Seumur hidup sama dia itu terlalu lama,” ungkapnya. “Terus mau sama siapa? Menunggu Mbak Wulan kan lama. Mas nggak bisa menikahinya sekarang kan? Dia statusnya masih istri orang meski suaminya sudah dinyatakan meninggal, tapi kan surat kematiannya belum diambil. Itu berarti dia masih mengharap suaminya kembali.” “Mas akan berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan Wulan jika suaminya sudah tidak ada dan ada Mas yang akan menggantikannya sebagai suami
Wulan menoleh dan menatap suaminya dengan senyum lebar. Lalu kembali menatap sang Ibu mertua yang masih terlihat syok. Dia menggeser tubuhnya sambil membuka pintu kamar lebih lebar dari sebelumnya. Membiarkan suaminya itu mendekati ibunya. Kemudian memeluk perempuan itu penuh rindu. “Ya Allah … ini bener kamu, Langit?” isak Maya sambil mendekap putranya yang sudah lebih tinggi darinya itu dengan erat. Seolah enggan melepaskan. “Iya, Ma. Aku masih hidup. Aku belum mati. Dan aku kembali untuk kalian, juga untuk anakku,” balas Langit sambil menyeka sudut matanya yang basah. “Alhamdulillah, Ya Allah … Kau kembalikan putraku.” Wulan menatap haru. Dia pun sangat bahagia karena akhirnya suaminya yang sebelumnya sudah dinyatakan meninggal kembali dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun. Maya melepas pelukannya. Tangannya beralih menyentuh wajah hingga bahu putranya yang kokoh. “Maasayaallah … Mama nggak nyangka,” katanya lagi sambil menatap penuh haru. “Aku bersyukur banget akhir
"Diam, aku suamimu!” Seketika itu Wulan berhenti memberontak. Dia memutar tubuhnya saat pelukan di perutnya mulai renggang. Kedua netranya lekat menatap sosok berbaju serba hitam yang membuka penutup kepalanya. Perlahan … rasa takut di hatinya sirna. Tergantikan dengan rasa bahagia yang tak pernah terpikirkan oleh Wulan saat wajah yang dinantikan kini berada di hadapannya. “Mas Langit …,” panggilnya terbata. Dia bahkan membekap mulutnya. Seolah tak percaya dengan apa yang tersaji di depan mata. “Iya, aku suamimu. Suamimu sudah kembali,” katanya dengan senyum manis. “Ya Allah ….” Wulan langsung memeluk suaminya dengan perasaan haru. Dia menangis di pelukan lelaki yang telah dianggap meninggal itu, tapi Wulan meyakini jika suaminya masih hidup. Dan keyakinan itu sekarang berubah menjadi kenyataan. “Aku sangat merindukanmu, Wulan.” Nada bicara Langit sedikit bergetar. Lelaki bertubuh tegap itu ikut terharu karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan istri dan keluarganya setelah
Semakin hari, Purnomo selalu menunjukkan cintanya pada Wulan. Dari diam-diam mengirim makanan, hadiah-hadiah kecil, sampai beberapa perlengkapan bayi yang Purnomo sendiri tahu jika bayi yang dikandung Wulan berjenis kelamin perempuan. Semua itu demi membuktikan kalau Purnomo benar-benar mencintai Wulan. Maya sampai heran melihat beberapa kali tukang paket datang ke rumah mengirim sesuatu pada Wulan. “Kamu beli lagi?” tanyanya menatap heran. “Iya, Ma,” jawab Wulan merasa sungkan. Takut dibilang boros, padahal itu semua karena pemberian Purnomo. Bukan Wulan yang membelinya sendiri. “Beli apapun lah yang kamu mau, Nak. Asal cucu Mama nggak kelaparan,” kekeh Maya sambil mengusap perut Wulan yang sudah semakin buncit saat usia kehamilannya hampir memasuki minggu ke dua puluh tiga. “Iya, Ma. Wulan permisi dulu, ya,” pamitnya menuju kamar. Lalu membuka paket yang dikirim dari Purnomo. Sebuah novel bertema romantic yang menceritakan tentang sebuah perjalanan cinta dua manusia yang salin
"Dia yang menjadi pelipur lara di saat aku tersakiti olehmu. Dia juga yang sudah membantuku berdiri saat aku terjatuh. Jadi, apa salahnya kalau aku mencintainya? Dia suamiku. Sudah sepatutnya aku mencintainya,” balasnya menatap serius. Ada gemuruh di dadanya saat mengatakan kalimat tersebut. Purnomo mengembuskan napas panjang. Dadanya terasa sesak mendengar pengakuan perempuan yang selalu menjadi pujaan hatinya. Rasa penyesalan itu semakin besar. “Aku minta maaf. Tapi, sumpah, Lan. Aku nggak pernah selingkuh selama kita menjalani hubungan dulu. Semua yang kamu dengar itu hanya fitnah.” Purnomo kembali menjelaskan. “Aku sudah tidak mau dengar lagi apapun alasanmu, Pur. Bagiku, pengkhianat tetap pengkhianat. Lebih baik kamu lupakan aku. Biarpun nanti jika suamiku tidak benar-benar kembali, aku akan mengikhlaskannya dan memilih untuk tetap sendiri. Ataupun kalau menikah lagi, tidak dengan pengkhianat sepertimu,” katanya seraya menahan geram. Perasaan benci seketika itu muncul setiap
[“Mbak, nanti makan siang, yuk! Aku pengin makan yang segar-segar gitu,”] ajak Bella melalui sambungan telepon. “Makan siang di mana, Bell?” balas Wulan tampak antusias. Sejak hamil, Wulan memang sering kali tidak betah di rumah. Ibu mertuanya tahu itu, makanya sering kali diajak ke mana saja selama Wulan tidak mengeluh sakit atau capek. Untuk hiburan kata ibu mertuanya. [“Watu Langit Jogja Coffee and Resto. Gimana?”] “Emm … boleh. Berdua aja atau sama Awan?” [“Sama Awan dong. Tapi, nanti Mbak berangkat sendiri nggak apa? Soalnya Awan kan berangkat langsung dari tempat kerjanya.”] “Nggak papa. Santai ….”[“Oke. Jam sebelas sudah di tempat, ya, Mbak.”] “Oke. Insyallah …,” balas Wulan. Lalu mematikan sambungan teleponnya. Perempuan hamil itu kemudian keluar kamar. Mencari ibu mertuanya. Dia hendak izin untuk keluar makan siang bersama teman-temannya. “Ma,” panggil Wulan pada ibu mertuany
Jawabannya sudah diprediksi oleh Purnomo. Sehingga, lelaki berkumis tipis itu pun sudah mempersiapkan jawaban lain untuk menghadapi ibunya. Diembuskannya napas kasar demi melegakan hatinya yang sedikit sesak karena desakan ibunya untuk segera menikah. “Bu, jangan menyulitkan sesuatu yang sebenarnya mudah,” sahut Purnomo dengan tenang. Lebih tepatnya berusaha tenang menghadapi ibunya. Biar bagaimana pun, perempuan itu sudah berjuang untuk membesarkannya hingga tumbuh sampai sebesar ini. Sesebal-sebalnya, dia akan selalu berusaha untuk menghormati yang namanya orangtua. Namun jika salah, dia tak segan untuk menegurnya dengan cara yang lembut tentunya. “Ini sudah menjadi tradisi, Pur. Memang kamu mau dilangkahi sama adikmu?” “Kalau jodohnya Bintang datang lebih cepat daripada aku kenapa nggak, Bu? Aku ikhlas lahir batin!” tegas Purnomo menatap ibunya. Lalu meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. “Kasihan mereka, Bu.
“Mas, kenapa sih?” tanya Bintang dengan wajah ketakutan saat melihat ekspresi kakaknya yang seperti orang marah. Dia khawatir kalau Purnomo akan memarahi kekasihnya yang sudah dipacarinya selama satu tahun ini. Purnomo hanya berdecak. Lalu masuk ke dalam mobil jenis SUV berwarna silver itu. Dia duduk di jok depan. Membuat Bintang duduk di bangku tengah. “Sepertinya ada hal penting, Mas?” Rio menatap Purnomo serius. “Penting sekali. Tentang kelanjutan hubungan kalian,” katanya tak kalah serius. Membuat Rio dan Bintang saling melempar pandang. Lalu kembali fokus pada Purnomo, menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut lelaki yang usianya mendekati angka tiga puluh. “Ada apa?” desak Bintang tak sabar. Sungguh dia penasaran.“Rio, kamu serius sama Bintang?” “Pertanyaan macam apa itu, Mas?” sergah sang Adik seolah tak terima jika hubungannya dengan Rio dikira hanya main-main saja. “Tentu saja seriuslah.” “Dek, yang Ma