Share

BAB 4 - Rencana Perjodohan

Penulis: W_udin
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-17 13:04:42

“Coba, umur Mas Pur sekarang berapa?” tanyanya menatap lelaki berkulit sawo matang itu lekat-lekat.

“Tiga puluh tahun.”

“Nah, pas sekali!” serunya sambil menepuk paha Purnomo. Membuat lelaki itu menatap dengan sedikit terkejut.

“Pas apanya?” Lelaki itu semakin bingung dengan tingkah pemuda di hadapannya.

“Pas sama Mas Pur. Kalau sama aku, tua dia. Rasanya sungkan.”

“Usia bukan jadi penghalang saat menjalin hubungan suami istri, Bro. Yang terpenting dewasa dan ngemong. Ya… saling melengkapi gitu. Mengisi kekosongan,” paparnya.

“Masalahnya, aku punya cewek, Mas. Aku udah cinta banget sama dia dan dia pun sama. Kita punya mimpi yang sama. Nggak mungkin dong kita pisah demi bisa nurutin keinginan Mama buat menikahi kakak ipar,” katanya menatap lurus. Kemudian membuang napas panjang.

Purnomo menatapnya dan ikut membuang napas panjang. Tidak tahu apa yang akan dia katakan.

Karena dia pun tengah pusing dengan masalahnya sendiri.

“Ini bisa jadi solusi kita bersama, Mas,” katanya membuat Purnomo menoleh dan menatapnya. “Nggak mungkin dong Allah mempertemukan kita tanpa alasan. Aku yakin ini solusinya!” imbuhnya dengan sangat mantap.

“Solusi?” Purnomo terdiam.

Mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Awan.

“Gini aja deh, aku minta nomor telepon Mas Pur biar kita bisa lanjut ngobrol setelah turun dari Gunung Sindoro. Lagian rumah kita juga nggak jauh-jauh amat,” katanya membuat Purnomo mengangguk. Kemudian memberikan nomor teleponnya pada Awan agar bisa melanjutkan komunikasi.

Hari semakin malam, mereka pun salat maghrib berjama’ah dengan para pendaki lain yang mendirikan tenda di sekitar sunrise camp. Hanya beberapa karena sudah banyak yang turun. Purnomo sendiri naik gunung pada hari kerja, sehingga tidak terlalu banyak pendaki yang mendaki Gunung Sindoro. Tidak seperti saat liburan.

Mereka menikmati makan malam bersama dilanjut ngopi sambil ngobrol. Kemudian tidur di tenda masing-masing. Pagi harinya, mereka bangun dan salat subuh bersama lagi. Lalu tinggal menikmati matahari terbit sembari menyeruput kopi panas dan bercengkerama.

Setelahnya, mereka persiapan melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Sindoro. Di sana hanya sebentar, sekadar foto untuk mengabadikan kenangan. Lalu turun dan berkemas. Karena mereka akan turun hari itu juga.

Beruntung hari itu hujan tidak turun deras. Hanya gerimis kecil saja yang menemani mereka sepanjang turun dari pos satu menuju basecamp karena tidak dijemput ojek gunung.

“Istirahat dulu, Mas. Atau mau langsung pulang ke Jogja?” tanya Awan sambil melepas sepatu gunungnya. Lalu duduk bersandar sambil meluruskan kaki yang terasa sangat pegal.

“Nginep lagi semalam di sini. Malas pulang juga kalau ujung-ujungnya ditanya lagi kapan nikah,” jawab Purnomo melakukan hal yang sama dengan Awan.

Membuat Awan tertawa menanggapinya.

“Dipikir-pikir, pertanyaan kayak gitu tuh sama aja kayak tanya, kapan kamu mati?”

“Kok bisa? Kan jauh, Mas?” Awan yang tak paham menatap Purnomo dengan kening berkerut.

“Lha iya. Jodoh itu kan rahasia Allah. Datangnya kapan ya kita juga nggak tahu. Orang banyak menjalin hubungan dengan si A lama. Eh, tahunya nikah sama si B. Kan jodoh nggak ada yang tahu. Sama kayak istri nggak hamil-hamil. Lha yang kasih rezeki anak kan Allah. Tugas kita manusia hanya berusaha tho?”

Awan menyimak dan mengangguk paham.

“Sama seperti kematian. Hanya beda konteks saja. Tapi maknanya sama,” tukas Purnomo.

“Tapi, kalau boleh tahu nih. Apa sih yang buat Mas Pur itu belum menikah? Jangan jawab belum ketemu jodohnya. Tapi, yang Mas Pur rasain sekarang. Dari pribadi Mas Pur sendiri.” Awan menatap serius.

Menurutnya, Purnomo pribadi yang enak diajak diskusi. Maka dari itu, dia banyak belajar dari lelaki berkulit sawo matang itu. Begitu juga sebaliknya.

“Banyak hal. Pekerjaanku belum mapan meski penghasilan sudah lumayan. Tapi … apa sih yang bisa dibanggain dari seorang penulis sama orang-orang yang awam?”

Awan kembali mengangguk.

“Kedua ….” Purnomo menggantung kalimatnya. Dia terdiam sejenak sambil mengembuskan napas panjang.

“Kedua apa, Mas?” tanyanya penasaran.

“Masih ada nama seseorang yang hidup di hati. Sampai sekarang aku nggak bisa lupain dia, Bro. Nggak tahu kenapa. Rasanya kok sulit nerima perempuan lain. Padahal sudah sepuluh tahun lebih kita nggak ada komunikasi. Nggak tahu juga kabar dia bagaimana sekarang. Sudah menikah atau belum. Atau malah justru sudah punya anak dan hidup bahagia dengan keluarga kecilnya,” paparnya menatap lurus ke depan. Bibirnya tersenyum kecut.

“Kalau udah itu alasannya sih … susah, Mas,” sahut Awan membuat Purnomo menoleh. “Kuncinya ada pada Mas Pur sendiri. Mau buka hati nggak buat perempuan lain gitu,” imbuhnya.

“Itu dia yang aku nggak bisa, Bro. Rasanya seperti mati rasa.” Purnomo menarik napas dalam. “Aku udah pernah coba dulu-dulu, tapi rasanya nggak masuk ke hati. Malah seolah cuma jadi pelampiasan. Sejak saat itu aku berhenti coba-coba dan memilih sendiri sampai saat ini.”

“Sabar, Mas Pur.” Awan menepuk bahu Purnomo. “Atau mau lanjut nih aku kenalin sama kakak ipar aku. Cantik lho. Baru dipake sebulan doang sama kakak aku,” candanya membuat Purnomo tertawa dan meninju lengan Awan pelan.

“Aku pusing ini harus cari jodoh dalam waktu tiga bulan. Kalau nggak, Ibu bakal jodohin aku sama si Shela. Cewek centil yang bikin aku ilfeel kalau ketemu,” katanya sambil bergidik ngeri.

“Jangan sebel-sebel, Mas. Takutnya nanti jadi jatuh cinta,” candanya lagi.

Mereka pun akhirnya tidur di basecamp lagi semalam. Baru pulang esok harinya. Mereka sendiri satu arah. Purnomo ke Jogja. Sedangkan Awan ke Klaten.

“Mas, dapat jodohnya nggak turun dari gunung?” Bintang sudah menghadang Purnomo di depan pintu masuk.

“Ya ampun, pertanyaannya, Dek.” Purnomo menggeleng dan menatap kesal. “Mas-mu ini baru pulang kok yo langsung ditembak mati!” kesalnya.

Bintang sendiri hanya tertawa sambil mengikuti langkah kakak laki-lakinya yang masuk ke dalam rumah.

“Nggak bawa oleh-oleh, Mas?” tanyanya sambil kembali dari dapur dan memberikan segelas air dingin untuk sang Kakak.

“Nah gitu dong. Kasih air minum, biar otaknya adem.” Purnomo menerima air tersebut dan meminumnya hingga tandas.

“Oleh-oleh, Mas?” ulang Bintang dengan manja.

“Tuh, di tas. Sesuai keinginan kamu, kopi posong.” Purnomo menunjuk tas ransel yang tadi dibawa naik gunung. Membuat Bintang bersorak kegirangan dan memeluk kakaknya sambil mengucap terima kasih.

Sebelum pulang, Purnomo sempat membeli oleh-oleh untuk adik dan ibunya di sekitar basecamp.

“Ibu di mana? Nggak menyambut kepulangan anak sulungnya yang paling ganteng?” tanyanya membuat Bintang berdecak sebal.

“Lagi ke rumah Bude Mirna. Lagi bahas perjodohan antara Mbak Shela sama Mas Pur katanya.”

“Apa?” Purnomo melebarkan kedua matanya. “Bagaimana bisa, Dek? Baru juga beberapa hari. Belum sampai tiga bulan.”

“Nggak tahu ….” Bintang mengendikkan kedua bahunya dan berlalu ke dapur. Meninggalkan sang Kakak yang merasa kesal dengan tindakan ibunya yang asal main menjodohkan saja tidak bicara dengannya dulu.

Bab terkait

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   BAB 5 - Perempuan di Masa Lalu

    Berkali-kali Purnomo mengecek ponselnya. Mengetik pesan, lalu menghapusnya. Entah sudah yang ke berapa kali di menghapus pesan yang akan dikirim pada Awan. Sejak pertemuannya seminggu yang lalu dengan pemuda asal Klaten itu, otaknya tiba-tiba dipenuhi dengan ekspektasi janda yang baru ditinggal suaminya tiga bulan yang lalu yang tak lain adalah kakak ipar Awan yang katanya akan dijodohkan dengan Awan, tapi dia menolak.Entah kenapa, dia jadi sangat penasaran dengan sosok yang sering dipanggil Awan dengan sebutan kakak ipar, bukan nama. Ingin bertanya, tapi ragu. Karena Awan tidak lagi membahas tentang kakak iparnya yang baru saja menjadi janda ditinggal mati itu saat saling berkirim pesan. Hingga suara dering ponsel membuat Purnomo yang tengah mengetik naskah novel itu menoleh cepat dan mengambilnya. Lalu mendesah panjang saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. “Halo, Dek.” [“Mas, nanti jam tiga tolong jemput aku dong di rumah sakit.”] pinta sang Adik, Bintang. “Insya

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Modus

    “Mas, ngapain di sini? Bukannya nunggu di luar.” Teguran dari Bintang membuat Purnomo menoleh dan mengembuskan napas sedikit kasar. Lalu menariknya menjauh dan menuruni tangga. “Kamu udah selesai?” Purnomo bertanya balik. “Udah. Tapi, Mas ngapain di sini? Aku baru mau turun. Eh, liat Mas Pur di sini.” Sang Adik menatap wajah kakaknya penuh selidik. Apalagi tadi terlihat tersenyum-senyum sendiri dengan wajah yang merona. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. “Nggak papa. Udah yuk pulang. Udah ashar!” ajaknya sambil menarik tangan adiknya menuju parkiran motor. “Jangan gandengan, Mas. Nanti dikira aku selingkuh!” protesnya sambil melepaskan genggaman tangan kakaknya. “Ya ampun!” geramnya yang langsung menggandeng lagi tangan sang Adik dan membuatnya kesal. Tapi malah Purnomo tertawa jahil. “Udah ayo naik!” Bintang pun naik di belakang Purnomo sambil berpegangan pada jaket lelaki bertubuh tinggi itu. “Ada yang Mas Pur intai kah di lantai dua tadi? Kayak lagi mengintai seseorang,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-14
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Klarifikasi Hati

    “Wulan, ayo sini masuk. Mama kenalin sama temannya Awan. Ketemu di Gunung Sindoro katanya,” ujar ibunya Awan dengan senyuman. “I-iya, Ma,” lirihnya dengan kepala tertunduk. Lalu berjalan perlahan menghampiri mantan ibu mertuanya dan berdiri di sisinya. “Tadi Wulan beli bubur ayam pesanan Mama,” katanya. “Mau dimakan sekarang?” tawarnya. “Kok beli di luar, Ma? Kan dapat jatah makan dari rumah sakit?” tanya Awan menatap heran. “Nggak enak, Wan. Malah bikin Mama enek kalau makan makanan rumah sakit,” sahutnya. “Makan sekarang saja, Nak,” pintanya menoleh pada Wulan yang mengangguk. Sedangkan pandangan Purnomo terpaku pada sosok perempuan yang begitu dia rindukan selama sepuluh tahun tak berjumpa dan tak pernah terjalin komunikasi. Dia begitu menikmati apa yang tersaji di hadapannya. Sikap lembut dan sopan santun yang membuatnya semakin terkesima. Padahal dulu saat masih pacarana dengannya, Wulan adalah sosok perempuan yang keras kepala, tapi manja. Meski begitu, Purnomo tetap

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Usaha Merebut Hatimu lagi

    Sejak pertemuan itu, Purnomo pun gencar mendekati Wulan. Apalagi Awan sudah tahu dan memberinya jalan. Karena lelaki itu tidak ingin dinikahkan dengan mantan kakak iparnya. “Mas, pokoknya aku bantu buat dapatin Mbak Wulan. Pepet terus. Perjuangkan jika memang Mas Pur masih cinta sama Mbak Wulan!” ujar Awan saat mereka kembali bertemu. “Tapi aku nggak tahu gimana caranya, Wan. Wulan kayak masih marah sama aku,” sahutnya. Lalu mengembuskan napas sedikit kasar. “Aku yakin, dia sebenarnya nggak marah. Hanya sedang dilema,” katanya sambil menepuk bahu temannya. “Dulu, Mbak Wulan itu kerja jadi asisten Mama. Karena kebaikannya mengabdi, jadilah dinikahkan dengan kakak aku. Mbak Wulan pun nggak bisa bantah karena merasa nggak enak. Pun Mas Langit juga sebenarnya menaruh rasa pada Mbak Wulan,” katanya pelan. “Pasti Wulan bahagia dan beruntung banget dicintai sama kakakmu, ya,” katanya sambil tersenyum perih. Membayangkan perempuan yang dicintainya dicintai lelaki lain dengan begitu bes

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Cek Kandungan

    Acara reuni diadakan di sebuah restoran yang mengusung tema outdoor. Sebuah restoran yang biasa digunakan untuk pertemuan-pertemuan dan meeting. Reuni atau acara-acara tertentu yang mengusung tema outdoor. Wulan datang diantar oleh Awan, tapi dia terlebih dulu memeriksakan kehamilannya di rumah sakit. Kontrol rutin bulanan. Kali ini, Wulan tidak hanya bersama dengan Awan, tapi juga dengan kekasih Awan, Bella namanya. “Mbak Wulan!” sapa gadis bermata biru yang merupakan keturunan Belanda itu. Namun sudah menjadi mualaf sejak kedua orangtuanya memutuskan tinggal di Indonesia sepuluh tahun yang lalu. “Hai, Bell. Sehat?” Wulan memeluk hangat Bella yang tetap terlihat ceria dan penuh energik itu. “Tentu saja, Mbak. Semangat banget ini mau nemenin Mbak Wulan cek kandungan. Pengin lihat dedek gemes,” kekehnya sambil mengusap perut Wulan yang sudah terlihat membuncit di usia kehamilan lima bulan. “

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Acara Reuni

    “Wulan, kayaknya dari tadi Purnomo lihatin kamu terus tuh,” bisik salah satu temannya saat tak sengaja melihat Purnomo yang diam-diam mencuri pandang pada Wulan. “Biar sajalah. Nanti juga bosan sendiri,” balas Wulan dengan senyuman. Dia masih bersikap santai. Namun penasaran dengan apa yang dikatakan oleh temannya itu. Tapi, Wulan enggan melihat ke arah di mana Purnomo duduk bersama dengan temannya yang lain. “Kayaknya masih cinta sama kamu. Belum menikah juga dia kan?” “Nggak tahu dan nggak mau tahu aku, Her,” kekeh Wulan yang masih kecewa pada Purnomo karena kesalahannya di masa lalu. Saat dia sudah menyerahkan cintanya, dia malah ditinggal. Dan yang paling menyakitkan adalah karena gossip yang beredar jika Purnomo selingkuh dengan perempuan lain. Itu yang membuat Wulan begitu membenci Purnomo. “Jangan gitu. Nanti cinta lama bisa bersemi kembali,” goda Herni sambil menyenggol lengan Wulan yang hanya ter

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Permintaan Purnomo

    “Hentikan semua usahamu, Pur. Aku tidak mau semua perjuangan kamu sia-sia. Kita sudah selesai dan sekarang aku masih istri orang!” tegasnya menatap tak suka. “Mana suamimu kalau kamu memang masih istri orang?” tantang Purnomo membuat Wulan mengembuskan napas kasar. “Aku ingin berkenalan dengannya jika memang masih ada, Wulan. Dia sudah tidak ada. Mengertilah ….” “Aku yakin suamiku masih hidup!”“Keyakinan apa yang membuatmu sangat berharap seperti ini? Kesatuannya saja sudah menyatakan jika suamimu gugur dalam tugas.” Purnomo masih tetap dengan pendapatnya. “Firasat seorang istri tidak pernah salah, Pur. Sudahlah … aku hanya ingin menunggunya kembali. Aku juga tidak ingin memberi harapan padamu. Jadi, carilah perempuan lain dan menikah dengannya.” Purnomo menggeleng pelan. “Di hati ini, masih ada nama kamu, Wulan. Bagaimana bisa aku mencintai perempuan lain? Bagaimana bisa aku mengganti namamu yang sudah terpatri dengan perempuan lain? Tidak akan semudah itu!” katanya sambil menu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16
  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Bimbang

    “Maasyallah … Mbak itu cantik banget lho kalau wajahnya lagi merona begitu.” Di mobil, Bella masih saja menggoda Wulan yang mati-matian menahan gejolak di dadanya. “Bell, udah deh, ya,” pinta Wulan menatap setengah kesal. “Serius, Mbak. Gemes banget lihatnya,” kekeh Bella. “Aduh … sebel banget kenapa harus ketemu dia lagi,” keluhnya sambil menyandar pada jok mobil. Kemudian menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Itu berarti jodoh, Mbak! Nggak mungkin dong Allah mempertemukan kembali Mbak Wulan dan Mas Pur itu kalau nggak ada something. Itu pertanda kalau ada sesuatu yang belum selesai antara Mas Pur sama Mbak Wulan,” katanya serius. Tak ada jawaban dari Wulan. Perempuan itu hanya mengembuskan napas panjangnya sambil memejamkan kedua matanya sesaat. “Mau langsung pulang?” tanya Awan yang masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. “Pulang saja, Wan. Capek,” sahut Wulan sambil membuka ma

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17

Bab terbaru

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Meluruskan Kesalahpahaman

    "Sudah punya suami juga. Masih saja gatal gangguin calon suami orang. Memang suami kamu kurang memuaskan, hah! Apa kurang dibelai karena suami jarang di rumah?” tuding Shela sambil mendorong dada Wulan dengan jari telunjuknya. “Hei, jaga sikapmu, ya!” tegur Langit. “Istri saya tidak mungkin seperti itu. Jadi, jangan menuduhnya!” “Kata siapa aku asal nuduh? Aku punya bukti kok,” katanya. Lalu mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto Wulan dengan Purnomo yang dia ambil sewaktu berada di resto sebelum kedatangan Awan dan Bella. Shela sengaja membuntuti Purnomo yang diyakini akan bertemu dengan Wulan. Lalu mengambil beberapa foto mereka saat masih berdua.“Ini istrimu yang sok sholehah itu kan?” Shela tersenyum sinis melihat reaksi Langit yang berubah tegang setelah melihat foto di ponsel Shela. “Ini benar kamu, Wulan?” tanyanya memeperlihatkan fotonya pada sang Istri. “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Mas. Aku akan jelaskan sama Awa

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Dituduh Pelakor

    Laki-laki berkumis tipis itu menghela napas panjang dengan sedikit berat. Ini memang pilihan yang tidak mudah. Purnomo hanya akan berusaha meyakinkan ibunya tentang apa yang sudah menjadi keputusannya, yaitu tidak akan menikah dengan Shela. “Mas … tolonglah. Melembut sedikit hatinya untuk mau menuruti permintaan Ibu,” pinta Bintang. Kedua telapak tangan gadis itu sampai ditangkupkan di depan dada. “Tapi nggak sama Shela juga, Dek. Mas tahu tabiat dia seperti apa. Mas nggak mau salah pilih jodoh. Seumur hidup sama dia itu terlalu lama,” ungkapnya. “Terus mau sama siapa? Menunggu Mbak Wulan kan lama. Mas nggak bisa menikahinya sekarang kan? Dia statusnya masih istri orang meski suaminya sudah dinyatakan meninggal, tapi kan surat kematiannya belum diambil. Itu berarti dia masih mengharap suaminya kembali.” “Mas akan berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan Wulan jika suaminya sudah tidak ada dan ada Mas yang akan menggantikannya sebagai suami

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Harapan yang Terwujud

    Wulan menoleh dan menatap suaminya dengan senyum lebar. Lalu kembali menatap sang Ibu mertua yang masih terlihat syok. Dia menggeser tubuhnya sambil membuka pintu kamar lebih lebar dari sebelumnya. Membiarkan suaminya itu mendekati ibunya. Kemudian memeluk perempuan itu penuh rindu. “Ya Allah … ini bener kamu, Langit?” isak Maya sambil mendekap putranya yang sudah lebih tinggi darinya itu dengan erat. Seolah enggan melepaskan. “Iya, Ma. Aku masih hidup. Aku belum mati. Dan aku kembali untuk kalian, juga untuk anakku,” balas Langit sambil menyeka sudut matanya yang basah. “Alhamdulillah, Ya Allah … Kau kembalikan putraku.” Wulan menatap haru. Dia pun sangat bahagia karena akhirnya suaminya yang sebelumnya sudah dinyatakan meninggal kembali dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun. Maya melepas pelukannya. Tangannya beralih menyentuh wajah hingga bahu putranya yang kokoh. “Maasayaallah … Mama nggak nyangka,” katanya lagi sambil menatap penuh haru. “Aku bersyukur banget akhir

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Kejutan untuk Wulan dan Maya

    "Diam, aku suamimu!” Seketika itu Wulan berhenti memberontak. Dia memutar tubuhnya saat pelukan di perutnya mulai renggang. Kedua netranya lekat menatap sosok berbaju serba hitam yang membuka penutup kepalanya. Perlahan … rasa takut di hatinya sirna. Tergantikan dengan rasa bahagia yang tak pernah terpikirkan oleh Wulan saat wajah yang dinantikan kini berada di hadapannya. “Mas Langit …,” panggilnya terbata. Dia bahkan membekap mulutnya. Seolah tak percaya dengan apa yang tersaji di depan mata. “Iya, aku suamimu. Suamimu sudah kembali,” katanya dengan senyum manis. “Ya Allah ….” Wulan langsung memeluk suaminya dengan perasaan haru. Dia menangis di pelukan lelaki yang telah dianggap meninggal itu, tapi Wulan meyakini jika suaminya masih hidup. Dan keyakinan itu sekarang berubah menjadi kenyataan. “Aku sangat merindukanmu, Wulan.” Nada bicara Langit sedikit bergetar. Lelaki bertubuh tegap itu ikut terharu karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan istri dan keluarganya setelah

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Acara Tujuh Bulanan

    Semakin hari, Purnomo selalu menunjukkan cintanya pada Wulan. Dari diam-diam mengirim makanan, hadiah-hadiah kecil, sampai beberapa perlengkapan bayi yang Purnomo sendiri tahu jika bayi yang dikandung Wulan berjenis kelamin perempuan. Semua itu demi membuktikan kalau Purnomo benar-benar mencintai Wulan. Maya sampai heran melihat beberapa kali tukang paket datang ke rumah mengirim sesuatu pada Wulan. “Kamu beli lagi?” tanyanya menatap heran. “Iya, Ma,” jawab Wulan merasa sungkan. Takut dibilang boros, padahal itu semua karena pemberian Purnomo. Bukan Wulan yang membelinya sendiri. “Beli apapun lah yang kamu mau, Nak. Asal cucu Mama nggak kelaparan,” kekeh Maya sambil mengusap perut Wulan yang sudah semakin buncit saat usia kehamilannya hampir memasuki minggu ke dua puluh tiga. “Iya, Ma. Wulan permisi dulu, ya,” pamitnya menuju kamar. Lalu membuka paket yang dikirim dari Purnomo. Sebuah novel bertema romantic yang menceritakan tentang sebuah perjalanan cinta dua manusia yang salin

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Berdebat dan Menggoda

    "Dia yang menjadi pelipur lara di saat aku tersakiti olehmu. Dia juga yang sudah membantuku berdiri saat aku terjatuh. Jadi, apa salahnya kalau aku mencintainya? Dia suamiku. Sudah sepatutnya aku mencintainya,” balasnya menatap serius. Ada gemuruh di dadanya saat mengatakan kalimat tersebut. Purnomo mengembuskan napas panjang. Dadanya terasa sesak mendengar pengakuan perempuan yang selalu menjadi pujaan hatinya. Rasa penyesalan itu semakin besar. “Aku minta maaf. Tapi, sumpah, Lan. Aku nggak pernah selingkuh selama kita menjalani hubungan dulu. Semua yang kamu dengar itu hanya fitnah.” Purnomo kembali menjelaskan. “Aku sudah tidak mau dengar lagi apapun alasanmu, Pur. Bagiku, pengkhianat tetap pengkhianat. Lebih baik kamu lupakan aku. Biarpun nanti jika suamiku tidak benar-benar kembali, aku akan mengikhlaskannya dan memilih untuk tetap sendiri. Ataupun kalau menikah lagi, tidak dengan pengkhianat sepertimu,” katanya seraya menahan geram. Perasaan benci seketika itu muncul setiap

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Kebetulan yang Disengaja

    [“Mbak, nanti makan siang, yuk! Aku pengin makan yang segar-segar gitu,”] ajak Bella melalui sambungan telepon. “Makan siang di mana, Bell?” balas Wulan tampak antusias. Sejak hamil, Wulan memang sering kali tidak betah di rumah. Ibu mertuanya tahu itu, makanya sering kali diajak ke mana saja selama Wulan tidak mengeluh sakit atau capek. Untuk hiburan kata ibu mertuanya. [“Watu Langit Jogja Coffee and Resto. Gimana?”] “Emm … boleh. Berdua aja atau sama Awan?” [“Sama Awan dong. Tapi, nanti Mbak berangkat sendiri nggak apa? Soalnya Awan kan berangkat langsung dari tempat kerjanya.”] “Nggak papa. Santai ….”[“Oke. Jam sebelas sudah di tempat, ya, Mbak.”] “Oke. Insyallah …,” balas Wulan. Lalu mematikan sambungan teleponnya. Perempuan hamil itu kemudian keluar kamar. Mencari ibu mertuanya. Dia hendak izin untuk keluar makan siang bersama teman-temannya. “Ma,” panggil Wulan pada ibu mertuany

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Meyakinkan sang Ibu

    Jawabannya sudah diprediksi oleh Purnomo. Sehingga, lelaki berkumis tipis itu pun sudah mempersiapkan jawaban lain untuk menghadapi ibunya. Diembuskannya napas kasar demi melegakan hatinya yang sedikit sesak karena desakan ibunya untuk segera menikah. “Bu, jangan menyulitkan sesuatu yang sebenarnya mudah,” sahut Purnomo dengan tenang. Lebih tepatnya berusaha tenang menghadapi ibunya. Biar bagaimana pun, perempuan itu sudah berjuang untuk membesarkannya hingga tumbuh sampai sebesar ini. Sesebal-sebalnya, dia akan selalu berusaha untuk menghormati yang namanya orangtua. Namun jika salah, dia tak segan untuk menegurnya dengan cara yang lembut tentunya. “Ini sudah menjadi tradisi, Pur. Memang kamu mau dilangkahi sama adikmu?” “Kalau jodohnya Bintang datang lebih cepat daripada aku kenapa nggak, Bu? Aku ikhlas lahir batin!” tegas Purnomo menatap ibunya. Lalu meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. “Kasihan mereka, Bu.

  • Dipaksa Nikah (Mencintai Istri Abdi Negara)   Memperjelas Niat Baik

    “Mas, kenapa sih?” tanya Bintang dengan wajah ketakutan saat melihat ekspresi kakaknya yang seperti orang marah. Dia khawatir kalau Purnomo akan memarahi kekasihnya yang sudah dipacarinya selama satu tahun ini. Purnomo hanya berdecak. Lalu masuk ke dalam mobil jenis SUV berwarna silver itu. Dia duduk di jok depan. Membuat Bintang duduk di bangku tengah. “Sepertinya ada hal penting, Mas?” Rio menatap Purnomo serius. “Penting sekali. Tentang kelanjutan hubungan kalian,” katanya tak kalah serius. Membuat Rio dan Bintang saling melempar pandang. Lalu kembali fokus pada Purnomo, menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut lelaki yang usianya mendekati angka tiga puluh. “Ada apa?” desak Bintang tak sabar. Sungguh dia penasaran.“Rio, kamu serius sama Bintang?” “Pertanyaan macam apa itu, Mas?” sergah sang Adik seolah tak terima jika hubungannya dengan Rio dikira hanya main-main saja. “Tentu saja seriuslah.” “Dek, yang Ma

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status