"Mas, ayo dong nikah!"
Seketika itu Purnomo menyemburkan kopi panas yang baru saja dia sesap saat tiba-tiba saja mendengar seruan yang tak asing lagi baginya. Tatapannya tertuju pada perempuan berseragam serba putih yang kini berdiri di hadapannya dengan wajahnya yang ditekuk. "Masuk rumah itu ngucapin salam, Dek! Bukan malah nyuruh nikah!" tegurnya sambil memutar bola matanya. Merasa jengah tiap kali sang Adik menyuruhnya untuk menikah. "Ayo nikah, Mas! Aku tuh udah dua puluh lima tahun. Pacar aku udah ngajakin nikah terus. Kalau nggak mau, dia bakal putusin aku," jelasnya panjang lebar. "Ya udah sih, putus aja. Lagian kayak laki-laki cuma dia aja. Masih banyak laki-laki baik di dunia ini, Bintang!" "Enak aja! Aku nggak mau putus sama dia, Mas. Aku tuh cinta sama dia." "Cinta itu bulshit!" tegasnya. Perempuan yang rambutnya dicepol itu mengembuskan napasnya dengan kasar. Menatap kakaknya dengan jengah. "Mas tuh mau sampai kapan sih begini terus? Umur udah tiga puluh tahun lho. Tapi nggak nikah-nikah." Purnomo meletakkan cangkir berisi kopi yang belum sempat diteguknya itu kembali ke meja bundar yang ada di sampingnya. "Nikah itu nggak seindah yang kamu bayangkan, Dek!" "Halahhh ... kayak udah pernah ngerasain aja. Pacar aja nggak punya," cibirnya sambil menghempaskan bobot tubuhnya di kursi sebelah meja yang masih kosong. Kemudian tangannya menyomot kacang kulit yang tergeletak di atas meja. Purnomo hanya berdecak mendengar ocehan dari mulut adiknya itu. "Kamu nggak tahu aja. Perempuan itu kan yang dipikirkan romansanya saja," sahutnya. "Lagian menikah itu kan nggak harus pacaran dulu. Mas nanti kalau sudah ketemu yang pas ya mau langsung nikah saja. Pacaran setelah menikah." "Ya udah buruan. Atau ... aku cariin jodoh buat Mas Purnomo deh." Bintang menatap kakaknya dengan serius. Meski mulutnya masih asik mengunyah kacang yang sudah dia buka kulitnya itu. "Hadeehhh ... nggak usah ribetlah, Dek." Purnomo memutar bola matanya. Lalu kembali mengambil cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. "Terus aku gimana, Mas?" rengeknya. "Ya kamu kalau mau nikah, nikah aja. Nggak usah nunggu Mas nikah dulu." "Tapi ... Ibu pasti nggak akan setuju kalau Mas aku langkahi." "Jodoh itu nggak ada yang tahu, Bintang. Kalau misalkan jodoh kamu datang lebih cepat dari Mas ya kamu nikah duluan aja. Nanti biar Mas yang ngomong sama Ibu." "Tapi ... aku nggak yakin." Bintang mengembuskan napasnya sedikit kasar. Lalu menyandarkan punggung lelahnya pada sandaran kursi rotan di teras rumahnya. "Kenapa?" Purnomo menatap adiknya dengan kening berkerut. "Mas tahu sendiri kan bagaimana teguhnya pendirian Ibu? Tradisi tetap tradisi. Aturan tetap aturan yang nggak boleh dilanggar!" tegasnya meng-copy paste omelan ibunya saat ada salah satu anaknya yang melanggar aturan yang ada di keluarga tersebut. "Insyaallah bisa." Purnomo berusaha meyakinkan adik satu-satunya itu. "Aku nggak mau tahu deh, Mas. Pokoknya, sebelum Mas Rio berangkat tugas ke luar pulau, Mas Pur sudah harus nikah. Titik!" Bintang bangkit dari duduknya dan bergegas masuk ke dalam kamarnya dengan langkah sedikit dihentakkan. Lagi. Lelaki berkumis tipis itu hanya bisa mengembuskan napas panjang. Dia menyugar rambutnya dengan kasar. Pertanyaan "Kapan nikah?" atau perintah "Ayo dong nikah!" seolah menjadi bom waktu baginya. Sebenarnya dia sudah jengah mendengar kata-kata itu. Telinganya sudah tebal jika yang berbicara adalah orang lain. Namun, jika yang berbicara adalah adiknya, seolah menjadi beban tersendiri untuknya. Purnomo tak masalah jika dia dilangkahi oleh adiknya. Namun, Ibunya pasti menolak karena aturannya yang tua harus menikah terlebih dulu. Itu aturan baku dan tidak boleh dilanggar. Katanya pamali. Usianya lima bulan lagi menginjak angka tiga puluh satu tahun. Namun sampai saat ini belum memiliki pasangan. Jangankan gebetan, mantan saja dia hanya punya satu. Dan namanya masih melekat di hatinya. Pikirannya kini kembali berkelana pada masa putih abu-abu. Masa paling indah sepanjang sejarah percintaannya. Di saat dia melabuhkan cinta pertamanya pada seorang perempuan yang memiliki senyum seindah rembulan. “Pur, itu adikmu kenapa pulang kerja begitu?” Lamunan Purnomo buyar seketika saat mendengar suara yang tak asing lagi baginya. Siapa lagi jika bukan Ningsih, perempuan yang sudah melahirkannya itu. Laki-laki itu membuang napas secara kasar. Lalu menoleh pada ibunya dan mengangkat kedua bahunya. Dia sebenarnya enggan menjelaskan, tapi tidak sopan rasanya jika ditanya oleh orang tua hanya seperti itu. “Pacarnya ngajak nikah katanya, Buk.” “Itu berarti warning buat kamu biar segera nikah, Pur!” Ningsih langsung mencecarnya. Menyudutkannya untuk segera menikah. “Buk, Bintang yang diajak nikah kok malah jadi warning buat aku?” Purnomo menatap ibunya dengan kening berkerut. Perempuan yang usianya sudah berkepala lima itu lantas duduk di dekat anak sulungnya dan menepuk bahunya. “Kamu tahu kan aturan di rumah ini?” Ningsih bertanya balik. “Buk, hapuskanlah itu. Datangnya jodoh itu nggak ada yang tahu. Mungkin saja jodohnya Bintang datang lebih cepat daripada aku.” “Kamu aja yang males dan nggak mau usaha, Pur,” sahutnya dengan lirikan sinis. Membuat Purnomo sedikit kesusahan menelan salivanya. Ekspresi wajah Ningsih seperti ini yang membuat nyali Purnomo ciut. Itu artinya, sang ibu tengah kecewa ppadanya. Jika sudah seperti ini, Purnomo akan diam tertunduk dan tidak lagi menyahut. Percuma. Karena tidak akan didengarkan. “Ayolah, Pur. Usia kamu itu sudah berkepala tiga. Memangnya kamu nggak pengin kayak teman-teman kamu itu yang udah gandeng istri dan gendong anak?” Ya pengin, Buk. Tapi mungkin ini belum waktunya. Purnomo hanya bisa menjawab dalam hati. “Pokoknya Ibu nggak mau tahu, Ibu kasih kamu waktu selama tiga bulan dan kamu harus sudah punya calon istri. Jadi nanti kalian menikah sebelum Bintang menikah!” Seketika itu Purnomo mengakat wajahnya, melebarkan kedua matanya. Dia menatap ibunya seolah tak percaya. Dikira cari jodoh itu kayak cari kacang godok kali, Buk? Lagian kenapa jadi perintahnya sama kayak Bintang sih? Purnomo menghembuskan napas kasar sambil mengacak-acak rambutnya yang sedikit gondrong saat ibunya kembali masuk ke dalam rumah dan membujuk Bintang yang menangis di kamarnya. “Nasib jadi anak pertama!” keluhnya sambil kembali membuang napas kasar. Jengah. Dia pun akhirnya pergi dan berniat ke rumah temannya. Namun, saat di jalan, dia berpapasan dengan salah satu teman saat masih duduk di Sekolah Dasar yang sudah begitu lama tidak bertemu. “Lho, Purnomo, ya?” tanyanya sambil menatap Purnomo yang menatapnya dengan kening berkerut. “Eko?” balas Purnomo. “Iya. Ya Allah... mau ke mana? Kok sendirian aja? Udah nikah belum?” Lelaki berkumis tipis itu dengan susah payah menelan salivanya saat kembali disudutkan dengan pertanyaan yang sama. Sudah nikah belum? Kapan nikah? Kenapa kok belum nikah? Ingin rasanya Purnomo menghilang dari planet Bumi demi menghindari pertanyaan seperti itu yang membuat kepalanya berdenyut.Adzan subuh berkumandang dengan merdu di mushola sebelah rumah Purnomo.Lelaki berkumis tipis itu sudah bangun sepuluh menit sebelum adzan berkumandang. Sudah siap dengan baju koko dan sarungnya.Setelah adzan usai, dia pun langsung melangkahkan kakinya menuju mushola untuk ikut salat subuh berjamaah. Rutinitas Purnomo setiap pagi. Dia berusaha untuk tidak absen untuk ikut salat berjamaah di mushola.“Segar kali pagi-pagi gini sudah keramas. Macam punya istri saja,” ledek salah satu tetangganya saat melihat rambut Purnomo yang sedikit ikal itu basah klimis.Dia memang menyempatkan mandi sebelum berangkat ke masjid. Namun, tidak selalu keramas.“Ya Allah, gini amat nasib jomlo,” keluhnya sambil menepuk keningnya pelan. Lalu berjalan mendahului tetangganya yang tertawa.Jahat sekali ....Usai salat, Purnomo menyempatkan diri membaca Al-Qur'an beberapa lembar. Kemudian olahraga rutin angkat beban dan push-up selama tiga puluh menit.Setelah keringat hilang, baru dia mandi dan sarapan di
Pasrah. Purnomo akhirnya memutuskan untuk menginap satu malam dulu di basecamp. Menunggu hari esok. Berharap ada pendaki lain yang mau membawa dirinya ikut serta.Dia pun memilih untuk mengambil wudhu untuk salat Isya di mushola kecil yang ada di basecamp. Setelahnya, dia mengecek ponsel yang sempat dia matikan agar tidak diganggu lagi oleh ibu maupun adiknya yang terus menekannya untuk mencari calon istri dalam waktu tiga bulan. Ada beberapa pesan masuk dan riwayat panggilan tak terjawab yang berasal dari adik juga ibunya. Lelaki berkumis tipis itu membalas pesan ibunya yang menanyakan keadaannya setelah pamit mendaki Gunung Sindoro. Tak lama, panggilan telepon masuk sebelum Purnomo sempat mematikan kembali ponselnya. “Assalamu’alaikum,” sapanya sambil menempelkan ponsel di telinga kanannya. Dia duduk menyandar dengan tatapan kosong. [“Wa’alaikumsalam. Dari tadi Ibu sama adekmu telepon kok nggak diangkat, Le? Khawatir karena di sini hujan.”]“Tadi lagi di jalan. Hujan juga. Jadi
“Coba, umur Mas Pur sekarang berapa?” tanyanya menatap lelaki berkulit sawo matang itu lekat-lekat. “Tiga puluh tahun.”“Nah, pas sekali!” serunya sambil menepuk paha Purnomo. Membuat lelaki itu menatap dengan sedikit terkejut. “Pas apanya?” Lelaki itu semakin bingung dengan tingkah pemuda di hadapannya. “Pas sama Mas Pur. Kalau sama aku, tua dia. Rasanya sungkan.”“Usia bukan jadi penghalang saat menjalin hubungan suami istri, Bro. Yang terpenting dewasa dan ngemong. Ya… saling melengkapi gitu. Mengisi kekosongan,” paparnya. “Masalahnya, aku punya cewek, Mas. Aku udah cinta banget sama dia dan dia pun sama. Kita punya mimpi yang sama. Nggak mungkin dong kita pisah demi bisa nurutin keinginan Mama buat menikahi kakak ipar,” katanya menatap lurus. Kemudian membuang napas panjang. Purnomo menatapnya dan ikut membuang napas panjang. Tidak tahu apa yang akan dia katakan. Karena dia pun tengah pusing dengan masalahnya sendiri. “Ini bisa jadi solusi kita bersama, Mas,” katanya membua
Berkali-kali Purnomo mengecek ponselnya. Mengetik pesan, lalu menghapusnya. Entah sudah yang ke berapa kali di menghapus pesan yang akan dikirim pada Awan. Sejak pertemuannya seminggu yang lalu dengan pemuda asal Klaten itu, otaknya tiba-tiba dipenuhi dengan ekspektasi janda yang baru ditinggal suaminya tiga bulan yang lalu yang tak lain adalah kakak ipar Awan yang katanya akan dijodohkan dengan Awan, tapi dia menolak.Entah kenapa, dia jadi sangat penasaran dengan sosok yang sering dipanggil Awan dengan sebutan kakak ipar, bukan nama. Ingin bertanya, tapi ragu. Karena Awan tidak lagi membahas tentang kakak iparnya yang baru saja menjadi janda ditinggal mati itu saat saling berkirim pesan. Hingga suara dering ponsel membuat Purnomo yang tengah mengetik naskah novel itu menoleh cepat dan mengambilnya. Lalu mendesah panjang saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. “Halo, Dek.” [“Mas, nanti jam tiga tolong jemput aku dong di rumah sakit.”] pinta sang Adik, Bintang. “Insya
“Mas, ngapain di sini? Bukannya nunggu di luar.” Teguran dari Bintang membuat Purnomo menoleh dan mengembuskan napas sedikit kasar. Lalu menariknya menjauh dan menuruni tangga. “Kamu udah selesai?” Purnomo bertanya balik. “Udah. Tapi, Mas ngapain di sini? Aku baru mau turun. Eh, liat Mas Pur di sini.” Sang Adik menatap wajah kakaknya penuh selidik. Apalagi tadi terlihat tersenyum-senyum sendiri dengan wajah yang merona. Seperti orang yang sedang jatuh cinta. “Nggak papa. Udah yuk pulang. Udah ashar!” ajaknya sambil menarik tangan adiknya menuju parkiran motor. “Jangan gandengan, Mas. Nanti dikira aku selingkuh!” protesnya sambil melepaskan genggaman tangan kakaknya. “Ya ampun!” geramnya yang langsung menggandeng lagi tangan sang Adik dan membuatnya kesal. Tapi malah Purnomo tertawa jahil. “Udah ayo naik!” Bintang pun naik di belakang Purnomo sambil berpegangan pada jaket lelaki bertubuh tinggi itu. “Ada yang Mas Pur intai kah di lantai dua tadi? Kayak lagi mengintai seseorang,
“Wulan, ayo sini masuk. Mama kenalin sama temannya Awan. Ketemu di Gunung Sindoro katanya,” ujar ibunya Awan dengan senyuman. “I-iya, Ma,” lirihnya dengan kepala tertunduk. Lalu berjalan perlahan menghampiri mantan ibu mertuanya dan berdiri di sisinya. “Tadi Wulan beli bubur ayam pesanan Mama,” katanya. “Mau dimakan sekarang?” tawarnya. “Kok beli di luar, Ma? Kan dapat jatah makan dari rumah sakit?” tanya Awan menatap heran. “Nggak enak, Wan. Malah bikin Mama enek kalau makan makanan rumah sakit,” sahutnya. “Makan sekarang saja, Nak,” pintanya menoleh pada Wulan yang mengangguk. Sedangkan pandangan Purnomo terpaku pada sosok perempuan yang begitu dia rindukan selama sepuluh tahun tak berjumpa dan tak pernah terjalin komunikasi. Dia begitu menikmati apa yang tersaji di hadapannya. Sikap lembut dan sopan santun yang membuatnya semakin terkesima. Padahal dulu saat masih pacarana dengannya, Wulan adalah sosok perempuan yang keras kepala, tapi manja. Meski begitu, Purnomo tetap
Sejak pertemuan itu, Purnomo pun gencar mendekati Wulan. Apalagi Awan sudah tahu dan memberinya jalan. Karena lelaki itu tidak ingin dinikahkan dengan mantan kakak iparnya. “Mas, pokoknya aku bantu buat dapatin Mbak Wulan. Pepet terus. Perjuangkan jika memang Mas Pur masih cinta sama Mbak Wulan!” ujar Awan saat mereka kembali bertemu. “Tapi aku nggak tahu gimana caranya, Wan. Wulan kayak masih marah sama aku,” sahutnya. Lalu mengembuskan napas sedikit kasar. “Aku yakin, dia sebenarnya nggak marah. Hanya sedang dilema,” katanya sambil menepuk bahu temannya. “Dulu, Mbak Wulan itu kerja jadi asisten Mama. Karena kebaikannya mengabdi, jadilah dinikahkan dengan kakak aku. Mbak Wulan pun nggak bisa bantah karena merasa nggak enak. Pun Mas Langit juga sebenarnya menaruh rasa pada Mbak Wulan,” katanya pelan. “Pasti Wulan bahagia dan beruntung banget dicintai sama kakakmu, ya,” katanya sambil tersenyum perih. Membayangkan perempuan yang dicintainya dicintai lelaki lain dengan begitu bes
Acara reuni diadakan di sebuah restoran yang mengusung tema outdoor. Sebuah restoran yang biasa digunakan untuk pertemuan-pertemuan dan meeting. Reuni atau acara-acara tertentu yang mengusung tema outdoor. Wulan datang diantar oleh Awan, tapi dia terlebih dulu memeriksakan kehamilannya di rumah sakit. Kontrol rutin bulanan. Kali ini, Wulan tidak hanya bersama dengan Awan, tapi juga dengan kekasih Awan, Bella namanya. “Mbak Wulan!” sapa gadis bermata biru yang merupakan keturunan Belanda itu. Namun sudah menjadi mualaf sejak kedua orangtuanya memutuskan tinggal di Indonesia sepuluh tahun yang lalu. “Hai, Bell. Sehat?” Wulan memeluk hangat Bella yang tetap terlihat ceria dan penuh energik itu. “Tentu saja, Mbak. Semangat banget ini mau nemenin Mbak Wulan cek kandungan. Pengin lihat dedek gemes,” kekehnya sambil mengusap perut Wulan yang sudah terlihat membuncit di usia kehamilan lima bulan. “
"Sudah punya suami juga. Masih saja gatal gangguin calon suami orang. Memang suami kamu kurang memuaskan, hah! Apa kurang dibelai karena suami jarang di rumah?” tuding Shela sambil mendorong dada Wulan dengan jari telunjuknya. “Hei, jaga sikapmu, ya!” tegur Langit. “Istri saya tidak mungkin seperti itu. Jadi, jangan menuduhnya!” “Kata siapa aku asal nuduh? Aku punya bukti kok,” katanya. Lalu mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto Wulan dengan Purnomo yang dia ambil sewaktu berada di resto sebelum kedatangan Awan dan Bella. Shela sengaja membuntuti Purnomo yang diyakini akan bertemu dengan Wulan. Lalu mengambil beberapa foto mereka saat masih berdua.“Ini istrimu yang sok sholehah itu kan?” Shela tersenyum sinis melihat reaksi Langit yang berubah tegang setelah melihat foto di ponsel Shela. “Ini benar kamu, Wulan?” tanyanya memeperlihatkan fotonya pada sang Istri. “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Mas. Aku akan jelaskan sama Awa
Laki-laki berkumis tipis itu menghela napas panjang dengan sedikit berat. Ini memang pilihan yang tidak mudah. Purnomo hanya akan berusaha meyakinkan ibunya tentang apa yang sudah menjadi keputusannya, yaitu tidak akan menikah dengan Shela. “Mas … tolonglah. Melembut sedikit hatinya untuk mau menuruti permintaan Ibu,” pinta Bintang. Kedua telapak tangan gadis itu sampai ditangkupkan di depan dada. “Tapi nggak sama Shela juga, Dek. Mas tahu tabiat dia seperti apa. Mas nggak mau salah pilih jodoh. Seumur hidup sama dia itu terlalu lama,” ungkapnya. “Terus mau sama siapa? Menunggu Mbak Wulan kan lama. Mas nggak bisa menikahinya sekarang kan? Dia statusnya masih istri orang meski suaminya sudah dinyatakan meninggal, tapi kan surat kematiannya belum diambil. Itu berarti dia masih mengharap suaminya kembali.” “Mas akan berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan Wulan jika suaminya sudah tidak ada dan ada Mas yang akan menggantikannya sebagai suami
Wulan menoleh dan menatap suaminya dengan senyum lebar. Lalu kembali menatap sang Ibu mertua yang masih terlihat syok. Dia menggeser tubuhnya sambil membuka pintu kamar lebih lebar dari sebelumnya. Membiarkan suaminya itu mendekati ibunya. Kemudian memeluk perempuan itu penuh rindu. “Ya Allah … ini bener kamu, Langit?” isak Maya sambil mendekap putranya yang sudah lebih tinggi darinya itu dengan erat. Seolah enggan melepaskan. “Iya, Ma. Aku masih hidup. Aku belum mati. Dan aku kembali untuk kalian, juga untuk anakku,” balas Langit sambil menyeka sudut matanya yang basah. “Alhamdulillah, Ya Allah … Kau kembalikan putraku.” Wulan menatap haru. Dia pun sangat bahagia karena akhirnya suaminya yang sebelumnya sudah dinyatakan meninggal kembali dalam keadaan sehat tanpa kurang suatu apapun. Maya melepas pelukannya. Tangannya beralih menyentuh wajah hingga bahu putranya yang kokoh. “Maasayaallah … Mama nggak nyangka,” katanya lagi sambil menatap penuh haru. “Aku bersyukur banget akhir
"Diam, aku suamimu!” Seketika itu Wulan berhenti memberontak. Dia memutar tubuhnya saat pelukan di perutnya mulai renggang. Kedua netranya lekat menatap sosok berbaju serba hitam yang membuka penutup kepalanya. Perlahan … rasa takut di hatinya sirna. Tergantikan dengan rasa bahagia yang tak pernah terpikirkan oleh Wulan saat wajah yang dinantikan kini berada di hadapannya. “Mas Langit …,” panggilnya terbata. Dia bahkan membekap mulutnya. Seolah tak percaya dengan apa yang tersaji di depan mata. “Iya, aku suamimu. Suamimu sudah kembali,” katanya dengan senyum manis. “Ya Allah ….” Wulan langsung memeluk suaminya dengan perasaan haru. Dia menangis di pelukan lelaki yang telah dianggap meninggal itu, tapi Wulan meyakini jika suaminya masih hidup. Dan keyakinan itu sekarang berubah menjadi kenyataan. “Aku sangat merindukanmu, Wulan.” Nada bicara Langit sedikit bergetar. Lelaki bertubuh tegap itu ikut terharu karena akhirnya bisa kembali bertemu dengan istri dan keluarganya setelah
Semakin hari, Purnomo selalu menunjukkan cintanya pada Wulan. Dari diam-diam mengirim makanan, hadiah-hadiah kecil, sampai beberapa perlengkapan bayi yang Purnomo sendiri tahu jika bayi yang dikandung Wulan berjenis kelamin perempuan. Semua itu demi membuktikan kalau Purnomo benar-benar mencintai Wulan. Maya sampai heran melihat beberapa kali tukang paket datang ke rumah mengirim sesuatu pada Wulan. “Kamu beli lagi?” tanyanya menatap heran. “Iya, Ma,” jawab Wulan merasa sungkan. Takut dibilang boros, padahal itu semua karena pemberian Purnomo. Bukan Wulan yang membelinya sendiri. “Beli apapun lah yang kamu mau, Nak. Asal cucu Mama nggak kelaparan,” kekeh Maya sambil mengusap perut Wulan yang sudah semakin buncit saat usia kehamilannya hampir memasuki minggu ke dua puluh tiga. “Iya, Ma. Wulan permisi dulu, ya,” pamitnya menuju kamar. Lalu membuka paket yang dikirim dari Purnomo. Sebuah novel bertema romantic yang menceritakan tentang sebuah perjalanan cinta dua manusia yang salin
"Dia yang menjadi pelipur lara di saat aku tersakiti olehmu. Dia juga yang sudah membantuku berdiri saat aku terjatuh. Jadi, apa salahnya kalau aku mencintainya? Dia suamiku. Sudah sepatutnya aku mencintainya,” balasnya menatap serius. Ada gemuruh di dadanya saat mengatakan kalimat tersebut. Purnomo mengembuskan napas panjang. Dadanya terasa sesak mendengar pengakuan perempuan yang selalu menjadi pujaan hatinya. Rasa penyesalan itu semakin besar. “Aku minta maaf. Tapi, sumpah, Lan. Aku nggak pernah selingkuh selama kita menjalani hubungan dulu. Semua yang kamu dengar itu hanya fitnah.” Purnomo kembali menjelaskan. “Aku sudah tidak mau dengar lagi apapun alasanmu, Pur. Bagiku, pengkhianat tetap pengkhianat. Lebih baik kamu lupakan aku. Biarpun nanti jika suamiku tidak benar-benar kembali, aku akan mengikhlaskannya dan memilih untuk tetap sendiri. Ataupun kalau menikah lagi, tidak dengan pengkhianat sepertimu,” katanya seraya menahan geram. Perasaan benci seketika itu muncul setiap
[“Mbak, nanti makan siang, yuk! Aku pengin makan yang segar-segar gitu,”] ajak Bella melalui sambungan telepon. “Makan siang di mana, Bell?” balas Wulan tampak antusias. Sejak hamil, Wulan memang sering kali tidak betah di rumah. Ibu mertuanya tahu itu, makanya sering kali diajak ke mana saja selama Wulan tidak mengeluh sakit atau capek. Untuk hiburan kata ibu mertuanya. [“Watu Langit Jogja Coffee and Resto. Gimana?”] “Emm … boleh. Berdua aja atau sama Awan?” [“Sama Awan dong. Tapi, nanti Mbak berangkat sendiri nggak apa? Soalnya Awan kan berangkat langsung dari tempat kerjanya.”] “Nggak papa. Santai ….”[“Oke. Jam sebelas sudah di tempat, ya, Mbak.”] “Oke. Insyallah …,” balas Wulan. Lalu mematikan sambungan teleponnya. Perempuan hamil itu kemudian keluar kamar. Mencari ibu mertuanya. Dia hendak izin untuk keluar makan siang bersama teman-temannya. “Ma,” panggil Wulan pada ibu mertuany
Jawabannya sudah diprediksi oleh Purnomo. Sehingga, lelaki berkumis tipis itu pun sudah mempersiapkan jawaban lain untuk menghadapi ibunya. Diembuskannya napas kasar demi melegakan hatinya yang sedikit sesak karena desakan ibunya untuk segera menikah. “Bu, jangan menyulitkan sesuatu yang sebenarnya mudah,” sahut Purnomo dengan tenang. Lebih tepatnya berusaha tenang menghadapi ibunya. Biar bagaimana pun, perempuan itu sudah berjuang untuk membesarkannya hingga tumbuh sampai sebesar ini. Sesebal-sebalnya, dia akan selalu berusaha untuk menghormati yang namanya orangtua. Namun jika salah, dia tak segan untuk menegurnya dengan cara yang lembut tentunya. “Ini sudah menjadi tradisi, Pur. Memang kamu mau dilangkahi sama adikmu?” “Kalau jodohnya Bintang datang lebih cepat daripada aku kenapa nggak, Bu? Aku ikhlas lahir batin!” tegas Purnomo menatap ibunya. Lalu meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. “Kasihan mereka, Bu.
“Mas, kenapa sih?” tanya Bintang dengan wajah ketakutan saat melihat ekspresi kakaknya yang seperti orang marah. Dia khawatir kalau Purnomo akan memarahi kekasihnya yang sudah dipacarinya selama satu tahun ini. Purnomo hanya berdecak. Lalu masuk ke dalam mobil jenis SUV berwarna silver itu. Dia duduk di jok depan. Membuat Bintang duduk di bangku tengah. “Sepertinya ada hal penting, Mas?” Rio menatap Purnomo serius. “Penting sekali. Tentang kelanjutan hubungan kalian,” katanya tak kalah serius. Membuat Rio dan Bintang saling melempar pandang. Lalu kembali fokus pada Purnomo, menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut lelaki yang usianya mendekati angka tiga puluh. “Ada apa?” desak Bintang tak sabar. Sungguh dia penasaran.“Rio, kamu serius sama Bintang?” “Pertanyaan macam apa itu, Mas?” sergah sang Adik seolah tak terima jika hubungannya dengan Rio dikira hanya main-main saja. “Tentu saja seriuslah.” “Dek, yang Ma