Kalista belum meluruskan salah paham yang terjadi antara Bian dan dirinya. Lucu juga ketika Bian malah berpikiran bila alasan Kalista pulang sendiri dan menangis semalaman sampai kedua matanya bengkak adalah karena cemburu padanya.
Kalista dan Bian pergi ke kantor dengan mobil yang berbeda. Mereka tidak bisa datang bersama agar tidak menimbulkan kecurigaan.Haha.Curiga?Bukankah para karyawan Glitz Chemical adalah para tamu undangan yang berhadir di malam ulang tahun pernikahan Jihan dan Bian yang juga bertepatan dengan pernikahan dadakan Kalista dan Bian?Ditutupi apanya, sih?Ah, mungkin para karyawan sudah dibungkam dengan ancaman pemecatan kalau bergosip apalagi sampai membocorkan info ini keluar!Ketika Bian dan Kalista sudah berada di ruang kerja Bian yang begitu luas dan suasananya begitu nyaman, barulah Kalista merasa perlu meluruskan prasangka Bian."Aku tidak cemburu dengan kalian berdua. Aku pulanKalista langsung beranjak dari pangkuan Bian. Bian juga tampak kikuk mencerna kedatangan Jihan yang tiba-tiba. Jihan mengerjap beberapa kali. Bibirnya bergetar, tapi pada akhirnya senyumnya merekah diselingi obrolan remeh-temeh lembut yang nyatanya malah membuat Kalista merasa lebih bersalah. "Astaga, maaf mengganggu waktu kalian! Harusnya aku mengetuk pintu dulu. Aku lupa kalau Mas Bian sekarang punya dua pawang." Jihan cengengesan setelahnya. Namun Kalista menebak, kalau tingkah Jihan tersebut hanya untuk mengalihkan rasa sakit di dadanya. "Han, yang tadi tidak seperti yang kau pikirkan. Aku terjatuh, karena Mas Bian menarikku terlalu kencang." Jihan tertawa,"Apa sih? Santai saja, Kal. Kalian berciuman, juga no problem. Kalian itu sudah suami istri. Hanya saja, nanti kalau kelihatan pegawai lain akan menimbulkan gosip yang bukan-bukan." "Jihan, sedang apa kau di sini? Ah, mengantarkan bekal
"Liam?"Kalista menganga dengan kedua bola mata membelalak. Sulit dipercaya bila seorang Vallent adalah Liam Benedicta, sepupu Bian. Semesta bercanda selucu ini. Permasalahan sekarang adalah bagaimana caranya Kalista dan Liam bisa bekerja sama menulis novel bila hubungan mereka di dunia nyata saja seperti air dan minyak."Kau purplelloide?" Liam tertawa untuk mengatasi rasa terkejutnya.Sekarang Liam mengerti akhirnya, mengapa seorang purplleloide sangat sulit dihubungi. Meski Liam terlanjur tidak menyukai sosok Kalista, sisi Vallentnya justru sangat tertarik dengan sisi Purplelloide Kalista. "Well, meski aku butuh banyak penjelasan, tetap saja kita harus bersikap profesional. Silakan duduk dan pesananmu sedang dibuat."Vallent atau sekarang diketahui adalah Liam sudah memesankan makan siang untuk Kalista. Kalista pun duduk di hadapan Liam berhalangkan meja."Pantas saja kau selalu sibuk. Rupanya kau baru pulang berbul
Kalista geram rasanya ketika menatap tak percaya pada Bian dan Liam yang sama-sama babak belur. Rupanya Bian pergi keluar ruang kerjanya untuk menghajar Liam."Apa kalian pikir tindakan kalian ini keren? Kalian tak ubahnya seperti anak tadika mesra."Kalista mendengus kasar. Kotak P3K di tangannya dibuka kasar. Pertama-tama ia mendatangi Bian dan mengobati memar di sudut bibir."Bian yang lebih dulu menyerangku. Aku tidak tahu apa masalahnya. Dia tiba-tiba langsung menonjok saja," protes Liam sembari menatap jengkel pada Bian yang meringis kesakitan saat Kalista menotolkan obat untuk mengusap memarnya."Kalian ini sudah tua. Dan kau adalah pemimpin perusahaan. Jaga imagemu tetap baik di mata pegawai. Bukan malah bertindak seenaknya seperti ini, Bi.""Kal, aku melakukannya bukan tanpa alasan. Aku hanya tidak suka, karena orang ini terlalu mencampuri urusan rumah tanggaku. Dia bahkan berani sekali mengajakmu makan siang satu meja tanpa seiz
Jihan muncul di depan ruang kerja Bian sore itu. Jihan mengatakan ingin langsung mengajak Bian makan malam di luar. Jihan juga merengek ingin ditemani jalan-jalan sebentar."Oke. Selamat bersenang-senang kalian. Aku pulang duluan." Kalista langsung melambaikan tangan dengan lagak ceria dan tak lupa melempar senyum manis kepada sang sahabat tercinta.Bian melihat Kalista berlalu dengan rasa kecewa. Namun Jihan sudah menariknya dengan semangat. Jihan begitu bahagia, karena membayangkan akan berkencan dengan Bian.Karena merasa di rumah sepi, Kalista pun malas untuk langsung pulang. Lagipula di hari pertamanya bekerja sebagai sekretaris Bian cukup menguras energi. Belum cukup waktu rasanya ia belajar dan beradaptasi dengan pekerjaan barunya, Bian sudah membuat lututnya lemas akibat permainan erotis yang mereka lakukan di ruang kerja. Kalista merasa Bian begitu luar biasa memuaskannya.Tin! Tin!Kalista memegangi dadanya dan sedikit berjengit
Bian tidak mengerti apa maksud perkataan Nevan yang mengatakan bila dirinya berselingkuh? Ah, pasti mantan suaminya Kalista itu sengaja membuat cerita bohong agar Kalista percaya dan berharap kembali padanya. Cih, jangan harap!"Halo, saya suaminya. Dimana anda? Mari bertemu."Bian menyalin nomor ponsel Nevan ke ponselnya lalu mengambil kunci mobilnya buru-buru. Bian sedikit membanting pintu kamar Kalista dan berjalan terburu-buru tanpa berpamitan dengan Jihan yang juga tidak sempat bertanya tentang keperluan Bian sehingga harus pergi lagi.Sepuluh menit setelahnya, Bian dan Nevan sudah berhadapan di wilayah salah satu kantor dinas kepegawaian yang tentunya sudah sepi. Namun malam itu, pagarnya masih terbuka lebar.Karena berada di dataran tinggi, pemandangan New City malam itu terlihat cantik dilihat dari atas sana. Namun, Bian dan Nevan bersua tanpa rencana tidak dengan niatan melihat pemandangan kota bersama. Melainkan sedan
"Omong kosong apa yang kau katakan ?" tanya Kalista dengan tawa sarkas.Bian menatapnya serius dan berbaring mepet pada Kalista. Kalista otomatis menjauhkan jarak dengan mendorong pria itu agar tidak semakin mendekat."Kal, aku serius.""Stop it! Kau tidak harus mengatakan itu. Katakan kalau kau berbohong! Kau harus tetap mencintai Jihan. Jangan mencintaiku walau kau memang benar merasakannya."Kalista turun dari tempat tidur dengan memegang bantal. Lalu pergi keluar kamar setelah sebelumnya menarik satu selimut baru di lemari.Bian menghela napas. la juga tidak tahu mengapa tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Padahal Bian juga tidak yakin bila dirinya benar-benar jatuh cinta kepada Kalista. Bisa jadi Bian hanya terbawa perasaan akibat akhir-akhir ini selalu berbagi kenikmatan dengan Kalista.Bian menghela napasnya lagi. Kali ini terdengar frustasi. Bisa-bisanya dirinya yang duluan merasa tertarik dengan wanita itu. Padahal dul
"Ada apa dengan wajahmu?" Liam bersandar pada dinding kaca di bawah tangga. Padahal ia ingin pergi ke ruangannya, tapi malah tak sengaja melihat Kalista menempelkan jidatnya ke dinding dengan raut putus asa."Sepupumu ingin membuatku berada di neraka sepertinya.""Apa yang orang itu lakukan?""Dia menambah beban kerjaku. Aku lebih terlihat seperti pelayannya sekarang. Awalnya dia hanya memintaku mengatur keseluruhan jadwalnya. Ku pikir itu mudah saja. Rupanya aku salah. Aku harus membujuk klien bila Bian ingin mengubah jadwal meeting. Bila klien tak setuju, aku akan bicara pada Bian lagi. Dan kau tahu apa yang dia katakan?"Liam mengangguk dan Kalista melanjutkannya dengan ekspresi yang hampir ingin menangis."Dia membentakku. 'KAU PIKIRKAN SENDIRI. AKU TIDAK BISA. MASA BEGITU SAJA HARUS DIAJARI?' Aku membencinya. Andai dia bukan bosku dan suami Jihan, aku ingin menendang selangkangannya."Liam menahan diri untuk tidak terbahak.
"Lalu, apakah ketika kau masih menjadi istri Nevan, ia tahu password ponselmu ?"Kalista mengangguk pelan. Kedua matanya tak lepas dari benda pipih di tangan Bian."Tak ada alasan untuk tidak memberikannya padaku. Beritahu aku passwordnya.""Tidak bisa." Jawaban itu terdengar keras kepala. Bian tidak suka. Memangnya apa yang disembunyikan Kalista di ponselnya sehingga dirinya tidak boleh mengetahui password ponselnya Kalista?"Apa alasannya?""Itu privasiku."Bian mendengus. Perempuan di sampingnya memang menarik."Aku memerintahkan ini bukan sebagai CEO Glitz Chemical, tapi sebagai seorang suami." Bian menarik ponsel di saku jasnya, kemudian melemparnya ke dekapan Kalista."Passwordnya 131095."Kalista terpaku memandangi ponsel berwarna hitam milik Bian di tangannya."Kau tidak ingin mengetesnya?" tanya Bian dengan alis terangkat setengah."Untuk apa? Aku tidak peduli isi ponselmu."