"Liam?"
Kalista menganga dengan kedua bola mata membelalak. Sulit dipercaya bila seorang Vallent adalah Liam Benedicta, sepupu Bian.Semesta bercanda selucu ini. Permasalahan sekarang adalah bagaimana caranya Kalista dan Liam bisa bekerja sama menulis novel bila hubungan mereka di dunia nyata saja seperti air dan minyak."Kau purplelloide?" Liam tertawa untuk mengatasi rasa terkejutnya.Sekarang Liam mengerti akhirnya, mengapa seorang purplleloide sangat sulit dihubungi. Meski Liam terlanjur tidak menyukai sosok Kalista, sisi Vallentnya justru sangat tertarik dengan sisi Purplelloide Kalista."Well, meski aku butuh banyak penjelasan, tetap saja kita harus bersikap profesional. Silakan duduk dan pesananmu sedang dibuat."Vallent atau sekarang diketahui adalah Liam sudah memesankan makan siang untuk Kalista. Kalista pun duduk di hadapan Liam berhalangkan meja."Pantas saja kau selalu sibuk. Rupanya kau baru pulang berbulKalista geram rasanya ketika menatap tak percaya pada Bian dan Liam yang sama-sama babak belur. Rupanya Bian pergi keluar ruang kerjanya untuk menghajar Liam."Apa kalian pikir tindakan kalian ini keren? Kalian tak ubahnya seperti anak tadika mesra."Kalista mendengus kasar. Kotak P3K di tangannya dibuka kasar. Pertama-tama ia mendatangi Bian dan mengobati memar di sudut bibir."Bian yang lebih dulu menyerangku. Aku tidak tahu apa masalahnya. Dia tiba-tiba langsung menonjok saja," protes Liam sembari menatap jengkel pada Bian yang meringis kesakitan saat Kalista menotolkan obat untuk mengusap memarnya."Kalian ini sudah tua. Dan kau adalah pemimpin perusahaan. Jaga imagemu tetap baik di mata pegawai. Bukan malah bertindak seenaknya seperti ini, Bi.""Kal, aku melakukannya bukan tanpa alasan. Aku hanya tidak suka, karena orang ini terlalu mencampuri urusan rumah tanggaku. Dia bahkan berani sekali mengajakmu makan siang satu meja tanpa seiz
Jihan muncul di depan ruang kerja Bian sore itu. Jihan mengatakan ingin langsung mengajak Bian makan malam di luar. Jihan juga merengek ingin ditemani jalan-jalan sebentar."Oke. Selamat bersenang-senang kalian. Aku pulang duluan." Kalista langsung melambaikan tangan dengan lagak ceria dan tak lupa melempar senyum manis kepada sang sahabat tercinta.Bian melihat Kalista berlalu dengan rasa kecewa. Namun Jihan sudah menariknya dengan semangat. Jihan begitu bahagia, karena membayangkan akan berkencan dengan Bian.Karena merasa di rumah sepi, Kalista pun malas untuk langsung pulang. Lagipula di hari pertamanya bekerja sebagai sekretaris Bian cukup menguras energi. Belum cukup waktu rasanya ia belajar dan beradaptasi dengan pekerjaan barunya, Bian sudah membuat lututnya lemas akibat permainan erotis yang mereka lakukan di ruang kerja. Kalista merasa Bian begitu luar biasa memuaskannya.Tin! Tin!Kalista memegangi dadanya dan sedikit berjengit
Bian tidak mengerti apa maksud perkataan Nevan yang mengatakan bila dirinya berselingkuh? Ah, pasti mantan suaminya Kalista itu sengaja membuat cerita bohong agar Kalista percaya dan berharap kembali padanya. Cih, jangan harap!"Halo, saya suaminya. Dimana anda? Mari bertemu."Bian menyalin nomor ponsel Nevan ke ponselnya lalu mengambil kunci mobilnya buru-buru. Bian sedikit membanting pintu kamar Kalista dan berjalan terburu-buru tanpa berpamitan dengan Jihan yang juga tidak sempat bertanya tentang keperluan Bian sehingga harus pergi lagi.Sepuluh menit setelahnya, Bian dan Nevan sudah berhadapan di wilayah salah satu kantor dinas kepegawaian yang tentunya sudah sepi. Namun malam itu, pagarnya masih terbuka lebar.Karena berada di dataran tinggi, pemandangan New City malam itu terlihat cantik dilihat dari atas sana. Namun, Bian dan Nevan bersua tanpa rencana tidak dengan niatan melihat pemandangan kota bersama. Melainkan sedan
"Omong kosong apa yang kau katakan ?" tanya Kalista dengan tawa sarkas.Bian menatapnya serius dan berbaring mepet pada Kalista. Kalista otomatis menjauhkan jarak dengan mendorong pria itu agar tidak semakin mendekat."Kal, aku serius.""Stop it! Kau tidak harus mengatakan itu. Katakan kalau kau berbohong! Kau harus tetap mencintai Jihan. Jangan mencintaiku walau kau memang benar merasakannya."Kalista turun dari tempat tidur dengan memegang bantal. Lalu pergi keluar kamar setelah sebelumnya menarik satu selimut baru di lemari.Bian menghela napas. la juga tidak tahu mengapa tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Padahal Bian juga tidak yakin bila dirinya benar-benar jatuh cinta kepada Kalista. Bisa jadi Bian hanya terbawa perasaan akibat akhir-akhir ini selalu berbagi kenikmatan dengan Kalista.Bian menghela napasnya lagi. Kali ini terdengar frustasi. Bisa-bisanya dirinya yang duluan merasa tertarik dengan wanita itu. Padahal dul
"Ada apa dengan wajahmu?" Liam bersandar pada dinding kaca di bawah tangga. Padahal ia ingin pergi ke ruangannya, tapi malah tak sengaja melihat Kalista menempelkan jidatnya ke dinding dengan raut putus asa."Sepupumu ingin membuatku berada di neraka sepertinya.""Apa yang orang itu lakukan?""Dia menambah beban kerjaku. Aku lebih terlihat seperti pelayannya sekarang. Awalnya dia hanya memintaku mengatur keseluruhan jadwalnya. Ku pikir itu mudah saja. Rupanya aku salah. Aku harus membujuk klien bila Bian ingin mengubah jadwal meeting. Bila klien tak setuju, aku akan bicara pada Bian lagi. Dan kau tahu apa yang dia katakan?"Liam mengangguk dan Kalista melanjutkannya dengan ekspresi yang hampir ingin menangis."Dia membentakku. 'KAU PIKIRKAN SENDIRI. AKU TIDAK BISA. MASA BEGITU SAJA HARUS DIAJARI?' Aku membencinya. Andai dia bukan bosku dan suami Jihan, aku ingin menendang selangkangannya."Liam menahan diri untuk tidak terbahak.
"Lalu, apakah ketika kau masih menjadi istri Nevan, ia tahu password ponselmu ?"Kalista mengangguk pelan. Kedua matanya tak lepas dari benda pipih di tangan Bian."Tak ada alasan untuk tidak memberikannya padaku. Beritahu aku passwordnya.""Tidak bisa." Jawaban itu terdengar keras kepala. Bian tidak suka. Memangnya apa yang disembunyikan Kalista di ponselnya sehingga dirinya tidak boleh mengetahui password ponselnya Kalista?"Apa alasannya?""Itu privasiku."Bian mendengus. Perempuan di sampingnya memang menarik."Aku memerintahkan ini bukan sebagai CEO Glitz Chemical, tapi sebagai seorang suami." Bian menarik ponsel di saku jasnya, kemudian melemparnya ke dekapan Kalista."Passwordnya 131095."Kalista terpaku memandangi ponsel berwarna hitam milik Bian di tangannya."Kau tidak ingin mengetesnya?" tanya Bian dengan alis terangkat setengah."Untuk apa? Aku tidak peduli isi ponselmu."
Nevan kembali ke tengah-tengah pesta Berdiri di samping Nanda yang asyik mengobrol dengan orang-orang yang ia kenal. Usai mendengar percakapan antara Bian dan Kalista di toilet yang tidak sengaja, Nevan terhenyak. Banyak teori yang berputar di kepalanya.Nevan tak percaya bila Kalista rela menjual rahimnya demi uang. Nevan memang tahu keadaan ekonomi sang mantan mertua. Dulu, ketika dirinya masih bestatus sebagai suaminya Kalista, Nevan berniat membantu ibunya Kalista membayar hutang. Namun, yang terjadi adalah ibunya sendiri melarang keras hal itu.Nevan menyeringai diam-diam. Entah mengapa, Nevan merasa marah dan benci kepada sang mantan istri. Bisa-bisanya seorang wanita yang pernah melahirkan darah dagingnya rela menempuh jalan yang dinilainya kotor hanya demi uang?Namun jika memang demikian, untuk apa Bian melarang keras dirinya berhubungan dengan Kalista?Nevan pikir Bian adalah sosok suami yang pencemburu. Namun setelah mendengar
Yang Kalista tahu sekarang adalah bila dirinya begitu tak berharga di mata Bian. Kalista sadar diri bila dirinya memang hanya dinikahi, karena rahim sehat yang ia miliki.Namun belum sembuh trauma melahirkannya, sekarang Bian memberikan luka lain yang lebih perih. Air matanya sudah habis untuk meratap. Bahkan total ia tidak dapat tertidur nyenyak, meski Bian memeluknya semalaman.Bian yang terbangun pagi itu, hanya bisa terdiam melihat keadaan Kalista yang kurang sehat. Kedua matanya memerah dan sembab akibat kombinasi menangis dan tidak tidur semalam suntuk. "Kau boleh libur hari ini. Aku akan menyuruh seorang dokter memeriksa keadaanmu.""Apa kau sudah membuat janji untuk penyembuhan traumaku? Aku perlu secepatnya agar tetap waras," sahut Kalista tanpa melihat ke arah Bian.Bian lupa sebenarnya. Namun, ia tidak ingin mengakuinya."Em, temanku berjanji akan menghubungi sesegera mungkin. Aku berangkat."Sepeninggal Bian