Bian tidak mengerti apa maksud perkataan Nevan yang mengatakan bila dirinya berselingkuh?
Ah, pasti mantan suaminya Kalista itu sengaja membuat cerita bohong agar Kalista percaya dan berharap kembali padanya.Cih, jangan harap!"Halo, saya suaminya. Dimana anda? Mari bertemu."Bian menyalin nomor ponsel Nevan ke ponselnya lalu mengambil kunci mobilnya buru-buru. Bian sedikit membanting pintu kamar Kalista dan berjalan terburu-buru tanpa berpamitan dengan Jihan yang juga tidak sempat bertanya tentang keperluan Bian sehingga harus pergi lagi.Sepuluh menit setelahnya, Bian dan Nevan sudah berhadapan di wilayah salah satu kantor dinas kepegawaian yang tentunya sudah sepi. Namun malam itu, pagarnya masih terbuka lebar.Karena berada di dataran tinggi, pemandangan New City malam itu terlihat cantik dilihat dari atas sana. Namun, Bian dan Nevan bersua tanpa rencana tidak dengan niatan melihat pemandangan kota bersama. Melainkan sedan"Omong kosong apa yang kau katakan ?" tanya Kalista dengan tawa sarkas.Bian menatapnya serius dan berbaring mepet pada Kalista. Kalista otomatis menjauhkan jarak dengan mendorong pria itu agar tidak semakin mendekat."Kal, aku serius.""Stop it! Kau tidak harus mengatakan itu. Katakan kalau kau berbohong! Kau harus tetap mencintai Jihan. Jangan mencintaiku walau kau memang benar merasakannya."Kalista turun dari tempat tidur dengan memegang bantal. Lalu pergi keluar kamar setelah sebelumnya menarik satu selimut baru di lemari.Bian menghela napas. la juga tidak tahu mengapa tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Padahal Bian juga tidak yakin bila dirinya benar-benar jatuh cinta kepada Kalista. Bisa jadi Bian hanya terbawa perasaan akibat akhir-akhir ini selalu berbagi kenikmatan dengan Kalista.Bian menghela napasnya lagi. Kali ini terdengar frustasi. Bisa-bisanya dirinya yang duluan merasa tertarik dengan wanita itu. Padahal dul
"Ada apa dengan wajahmu?" Liam bersandar pada dinding kaca di bawah tangga. Padahal ia ingin pergi ke ruangannya, tapi malah tak sengaja melihat Kalista menempelkan jidatnya ke dinding dengan raut putus asa."Sepupumu ingin membuatku berada di neraka sepertinya.""Apa yang orang itu lakukan?""Dia menambah beban kerjaku. Aku lebih terlihat seperti pelayannya sekarang. Awalnya dia hanya memintaku mengatur keseluruhan jadwalnya. Ku pikir itu mudah saja. Rupanya aku salah. Aku harus membujuk klien bila Bian ingin mengubah jadwal meeting. Bila klien tak setuju, aku akan bicara pada Bian lagi. Dan kau tahu apa yang dia katakan?"Liam mengangguk dan Kalista melanjutkannya dengan ekspresi yang hampir ingin menangis."Dia membentakku. 'KAU PIKIRKAN SENDIRI. AKU TIDAK BISA. MASA BEGITU SAJA HARUS DIAJARI?' Aku membencinya. Andai dia bukan bosku dan suami Jihan, aku ingin menendang selangkangannya."Liam menahan diri untuk tidak terbahak.
"Lalu, apakah ketika kau masih menjadi istri Nevan, ia tahu password ponselmu ?"Kalista mengangguk pelan. Kedua matanya tak lepas dari benda pipih di tangan Bian."Tak ada alasan untuk tidak memberikannya padaku. Beritahu aku passwordnya.""Tidak bisa." Jawaban itu terdengar keras kepala. Bian tidak suka. Memangnya apa yang disembunyikan Kalista di ponselnya sehingga dirinya tidak boleh mengetahui password ponselnya Kalista?"Apa alasannya?""Itu privasiku."Bian mendengus. Perempuan di sampingnya memang menarik."Aku memerintahkan ini bukan sebagai CEO Glitz Chemical, tapi sebagai seorang suami." Bian menarik ponsel di saku jasnya, kemudian melemparnya ke dekapan Kalista."Passwordnya 131095."Kalista terpaku memandangi ponsel berwarna hitam milik Bian di tangannya."Kau tidak ingin mengetesnya?" tanya Bian dengan alis terangkat setengah."Untuk apa? Aku tidak peduli isi ponselmu."
Nevan kembali ke tengah-tengah pesta Berdiri di samping Nanda yang asyik mengobrol dengan orang-orang yang ia kenal. Usai mendengar percakapan antara Bian dan Kalista di toilet yang tidak sengaja, Nevan terhenyak. Banyak teori yang berputar di kepalanya.Nevan tak percaya bila Kalista rela menjual rahimnya demi uang. Nevan memang tahu keadaan ekonomi sang mantan mertua. Dulu, ketika dirinya masih bestatus sebagai suaminya Kalista, Nevan berniat membantu ibunya Kalista membayar hutang. Namun, yang terjadi adalah ibunya sendiri melarang keras hal itu.Nevan menyeringai diam-diam. Entah mengapa, Nevan merasa marah dan benci kepada sang mantan istri. Bisa-bisanya seorang wanita yang pernah melahirkan darah dagingnya rela menempuh jalan yang dinilainya kotor hanya demi uang?Namun jika memang demikian, untuk apa Bian melarang keras dirinya berhubungan dengan Kalista?Nevan pikir Bian adalah sosok suami yang pencemburu. Namun setelah mendengar
Yang Kalista tahu sekarang adalah bila dirinya begitu tak berharga di mata Bian. Kalista sadar diri bila dirinya memang hanya dinikahi, karena rahim sehat yang ia miliki.Namun belum sembuh trauma melahirkannya, sekarang Bian memberikan luka lain yang lebih perih. Air matanya sudah habis untuk meratap. Bahkan total ia tidak dapat tertidur nyenyak, meski Bian memeluknya semalaman.Bian yang terbangun pagi itu, hanya bisa terdiam melihat keadaan Kalista yang kurang sehat. Kedua matanya memerah dan sembab akibat kombinasi menangis dan tidak tidur semalam suntuk. "Kau boleh libur hari ini. Aku akan menyuruh seorang dokter memeriksa keadaanmu.""Apa kau sudah membuat janji untuk penyembuhan traumaku? Aku perlu secepatnya agar tetap waras," sahut Kalista tanpa melihat ke arah Bian.Bian lupa sebenarnya. Namun, ia tidak ingin mengakuinya."Em, temanku berjanji akan menghubungi sesegera mungkin. Aku berangkat."Sepeninggal Bian
Jihan dan Bian sedang berada di kamar yang sama. Tepatnya di peraduan mereka yang dulunya sering mereka tiduri, sebelum kehadiran Kalista.Jihan baru saja mengatakan bila Bian entah dalam waktu berapa lama, tidak bisa bermalam di kamar Kalista untuk beberapa saat."Mas, kau harus meminta maaf pada Kalista. Dekati dia perlahan. Jangan memaksa. Kalista benci dipaksa."Tanpa Jihan memberitahu pun, Bian sudah mengerti dan menyesal. Dirinya memang sudah bertindak kasar sejak awal. Kemudian sempat berempati dengan masa lalu Kalista yang kelam. Lalu dengan heroiknya menawarkan bantuan untuk mengobati traumanya. Dan niat mulia itu luluh lantak tatkala Kalista berciuman dengan Nevan.Bian benci sikapnya yang seperti bukan dirinya. Apa yang membuatnya bertindak sebiadap itu? Bian bukanlah tipe lelaki brengsek yang hanya memikirkan selangkangannya. Namun malam itu, Bian seakan kalap mata. Di otaknya kala itu hanya berisi kabut amarah yang mendorong
Kalista sedang menikmati salad buah di gazebo belakang kediaman ibunya. Dengan ekspresi datar, Kalista memamah anggur dengan kuah khas campuran dari mayonaise, keju, dan susu tersebut.Harusnya Kalista menikmatinya sembari mendengarkan lagu favorit diiringi semilir angin sore yang sejuk. Nyatanya, ceramah Melisa lebih mendominasi pendengarannya."Manja sekali kau ini, Kal. Masuk rumah sakit, karena trauma. Alah! Buang-buang uangnya Bian saja. Jangan katakan pada orang-orang kalau kau sedang dibawah penanganan psikiater. Nanti dikira apa dirimu dalam pandangan orang." Kalista tidak melakukan pembelaan diri. Ia biarkan ibunya makin berkoar dalam pidato sorenya."Ini juga, kau malah pulang ke sini. Ibu sudah menghubungi Jihan."Harusnya memang Kalista tidak singgah ke rumah ibunya. Andai ia punya uang, pasti Kalista lebih memilih membayar sewa di salah satu hotel. Kalista tersenyum miris. Statusnya saja sebagai istri kedua seorang CEO, tapi
Tidak biasanya hujan deras disertai petir seperti hari itu. Hampir setengah bulan, cuaca terik sampai menyengat kulit. Mungkin hari itu adalah imbas dari beban awan yang membawa kumpulan air.Liam pun larut dalam secangkir teh buatan Jihan. Liam mengantar Jihan pulang. Sebelumnya wanita itu singgah ke kantor, tapi tidak mendapati kehadiran suami di sana."Ada kabar dari suamimu?"Jihan menggeleng,"Mas Bian tidak menjawab panggilanku.""Hujan-hujan bersama istri muda. Mana sempat menjawab telepon," seloroh Liam."Mereka pasti sedang berteduh. Bahaya juga kalau menyetir saat hujan badai seperti sekarang."Liam memutar bola matanya mendengar pikiran positif Jihan. Sebagai sesama laki-laki, Liam tahu betul kemungkinan apa saja yang terjadi pada Bian dan Kalista."Aku memang orang lain, tapi aku bisa melihat jelas bila ada sesuatu diantara Bian dan Kalista. Bagaimana jika keduanya benar-benar seperti harapanmu? Mereka saling
Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y