Jihan dan Bian sedang berada di kamar yang sama. Tepatnya di peraduan mereka yang dulunya sering mereka tiduri, sebelum kehadiran Kalista.
Jihan baru saja mengatakan bila Bian entah dalam waktu berapa lama, tidak bisa bermalam di kamar Kalista untuk beberapa saat."Mas, kau harus meminta maaf pada Kalista. Dekati dia perlahan. Jangan memaksa. Kalista benci dipaksa."Tanpa Jihan memberitahu pun, Bian sudah mengerti dan menyesal. Dirinya memang sudah bertindak kasar sejak awal. Kemudian sempat berempati dengan masa lalu Kalista yang kelam. Lalu dengan heroiknya menawarkan bantuan untuk mengobati traumanya.Dan niat mulia itu luluh lantak tatkala Kalista berciuman dengan Nevan.Bian benci sikapnya yang seperti bukan dirinya. Apa yang membuatnya bertindak sebiadap itu? Bian bukanlah tipe lelaki brengsek yang hanya memikirkan selangkangannya. Namun malam itu, Bian seakan kalap mata. Di otaknya kala itu hanya berisi kabut amarah yang mendorongKalista sedang menikmati salad buah di gazebo belakang kediaman ibunya. Dengan ekspresi datar, Kalista memamah anggur dengan kuah khas campuran dari mayonaise, keju, dan susu tersebut.Harusnya Kalista menikmatinya sembari mendengarkan lagu favorit diiringi semilir angin sore yang sejuk. Nyatanya, ceramah Melisa lebih mendominasi pendengarannya."Manja sekali kau ini, Kal. Masuk rumah sakit, karena trauma. Alah! Buang-buang uangnya Bian saja. Jangan katakan pada orang-orang kalau kau sedang dibawah penanganan psikiater. Nanti dikira apa dirimu dalam pandangan orang." Kalista tidak melakukan pembelaan diri. Ia biarkan ibunya makin berkoar dalam pidato sorenya."Ini juga, kau malah pulang ke sini. Ibu sudah menghubungi Jihan."Harusnya memang Kalista tidak singgah ke rumah ibunya. Andai ia punya uang, pasti Kalista lebih memilih membayar sewa di salah satu hotel. Kalista tersenyum miris. Statusnya saja sebagai istri kedua seorang CEO, tapi
Tidak biasanya hujan deras disertai petir seperti hari itu. Hampir setengah bulan, cuaca terik sampai menyengat kulit. Mungkin hari itu adalah imbas dari beban awan yang membawa kumpulan air.Liam pun larut dalam secangkir teh buatan Jihan. Liam mengantar Jihan pulang. Sebelumnya wanita itu singgah ke kantor, tapi tidak mendapati kehadiran suami di sana."Ada kabar dari suamimu?"Jihan menggeleng,"Mas Bian tidak menjawab panggilanku.""Hujan-hujan bersama istri muda. Mana sempat menjawab telepon," seloroh Liam."Mereka pasti sedang berteduh. Bahaya juga kalau menyetir saat hujan badai seperti sekarang."Liam memutar bola matanya mendengar pikiran positif Jihan. Sebagai sesama laki-laki, Liam tahu betul kemungkinan apa saja yang terjadi pada Bian dan Kalista."Aku memang orang lain, tapi aku bisa melihat jelas bila ada sesuatu diantara Bian dan Kalista. Bagaimana jika keduanya benar-benar seperti harapanmu? Mereka saling
Kalista ingin menertawakan diri sendiri saja rasanya. Kalista ingin melarikan diri dengan balon udara. Telinganya memerah, karena malu. la terlalu percaya diri, bila Bian memborong semua belanjaan yang jumlahnya tidak sedikit itu untuk dirinya. Namun nyatanya, itu semua untuk Jihan.Kalista tidak berbicara sepatah kata pun di mobil. Begitu pula Bian yang menurut Kalista sengaja memasang mode dingin pada raganya.Jangan salahkan Kalista yang berpikir bila semua belanjaan tadi untuknya. Siapa suruh malah membawa dirinya untuk mencoba satu per satu pakaian, sepatu, bahkan disuruh memilih beberapa tas juga?Tidak hanya rasa malu yang menyergap. Namun juga rasa kasihan pada dirinya sendiri. Bahkan terbesit rasa marah pada Bian. Tega-teganya membuat dirinya salah paham seperti ini. Jika memang untuk Jihan, untuk apa memperlakukan Kalista seakan-akan istimewa saat di butik?Tentu saja masih begitu segar diingatan bagaimana Kalista merasa begitu
Kalista kehilangan selera makannya. Wanita itu dengan segera berdiri dan bermaksud kembali ke peraduan, tapi Bian menarik lengannya dan Kalista menepis kasar."Kau mengunci pintunya. Mana bisa aku masuk. Ku pikir kau sedang ingin sendirian. Makanya aku tidak menggedor-gedor seperti biasa."Lagi-lagi, Kalista cuma bisa merutuki kebodohan dirinya di dalam hati. Benar juga, bagaimana bisa Bian masuk ke kamar kalau ia mengunci pintunya?Tunggu!Mengapa ia harus marah hanya karena Bian tidak tidur bersamanya? Kalista menyadari tingkah konyolnya."Siapa juga yang ingin tidur denganmu? Kau tidak ke kamarku selamanya juga tidak masalah untukku.""Itu kamarku. Semua yang ada di rumah ini adalah milikku. Mie yang kau makan, mangkuk yang kau gunakan, garpu yang kau pakai, sampai air yang kau hirup adalah milikku."Kalista menganga dengan kedua alis yang bertaut."Ya, Tuan Arogan! Tanpa kau jabarkan seperti itu pun, aku tah
"Bi, aku kasihan melihat Jihan tadi saat kita sarapan. Dia jelas pura-pura ramah. Sudah ku katakan, bukan, kalau malam tadi harusnya kau kembali ke kamar Jihan saja. Mengapa malah menggangguku?""Kesepakatan jadwal bermalam yang kalian buat tidak menyebutkan kalau diriku tidur di kamar Jihan malam tadi. Aku tidur dengannya saat weekend saja. Lagipula saat kau di rumah sakit, aku selalu menemaninya semalaman seperti sebelum kehadiranmu."Kalista menghela napas. Bisa-bisanya Bian tidak membaca situasi dan memilih terpaku pada aturan tertulis yang bahkan tidak resmi dan tidak ada hukuman yang menanti bila Bian melanggarnya. Sialnya, Kalista malah baru sadar hickey ciptaan Bian saat masuk mobil. Pantas saja Jihan terus-menerus memperhatikan lehernya. "Kesepakatan jadwal bermalam yang kalian buat tidak menyebutkan kalau diriku tidur di kamar Jihan malam tadi. Aku tidur dengannya saat weekend saja. Lagipula saat kau di rumah sakit, aku selalu menemani
"Hei, Purple. Sudah lihat ulasan pembaca untuk tiga bab terbaru yang kita unggah?" tanya Liam yang seperti sengaja menunggu kedatangan Kalista. Liam mengatakannya menunggu Bian berlalu lebih dulu untuk masuk ke ruang kerjanya. "Sudah, dong! Tak menyangka responnya bagus. Aku bersyukur pembaca tidak lagi memberikan doa yang jahat padaku. Rupanya pamor seorang Vallent benar-benar patut diakui."Liam tertawa kecil,"Tapi, Kal. Pembaca meminta adegan dewasa. Sebenarnya aku sudah berpikir membuatnya di bab dua puluh tiga. Hanya saja aku menghormatimu sedikit." Liam menggaruk alisnya untuk mengatasi rasa tidak nyamannya. "Buat saja kalau kau mau. Aku percaya narasimu yang nakal, Mr. Benedicta," bisik Kalista yang membuat gerak tubuhnya jadi lebih intens dengan Liam. Dan hal itu tak luput dari jarak pandang Bian yang mengintip sedikit. Sang CEO wajar heran, apa yang membuat Kalista belum masuk ke ruangannya. Bian mendengus kasar. Sejak kapan Kalista dan Liam terlihat akrab?Bian jelas tida
Kalista tidak salah lihat. Yang berdiri di seberang jalan sana jelas Nevan dengan kemeja hitam, celana bahan, sneaker biru berpadu putih dan rambut yang disisir rapi ke belakang memperlihatkan jidat paripurna yang menawan. Tatapannya jelas tertuju lurus pada Kalista yang baru pulang bekerja akibat rapat dadakan yang akan diadakan besok pagi, membuat Kalista harus mengerjakan banyak hal sebagai persiapan. Sebenarnya Bian menawarkan untuk pulang bersama. Namun Kalista menolak. Bukan hanya karena Bian yang masih jelas sibuk, melainkan juga Kalista merasa harus menghindari Bian. Namun bukan artinya Kalista bersedia untuk bersua dengan Nevan yang sekarang sudah menyebrang. Kalista lantas mengambil langkah cepat. Merasa tak berhasil memperlebar jarak dari Nevan, maka Kalista akhirnya mengambil langkah seribu. Nevan terkekeh pelan dan sedikit mengerjai sang mantan istri. Lelaki itu turut berlari seakan-akan mengejar Kalista. Kalista membelok ke gang
Kalista sampai di rumah tanpa rentetan pertanyaan, karena baik Jihan ataupun Bian tidak tampak batang hidungnya. Padahal Kalista sampai meminta Nevan untuk mengantarnya sampai halte bus saja yang jaraknya sekitar satu kilometer dari kediaman Bian. Kalista langsung menuju ke kamar dan segera mandi, karena terlampau gerah.Ketika Kalista selesai berpakaian, ia masih tidak mendapati kehadiran Bian di kamar. Ah, mungkin Bian ingin tidur bersama Jihan lagi. Bisa jadi Bian ingin membujuk istrinya akibat Jihan yang cemburu saat syuting iklan. Kesempatan itu pun dimanfaatkan Kalista untuk mengerjakan bab selanjutnya dari novel online kolaborasinya bersama Vallent alias Liam. Kalista dipercaya Liam untuk menggarap narasi romance. Meski diakui Kalista, bila tubuhnya lelah akibat bekerja seharian bahkan lembur sebentar. Namun bila sudah menyangkut hobi, Kalista malah jadi bersemangat. Bagi Kalista, menjalankan hobi adalah salah satu bentuk healing yang ji