Kalista ingin menertawakan diri sendiri saja rasanya. Kalista ingin melarikan diri dengan balon udara. Telinganya memerah, karena malu. la terlalu percaya diri, bila Bian memborong semua belanjaan yang jumlahnya tidak sedikit itu untuk dirinya. Namun nyatanya, itu semua untuk Jihan.
Kalista tidak berbicara sepatah kata pun di mobil. Begitu pula Bian yang menurut Kalista sengaja memasang mode dingin pada raganya.Jangan salahkan Kalista yang berpikir bila semua belanjaan tadi untuknya. Siapa suruh malah membawa dirinya untuk mencoba satu per satu pakaian, sepatu, bahkan disuruh memilih beberapa tas juga?Tidak hanya rasa malu yang menyergap. Namun juga rasa kasihan pada dirinya sendiri. Bahkan terbesit rasa marah pada Bian. Tega-teganya membuat dirinya salah paham seperti ini.Jika memang untuk Jihan, untuk apa memperlakukan Kalista seakan-akan istimewa saat di butik?Tentu saja masih begitu segar diingatan bagaimana Kalista merasa begituKalista kehilangan selera makannya. Wanita itu dengan segera berdiri dan bermaksud kembali ke peraduan, tapi Bian menarik lengannya dan Kalista menepis kasar."Kau mengunci pintunya. Mana bisa aku masuk. Ku pikir kau sedang ingin sendirian. Makanya aku tidak menggedor-gedor seperti biasa."Lagi-lagi, Kalista cuma bisa merutuki kebodohan dirinya di dalam hati. Benar juga, bagaimana bisa Bian masuk ke kamar kalau ia mengunci pintunya?Tunggu!Mengapa ia harus marah hanya karena Bian tidak tidur bersamanya? Kalista menyadari tingkah konyolnya."Siapa juga yang ingin tidur denganmu? Kau tidak ke kamarku selamanya juga tidak masalah untukku.""Itu kamarku. Semua yang ada di rumah ini adalah milikku. Mie yang kau makan, mangkuk yang kau gunakan, garpu yang kau pakai, sampai air yang kau hirup adalah milikku."Kalista menganga dengan kedua alis yang bertaut."Ya, Tuan Arogan! Tanpa kau jabarkan seperti itu pun, aku tah
"Bi, aku kasihan melihat Jihan tadi saat kita sarapan. Dia jelas pura-pura ramah. Sudah ku katakan, bukan, kalau malam tadi harusnya kau kembali ke kamar Jihan saja. Mengapa malah menggangguku?""Kesepakatan jadwal bermalam yang kalian buat tidak menyebutkan kalau diriku tidur di kamar Jihan malam tadi. Aku tidur dengannya saat weekend saja. Lagipula saat kau di rumah sakit, aku selalu menemaninya semalaman seperti sebelum kehadiranmu."Kalista menghela napas. Bisa-bisanya Bian tidak membaca situasi dan memilih terpaku pada aturan tertulis yang bahkan tidak resmi dan tidak ada hukuman yang menanti bila Bian melanggarnya. Sialnya, Kalista malah baru sadar hickey ciptaan Bian saat masuk mobil. Pantas saja Jihan terus-menerus memperhatikan lehernya. "Kesepakatan jadwal bermalam yang kalian buat tidak menyebutkan kalau diriku tidur di kamar Jihan malam tadi. Aku tidur dengannya saat weekend saja. Lagipula saat kau di rumah sakit, aku selalu menemani
"Hei, Purple. Sudah lihat ulasan pembaca untuk tiga bab terbaru yang kita unggah?" tanya Liam yang seperti sengaja menunggu kedatangan Kalista. Liam mengatakannya menunggu Bian berlalu lebih dulu untuk masuk ke ruang kerjanya. "Sudah, dong! Tak menyangka responnya bagus. Aku bersyukur pembaca tidak lagi memberikan doa yang jahat padaku. Rupanya pamor seorang Vallent benar-benar patut diakui."Liam tertawa kecil,"Tapi, Kal. Pembaca meminta adegan dewasa. Sebenarnya aku sudah berpikir membuatnya di bab dua puluh tiga. Hanya saja aku menghormatimu sedikit." Liam menggaruk alisnya untuk mengatasi rasa tidak nyamannya. "Buat saja kalau kau mau. Aku percaya narasimu yang nakal, Mr. Benedicta," bisik Kalista yang membuat gerak tubuhnya jadi lebih intens dengan Liam. Dan hal itu tak luput dari jarak pandang Bian yang mengintip sedikit. Sang CEO wajar heran, apa yang membuat Kalista belum masuk ke ruangannya. Bian mendengus kasar. Sejak kapan Kalista dan Liam terlihat akrab?Bian jelas tida
Kalista tidak salah lihat. Yang berdiri di seberang jalan sana jelas Nevan dengan kemeja hitam, celana bahan, sneaker biru berpadu putih dan rambut yang disisir rapi ke belakang memperlihatkan jidat paripurna yang menawan. Tatapannya jelas tertuju lurus pada Kalista yang baru pulang bekerja akibat rapat dadakan yang akan diadakan besok pagi, membuat Kalista harus mengerjakan banyak hal sebagai persiapan. Sebenarnya Bian menawarkan untuk pulang bersama. Namun Kalista menolak. Bukan hanya karena Bian yang masih jelas sibuk, melainkan juga Kalista merasa harus menghindari Bian. Namun bukan artinya Kalista bersedia untuk bersua dengan Nevan yang sekarang sudah menyebrang. Kalista lantas mengambil langkah cepat. Merasa tak berhasil memperlebar jarak dari Nevan, maka Kalista akhirnya mengambil langkah seribu. Nevan terkekeh pelan dan sedikit mengerjai sang mantan istri. Lelaki itu turut berlari seakan-akan mengejar Kalista. Kalista membelok ke gang
Kalista sampai di rumah tanpa rentetan pertanyaan, karena baik Jihan ataupun Bian tidak tampak batang hidungnya. Padahal Kalista sampai meminta Nevan untuk mengantarnya sampai halte bus saja yang jaraknya sekitar satu kilometer dari kediaman Bian. Kalista langsung menuju ke kamar dan segera mandi, karena terlampau gerah.Ketika Kalista selesai berpakaian, ia masih tidak mendapati kehadiran Bian di kamar. Ah, mungkin Bian ingin tidur bersama Jihan lagi. Bisa jadi Bian ingin membujuk istrinya akibat Jihan yang cemburu saat syuting iklan. Kesempatan itu pun dimanfaatkan Kalista untuk mengerjakan bab selanjutnya dari novel online kolaborasinya bersama Vallent alias Liam. Kalista dipercaya Liam untuk menggarap narasi romance. Meski diakui Kalista, bila tubuhnya lelah akibat bekerja seharian bahkan lembur sebentar. Namun bila sudah menyangkut hobi, Kalista malah jadi bersemangat. Bagi Kalista, menjalankan hobi adalah salah satu bentuk healing yang ji
("Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya jadi Michelle?")Obrolan Liam dan Kalista di telepon masih berlanjut seru. Hebatnya lagi, Kalista bisa melakukannya sambil mengetik narasi untuk novel kolaborasi mereka. Tak disangka, ternyata Liam cukup menyenangkan dibawa mengobrol masalah remeh seperti pembahasan token listrik tadi. "Michelle siapa?"("Masa dengan anak sendiri lupa? Michelle Anindita, tokoh utama novel online pertamamu yang berjudul Pilihan Kedua.")Kalista pun terkekeh, karena baru ingat dengan novel pertamanya tersebut. Para penulis memang sering menyebut tokoh utama di karya mereka dengan sebutan anak. "Vallent ini sepertinya penggemar berat Purplelloide. Tapi aku malu kau menyebut kembali novel itu. Sampai detik ini, aku tidak berani lagi untuk membaca karya-karya lamaku. Pasti nanti aku akan banyak menemukan berbagai hal janggal di sana."Terdengar kekehan renyah dari Liam. Semakin malam, begitu jelas suara
"Putar itu!""Hah?""Putar playlistmu dan Nevan!""Tapi, Bi.""Katanya mau move on? Harusnya mulai latihan agar mendengarkan soundtrack hidup kalian terkesan biasa saja."Kalista tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Bian. Namun jika dipikir-pikir lagi, rasanya memang aneh bila kita tidak mendengarkan sebuah lagu hanya karena mantan. Pasti kasihan dengan musisi yang menciptakan dan membawakan lagu tersebut. Baiklah, hitung-hitung menghormati musisinya, jadi Kalista memutar playlistnya yang dinamai Nista Everlasting Playlist. Nista adalah singkatan dari Nevan dan Kalista. Sungguh mengenaskan ketika terbukti bahwa nama adalah doa. Hubungan mereka benar-benar menjadi nista pada akhirnya. Lagipula sungguh konyol, mengapa menamai playlist dengan nama yang tidak keren. Sudah Nista, pakai Everlasting lagi. Ngenes. Kalista pun menekan tombol shuffle pada playlist Nistanya. Suara merdu Dan + Shay Justin Bieber pun t
Jihan tidak tahu kalau Kalista berpura-pura bahagia dan excited ketika Bian mengatakan perasaannya, mengajak Jihan berpacaran. Kalista kerap memandang iri pada Jihan dan Bian yang dianggap pasangan ideal di SMA mereka dulu. Semua temannya bahkan sampai adik-adik kelas menjadi pengagum keduanya, karena dinilai serasi bak pangeran dan putri. Jihan juga banyak memiliki teman ketika sekolah dulu. Berbeda dengan Kalista yang hanya memiliki Jihan di kesehariannya di sekolah. Sebenarnya Kalista tetap ramah kepada teman-teman seangkatannya, tapi entah mengapa, ketika Kalista mencoba berbaur dengan mereka, Kalista seringkali hanya menjadi pendengar kisah-kisah mereka. Kalista hanya ikut tertawa dan jarang berhasil menarik perhatian mereka dengan ceritanya. Makanya, tak heran bila Kalista sekarang sangat menikmati cerita-ceritanya yang dibaca banyak orang. Berbeda dengan Jihan. Ketika dia menarik napas saja, semua teman sekelas akan menganggap