"Ada apa?! Kenapa perutmu?" Liam melihat Kalista yang membeku seketika sambil mengelus perutnya. Kalista menoleh kepada Liam dengan senyum merekah perlahan. "Val, Shooky menendang." Kalista langsung mengambil tangan Liam dan meletakkannya di perutnya. "Mana? Mana? Mana?" Liam pun ikutan heboh dan merasakan permukaan perut Kalista yang tertutup kain pakaiannya. "Kal, mana? Apa Shooky berhenti menendang? Shooky, ayo, menendang lagi!" seru Liam yang masih meletakkan telapak tangannya di perut Kalista yang mulai membuncit. "Kal, kok tidak ada?" Liam pun mendongak. Yang Liam lihat pertama kali adalah kedua pipi Kalista yang bersemu merah. Obsidian keduanya bertemu dan ada sesuatu yang asing menyeruak di dada mereka. Jangan lupakan tangan Liam yang masih bertengger di perut Kalista. Puncak hidung mereka nyaris bersentuhan. Tatapan Liam turun perlahan pada bibir Kalista yang hanya berpoles lipbalm beraroma semangka.
"Kal, berhenti. Aku mohon berhenti," ucap Liam yang es krimnya masih utuh dan belum dibuka, karena ia sejak tadi memperhatikan Kalista yang menjilati es krimnya. Ampuni pikiran kotor Liam yang malah membayangkan hal sensual pada Kalista. Liam ingin menampar dirinya sendiri, karena bisa-bisanya berpikiran pervert kepada temannya sendiri. "Kenapa, Val? Kau tidak suka rasa vanilla, ya?" tanya Kalista yang merasa tidak enak, karena es krim coklatnya sudah ia makan. Kalista menduga bila Liam ingin bertukar rasa es krim. "Su-suka. Aku suka es krim vanilla." Liam mendadak gugup. Jakunnya bergerak naik turun. Kemudian ia meletakkan es krim di dashboard dan menyalakan mesin mobil. "Kita berbagi es krim saja." Usulan Kalista malah semakin membuat Liam gugup. Kalista menyodorkan es krim coklat yang tadi sudah dijilatinya ke hadapan Liam yang menyetir dengan kecepatan sedang. Liam memperhatikan jalanan dan es krim di hadapannya bergant
Liam yang biasanya menebar senyum saat memasuki gedung perusahaan Glitz Chemical, hari itu, Liam hanya bisa menunjukkan eskpresi datar. Para karyawan melihatnya demikian. Bahkan banyak yang menebak-nebak bila Liam sedang dalam perasaan tidak bagus. Ketika Liam sudah tiba di ruang kerjanya dan mencoba memulai pekerjaannya. Liam tidak berkonsentrasi sama sekali. Laki-laki itu memukul-mukul pelan keningnya ke permukaan meja untuk mengenyahkan segala pemikiran joroknya tentang Kalista. "Aku bisa gila bila begini terus."Maka Liam berdiri dan keluar dari ruangannya. Laki-laki itu menuju tempat berkumpulnya para office boy dan mengambil alat kebersihan kemudian ia bawa entah kemana. Sontak saja semua office boy yang ada di tempat terkejut. Karena tak ingin merasa tidak bisa diandalkan, satu per satu dari mereka meminta Liam untuk menyebutkan ruangan mana yang harus mereka bersihkan. Jadi Liam tidak perlu bersusah payah mengangkut alat kebersihan sendiri.
Malam itu, sepertinya malam terbaik bagi Saddam, karena putranya yang dikenal sangat tidak terbuka padanya, tiba-tiba saja mengungkapkan isi hatinya panjang lebar. Saddam terdiam seraya berpikir bila putranya sudah besar. Sudah pandai mengambil keputusan terbaik dalam hidupnya sendiri. Lantas dirinya merasa bodoh, karena malah mendorong Liam seperti barang dagangan kepada rekan-rekan bisnisnya agar menjadikan putranya seorang menantu di tengah keluarga besar mereka. Lantas Saddam penasaran akut dengan maksud segala tutur Liam tentang seseorang yang berhasil membuat anaknya menggila selama seminggu penuh ini."Kau tidak akan menyukainya ayah. Bukan hanya itu, sepertinya dia juga akan menolakku," ungkap Liam yang menyerah duluan sebelum berjuang. Saddam mencelos hatinya. Rasanya sedih menjadi seorang ayah yang tidak bisa mewujudkan keinginan sang anak. Yeah, Liam memang sudah sering ditolak selama kencan buta. Para gadis itu berpendapat
Margareth dan Nicholas datang ke perusahaan siang itu dan langsung menghadap Bian. Margareth langsung saja menanyai Bian perihal Jihan yang ngambek, karena tidak diantar periksa kandungan. "Bian, ibu tahu dan mengerti jika kau itu sibuk. Ibu juga mengerti sekali bila seorang suami itu bekerja keras sampai lelah dan tak kenal waktu untuk mencari nafkah bagi anak istri. Namun, sebagai sesama perempuan, ibu mohon untuk meluangkan waktu pada Jihan. Tidak sampai satu jam, Nak. Kau bisa meminta jadi daftar pasien prioritas, sehingga tidak perlu mengantri. Jadi tidak banyak membuang waktumu. Selama ditinggalkan, minta saja pada Liam sebentar untuk menghandle yang ada. Yeah, walaupun ibu tidak begitu sreg padanya, tapi kinerja dia nyatanya bukan kaleng-kaleng." Tuh, kan! Rupanya Jihan mengadu. Tentu saja ibu dan ayahnya akan lebih memihak si menantu kesayangan. "Perempuan hamil itu memang manja dan mood swing parah. Jihan itu masih mending. Dulu ibumu
"Ciyee, ada jadwal kencan di hari minggu, nih!" Merry ternyata tak sengaja mengintip chat Kalista dan Liam. Kalista langsung meletakan ponselnya dengan layar menungkup ke permukaan meja. Kalista tidak suka, bila ada yang melihat isi ponselnya. Dan jelas tindakan Merry tadi diluar batas. Namun Kalista tidak langsung protes dengan mengomel, melainkan hanya diam dengan tangan mengepal di bawah meja. "Aku jadi ikut senang. Setidaknya ada laki-laki yang menerima keadaanmu yang sekarang," celetuk Merry sebelum menyesap kopinya. Merry tahu tentang Kalista yang berbadan dua. Syukurlah, Merry tidak bertanya apa-apa soal itu. Namun untuk sekarang, Kalista harus meluruskan anggapan Merry. Merry tidak boleh seperti Nanda yang mengira bila Liam dan dirinya ada hubungan spesial. "Dia hanya temanku. Bukan siapa-siapa." Jawaban itu hanya ditanggapi senyum tipis oleh Merry. Kalista pun memilih untuk kembali bekerja. Ia harus menyunting naskah genre erotika milik seseorang yang bernama pena Istr
Bian langsung menerobos masuk tanpa permisi ke ruangan Liam. Liam yang melihat kedatangan sang sepupu dalam keadaan kedua tangan terkepal dan napas memburu, seketika penasaran. "Liam, jawab aku. Apakah Kalista sedang hamil?"Liam menjatuhkan pulpen yang ia pegang sedari tadi. Kedua bibirnya terbuka dengan raut wajah yang jelas penuh pertimbangan. "Jawab aku. Jawab, Lian!" Akhirnya Bian berteriak. Liam berusaha untuk tetap tenang. Ia katupkan kembali kedua bibirnya dan memungut pulpennya yang jatuh. "Iya. Dia hamil," jawab Liam. Bian mencengkeram tepian meja dengan bulir air mata yang kembali turun. "Apa itu anakku?" tanya Bian sekali lagi dengan sedikit suara gemetar. "Memangnya mengapa? Jangan katakan bila kau ingin membujuknya lagi untuk rujuk. Well, dia sudah sangat bahagia tanpamu." Sorot mata Liam tajam menatap obsidian sayu milik Bian yang begitu putus asa. "Jika itu anakku, artinya ketika sedang cerai berlangsung, dia sedang hamil. Aku ingin bertanggung jawab pada darah
Hari minggu jam dua siang saat itu, sesuai janji, Liam dan Kalista pergi membeli sabun. "Oke. Elit sekali kita membeli sabun cuci saja harus ke mall," seloroh Kalista yang berjalan disamping Liam. "Kal, pegang lenganku. Ibu hamil jangan berjalan tanpa pegangan." Liam mempersilakan Kalista memegangi lengannya. Kalista pun melakukannya, karena ia tidak merasa percaya diri berjalan bersisian. Ditambah sudah lama tidak ke mall, maka Kalista khawatir akan tersesat, meski sebenarnya itu semua tidak ada kemungkinan terjadi. "Mau makan dulu, Kal? Isi bensin dulu biar bumil kuat," ajak Liam yang langsung dianggukki persetujuan dari Kalista. Meski Kalista sudah makan di rumah, tetap saja Kalista tidak akan menolak bila ditawari makan lagi. Ayolah, Shooky butuh asupan yang melimpah di dalam sana! "Jangan makan ini," ujar Liam menunjuk sushi dengan matanya. Kalista hanya tersenyum manis, karena ia sudah tahu bila wanita hamil seperti dirinya harus mengonsumsi makanan matang. "Kal, kenapa