("Bi, kok tidak bilang kalau pergi dengan Jihan?")("Bi, setidaknya jujur. Jangan membuatku cemas seperti tadi. Aku pikir terjadi sesuatu.")("Aku ingin marah saja tidak bisa, karena wajar kau memprioritaskan Jihan, tapi setidaknya kau bicara dulu, Bi. Bukan malah begini.")Bukan sesak dan sedih lagi rasanya. Kalista bahkan tidak bisa menangis saking shocknya dengan apa yang dilakukan Bian. Apa niat Bian melakukan itu semua terhadapnya? Mengapa Bian setega itu padanya? Apakah Jihan tiba-tiba merengek ingin pergi bersama Bian ketika melihat Bian berpakaian rapi? Jika memang begitu, paling tidak Bian mengabarinya sebentar. Masa mengetik pesan saja sebentar tidak sempat? Bahkan Kalista tidak bisa mengamuk, meski hatinya sakit dan marah besar. Kalista merasa tidak berhak untuk protes, karena sadar posisinya hanya yang kedua. Sudah pasti Bian mengutamakan Jihan dalam segala hal. Namun, rasanya tetap saja sesak tak terkira
"Kok bawa koper, Kal? Kau kabur atau apa?" Melisa panik melihat putrinya datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dengan menggeret koper dan langsung menuju kamarnya dulu sebelum menikah dengan Bian. "Kal, jawab ibu. Ada sesuatu yang terjadi? Kau diusir? Jangan menakut-nakuti ibu, Nak."Kalista menghembuskan napas lelah dan meminta izin pada ibunya untuk mandi dulu. Namun Melisa terkesan memaksa Kalista untuk menjawab rasa penasarannya. "Kau diusir atau apa, Kal? Kabur? Jawab, Kal. Jangan membuat ibu mati penasaran," ujar Melisa mulai berlebihan merespon. "Tidak dua-duanya. Aku akan di sini sementara waktu. Bian dan Jihan sedang di Bali.""Kau tak diajak? Ih, kok tega?! Katanya kalian sahabat. Kenapa Jihan tidak mengajakmu? Mereka cuma pergi berdua?" tanya Melisa begitu heboh. "Mereka babymoon. Jadi untuk apa aku ikut, Bu?" Kalista sudah bersiap untuk mandi dari tadi malah harus meladeni sang ibu. "Ya ti
Kalista bertemu tatap dengan Jihan dan Bian. Kalista segera membawa Likha untuk bergegas pergi dari sana. Bian ingin mengejar Kalista, tapi Jihan menahannya. Likha dan Kalista sudah berada di dalam taksi, menuju pulang ke rumah. "Eh, kak. Tadi aku berpapasan dengan Kak Jihan dan suaminya yang gantengnya membuat jiwa raga luluh lantak itu. Harusnya tadi kita jangan langsung pergi. Tapi mengobrol sebentar dengan mereka. Kak Jihan katanya sudah hamil dan baru pulang babymoon bersama suaminya dari Bali. Duh, Kak! Likha juga mau punya suami romantis seperti suaminya Kak Jihan itu." Kalista hanya tersenyum tipis mendengarkan ocehan Likha yang tidak sepenuhnya ia aminkan. "Jangan diganggu. Mereka sedang berbahagia. Biarkan saja mereka melewati waktu bahagia berdua dulu. Oh, iya. Kita makan dulu saja. Kau mau makan di mana?" Kalista mencoba mengalihkan topik dengan mengajak Likha makan terlebih dahulu, kebetulan juga Kalista ingat bila berjanji akan m
Jihan bisa membaca isi pikiran dan hati Bian. Suaminya sekarang sudah berubah. Tidak seperti dulu, di mana fokus perhatiannya hanya untuk dirinya seorang. Bahkan ketika di Bali selama satu minggu, Jihan merasa bila suaminya hanya pura-pura bersenang-senang. Nyatanya Bian merintihkan nama Kalista saat Jihan tak sengaja mendengar suaminya memuaskan dirinya sendiri di toilet villa mereka di Bali. Jujur, Jihan sekarang dihantui banyak penyesalan. Di mata orang-orang, dirinya adalah sang permaisuri yang hidupnya bahagia. Namun sebenarnya Jihan yang mereka kenal adalah topeng semata. Jihan sebenarnya tulus ketika berteman dengan Kalista. Baginya Kalista bagaikan belahan jiwanya berbagi suka dan duka. Meski mereka tidak saling berbicara, cukup saling menatap saja, keduanya sudah tertawa satu sama lain seolah otak mereka terhubung untuk menertawakan sesuatu yang sama. Namun Kalista tidak pernah tahu bila Jihan memiliki kehidupan keluarga yang tidak ba
Kalista dan Likha sudah sama-sama berbaring di tempat tidur malam itu. Mereka sedang asyik mengobrol tentang tujuan jalan-jalan mereka besok. Namun sebuah ketukan heboh dari sang ibu cukup mengherankan. Dengan malas, Likha bangun untuk membuka pintu kamar. "Tunggu, Bu. Kenapa buru-bu... " Likha menganga dan tak mengedipkan mata ketika melihat sosok menjulang tinggi, tegap, dengan rahang tegas dan tatapan tajamnya berdiri di depan kamar Kalista. Likha mengedipkan matanya beberapa kali diiringi suara Kalista yang bertanya seraya ikut bangun dari kasur."Siapa, Dek?" Kalista berdiri di belakang Likha dan terkejut mendapati Bian berdiri di depan pintu kamarnya dalam keadaan basah kuyup. Likha memastikan sekali lagi bila ia tidak salah lihat. Dan benar saja, sosok tampan dengan rambut berantakan akibat basah oleh hujan di luar sana masih berdiri di depan matanya. "Astaga, Nak Bian! Ini handuknya. Kenapa hujan-hujanan? Harusnya te
Kalista tidak menyuap nasi bercampur rawonnya sama sekali. Sudah Kalista katakan bila suasana hatinya tidak cocok untuk bersantap ria. Berbeda dengan Bian yang sekarang malah sudah menambah porsi keduanya. Melisa dan Likha tidak tahu harus bersikap bagaimana selain berpura-pura makan. Sesekali Melisa berbasa-basi mengenai tempat makan mereka yang biasa saja. Namun Bian menimpali bila tidak masalah sama sekali, karena rawon yang disajikan malam itu lezat. "Terima kasih makanannya. Aku sangat bahagia, karena bisa memakan makanan lezat dan hangat di cuaca seperti ini."Melisa tersipu, karena sang menantu memujinya. "Kal, dimakan rawonnya. Jangan diaduk-aduk saja," celetuk Melisa yang memang memperhatikan putri sulungnya seperti tidak bersemangat. Likha juga jadi tak berselera makan, karena seolah bisa membaca kekalutan yang ada di hati sang kakak. Lantas, Kalista meletakan sendoknya dan mengatakan kalau kepalanya pusing dan ing
Liam jelas bertanya-tanya saat tidak menjumpai Kalista selama tiga hari berturut-turut di kantor. Ingin menanyai Bian pun, Liam tidak memiliki kesempatan, karena Bian sering meninggalkan kantor dengan seabrek jadwal di luar kantor. Bahkan kembali Joanna yang mendampingi kemana-mana. Liam juga sudah mengontak Kalista, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Sontak saja, ketika siang itu mendapat telepon dari Kalista, secepat kilat Liam menjawabnya. "Halo, Kal. Kau dimana? Sakit lagi?"Terdengar suara tawa renyah dari Kalista. Terdengar jua suara keramaian. Sepertinya Kalista ada di tepi jalan raya. ("Apa kau ada senggang sepulang kerja? Ingin bertemu?")Maka Liam segera mengiyakan. Tepat jam lima, Liam sudah keluar dari ruangannya dan tak sengaja melihat Jihan masuk ke ruangan Bian. Karena merasa sudah lama tidak mengobrol dengan Jihan, Liam ingin menemuinya sebentar saja. Lagipula, jujur saja, Liam kangen dengan wanita yang ia
"Cukup sudah. Tidak akan ku biarkan lagi Jihan mengatur hidupku. Maaf aku mengatakan ini tentang Jihan, Val. Namun aku akan pergi dari dua orang itu. Sebelum perasaanku makin bertumbuh lebih jauh untuk Bian, aku harus pergi. Lagipula aku sudah tidak dibutuhkan lagi di sana, karena Jihan sudah hamil sekarang."Kalista ikut mendongak ke langit,"Di sisi lain aku merasa kebesaran Tuhan itu nyata. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini bila Tuhan berkehendak. Jihan sudah divonis mandul dan bisa hamil. Aku sejujurnya turut senang, karena akhirnya impian Jihan terwujud untuk bisa memberikan Bian keturunan. Tuan Nicholas dan Nyonya Margareth juga tidak akan mendesak Jihan lagi. Setidaknya dia benar-benar menjadi menantu ideal sekarang.""Kal, apa kau akan kembali bekerja?" tanya Liam. "Tentu. Aku akan kembali bekerja untuk mengajukan resign." Liam mencondongkan posisinya agar menghadap Kalista sekarang,"Sungguh?! Ah, aku kehilangan teman! Tapi janji