Kalista dan Likha sudah sama-sama berbaring di tempat tidur malam itu. Mereka sedang asyik mengobrol tentang tujuan jalan-jalan mereka besok. Namun sebuah ketukan heboh dari sang ibu cukup mengherankan.
Dengan malas, Likha bangun untuk membuka pintu kamar."Tunggu, Bu. Kenapa buru-bu... " Likha menganga dan tak mengedipkan mata ketika melihat sosok menjulang tinggi, tegap, dengan rahang tegas dan tatapan tajamnya berdiri di depan kamar Kalista.Likha mengedipkan matanya beberapa kali diiringi suara Kalista yang bertanya seraya ikut bangun dari kasur."Siapa, Dek?" Kalista berdiri di belakang Likha dan terkejut mendapati Bian berdiri di depan pintu kamarnya dalam keadaan basah kuyup.Likha memastikan sekali lagi bila ia tidak salah lihat. Dan benar saja, sosok tampan dengan rambut berantakan akibat basah oleh hujan di luar sana masih berdiri di depan matanya."Astaga, Nak Bian! Ini handuknya. Kenapa hujan-hujanan? Harusnya teKalista tidak menyuap nasi bercampur rawonnya sama sekali. Sudah Kalista katakan bila suasana hatinya tidak cocok untuk bersantap ria. Berbeda dengan Bian yang sekarang malah sudah menambah porsi keduanya. Melisa dan Likha tidak tahu harus bersikap bagaimana selain berpura-pura makan. Sesekali Melisa berbasa-basi mengenai tempat makan mereka yang biasa saja. Namun Bian menimpali bila tidak masalah sama sekali, karena rawon yang disajikan malam itu lezat. "Terima kasih makanannya. Aku sangat bahagia, karena bisa memakan makanan lezat dan hangat di cuaca seperti ini."Melisa tersipu, karena sang menantu memujinya. "Kal, dimakan rawonnya. Jangan diaduk-aduk saja," celetuk Melisa yang memang memperhatikan putri sulungnya seperti tidak bersemangat. Likha juga jadi tak berselera makan, karena seolah bisa membaca kekalutan yang ada di hati sang kakak. Lantas, Kalista meletakan sendoknya dan mengatakan kalau kepalanya pusing dan ing
Liam jelas bertanya-tanya saat tidak menjumpai Kalista selama tiga hari berturut-turut di kantor. Ingin menanyai Bian pun, Liam tidak memiliki kesempatan, karena Bian sering meninggalkan kantor dengan seabrek jadwal di luar kantor. Bahkan kembali Joanna yang mendampingi kemana-mana. Liam juga sudah mengontak Kalista, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Sontak saja, ketika siang itu mendapat telepon dari Kalista, secepat kilat Liam menjawabnya. "Halo, Kal. Kau dimana? Sakit lagi?"Terdengar suara tawa renyah dari Kalista. Terdengar jua suara keramaian. Sepertinya Kalista ada di tepi jalan raya. ("Apa kau ada senggang sepulang kerja? Ingin bertemu?")Maka Liam segera mengiyakan. Tepat jam lima, Liam sudah keluar dari ruangannya dan tak sengaja melihat Jihan masuk ke ruangan Bian. Karena merasa sudah lama tidak mengobrol dengan Jihan, Liam ingin menemuinya sebentar saja. Lagipula, jujur saja, Liam kangen dengan wanita yang ia
"Cukup sudah. Tidak akan ku biarkan lagi Jihan mengatur hidupku. Maaf aku mengatakan ini tentang Jihan, Val. Namun aku akan pergi dari dua orang itu. Sebelum perasaanku makin bertumbuh lebih jauh untuk Bian, aku harus pergi. Lagipula aku sudah tidak dibutuhkan lagi di sana, karena Jihan sudah hamil sekarang."Kalista ikut mendongak ke langit,"Di sisi lain aku merasa kebesaran Tuhan itu nyata. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini bila Tuhan berkehendak. Jihan sudah divonis mandul dan bisa hamil. Aku sejujurnya turut senang, karena akhirnya impian Jihan terwujud untuk bisa memberikan Bian keturunan. Tuan Nicholas dan Nyonya Margareth juga tidak akan mendesak Jihan lagi. Setidaknya dia benar-benar menjadi menantu ideal sekarang.""Kal, apa kau akan kembali bekerja?" tanya Liam. "Tentu. Aku akan kembali bekerja untuk mengajukan resign." Liam mencondongkan posisinya agar menghadap Kalista sekarang,"Sungguh?! Ah, aku kehilangan teman! Tapi janji
Kalista menenangkan diri dengan melarikan diri di cafetaria kantor setelah dengan tak sopannya, ia masuk tanpa mengetuk pintu ke ruangan Liam. Setelah hampir satu jam di sana, di mana sudah banyak karyawan yang curi-curi pandang disertai bisik-bisik tanpa fakta, Liam datang seakan menghipnotis seluruh cafetaria. Seluruh pengunjung yang merupakan karyawan Glitz Chemical serentak memandang pria tinggi yang berjalan tegap sembari menyugar rambutnya ke belakang. Mereka seakan menyaksikan seorang model yang melangkah di catwalk. Mereka wajar terkesima. Selain karena postur tubuh ideal dan diberkahi visual yang menawan, ini juga pertama kalinya Liam menginjakkan kaki di cafetaria kantor. Liam berjalan lurus hingga berhenti dengan mengusap pundak wanita yang menoleh seketika. "Oh, Val! Maafkan aku tentang kejadian tadi. Aku benar-benar tidak sopan sama sekali, karena tidak mengetuk pintu terlebih dahulu." Kalist
"Bian, apa yang kau lakukan? Berdiri, Bian!"Kalista menoleh ke kanan dan ke kiri, khawatir kalau ada karyawan yang melihat atasan mereka seperti sekarang. "Bangun, Bi! Para penjaga cafetaria melihatmu. Jangan rendahkan dirimu, Bi!"Bian mendongak, masih memeluk kaki Kalista. Dengan sedikit harap nyaris putus asa, kembali Bian memohon pada Kalista agar mempertimbangkan lagi keputusan untuk bercerai.Liam yang turut menyaksikan itu semua, kontan saja terdiam. Sepupunya tidak akan pernah sudi berbuat sampai seperti ini apalagi di hadapannya yang notabene musuh bebuyutan. Sebesar apa efek Kalista di hidup Bian, pikir Liam. "Kal, aku mohon. Jangan pernah pergi lagi dariku. Jangan bercerai. Jangan berpisah, please."Kalista kembali menegaskan dirinya agar tidak tergugah pada sikap Bian sekarang. Namun jujur, Kalista hampir mengiyakan permintaan Bian, karena tak kuasa melihat Bian sampai bersimpuh seperti ini. "Tidak, Kal!
Kalista dan Jihan berada di pekarangan belakang rumah. Keduanya sama-sama memegang wadah ukuran tanggung es krim rasa mint choco. "Maaf, banyak jemuran."Jihan menahan tawa ketika Kalista memecah sunyi. Kalista berdehem beberapa kali, karena juga menahan tawa. Akan tetapi baik Kalista ataupun Jihan, mereka masih enggan untuk tertawa bersama, mengingat masalah genting yang menguji rasa persahabatan. "Tumben suka es krim mint choco?" tanya Jihan yang juga sama herannya dengan Likha mengenai perubahan selera Kalista. "Namanya juga manusia. Gampang berubah." Hening kembali menyergap beberapa saat. Hanya suara dari scoop es krim yang terdengar. "Tujuanmu ke sini untuk apa? Tidak mungkin karena merindukanku, kan?"Jihan merasa asing mendengar pertanyaan itu dari Kalista. Padahal dulu, mau jam berapa pun ia datang, bahkan tanpa mengetuk pintu seperti tadi. Kalista tidak pernah menanyainya maksud kedatangannya. Ternyata, si
"Kurang ajar. Mengapa kau makin ke sini makin seksi dan tampan?"Laki-laki di layar ponsel Kalista terbahak.("Kau juga makin cantik.")"Heh, Val. Jangan berbohong. Mulut laki-laki memang tidak bisa dipercaya."Liam tertawa lagi.("Tapi aku serius, aku rindu. Kapan kita kembali bertemu? Apa kau tidak rindu dengan orang seksi dan tampan ini?")Liam mengusap-ngusap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. "Idih, aku menyesal memujimu! Besok aku sudah kembali bekerja."Liam menghela napas kecewa.("Semenjak kau bekerja menjadi editor, kita tidak pernah bertemu lagi. Bahkan saat akhir pekan, kau juga tidak ada di rumah. Aku malah mengobrol dengan adik dan ibumu.")Kalista tertawa kencang sekarang,"Kata Likha, kau malah diajak ibu ke rapat warga di balai desa, ya?"("Ya. Aku dikerubungi ibu-ibu di sana. Mereka meminta tanda tangan dan foto bersama. Bahkan ada yang terang-terangan mengenalkan
Baru saja Jihan dan Bian menginjak ruang depan usai tiba di rumah, Bian sudah menerjangnya dengan pertanyaan soal kebenaran dari perkataan Nevan. Jihan jelas terbungkam. Tiada kalimat pembelaan yang bisa ia putarbalikan demi menyelamatkan diri. Bian gusar, tapi tidak sampai mencecar sang istri yang sedang hamil. "Dengarkan aku, Mas. Aku melakukannya, karena cemburu. Apa lagi? Lagipula itu sudah lama, Mas. Kau bahas lagi sekarang? Ku pikir kau sudah abai pada Kalista. Nyatanya feelingku benar, jika kau masih diam-diam merindukannya.""Jangan menyerangku balik dan melebar ke mana-mana. Sekarang katakan padaku, kebohongan apa lagi yang kau perbuat? Aku selalu mempercayaimu lebih dari apapun. Kau malah membuat Kalista dan aku berseteru hingga Kalista membenciku pada akhirnya." Bian sampai terengah, karena rasanya terlalu sesak. "Mas, stop! Kau sudah berjanji padaku untuk tidak membahas itu lagi. Kita sudah sepakat untuk menutupnya setelah perceraia