Kalista tidak menyuap nasi bercampur rawonnya sama sekali. Sudah Kalista katakan bila suasana hatinya tidak cocok untuk bersantap ria. Berbeda dengan Bian yang sekarang malah sudah menambah porsi keduanya.
Melisa dan Likha tidak tahu harus bersikap bagaimana selain berpura-pura makan. Sesekali Melisa berbasa-basi mengenai tempat makan mereka yang biasa saja. Namun Bian menimpali bila tidak masalah sama sekali, karena rawon yang disajikan malam itu lezat."Terima kasih makanannya. Aku sangat bahagia, karena bisa memakan makanan lezat dan hangat di cuaca seperti ini."Melisa tersipu, karena sang menantu memujinya."Kal, dimakan rawonnya. Jangan diaduk-aduk saja," celetuk Melisa yang memang memperhatikan putri sulungnya seperti tidak bersemangat.Likha juga jadi tak berselera makan, karena seolah bisa membaca kekalutan yang ada di hati sang kakak.Lantas, Kalista meletakan sendoknya dan mengatakan kalau kepalanya pusing dan ingLiam jelas bertanya-tanya saat tidak menjumpai Kalista selama tiga hari berturut-turut di kantor. Ingin menanyai Bian pun, Liam tidak memiliki kesempatan, karena Bian sering meninggalkan kantor dengan seabrek jadwal di luar kantor. Bahkan kembali Joanna yang mendampingi kemana-mana. Liam juga sudah mengontak Kalista, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Sontak saja, ketika siang itu mendapat telepon dari Kalista, secepat kilat Liam menjawabnya. "Halo, Kal. Kau dimana? Sakit lagi?"Terdengar suara tawa renyah dari Kalista. Terdengar jua suara keramaian. Sepertinya Kalista ada di tepi jalan raya. ("Apa kau ada senggang sepulang kerja? Ingin bertemu?")Maka Liam segera mengiyakan. Tepat jam lima, Liam sudah keluar dari ruangannya dan tak sengaja melihat Jihan masuk ke ruangan Bian. Karena merasa sudah lama tidak mengobrol dengan Jihan, Liam ingin menemuinya sebentar saja. Lagipula, jujur saja, Liam kangen dengan wanita yang ia
"Cukup sudah. Tidak akan ku biarkan lagi Jihan mengatur hidupku. Maaf aku mengatakan ini tentang Jihan, Val. Namun aku akan pergi dari dua orang itu. Sebelum perasaanku makin bertumbuh lebih jauh untuk Bian, aku harus pergi. Lagipula aku sudah tidak dibutuhkan lagi di sana, karena Jihan sudah hamil sekarang."Kalista ikut mendongak ke langit,"Di sisi lain aku merasa kebesaran Tuhan itu nyata. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini bila Tuhan berkehendak. Jihan sudah divonis mandul dan bisa hamil. Aku sejujurnya turut senang, karena akhirnya impian Jihan terwujud untuk bisa memberikan Bian keturunan. Tuan Nicholas dan Nyonya Margareth juga tidak akan mendesak Jihan lagi. Setidaknya dia benar-benar menjadi menantu ideal sekarang.""Kal, apa kau akan kembali bekerja?" tanya Liam. "Tentu. Aku akan kembali bekerja untuk mengajukan resign." Liam mencondongkan posisinya agar menghadap Kalista sekarang,"Sungguh?! Ah, aku kehilangan teman! Tapi janji
Kalista menenangkan diri dengan melarikan diri di cafetaria kantor setelah dengan tak sopannya, ia masuk tanpa mengetuk pintu ke ruangan Liam. Setelah hampir satu jam di sana, di mana sudah banyak karyawan yang curi-curi pandang disertai bisik-bisik tanpa fakta, Liam datang seakan menghipnotis seluruh cafetaria. Seluruh pengunjung yang merupakan karyawan Glitz Chemical serentak memandang pria tinggi yang berjalan tegap sembari menyugar rambutnya ke belakang. Mereka seakan menyaksikan seorang model yang melangkah di catwalk. Mereka wajar terkesima. Selain karena postur tubuh ideal dan diberkahi visual yang menawan, ini juga pertama kalinya Liam menginjakkan kaki di cafetaria kantor. Liam berjalan lurus hingga berhenti dengan mengusap pundak wanita yang menoleh seketika. "Oh, Val! Maafkan aku tentang kejadian tadi. Aku benar-benar tidak sopan sama sekali, karena tidak mengetuk pintu terlebih dahulu." Kalist
"Bian, apa yang kau lakukan? Berdiri, Bian!"Kalista menoleh ke kanan dan ke kiri, khawatir kalau ada karyawan yang melihat atasan mereka seperti sekarang. "Bangun, Bi! Para penjaga cafetaria melihatmu. Jangan rendahkan dirimu, Bi!"Bian mendongak, masih memeluk kaki Kalista. Dengan sedikit harap nyaris putus asa, kembali Bian memohon pada Kalista agar mempertimbangkan lagi keputusan untuk bercerai.Liam yang turut menyaksikan itu semua, kontan saja terdiam. Sepupunya tidak akan pernah sudi berbuat sampai seperti ini apalagi di hadapannya yang notabene musuh bebuyutan. Sebesar apa efek Kalista di hidup Bian, pikir Liam. "Kal, aku mohon. Jangan pernah pergi lagi dariku. Jangan bercerai. Jangan berpisah, please."Kalista kembali menegaskan dirinya agar tidak tergugah pada sikap Bian sekarang. Namun jujur, Kalista hampir mengiyakan permintaan Bian, karena tak kuasa melihat Bian sampai bersimpuh seperti ini. "Tidak, Kal!
Kalista dan Jihan berada di pekarangan belakang rumah. Keduanya sama-sama memegang wadah ukuran tanggung es krim rasa mint choco. "Maaf, banyak jemuran."Jihan menahan tawa ketika Kalista memecah sunyi. Kalista berdehem beberapa kali, karena juga menahan tawa. Akan tetapi baik Kalista ataupun Jihan, mereka masih enggan untuk tertawa bersama, mengingat masalah genting yang menguji rasa persahabatan. "Tumben suka es krim mint choco?" tanya Jihan yang juga sama herannya dengan Likha mengenai perubahan selera Kalista. "Namanya juga manusia. Gampang berubah." Hening kembali menyergap beberapa saat. Hanya suara dari scoop es krim yang terdengar. "Tujuanmu ke sini untuk apa? Tidak mungkin karena merindukanku, kan?"Jihan merasa asing mendengar pertanyaan itu dari Kalista. Padahal dulu, mau jam berapa pun ia datang, bahkan tanpa mengetuk pintu seperti tadi. Kalista tidak pernah menanyainya maksud kedatangannya. Ternyata, si
"Kurang ajar. Mengapa kau makin ke sini makin seksi dan tampan?"Laki-laki di layar ponsel Kalista terbahak.("Kau juga makin cantik.")"Heh, Val. Jangan berbohong. Mulut laki-laki memang tidak bisa dipercaya."Liam tertawa lagi.("Tapi aku serius, aku rindu. Kapan kita kembali bertemu? Apa kau tidak rindu dengan orang seksi dan tampan ini?")Liam mengusap-ngusap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis. "Idih, aku menyesal memujimu! Besok aku sudah kembali bekerja."Liam menghela napas kecewa.("Semenjak kau bekerja menjadi editor, kita tidak pernah bertemu lagi. Bahkan saat akhir pekan, kau juga tidak ada di rumah. Aku malah mengobrol dengan adik dan ibumu.")Kalista tertawa kencang sekarang,"Kata Likha, kau malah diajak ibu ke rapat warga di balai desa, ya?"("Ya. Aku dikerubungi ibu-ibu di sana. Mereka meminta tanda tangan dan foto bersama. Bahkan ada yang terang-terangan mengenalkan
Baru saja Jihan dan Bian menginjak ruang depan usai tiba di rumah, Bian sudah menerjangnya dengan pertanyaan soal kebenaran dari perkataan Nevan. Jihan jelas terbungkam. Tiada kalimat pembelaan yang bisa ia putarbalikan demi menyelamatkan diri. Bian gusar, tapi tidak sampai mencecar sang istri yang sedang hamil. "Dengarkan aku, Mas. Aku melakukannya, karena cemburu. Apa lagi? Lagipula itu sudah lama, Mas. Kau bahas lagi sekarang? Ku pikir kau sudah abai pada Kalista. Nyatanya feelingku benar, jika kau masih diam-diam merindukannya.""Jangan menyerangku balik dan melebar ke mana-mana. Sekarang katakan padaku, kebohongan apa lagi yang kau perbuat? Aku selalu mempercayaimu lebih dari apapun. Kau malah membuat Kalista dan aku berseteru hingga Kalista membenciku pada akhirnya." Bian sampai terengah, karena rasanya terlalu sesak. "Mas, stop! Kau sudah berjanji padaku untuk tidak membahas itu lagi. Kita sudah sepakat untuk menutupnya setelah perceraia
Kalista langsung ditangani di IGD. Ketika dalam perjalanan, Kalista sudah tak sadarkan diri dan membuat Liam memacu mobil dalam kecepatan tinggi. Selama masih diperiksa, Likha dan Melisa turut datang ke rumah sakit. Tak lama setelahnya, dokter yang memeriksa Kalista keluar dari IGD. "Anda suaminya, bukan?" tunjuk dokter pada Liam yang langsung disambut dengan lirikan bingung Likha dan Melisa. Belum sempat mereka menyanggah si dokter, beliau langsung mengatakan perkembangan pasien yang baru ia periksa. "Perut pasien keram, karena kelelahan. Istrinya sedang hamil, kenapa diajak lari sore, Pak?"Liam membelalak. Apalagi Melisa dan Likha yang sama-sama menyebut kata HAH, karena sama kagetnya. "Hamil, dok?" tanya Liam sekali lagi memastikan. "Iya. Sudah lima belas minggu. Untung tidak terjadi apa-apa. Istrinya jangan sampai kelelahan saja," ucap si dokter lagi dengan begitu santainya. Padahal ketiga wali pasien di hadapannya seda
Semua orang berkumpul di tempat itu. Berbagai hidangan lezat tersaji dan semuanya tinggal pilih. Para pelayan berkeliling menawarkan minuman kepada tamu undangan. Ruangan yang biasanya berisi perabotan rumah sekarang disulap menjadi tempat pesta mewah ulang tahun peringatan pernikahan yang ke dua puluh. Sang raja dan ratu pesta sedang bergandengan mesra menyapa para tamu. Keduanya tersenyum lebar, berbicara ramah kepada semua orang yang menyapa. Dari aura keduanya, terpancar bahagia yang membuat semua orang iri. Mereka dinilai pasangan paling bahagia sekarang. Meski banyak diterpa cobaan, akhirnya mereka berhasil melewati cobaan itu bersama. Ketika keduanya sama-sama ikhlas, akhirnya mereka menemukan kelegaan dan bisa bersama sampai detik ini. "Bian, Jihan! Selamat, ya!" Kalista langsung menghambur ke pelukan Jihan. Liam dan Bian pun sudah memiliki obrolannya sendiri. Sedangkan Jihan dan Kalista malah bernostalgia ke masa lalu. "Kal,
"Drew, kata tante Kalista, kau mendaftar les di ruang teacher, ya?" tanya Namira yang saat itu sedang menikmati salad buah di kantin sekolah. Drew menutup bukunya dan kini melipat tangannya sebelum mengangguk, menjawab pertanyaan gadis berambut panjang di hadapannya. "Kalau begitu, aku nanti mendaftar les di sana juga, ah! Pasti ayah mengizinkan kalau ada kaunya." Namira mendorong salad buahnya untuk lebih menghadap Drew. Drew menggeleng karena ia tidak begitu suka salad buah. Chicken teriyaki pesanannya belum tiba sama sekali. "Mengapa ayahmu sangat percaya aku? Kalau aku tiba-tiba berbuat jahat padamu, bagaimana?" Drew mengatakannya dengan begitu ketus. Namun, Namira tidak terlihat sakit hati karena Namira setiap hari meladeni sikap Drew yang demikian. "Maka Kak Vano akan menghantuimu dan membalaskan dendamku," jawab Namira sambil mengendikkan bahu. "Kau pikir Kak Vano mati penasaran? Gentanyangan? Jangan bercanda," tegur
"Tante Kalista, Drew tadi di sekolah merokok dengan Angkasa!" "Heh?! Dasar tukang adu!" Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya tersebut menjulurkan lidahnya pada Drew yang baru saja melepaskan sepatunya sehabis pulang sekolah. Gadis tersebut langsung berlari pergi ke rumahnya sendiri. Kalista yang tadinya menyambut kedatangan putranya dengan berdiri beberapa meter darinya, seketika berkacak pinggang dan menatap tajam pada Drew. "Bunda, jangan percaya Namira!" Drew tidak akan sanggup lagi kalau harus dihukum oleh bundanya. Kakinya masih pegal sampai sekarang, setelah kemarin, Kalista memukul kakinya dengan sapu lidi. Ya. Bundanya memang tidak menerapkan parenting modern. Berbeda dengan Papa Liam dan Mama Jihannya yang selalu memilih jalan diskusi sebagai penyelesaian masalah. Bahkan ketika Drew meminta tolong pada sang ayah, beliau cenderung berpikir agar menurut saja dengan bundanya dengan alasan agar hidup aman sentosa.
"Val!""Sayang!""Vallent!"Kalista berdecak kesal karena suaminya dipanggil-panggil tidak ada sahutan. "Liam Benedicta! Kau dimana?!" Kalista menggerutu. Liam tidak ada kelihatan batang hidungnya sama sekali. Maka, Kalista pun dengan tertatih turun dari tempat tidur. Ketika tungkainya menginjak permukaan lantai dan ia mencoba berdiri, Kalista nyaris terseok. Untung saja ia memegangi header ranjang untuk menstabilkan kedua kakinya terlebih dahulu. Setelah ia tegak berdiri, barulah Kalista mencoba berjalan, meski harus meringis kesakitan akibat ibadah sucinya dengan Liam. "Sayang, kau mau kemana?" tanya Liam yang baru muncul dengan badan penuh keringat. Sepertinya Liam baru pulang dari lari pagi di sekitar pantai. Liam juga hanya mengenakan kaos tanpa lengan agak ketat dan celana pendek longgarnya. Liam langsung menghampiri Kalista dan memapahnya yang terlihat kesulitan berjalan. "Sakit sekali ya, Sayang?" tanya Liam yang malah membuat Kalista ingin mencubit hidung sang suami. "
Jihan sadar jika yang ia lakukan sekarang bukan mimpi.Napasnya dan Bian terengah. Jihan malu bukan main karena bisa-bisanya berpikir kalau ia hanya di dalam mimpi. Tanpa menunggu lagi, Jihan pun dengan cepat turun dari tempat tidur tanpa menoleh ke arah Bian yang langsung kaget dengan perubahan sikap Jihan. Namun, karena terlalu terburu-buru, kaki Jihan tersandung sesuatu dan membuatnya mengaduh kesakitan. "Jihan, mana yang sakit?!" tanya Bian yang sudah sigap duduk bersimpuh di depan kaki Jihan. Bian meraih kaki yang diusap-usap oleh Jihan, kemudian sekali lagi bertanya, bagian mana yang sakit sambil mendongak ke atas untuk melihat ke wajah Jihan. Jihan langsung berjalan mundur dengan gugup sambil berusaha menutupi rasa malunya.Bian yang sadar kalau Jihan sekarang kembali takut, akhirnya lebih dulu mengucap maaf. "Maaf." Bian pun berdiri dan berbalik menjauhi Jihan. Bian berusaha membuka pintu kamarnya
Bian duduk menghadapi pekerjaannya kembali. Namun, pekerjaannya hanya teronggok begitu saja. Bian sedang mengatasi gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dirinya. Bian malu kalau harus ketahuan Jihan bahwa ia sedang ingin sekarang. Tidak hanya rasa malu yang mencoba ditutupi Bian. Namun, juga ia tidak ingin kalau Jihan sampai salah paham terhadap dirinya. Apalagi Bian merasa kalau Jihan masih tidak terlalu nyaman berada di dekatnya. "Drew sudah tidur lagi, Mas," ucap Jihan yang membuat Bian sedikit gelagapan. Bian tersenyum kikuk dan mengangguk singkat. Hening kembali menerpa keduanya. Hanya terdengar suara hujan yang berisik di luar sana. Jihan pun memilih untuk duduk di tepi tempat tidur Bian yang menghadap box bayi Drew. Jihan memilih memandangi Drew sambil tersenyum hangat. Meski Drew bukan anak kandungnya, Jihan tetap merasa sangat bahagia ketika merawatnya. Jihan tidak menuntut apa-apa sama sekali selama membantu Kalista mengu
"Drewnya ketiduran sejak tadi. Maaf baru memberitahumu sekarang karena aku tidak tega menghentikan ceritamu."Jihan yang tadinya hanya ingin menghela napas sejenak, langsung urung melanjutkan dongeng yang dikarangnya secara ototidak. Syukurlah, Drew sudah tidur pikirnya. Baiklah. Sekarang saatnya kembali ke rumah Bian. Jihan pun berbalik arah dan diikuti Bian. Sepanjang perjalanan ketika menuju rumah utama adalah siksaan yang menyesakkan untuk mereka berdua. Karena Jihan yang tidak menyahut, makanya Bian juga jadi ragu untuk kembali membuka obrolan. Hingga mereka tiba di rumah utama, Jihan menyerahkan stroller kepada Bian karena Jihan ingin pamit. "Memangnya kau mau kemana?" "Pulang," jawab Jihan singkat. "Mengapa jadi pulang? Nanti kalau Drew rewel lagi bagaimana?" Bian terdengar seperti merengek. Antara memang khawatir kalau Drew menangis seperti tadi dan juga ia ingin sekalian modus. Ehem. "Kau ayahnya, bukan? Jadi kau harus bisa mengurusnya sendiri."Bian ingin protes. Namu
Sesuai persetujuan, Drew dibawa Bian ke kediamannya selama Liam dan Kalista berbulan madu. Bian yang sudah merasa menjadi ayah, tentu sangat yakin apabila ia bisa mengasuh Drew dengan baik. Ketika Drew dibawa ke rumah yang pasca perceraian Bian dan Jihan, jarang disinggahi sang tuan, kontan saja, kehadiran tuan besar dan tuan kecil disambut sangat antusias oleh para pekerja di rumah Bian. Bian juga sudah menyiapkan berbagai macam perlengkapan yang menunjang dirinya untuk mengasuh bayi berusia tiga bulan tersebut. Bian tersenyum-senyum sendiri melihat kamarnya yang semenjak menjadi duda, suasananya sepi. Sekarang dipenuhi perabotan lucu, seperti box tidur untuk Drew, gelantungan bintang bulan berkelap kelip yang diletakkan di atas box bayi Drew. Bahkan Bian juga membeli banyak mainan meski itu belum cukup usia untuk dimainkan oleh Drew. "Oke, Kal. Oke. Aku sudah mengerti caranya, bahkan bila Jihan tidak membantu pun, aku bisa. Apa kau ingat kalau aku rut
Selain Kalista yang berbahagia hari itu, Jihan pun demikian. Apalagi ketika ia diberi izin untuk menggendong Drew, nama yang sudah diberikan oleh Bian hari itu. Melisa sempat protes meski hanya berbisik pada Kalista apabila nama sang cucu susah disebut. Melisa padahal ingin menamai sang cucu dengan nama lokal saja. Namun, Melisa baru ingat jika pada cucunya mengalir darah seorang Bian Qais Liandra, yang tentunya kita semua tahu bahwa ia bukanlah pria sembarangan. Apalagi bila Melisa melihat Nicholas dan Margareth, dirinya saja seketika minder mendadak. Melisa juga mengingat kalau Kalista pernah menceritakan tentang seseorang yang disebut-sebut sebagai Kakek Aiden, yang katanya sebagai sosok yang membuat Bian bisa seperti sekarang. Jadi terima saja lah. Seorang Melisa bisa apa? Yang penting cucunya sehat, anaknya sehat, dan berharap tidak ada masalah lagi yang menimpa keluarga mereka. "Wajahnya tidak mirip Bian sama sekali," celetuk Margareth y