Suara mesin mobil berhenti tepat di depan mansion yang megah. Tiga pria bertubuh besar keluar dari mobil hitam itu, membawa seorang gadis dengan tubuh yang kurus dan terikat erat. Mata gadis itu tertutup kain hitam, langkahnya tertatih-tatih ketika pria-pria itu menyeretnya masuk ke dalam mansion yang dingin. Gadis itu adalah Vella Anastasya.
Vella tidak tahu bagaimana hidupnya bisa berantakan dalam hitungan hari. Semua terjadi begitu cepat, dari kehidupan seorang mahasiswa biasa menjadi tawanan dalam genggaman seorang pria yang tak dikenalnya. Dia hanya ingat malam itu saat ia pulang dari kampus, mendadak diculik di tengah jalan. Tak ada penjelasan, hanya kekerasan dan ancaman yang terus menghantuinya. Di dalam pikirannya, hanya ada kebingungan dan ketakutan.
"Di sini," salah satu pria menggeram, melepaskan kain penutup mata Vella. Saat penglihatannya kembali, Vella terbelalak melihat pemandangan di depannya. Ruangan besar dengan lantai marmer putih, lampu kristal yang bergemerlapan di langit-langit, dan pilar-pilar megah yang berdiri kokoh. Ini bukan tempat penjara atau ruang penyekapan yang dia bayangkan, melainkan sebuah mansion yang mewah.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" seru Vella, suaranya bergetar antara marah dan takut.
Namun, tak ada yang menjawab. Para pria itu hanya melirik dingin, sebelum salah satu dari mereka berkata, "Kamu akan tinggal di sini sampai tuan kami memutuskan apa yang akan dilakukan padamu."
Vella merasakan gelombang ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia ingin melawan, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Bagaimana mungkin hidupnya berubah menjadi seperti ini?
Dilemparkan ke sebuah kamar besar yang megah, Vella ditinggalkan sendirian. Pintu besar itu tertutup dengan suara keras, mengunci kebebasannya di balik tembok tebal mansion itu. Matanya menelusuri ruangan itu. Tempat tidur berkanopi dengan kain sutra berwarna merah marun tampak menggoda, tapi ia tidak tertarik pada kenyamanan. Di pojok ruangan ada meja rias yang terlihat antik, dan di bawah kakinya, karpet Persia yang halus terasa aneh di bawah langkahnya yang gemetar.
Kepalanya terasa pusing. Dengan napas tersengal-sengal, dia duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan diri. Bagaimana dia bisa keluar dari situasi ini?
Pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang wanita paruh baya masuk, membawa nampan berisi makanan. Wajahnya lembut, namun tampak ada beban di dalam matanya.
"Namaku Maria," katanya pelan, meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur. "Aku di sini untuk membantumu, nona."
Vella menatap Maria dengan waspada. "Kamu bisa bantu aku keluar dari sini?"
Maria tampak terkejut, tapi dia cepat-cepat menundukkan kepalanya. "Aku hanya pelayan di sini. Aku tidak punya kuasa untuk membantumu lari."
"Kenapa aku di sini? Siapa yang melakukan ini padaku?" Vella bertanya dengan suara parau.
Maria hanya menggeleng, tampak enggan menjawab. "Sabar, nona. Tuan Carlos akan segera datang untuk berbicara denganmu."
Nama itu Carlos membuat jantung Vella berdetak kencang. Apakah dia pria yang bertanggung jawab atas semua ini?
Malam semakin larut, dan akhirnya, Carlos muncul. Dia seorang pria dengan wajah keras dan dingin, auranya memancarkan kekuasaan dan bahaya. Dengan langkah tenang, dia mendekati Vella yang duduk di ujung tempat tidur.
"Selamat datang di rumahku, Vella," katanya dengan suara yang datar namun mengintimidasi. "Aku yakin kamu punya banyak pertanyaan."
Vella menatap Carlos dengan campuran rasa takut dan marah. "Kenapa kamu menculikku? Apa yang kamu inginkan?"
Carlos tertawa kecil, dingin. "Semua akan dijelaskan pada waktunya. Tapi untuk saat ini, satu hal yang perlu kamu tahu adalah bahwa kamu berada di sini karena kesalahan keluargamu."
Vella merasa hatinya mencelos. Apa maksudnya? Keluarganya? Apa yang telah dilakukan oleh keluarganya?
"Aku tidak mengerti," gumam Vella. "Apa yang dilakukan keluargaku padamu?"
Carlos tersenyum tipis, tapi tidak menjawab. "Aku tidak punya waktu untuk membahas semuanya sekarang. Yang perlu kamu ketahui adalah, mulai sekarang, kamu milikku. Kamu akan tinggal di sini, dan kamu tidak akan keluar sampai aku mengizinkannya."
"Tidak! Aku tidak akan tinggal di sini!" Vella mencoba memberontak, tetapi tubuhnya lemah, dan Carlos hanya menggelengkan kepalanya.
"Pilihanmu sangat terbatas, Vella. Semakin cepat kamu menerima kenyataan, semakin mudah hidupmu di sini."
Carlos berbalik dan mulai berjalan keluar ruangan, namun sebelum pintu tertutup di belakangnya, pikirannya kembali pada tragedi yang membuatnya melakukan ini. Matanya menyipit sejenak, dan dalam hati dia bergumam, "Keluargamu menghancurkan hidupku. Mereka menghancurkan Sofia dan merenggut kebahagiaan kami. Sekarang, giliranku menghancurkanmu, Vella. Kamu akan membayar untuk apa yang orang tuamu lakukan."
Wajah Carlos kembali mengeras, menyembunyikan segala emosi yang terpendam di balik topeng dinginnya. Dia tidak akan membiarkan Vella tahu alasan sebenarnya, setidaknya tidak sekarang. Masih terlalu dini untuk itu. Dia ingin Vella merasakan ketakutan, kebingungan, dan perlahan-lahan tenggelam dalam rasa putus asa. Karena baginya, ini bukan hanya soal balas dendam, tapi soal membuat Vella dan keluarganya merasakan sakit yang sama seperti yang dia rasakan selama ini.
Carlos pergi, meninggalkan Vella yang terguncang. Kepalanya penuh dengan ketakutan dan pertanyaan yang belum terjawab. Namun satu hal yang pasti, dia harus mencari cara untuk melarikan diri dari tempat ini. Tidak peduli seberapa sulit atau berbahaya itu.
*
Pagi itu, Vella terbangun dari tidur yang penuh kecemasan. Meskipun tubuhnya terbaring di atas kasur empuk, pikirannya terjebak dalam labirin ketakutan dan kebingungan. Cahaya matahari pagi yang hangat menerobos masuk melalui celah-celah jendela besar di samping tempat tidurnya, tapi tak ada kehangatan yang mampu mengusir rasa dingin dari hatinya. Seolah-olah mansion megah ini memerangkap segalanya, termasuk harapan.
Pintu kamar terbuka dengan suara pelan, dan Maria muncul lagi, kali ini membawa nampan berisi sarapan. Aroma roti panggang dan kopi hitam memenuhi ruangan, namun Vella sama sekali tidak berselera. Rasa takut telah menumpulkan semua keinginan untuk makan.
Maria meletakkan nampan di meja kecil di dekat jendela, kemudian berdiri canggung di sisi ruangan, mengamati Vella dengan pandangan penuh simpati yang berusaha dia sembunyikan. Mungkin Maria sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini—wanita yang dipaksa tinggal di bawah kekuasaan Carlos. Tapi bagi Vella, ini adalah neraka baru yang tidak pernah dia bayangkan akan menjadi bagian dari hidupnya.
Vella menatap Maria dengan mata sayu. Ada sesuatu yang berbeda pada pelayan paruh baya itu. Meski wajahnya tampak tenang, ada kilatan di matanya yang seolah menyimpan rahasia besar. Vella bisa merasakannya.
"Mengapa kamu bekerja untuk pria seperti dia?" Suara Vella terdengar serak, mencerminkan kegelisahan yang belum hilang sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di mansion ini.
Maria berhenti sejenak, lalu menundukkan kepala. Tangannya yang memegang nampan sedikit bergetar. Waktu seolah berjalan lambat, membuat detik-detik itu terasa lebih lama dari biasanya.
"Aku tidak punya pilihan, Nona," jawab Maria akhirnya dengan suara rendah. "Sama sepertimu."
Kata-kata Maria menohok Vella. "Sama sepertimu." Apakah itu berarti Maria juga pernah berada dalam situasi seperti ini? Apakah dia juga korban dari kekuasaan pria dingin bernama Carlos? Vella menelan ludah, merasa semakin berat oleh beban yang tak terlihat. Kengerian yang dia rasakan semakin dalam, tapi bersamaan dengan itu muncul juga kilatan harapan yang tipis.
Vella menatap Maria dalam-dalam, mencoba membaca lebih jauh dari sekadar kata-katanya. Di balik tatapan lelah Maria, Vella bisa melihat sesuatu yang samar—kerentanan yang tersembunyi.
Ini mungkin satu-satunya kesempatan Vella untuk melarikan diri. Jika Maria memang seperti yang dia duga, seseorang yang terjebak dalam situasi tanpa pilihan, mungkin dia bisa membantunya. Mungkin Maria ingin keluar dari lingkaran gelap ini sama seperti dirinya.
"Maria," panggil Vella dengan suara pelan, namun tegas. Wanita itu memandangnya, ragu-ragu. "Aku butuh bantuanmu. Aku... aku harus keluar dari sini sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi."
Maria mengalihkan pandangannya, wajahnya penuh kebimbangan. Ada jeda yang panjang, dan selama momen itu, jantung Vella berdetak kencang. Ini adalah taruhannya. Jika Maria menolak atau melaporkannya pada Carlos, Vella tahu dia tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.
"Aku tidak bisa," bisik Maria akhirnya, suaranya terdengar sangat lemah, seolah-olah dia takut jika Carlos bisa mendengar dari kejauhan. "Carlos... dia punya mata di mana-mana. Tidak ada yang bisa keluar dari sini tanpa sepengetahuannya."
Vella merasakan dadanya semakin sesak. Tapi dia tidak bisa menyerah begitu saja. "Maria, tolong. Kamu tahu aku tidak seharusnya berada di sini. Aku tidak tahu apa yang telah dilakukan keluargaku, tapi aku bukan orang yang bersalah dalam semua ini. Aku butuh bantuanku untuk keluar dari sini."
Maria menggigit bibir bawahnya, terlihat semakin ragu. Tapi kali ini, ada sesuatu di matanya yang membuat Vella merasakan sedikit harapan. Mungkin Maria juga ingin bebas dari kekangan Carlos. Mungkin Maria tahu bagaimana rasanya terperangkap di tempat ini, tanpa jalan keluar. Vella bisa melihat perjuangan batin di wajah wanita itu.
"Aku akan membantumu," Maria akhirnya berkata, suaranya sangat pelan, hampir tak terdengar. "Tapi kita harus sangat berhati-hati. Satu langkah yang salah, dan kita berdua akan binasa."
Vella terkejut. Harapan yang tadinya kecil sekarang mulai tumbuh. Matanya melebar, tidak percaya bahwa ada seseorang yang benar-benar mau membantunya. "Kamu akan membantuku? Bagaimana? Apakah kamu punya rencana?"
Maria menggelengkan kepalanya, masih terlihat waspada. "Tidak mudah untuk keluar dari mansion ini, Nona. Setiap sudut diawasi, dan ada penjaga di mana-mana. Tapi aku tahu beberapa cara untuk menyelinap... jika kamu bisa menunggu saat yang tepat."
"Berapa lama aku harus menunggu?" tanya Vella, ketegangan di suaranya semakin terasa. Waktu adalah musuhnya. Dia tidak tahu berapa lama lagi Carlos akan terus menahan atau bahkan menyiksanya.
Maria memandang keluar jendela, matanya tampak kosong. "Aku tidak bisa memberitahumu pasti. Tapi yang jelas, Carlos tidak bisa selamanya mengawasi kita. Akan ada saat di mana dia lengah."
Kata-kata Maria menambah sedikit keyakinan dalam diri Vella, tapi ketakutan masih mencengkeram hatinya. Dia tidak tahu apakah bisa bertahan lebih lama di tempat ini, namun setidaknya sekarang dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Di tengah kegelapan, ada secercah harapan. Dan itu cukup untuk membuatnya tetap bertahan.
Maria melangkah menuju pintu, hendak meninggalkan Vella dengan sarapan yang tak tersentuh. Namun sebelum dia keluar, Maria menoleh ke belakang dan menatap Vella dengan tatapan penuh peringatan.
"Ingat, Nona," katanya pelan. "Kita tidak bisa gegabah. Setiap gerakan kita harus diperhitungkan dengan hati-hati. Carlos bukan pria yang bisa dikhianati begitu saja."
Vella mengangguk pelan, memahami apa yang tersirat dari kata-kata Maria. Bahaya selalu mengintai, tapi sekarang ada jalan, meskipun itu sempit dan penuh risiko. Dia harus bersabar, dan menunggu saat yang tepat. Tapi dia akan keluar dari sini—apapun caranya.
Maria keluar dari kamar, meninggalkan Vella dalam keheningan. Namun kali ini, di balik rasa takut yang terus mengintai, ada tekad baru yang tumbuh dalam dirinya. Dengan bantuan Maria, dia akan melarikan diri. Dia tidak akan tinggal di sini selamanya, terperangkap dalam jerat kekuasaan Carlos.
Pagi itu, Vella terbangun dengan perasaan yang sama sekali tidak nyaman. Ancaman Carlos masih menggantung di pikirannya, membebani setiap langkahnya. Ruangan yang mewah dan berkilau kini terasa seperti penjara yang semakin mencekik. Setiap detail dari perjanjian yang diberikan Carlos terus terngiang di kepalanya, membuatnya semakin putus asa.Maria masuk ke dalam kamar dengan membawa sarapan seperti biasa. "Selamat pagi, nona Vella," sapanya lembut, meskipun senyum yang biasa menghiasi wajahnya kini tampak pudar."Selamat pagi, Maria," jawab Vella lesu, mencoba menata dirinya. "Ada perkembangan apa hari ini?"Maria duduk di samping Vella, tampak cemas. "Aku mendengar bahwa Carlos akan memeriksamu nanti sore. Dia ingin memastikan bahwa kamu mengerti konsekuensi jika menolak perjanjian itu."Vella merasakan gelombang ketakutan menyergap dirinya. "Apa yang harus aku lakukan, Maria? Aku tidak bisa membiarkan keluargaku celaka, tapi aku juga tidak bisa menerima perjanjian itu."Maria mengge
Fajar mulai menyingsing ketika Vella dan Maria terus berjalan menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui. Kaki mereka terasa lelah dan tubuh mereka kedinginan oleh embun pagi. Namun, semangat untuk terus melarikan diri dari cengkeraman Carlos memberikan kekuatan pada setiap langkah mereka.Maria berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam. "Kita perlu mencari tempat untuk bersembunyi dan beristirahat, Vella. Kita tidak bisa terus berjalan tanpa henti."Vella mengangguk, mengakui kebenaran kata-kata Maria. "Tapi di mana? Kita tidak tahu jalan ini."Mereka melanjutkan perjalanan, berharap menemukan tempat aman. Setelah beberapa saat, mereka melihat sebuah rumah kecil di kejauhan, dikelilingi oleh pepohonan dan semak belukar. Rumah itu tampak seperti pondok tua, tetapi mungkin bisa menjadi tempat persembunyian sementara."Di sana," kata Maria, menunjuk ke arah pondok. "Kita bisa beristirahat di sana untuk sementara waktu."Vella setuju, dan mereka mempercepat langkah menuju pondok ters
Vella tidak bisa mengalihkan pandangannya dari tubuh Maria yang tergeletak tak bernyawa di tanah. Darahnya masih mengalir, membasahi rumput di bawahnya. Tubuhnya gemetar, napasnya terisak-isak, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Carlos menariknya dengan kasar, memaksanya berjalan kembali ke mansion."Sekarang kau tahu apa yang akan terjadi jika kau mencoba melarikan diri lagi," kata Carlos dengan nada dingin. "Kau milikku, dan kau akan tetap di sini."Mereka masuk ke dalam mansion, di mana para penjaga hanya melirik sebentar sebelum melanjutkan tugas mereka. Vella merasa seperti seorang tahanan yang baru saja kembali ke penjara. Seluruh tubuhnya terasa lemas, dan kakinya hampir tidak bisa menopang berat badannya sendiri.Carlos membawanya ke kamar yang sebelumnya menjadi tempat tinggalnya. Dia membuka pintu dan mendorong Vella masuk, menutup pintu dengan keras di belakangnya. Vella jatuh ke lantai, tangannya masih terikat."Kau akan tetap di sini," kata Carlos tanpa e
Pagi menjelang dengan lambat, sinar matahari memasuki kamar Vella melalui tirai yang setengah tertutup. Vella duduk di tepi tempat tidur, memandangi surat perjanjian yang baru saja ia tanda tangani semalam. Tanda tangan itu terasa seperti cap keabadian yang mengikatnya pada kehidupan yang tidak pernah ia inginkan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk dengan membawa sarapan dan menaruhnya di atas meja. Pelayan itu melirik Vella dengan tatapan penuh simpati sebelum bergegas keluar tanpa sepatah kata pun.Vella menghela napas, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari ini. Dia tahu bahwa sejak menandatangani surat perjanjian itu, hidupnya akan berubah secara drastis. Namun, dia juga tahu bahwa dia harus tetap kuat demi keluarganya.Carlos duduk di ruang kerjanya, matanya terpaku pada surat perjanjian yang telah ditandatangani Vella. Senyum dingin tersungging di bibirnya. Dia merasa puas karena akhirnya bisa mengendalikan Vella sepenuhnya. Namun, dia
Pagi itu, Vella terbangun lebih awal dari biasanya. Badannya masih terasa pegal dan lelah akibat pekerjaan seharian sebelumnya. Namun, dia tahu bahwa dia harus bangkit dan memulai hari yang baru. Ketika dia berpakaian, dia mendengar ketukan di pintu.Seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan nampan sarapan. "Tuan Carlos ingin nona vella sarapan sebelum mulai bekerja," katanya dengan nada datar.Vella mengangguk dan mengambil nampan itu, mengucapkan terima kasih dengan suara pelan. Setelah pelayan pergi, dia duduk di tepi tempat tidur, memandangi makanan yang ada di depannya. Rasa lapar mendorongnya untuk makan, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan.Setelah sarapan, Vella segera mulai bekerja. Dia membersihkan ruang tamu, menggosok lantai marmer hingga berkilau. Setiap sudut mansion yang mewah ini kini menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Meskipun dia tidak suka dengan pekerjaannya, dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain.Saat sedang membersihkan, dia melihat Carlos ber
Pagi itu, Vella terbangun dengan perasaan gelisah. Pikirannya terus dipenuhi dengan ancaman Carlos dan gelang pelacak di pergelangan tangannya. Dia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak pernah dia bayangkan. Ketika dia berpakaian dan keluar dari kamar, seorang pelayan menghampirinya."Tuan Carlos ingin kau bersiap-siap. Ada sesuatu yang penting hari ini," kata pelayan itu dengan nada tegas.Vella mengerutkan kening. "Apa yang terjadi?"Pelayan itu tidak menjawab, hanya menyerahkan pakaian formal yang terlihat mewah. "Pakailah ini dan turun ke ruang utama dalam satu jam."Dengan hati yang penuh pertanyaan dan kekhawatiran, Vella mengambil pakaian itu dan kembali ke kamarnya. Dia mengganti pakaian dengan hati-hati, merasa aneh mengenakan gaun mewah di situasi seperti ini. Ketika dia melihat dirinya di cermin, dia hampir tidak mengenali dirinya sendiri.Di ruang utama, Carlos sudah menunggu. Dia mengenakan setelan hitam yang rapi, tampak berwibawa dan mengintimidasi. Ketika Vella ma
Malam itu terasa sangat dingin dan suram. Ruangan di mansion yang besar dan megah ini seakan menjadi saksi bisu dari ketegangan dan rasa takut yang mengelilingi Vella. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, tubuhnya bergetar, baik karena dingin maupun ketakutan yang mendalam.Saat pintu kamar terbuka, Carlos masuk dengan langkah yang mantap. Wajahnya yang dingin dan tak menunjukkan ekspresi apapun menambah ketegangan di udara. Dia menutup pintu di belakangnya dengan gerakan yang tegas, seolah memastikan bahwa tidak ada jalan keluar dari ruangan ini."Kau tahu apa yang harus kau lakukan vella," kata Carlos dengan suara rendah namun tegas.Vella menelan ludah dan mengangguk pelan. Dia tahu apa yang diharapkan darinya, tetapi hatinya masih menolak. Vella merasa jantungnya berdegup kencang saat Carlos mendekatinya. "Carlos, bisakah kita membicarakannya?" suaranya bergetar, berusaha keras untuk tetap tenang. "Aku... aku tidak siap."Carlos berhenti beberapa langkah darinya, menatapnya dengan t
Pagi itu terasa lebih suram dari biasanya. Langit mendung, seakan mencerminkan suasana hati Vella yang semakin berat. Setelah menjalani hari-hari penuh dengan pekerjaan fisik dan tekanan mental, tubuhnya semakin terasa lelah, dan pikirannya mulai dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Di mansion ini, setiap detik terasa seperti penantian panjang yang penuh ketidakpastian.Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Vella bisa merasakan atmosfer di rumah itu sedikit berubah. Para pelayan tampak lebih sibuk dari biasanya, membersihkan dan menyiapkan ruang-ruang yang biasanya dibiarkan kosong. Mereka bergerak dengan tergesa-gesa, seakan ada sesuatu yang penting yang akan terjadi."Apakah ada tamu yang akan datang?" Vella bertanya kepada seorang pelayan wanita tua yang lewat di dekatnya sambil membawa vas bunga yang besar.Pelayan itu melirik Vella sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Ya, tamu istimewa," katanya pelan. "Carlos meminta kami untuk memastikan semuanya sempurna. Dia sangat
Pagi ini, suasana di mansion terasa lebih sunyi dari biasanya. Carlos sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Aku mengamati dari jauh saat dia mengenakan jas hitamnya yang sempurna, dengan ekspresi dingin yang biasa terpancar di wajahnya. Sudah lebih dari satu bulan sejak Sofia datang ke mansion, dan selama itu pula Carlos terus menjaga jarak dariku.Aku merasa tubuhku semakin lemah, dengan rasa mual yang sering muncul setiap pagi. Aku sudah menduga bahwa aku hamil, tapi belum ada waktu yang tepat untuk memberi tahu Carlos. Ditambah lagi, kehadiran Sofia membuat segalanya semakin rumit.Sejak Carlos membawa sofia ke mansion, Sofia seolah mengambil alih seluruh mansion ini. Dan yang lebih buruk, aku diperlakukan seperti seorang pembantu. Tidak ada hari tanpa Sofia mengerjaiku, membuatku melakukan pekerjaan yang bahkan seharusnya bukan tanggung jawabku."Vella, Cuci semua pakaian di kamar tamu, bersihkan seluruh lantai, dan pastikan dapur ini berkilau sebelum sore," katanya dengan nad
Hari-hari terasa semakin panjang di mansion, terutama setelah kedatangan Sofia. Carlos hampir tidak lagi memberikan perhatian padaku, bahkan lebih jarang menatap mataku. Meski aku tidak mengharapkan cinta darinya, ketidakpeduliannya sekarang membuat luka di hatiku semakin dalam. Namun, yang paling menakutkan adalah rahasia yang aku simpan di perutku. Perasaan mual yang semakin sering datang dan perubahan pada tubuhku menguatkan firasat bahwa aku mungkin sedang hamil. Tapi, bagaimana aku bisa mengatakannya kepada Carlos saat Sofia kembali dalam hidupnya? Tiba-tiba, terdengar ketukan pelan di pintu."nona Vella, kau di dalam?" suara Maria terdengar lembut dari luar. Aku segera membuka pintu dan melihat wajah khawatirnya."nona Kau baik-baik saja?" pelayan bertanya, matanya menelisik tubuhku seolah ingin memastikan bahwa aku tidak sakit.Aku tersenyum tipis dan mengangguk. "Aku baik-baik saja. Hanya... lelah."pelayan masuk ke dalam, lalu berbisik. " nona Kau harus berhati-hati. Nona so
Carlos duduk di kursi rumah sakit, memandang Sofia yang terbaring di tempat tidur. Wajah Sofia tampak pucat, tetapi tetap memancarkan kecantikan yang dulu memikat hati Carlos. Sudah satu bulan sejak Sofia terbangun dari komanya, dan selama itu, Carlos hampir setiap hari menemani dan merawatnya. Tidak ada satu pun pekerjaan yang lebih penting daripada menjaga Sofia atau begitulah pikirnya.Setiap hari, Carlos datang ke rumah sakit dengan membawa bunga atau makanan kesukaan Sofia, mencoba menghiburnya dengan segala cara. Namun, di balik perhatian itu, Sofia menyembunyikan sesuatu yang besar sesuatu yang jika Carlos mengetahuinya, bisa menghancurkan segalanya.carlos belum memberitahu sofia jika anak yang dikandungnya tidak selamat . selama satu bulan ini carlos memberitahu pada sofia jika anak mereka sudah lahir dan selamat dari kecelakaan yang mereka alami. Carlos belum memberi tahu Sofia tentang ini. Bagaimana mungkin? Bagaimana ia bisa menghancurkan harapan satu-satunya yang ia milik
Ruangan di mansion mewah itu terasa sunyi, dengan hanya cahaya redup dari lampu di sudut ruangan yang berusaha menerangi kegelapan. Vella duduk di tepi ranjang, menggenggam ujung selimut dengan erat, tubuhnya terasa kaku. Dia masih mengenakan pakaian tidur sederhana berwarna putih, tetapi pikirannya penuh dengan ketakutan dan kecemasan yang tak bisa ia hilangkan. Setiap malam di mansion ini terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.Vella tak tahu harus melakukan apa. Dia sudah berusaha melarikan diri, tapi setiap upayanya selalu gagal. Dan sekarang, ancaman Carlos terus menggema di pikirannya. Keluarganya... Carlos akan mencelakai mereka jika dia mencoba kabur lagi. Rasa bersalah dan ketakutan yang bercampur menjadi satu membuatnya tak berdaya.Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan suara derit pelan, namun langkah kaki yang berat dan mantap terdengar jelas di ruangan itu. Vella tahu siapa yang datang bahkan tanpa harus menengok. Tubuhnya langsung tegang, seperti refleks alam
Pagi itu terasa lebih suram dari biasanya. Langit mendung, seakan mencerminkan suasana hati Vella yang semakin berat. Setelah menjalani hari-hari penuh dengan pekerjaan fisik dan tekanan mental, tubuhnya semakin terasa lelah, dan pikirannya mulai dipenuhi kecemasan yang tak kunjung hilang. Di mansion ini, setiap detik terasa seperti penantian panjang yang penuh ketidakpastian.Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Vella bisa merasakan atmosfer di rumah itu sedikit berubah. Para pelayan tampak lebih sibuk dari biasanya, membersihkan dan menyiapkan ruang-ruang yang biasanya dibiarkan kosong. Mereka bergerak dengan tergesa-gesa, seakan ada sesuatu yang penting yang akan terjadi."Apakah ada tamu yang akan datang?" Vella bertanya kepada seorang pelayan wanita tua yang lewat di dekatnya sambil membawa vas bunga yang besar.Pelayan itu melirik Vella sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Ya, tamu istimewa," katanya pelan. "Carlos meminta kami untuk memastikan semuanya sempurna. Dia sangat
Malam itu terasa sangat dingin dan suram. Ruangan di mansion yang besar dan megah ini seakan menjadi saksi bisu dari ketegangan dan rasa takut yang mengelilingi Vella. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, tubuhnya bergetar, baik karena dingin maupun ketakutan yang mendalam.Saat pintu kamar terbuka, Carlos masuk dengan langkah yang mantap. Wajahnya yang dingin dan tak menunjukkan ekspresi apapun menambah ketegangan di udara. Dia menutup pintu di belakangnya dengan gerakan yang tegas, seolah memastikan bahwa tidak ada jalan keluar dari ruangan ini."Kau tahu apa yang harus kau lakukan vella," kata Carlos dengan suara rendah namun tegas.Vella menelan ludah dan mengangguk pelan. Dia tahu apa yang diharapkan darinya, tetapi hatinya masih menolak. Vella merasa jantungnya berdegup kencang saat Carlos mendekatinya. "Carlos, bisakah kita membicarakannya?" suaranya bergetar, berusaha keras untuk tetap tenang. "Aku... aku tidak siap."Carlos berhenti beberapa langkah darinya, menatapnya dengan t
Pagi itu, Vella terbangun dengan perasaan gelisah. Pikirannya terus dipenuhi dengan ancaman Carlos dan gelang pelacak di pergelangan tangannya. Dia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak pernah dia bayangkan. Ketika dia berpakaian dan keluar dari kamar, seorang pelayan menghampirinya."Tuan Carlos ingin kau bersiap-siap. Ada sesuatu yang penting hari ini," kata pelayan itu dengan nada tegas.Vella mengerutkan kening. "Apa yang terjadi?"Pelayan itu tidak menjawab, hanya menyerahkan pakaian formal yang terlihat mewah. "Pakailah ini dan turun ke ruang utama dalam satu jam."Dengan hati yang penuh pertanyaan dan kekhawatiran, Vella mengambil pakaian itu dan kembali ke kamarnya. Dia mengganti pakaian dengan hati-hati, merasa aneh mengenakan gaun mewah di situasi seperti ini. Ketika dia melihat dirinya di cermin, dia hampir tidak mengenali dirinya sendiri.Di ruang utama, Carlos sudah menunggu. Dia mengenakan setelan hitam yang rapi, tampak berwibawa dan mengintimidasi. Ketika Vella ma
Pagi itu, Vella terbangun lebih awal dari biasanya. Badannya masih terasa pegal dan lelah akibat pekerjaan seharian sebelumnya. Namun, dia tahu bahwa dia harus bangkit dan memulai hari yang baru. Ketika dia berpakaian, dia mendengar ketukan di pintu.Seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan nampan sarapan. "Tuan Carlos ingin nona vella sarapan sebelum mulai bekerja," katanya dengan nada datar.Vella mengangguk dan mengambil nampan itu, mengucapkan terima kasih dengan suara pelan. Setelah pelayan pergi, dia duduk di tepi tempat tidur, memandangi makanan yang ada di depannya. Rasa lapar mendorongnya untuk makan, meskipun hatinya masih diliputi kecemasan.Setelah sarapan, Vella segera mulai bekerja. Dia membersihkan ruang tamu, menggosok lantai marmer hingga berkilau. Setiap sudut mansion yang mewah ini kini menjadi bagian dari tanggung jawabnya. Meskipun dia tidak suka dengan pekerjaannya, dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain.Saat sedang membersihkan, dia melihat Carlos ber
Pagi menjelang dengan lambat, sinar matahari memasuki kamar Vella melalui tirai yang setengah tertutup. Vella duduk di tepi tempat tidur, memandangi surat perjanjian yang baru saja ia tanda tangani semalam. Tanda tangan itu terasa seperti cap keabadian yang mengikatnya pada kehidupan yang tidak pernah ia inginkan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan masuk dengan membawa sarapan dan menaruhnya di atas meja. Pelayan itu melirik Vella dengan tatapan penuh simpati sebelum bergegas keluar tanpa sepatah kata pun.Vella menghela napas, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari ini. Dia tahu bahwa sejak menandatangani surat perjanjian itu, hidupnya akan berubah secara drastis. Namun, dia juga tahu bahwa dia harus tetap kuat demi keluarganya.Carlos duduk di ruang kerjanya, matanya terpaku pada surat perjanjian yang telah ditandatangani Vella. Senyum dingin tersungging di bibirnya. Dia merasa puas karena akhirnya bisa mengendalikan Vella sepenuhnya. Namun, dia