“Ma, kenapa sih, Mama setuju dengan ide papa? Elsa tidak kenal pemuda itu dan pemuda itu masih bocah, Ma. Elsa mau dikasih makan apa kalau nikah sama dia? Mama gak bisa dibatalkan saja?” bujuk Elsa pada mamanya. Wanita itu tahu ide ayah tirinya tidak buruk, tetapi ia mana bisa menikah dengan pria lain, disaat hatinya masih berduka ditinggal calon suami yang ia cibtai untuk selamanya.“Hanya dengan cara ini, Mama kamu selamat dari rasa malu. Sekalian kamu bisa balas dendam dengan pemuda itu. kamu hanya jadi istrinya saja, tertapi kamu gak perlu patuh. Kamu tetap fokus pada dunia kamu, Elsa Citra Pujianti. Kamu gak perlu menjalani kewajiban kamu sebagai istri. Enak saja dia dapat enak! Pokoknya kamu harus bisa balas dendam atas kematian almarhum.”“Tamu undangan pasti bingung karena bukan Dion yang berdiri di pelaminan, Ma, tapi anak bocah,” kata Elsa lagi, berharap sang Mama mau berubah pikiran.“Gak papa, Nak, gak banyak juga tamu yang tahu wajah Dion, jika bukan teman dan kelu
"Romi, ngapain kamu turun dari pelaminan?" tanya Luisa yang menghampiri sang Putra yang tengah menunggu mangkuk baso untuk Elsa."Mbak Elsa mau makan, Ma," jawab Romi polos. Pemuda itu menerima mangkuk yang sudah diisi baso, lalu dengan hati-hati membawanya menuju pelaminan. "Biar, Mama. Kamu ini suaminya, kenapa malah disuruh-suruh? Inget, pesan Mama ya, Romi, kamu suami dan istri kamu harus tunduk!" Romi hanya bisa mengangguk pasrah, sembari memberikan mangkuk baso kepada Luisa. "Pernikahan ini memang sangat dipaksakan, tapi tolong juga kamu jaga nama baik suami kamu. Jangan kamu suruh-suruh, emangnya anak saya OB!" Luisa sewot bukan main. Ia berbisik pada menantunya dengan wajah amat sangat marah, lalu menatap sengit Edmun dan juga istrinya. Elsa terdiam saat ditegur keras oleh wanita yang menjadi mertuanya."Ma, duduk lagi, banyak tamu mau salaman," kata Romi pada Luisa. Pemuda itu menarik pelan tangan mamanya agar kembali duduk di kursi khusus orang tua mempelai. Acara berlang
Setelah kejadian rok yang dipakainya robek, hingga celana dalamnya kelihatan oleh Romi, Elsa semakin mengunci mulutnya di depan pemuda itu. Sepanjang perjalanan menuju hotel, Elsa sama sekali tidak bersuara. Suasana hening bagaikan kuburan. Romi pun ikut diam karena ia tidak berani banyak bicara pada Elsa karena itu perintah istrinya tadi."Kita seperti sedang berada di tengah kuburan," kata Edmun pada istrinya. Elsa memutar bola mata malas. Ia sebenarnya tidak terlalu suka dengan suami baru ibunya, tetapi karena selama ini pria itu tidak pernah berulah macam-macam, makanya dia bisa menerima pria itu."Maaf, Om, saya mau bicara, tapi gak boleh banyak bicara sama Mbak Elsa. Katanya bicara seperlunya saja," kata Romi jujur. Edmun tertawa, begitu juga istrinya. Mereka tidak menyangka jika menantu mereka benar-benar polos. "Itu kamu gak perlu bicara, kenapa malah ngomong?" tanya Elsa sewot. Romi diam kembali dan hal itu membuat pasangan usia senja itu tertawa cekikikan.Mereka sampai di
"Kang, gimana sih keluarga Elsa? Mereka yang minta anak kita nikahi putri mereka, tapi malah kita harus ganti uang pesta. Yang benar saja, mana ada budget untuk biaya hajatan, Kang. Tabungan adanya untuk sekolah Romi dan Risa. Tahun depan Risa masuk perguruan tinggi. Aduh, jadi kumet gini sih! Kenapa kita jadi punya utang dua ratus juta?” omel Luisa panjang lebar di depan suaminya. Abdi tidak bisa berkomentar apa-apa karena apa yang disampaikan istrinya benar. Mereka bukan orang kaya, hidup dengan gaji guru dan juga bisnis jualan online istri. Harta yang dulu ada, sudah tidak ada lagi karena habis dipakai untuk kebutuhan sehari-hari dan juga membeli rumah sederhana yang saat ini mereka tinggali.“Nanti Papa coba tanyakan sama sekolah. Apakah bisa meminjamkan uang?” “Pinjam uang di sekolah, tetap saja harus diganti, Pa. uang dari mana gantinya? Ini pasti akal-akalan Edmun. Dari dulu maunya memeras dan rakus!” Kring! Kring!Abdi melihat layar ponselnya yang berdering. Lalu ia
Di sebuah kafe, tiga orang dewasa tengah berkumpul. Mereka adalah Levi, Abdi, dan juga Luisa. Kedua suami istri itu lebih dahulu sampai, barulah disusul Levi yang datang sendirian. Ketiganya saling melempar senyum ramah, seolah-olah tidak pernah ada cacat pada masa lalu. “Sudah lama gak bertemu ya,” kata Levi membuka percakapan dengan santai. “Iya, Mas, terakhir kita datang saat pemakaman mama Mas Levi,” jawab Luisa. “Oh, iya, sudah dua tahun yang lalu. Saya juga sibuk urusan bisnis ke sana-kemari dan urusan rumah tangga, anak-anak yang tiada henti,” jawab levi sambil tersenyum. “Apa kabar istri, Mas?” tanya Luisa lagi. “Sehat, lagi sibuk sama sekolah.” “Kuliah lagi?” Luisa menatap tak percaya. “Iya, kemarin tuh kejar paket C. Terus melahirkan, jadinya cuti lama sampai si Kecil kelas enam. Sekarang udah lanjut kuliah manejemen. Udah semester enam,” jawab Levi. “Oh, iya, soal Mutiara putri saya itu. Duh, saya jadi malu, nih! Begini, Luisa dan Abdi, Mutiara tuh seneng sam
“Mbak, bangun! Ini sudah siang. Sudah jam satu. Mbak gak sarapan?” tanya Romi yang sejak subuh berusaha membangunkan istrinya, tetapi tidak kunjung bangun. Elsa masih pulas karena semalaman menangis. Dibujuk seperti apapun tidak bangun, sehingga Romi menyerah. Pemuda itu bercermin, melihat luka di pelipisnya yang terluka; terkena lemparan cangkir. Romi tersenyum getir dan hanya bisa terdiam tidak mengerti harus melakukan apa. Roti dan mi yang ia bawa dari bawah sudah dingin. Bahkan ia sudah lapar lagi, tetapi malas untuk turun. “Mbak, bangun!” kali ini suara Romi lebih keras dari yang tadi. Elsa bergerak malas, menggeliat hingga selimut yang menutupi tubuhnya perlahan merosot. Wanita itu bahkan tidak mampu membuka matanya karena terlalu bengkak. “Sudah jam satu siang. Mbak belum makan. Makan dulu saja, Mbak. nanti mau tidur lagi atau mau nangis lagi juga gak papa. Asalkan makan, Mbak. Itu saya bawakan mi dan juga roti. Mau cuci muka dul
Mungkin hampir bagi semua pasangan pengantin baru, momen honeymoon; berduaan dengan pasangan halal adalah hal yang paling membahagiakan. Dunia hanya milik mereka saja, sedangkan yang blain mereka tidak mau ambil pusing. Namun, tidak bagi Elsa dan Romi yang memutuskan untuk pulang ke rumah. Rumah orang tua Elsa, bukan rumah orang tua Romi. “Kenapa tidak tinggal di rumah orang tua saya saja, Mbak?” tanya Romi saat mereka berada di dalam taksi. “Silakan saja kalau kamu mau pulang ke rumah orang tua kamu, tapi sorry aja, gue gak ikutan!” balas Elsa tak senang. Romi pun bingung apa yang harus ia lakukan pada Elsa, untuk sementara, pemuda itu menurut untuk ikut pulang ke rumah mertuanya. “Ya, sudah, gak papa tinggal di rumah Mbak Elsa.” Romi kembali memandangi jalan raya yang cukup padat melalui jendela mobil. Jika memang nanti tidak bisa diteruskan, maka ia boleh menalak Elsa. Itu kata mamanya kemarin saat meneleponnya. Mobil
Romi terus saja memegangi pipinya yang panas karena dua tamparan dilayangkan Elsa padanya, setelah ia berani mencium wanita itu. Pemuda itu pun tidak berani mengeluarkan kalimat atau kata-kata menyapa sang Istri. Romi memilih keluar dan tujuannya kali ini adalah rumah Usman. Sahabat dekatnya dan hanya Usman yang tahu perkaranya dengan Elsa."Kening sama muka lu kenapa, Rom? Buset, lu di KDRT bini lu?" tanya Usman saat pemuda seukuran Romi itu menghidangkan kopi untuk tamunya."Yah, namanya juga nikah jadi-jadian, ya, gini urusannya. Makanya ini pelajaran buat lu, Man, kalau nikah, paling nggak, suka sama suka atau kalau pun dijodohkan, jadi paling nggak, saling kenal. Udah takdir gue begini." Romi menyesap kopi dengan perlahan."Ya, tetap gak boleh, Rom. Kasih tahu aja yang benarnya gimana? Dosa Lo!""Iya, tapi nanti omongan gue dibalikin lagi. Kamu juga sudah dosa besar bikin calon suamiku mati!" Usman hanya bisa menggelengkan kepala. "Rumit hidup lu, Rom! Gue kira selama ini, semes