"Tolong bantu saya temukan Adis, Nyai. Adis tersesat di hutan. Saya tahu pasti anak saya disesatkan oleh jin penunggu hutan." Pak Ramdan memohon pada Nyai Larsih untuk menemukan putrinya. "Jin tidak akan iseng kalau orang baik yang tersesat. Sifat iri dan dengki Adis begitu kuat. Dari foto saja aku bisa baca aura sifat tidak baik anak sulung kamu itu. Aku gak bisa bantu kalau udah masuk ke hutan karena udah beda lagi timnya. Bukan masalah uang, tapi memang gak bisa. Minta tolong bantuan polisi saja. Kalau terlalu lama di hutan, khawatirnya tinggal bajunya saja yang compang-camping. Adis bisa dimakan hewan buas." Nyai Larsih menggelengkan kepala dengan tegas. Ia bukan tidak mau membantu, tetapi ia tidak bisa. Jin pemilik hutan sangat kuat dan tidak tertandingi, sehingga bukan tanahnya untuk mencari musuh dengan bangsa jin hutan."Jadi Nyai gak bisa bantu?" tanya Pak Ramdan yang lemas tak berdaya."Iya, usah sana kamu pulang dan cari Adis. Ini sudah sore, bentar lagi langit gelap. Hu
"Pa, bagaimana, apa sudah ada kabar siapa yang menyekap Luisa?" tanya Nisa saat menghidangkan makan sore untuk suaminya. Pak Darmono menggelengkan kepala dengan lemah."Entah harus menunggu berapa bulan mungkin, baru ketahuan siapa yang menyekap Luisa. Sopir taksi online yang membawa Luisa pun belum diketahui ada di mana. Lelaki itu padahal kuncinya. Jika saja lelaki itu bisa ditangkap, maka akan ketahuan siapa bilang keladinya." Nisa pun hanya bisa menghela napas. "Kamu gak papa malam ini menunggui Luisa di rumah sakit?" tanya Pak Darmono."Pasien kita ada dua, Pa. Malam ini saya tungguin Luisa gak papa. Besok malam giliran Papa. Oh, iya, saya lupa waktu Non Luisa pernah hamil, apakah gampang stres juga?""Iya, pasti stres dengan utang suaminya. Makanya terus keguguran. Kalau yang ini sepertinya Luisa lebih semangat. Mudah-mudahan lusa sudah boleh turun dari ranjang. Luisa juga udah kangen sama suaminya. Mau ngajak ngobrol katanya.""Mudah-mudahan ya, Pa. Semoga Luisa lekas selesai
Rana dilarikan ke rumah sakit terdekat. Bukan rumah sakit besar tempat suaminya dirawat karena Bu Hera yang sudah terlanjur panik melihat darah ada di lantai dan pakaian tidur menantunya. Wanita itu bahkan menyetir sendiri sekuat tenaga tidak pingsan karena Rana yang berbaring meringkuk di kursi belakang mobil sambil merintih."Tolong menantu saya, Pak! Darurat!" Teriak Bu Hera begitu berhenti di depan lobi IGD. Dua orang perawat menggendong Rana dan meletakkan wanita itu di kursi. Bu Hera memarkirkan mobil dengan asal di parkiran depan lobi karena ia sudah panik."Dibawa ke mana menantu saya, Pak?" tanya Bu Hera pada petugas customer service yang berada di dekat lift."Ke ruangan tindakan atas, Bu. Kebetulan ada dokter yang baru menangani ibu melahirkan normal. Naik lift lantai empat ya, Bu.""Makasih." Bu Hera memencet lift. Tangan dan lututnya gemetaran. Keringat sebesar biji jagung membasahi kening dan juga leher. AC rumah sakit yang dingin tidak berasa apa-apa di tubuhnya karena
Almarhum bayi cantik Rana difoto oleh Bu Hera. Ia tidak mau melupakan bagaimana cantiknya cucu perempuannya yang belum sempat ia gendong dalam keadaan hidup. Namun, Bu Hera tidak pernah menyesal denga keputusannya yang memilih Rana. Tentu karena Ramat adalah menantunya yang baik. Rana berhak bahagia dengan kehidupan barunya nanti, sedangkan dirinya dan sang Putra memang harus menerima karma dari apa yang telah diperbuat selama ini. Pak Samsul mengadzankan bayi cantik yang diberi nama Adinda Mehra Putri Mananta oleh Bu Hera. Nama yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Ia sudah memberikan satu kata nama yang ia request pada Rana dan menantunya itu setuju. "Pasien ingin melihat bayinya dan pasien insyaallah dalam keadaan siap, " kata perawat pada Bu Hera dan Pak Samsul. Perawat mengambil Mehra untuk ia gendong erat dan ditutupi oleh kain pelindung. Belum, cucunya belum dikafani karena memang harus diandalkan terlebih dahulu. Nanti saat masuk ke dalam liang jahat, baru kembali diazank
Syabil binngung karena Jelita belum terlihat turun dari kamarnya sejak pagi. Ini sudah jam sembilan. Biasanya Jelita suka berdiri di balkon kamar sambil menghirup udara pagi, tetapi sampai siang, ia tidak melihat Jelita. Ponsel wanita itu pun tidak aktif sejak semalam ia menanyakan kabarnya. Tentu saja Syabil penasaran karena tidak biasanya Jelita bersikap aneh seperti ini."Mbok Nah, Non Jelita belum ada turun ya?" tanya Syabil setengah berbisik. Pria itu pura-pura mengambil air es dari dalam kulkas."Belum, sejak tadi Mbak Rinai saja yang diminta bolak-balik ambil makanan. Kata Non Rinai agak pucat." Syabil mulai cemas. Apa yang terjadi pada Jelita? Apa ini berkaitan dengan kehamilan wanita itu? Syabil bergumam dalam hati."Oh, gitu, suruh Rinai aja Non Jelita ke dokter, Mbok. Kalau memang lagi sakit, jangan dibiarkan lama. Saya kalau bilangin hak gak enak karena saya lelaki.""Iya, Mbok sih maklum karena emang Non Jelita lagi hamil anak cinta satu malam." Syabil tersenyum samar. "
Keduanya sampai di rumah sakit. Jelita tidur sepanjang jalan setelah mereka berdebat. Syabil mengetahui kenapa Jelita tidur dengan pulas, pasti karena semalaman wanita itu tidak tidur. Merajuk padanya karena bicara pada Rinai. Ditambah ada adegan pelukan yang dilakukan Rinai, semakin cemburu dan kesallah Jelita. Wanita memang selalu seperti itu. Seringkali menyimpulkan sendiri tanpa mau mengonfirmasi. Batin Syabil.. Ia menyentuh kenig Jelita, menyingkirkan anak rambut yang menempel di sana. Pemuda itu membukakan pintu mobil, lalu melepas seatbelt, barulah Jelita terbangun. "Ayo, turun! Periksa dulu!" Jelita menggosok kedua matanya. "Aku bilang tadi kan pulang aja.""Nggak, harus periksa dulu. Sejak di sini belum ada ke dokter kandungan kan? Ayo, jangan pake bantah! Makanya jangan aneh-aneh segala ngambek dan gak tidur. Pokoknya kudu nurut saya." Jelita terpaksa turun dari mobil. Syabil menuntun wanita tanpa make up itu menuju bagian pendaftaran. Setelah data diri diisi, Jelita dudu
Pukul delapan malam, Jelita dan Syabil baru saja sampai rumah. Selain main ke pantai dan Seaworld, Syabil juga mengajak Jelita nonton pertunjukan lumba-lumba di Gelanggang Samudra. Apakah pakai uang Syabil? Tentu saja tidak semuanya. Ada yang menggunakan uang Jelita da nada juga dengan uang Syabil. Jelita paham bahwa Syabil tidak memiliki banyak uang untuk sekedar jalan-jalan have fun.Rinai menyambut keduanya dengan wajah yang sulit diartikan. Antara heran dan juga cemburu, tetapi ia ingat perkataan Yadi tadi sore, bahwa Syabil dan Jelita sudah dekat karena Syabil yang menemani majikannya itu operasi di luar negeri.“Malam, Nyonya, apa Nyonya butuh sesuatu sebelum istirahat?” tanya Rinai sopan, tanpa berani menoleh pada Syabil yang mengantar Jelita sampai ke depan pintu kamar.“Aku capek banget hari ini, Nai,” jawab Jelita dengan senyum. Ia ingat perkataan Syabil, bahwa bersikap biasa saja dengan Rinai, karena Rinai sudah bagian dari masa lalu pemuda itu dan tidak boleh memusu
Levi menatap gedung-gedung bertingkat di luar sana. Semua sibuk hilir mudik dengan semua kesibukan dan urusan masing-masing, sementara Bu Hera menatap anak semata wayangnya itu dengan perasaan campur aduk. "Ini sudah malam, apa kamu belum ngantuk?" tanya Bu Hera pada Levi. Pria dewasa itu menghela napas. "Saya gak bisa tidur, Mom. Bagaimana Rana?" tanya Levi."Rana sudah diantar pulang oleh Pak Samsul sore ini. Rana pulang ke Jakarta untuk pemulihan. Bapaknya mungkin akan membantu menjaga serta merawat Rana untuk beberapa hari ke depan," jawab Bu Hera masih dengan kesedihan mendalam."Jika kita semua balik ke Jakarta, lalu makam bayi saya?" tanya Levi seakan tidak tega meninggalkan putrinya sendirian di kota orang."Mama akan bicara pada dokter dan aparat lingkungan setempat. Jika boleh, makam Mehra akan kita pindahkan di Jakarta. Di samping makan papa kamu." Levi mengangguk. Hal itu memang yang ia inginkan. Putrinya berada satu kota dengannya meskipun sudah beda alam."Rana apa sud