Aruni benar-benar menikmati kerepotan mengasuh cucu-cucunya. Rumahnya yang semula hening sehening lagu mengheningkan cipta, apalagi semenjak drama kumbara menghilangnya putri ke duanya yang super duper aktif, kini terdengar ramai kembali karena kehadiran dua cucu kembarnya yang bawel dan senang berceloteh di ruang tamu.Dalam hitungan detik rumah Aruni berubah menjadi taman bermain baik untuk anak-anak maupun dewasa.Sengaja Aruni menggelar playmate khusus untuk ke dua cucunya agar bisa berbaring di sana, latihan berguling, senam lantai, tengkurap dan aktifitas motorik kasar lainnya yang sedang mereka tekuni.Ia juga segera menelepon Alwi agar ikut bergabung membawa anaknya, Zul. Tambah lagi personel maka suasana akan bertambah meriah.Terlihat Farah mengangkat kepalanya, berusaha menggapai dengan tangannya mainan kerincingan yang dipancing oleh Aruni. Sementara itu ketika adik kembarnya sibuk bermain dengannya, Asyraf sibuk latihan berguling dan tiarap sembari mengokang teater ala le
Nuha dan Darren memutuskan untuk bermalam di rumah Aruni. Mereka akan menikmati sejenak udara sejuk berasal dari pegunungan yang indah. Istirahat dari hiruk pikuk perkotaan yang membuat mereka merasa jenuh. Nuha mengajak Darren untuk bersepeda menikmati pemandangan alam pegunungan. Anak-anak seperti biasa akan diasuh oleh Aruni dan Ratih. Salwa dan Rasyid kembali mengunjungi padepokan pencak silat untuk berlatih silat setelah sekian lama meliburkan diri sesuka hati. “Mas, sudah siap belum?” tanya Nuha di bibir pintu kamar yang masih tertutup. Ia baru saja menyusui ke dua bayi kembarnya. Ia pula sudah siap dengan memakai pakaian kasual lengkap dengan jaket berhoodie yang menjuntai hingga lutut karena udara di kaki gunung yang dingin akan semakin dingin saat pagi buta. Ketika azan subuh berkumandang suaminya sudah keluar rumah untuk melaksanakan shalat subuh di sebuah surau. Untuk pertama kalinya. Para jamaah terheran-heran siapakah pria berwajah blasteran ikut sholat di sana. Alhasi
Pagi itu Nuha kerepotan harus mengurus suami dan ke dua anak kembarnya. Ratih pulang karena anak bungsunya kembali sakit. Kalau orang Sunda bilang ririwit. Bisa jadi karena musim pancaroba dan daya tahan tubuhnya kurang baik. Putra bungsunya seringkali terserang penyakit rutin, kalau tidak tifus sakit demam berdarah. [Jadi kapan Mbak pulang? Si kembar kangen Mbak,]Begitulah Nuha ketika menelepon Ratih. Pasalnya anak bungsunya sudah pulang dari rumah sakit karena gejala tifus. Namun ia sangat manja sehingga terkadang mencari berbagai alasan agar ibunya tidak pergi bekerja. Satu-satunya cara membujuknya ialah dengan mengatasnamakan si kembar.[Dek, barusan dengar ‘kan Nyonya bilang Mbak Farah dan Mas Asyraf kangen Ibuk.]Ratih sengaja mengeraskan volume suara telepon agar putra bungsunya mendengar perkataan majikannya.[Danu, Mbak punya drone keluaran terbaru. Kalau Ibuk Ratih kemari, saat pulang Ibuk Ratih bawain,]Nuha bernegosiasi dengan mengimingi-imingi sebuah hadiah untuk Danu,
(Bukan) orang ketiga“Jika Ayahmu bersedia, dia bisa bekerja lagi tetapi di bagian staf di kantor yang berada di gedung C.”Anggara tergugu. Dari mana Darren mengetahui jika ayahnya sekarang telah menjelma menjadi seorang pengacara, pengangguran banyak acara.“Jika ayahmu bersedia, Angga. Tapi tenang saja staf gedung C belum mengenal ayahmu. Jika ayahmu bersedia dan bekerja dengan baik maka setelah saya pertimbangkan maka ayahmu bisa kembali menjabat ke posisi semula. Asalkan dengan satu syarat!”“Syarat apa?”“Dia tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika sampai mengulangi kesalahan yang sama maka kesempatannya sudah khatam. Bagaimana?”Darren yang awalnya bersikeras merasa sangat kecewa pada Bagaskara dan sama sekali tak peduli soal nasibnya setelah dipecat dari posisi direktur. Namun ketika melihat kejadian yang menimpanya di mana Bagaskara hidupnya menjadi melarat melebihi gelandangan, hidup terlunta-lunta karena diabaikan anak istrinya, sementara itu Anggara menjadi pelarian. Ia
[Ada apa Adis? Katakanlah!][Aku sendirian di rumah. Embok sedang pergi ke Lombok. Barusan aku lihat ada orang yang lewat di depan balkon kamarku. Aku takut sekali.][Emang pak satpam kemana?]Nuha tertegun sejenak. Mana bisa sosok Adisty bisa menjadi sosok yang lemah. Sepengetahuan dirinya dulu Adisty yang menghajar pelaku hipnosis pada Ratih. Kendati ia beralasan reflek meninju si penjahat.[Pak satpam pulang kampung. Nuha, bisakah aku menginap di rumahmu?]Adisty berkata dengan nada lirih. Seperti terdengar sehabis menangis. Nuha kembali tergugu. Haruskah ia mengijinkan Adisty bermalam di rumah. Kehadirannya seakan mengusik kehidupan Nuha yang aman nan damai. Terutama cara ia mendekati putrinya, Nuha keberatan.Nuha tak lantas menjawab. Ingin rasanya menolak tetapi tak kuasa karena merasa iba. Jika memang kondisinya ia tengah ketakutan, dengan lapang dada Nuha merentangkan tangan menyambutnya.Nuha akan menempatkan Adisty di kamar tamu atau tidur bersama Ratih. [Datanglah ke sini
Darren Dash melepas jaket yang membungkus tubuh jangkungnya dan menggantungnya pada gantungan besi yang terletak di ruangan televisi dekat kamar utama. Mengendap-endap ia berjalan menuju kamar ke dua bayi kembarnya. Nuha seringkali tidur di sana. Meskipun usai menghabiskan malam panjang mereka, Nuha tetap tidur di kamar ke dua anaknya. Tangan Darren terulur menggerakan knop pintu dengan pelan-pelan. Kamar terlihat gelap hanya menyisakan temaram yang berasal dari lampu tidur tergolek di atas nakas. Harum aroma bayi langsung terhidu ketika kakinya melangkah masuk. Wangi yang menenangkan. Wangi yang membuatnya betah berlama-lama berada di sana. Wangi itu pula yang membuatnya ingin segera pulang ke rumah. Hal pertama yang Darren lakukan saat pulang ke rumah ialah melihat ke dua bayi kembarnya. Rupanya Nuha tidak berada di sana. Tak biasanya. Apa Nuha kelelahan hingga ia tertidur di kamar utama. Darren mencuci tangan di wastafel sebelum membelai ke dua bayi nya yang tertidur pulas. “Fa
Malam itu menjadi malam yang begitu panjang dan mendebarkan bagi Ratih. Rasanya ia ingin sekali melarikan diri dari situasi pelik tersebut. Ia melihat perubahan sikap Adisty yang cukup drastis. Terasa aneh dan menakutkan.Cara Adisty menatapnya terlihat misterius. Ke dua bola matanya bergerak liar. Terkadang melotot seperti melihat setan, terkadang memicing seperti mengintip orang mandi dan terkadang menatap kosong nan sepi seperti tengah melamun.Tak hanya itu, mulutnya komat-kamit seperti merapal doa pelet, terkadang melipat bibirnya ke dalam seperti merasa gemas dan terkadang sudut bibirnya terangkat sebelah membentuk seringai culas.Wanita itu menyimpan rahasia. Awal pertemuan ia terlihat seperti wanita dewasa pada umumnya dan memiliki sifat keibuan. Cantik berkulit eksotis, pembawaan dewasa, ramah dan tenang.Namun apa yang dilihatnya malam itu, seolah mata batin Ratih tersibak. Adisty yang sekarang tengah duduk di meja rias menatap cermin sembari merapalkan sebuah doa yang ia ta
Dengan ketergesa-gesaan, Huda memainkan matanya, melempar isyarat agar Romi berhenti bermulut besar. Karena masih tak peka merespon isyaratnya, Huda menginjak ibu jari kaki milik Romi dengan gemas berbaur jengkel. Kebetulan mereka duduk berhadap-hadapan tak terlalu jauh. Hanya terhalang meja bundar. “Ough!” pekik Romi meringis kemudian tersentak seketika ketika melihat sosok bertubuh tinggi tiba-tiba mengambil tempat duduk di antara mereka. Wajah Romi memerah seperti kepiting rebus. Habislah dia! Ia harus menyiapkan mental sekokoh beton kala menghadapi amukan Daniel yang mirip orang tak makan selama seminggu. “Kalian sudah makan?” tanya Daniel dengan santai. Romi dan Huda saling lirik penuh arti. Sungguh aneh. Daniel Dash sama sekali tak marah ketika ke dua sahabatnya membicarakannya. Bahkan Romi membicarakan hal buruk tentangnya. “Hei, kalian kenapa?” Tak kunjung mendapat respon Daniel bertanya kembali. “Kalian mau makan malam apa?” “Um, anu … soal barusan. Sorry, Niel,” tukas