Nuha berlari dan terus berlari tanpa memperdulikan apapun. Hujan lebat sama sekali tak membuatnya berhenti melangkah. Tubuhnya sudah basah kuyup dan menggigil karena rasa dingin yang menusuk hingga ke dalam tulang belulang. Nuha keluar dari rumah sang ibu hanya mengenakan sandal rumahan yang biasa dipakai ibunya dan melupakan tas yang dibawanya saat kesana. Sandal yang dipakainya pun putus di tengah jalan, hingga dia berlari tanpa alas kaki, hanya kaos kaki berwarna kulit yang sudah dudus karena tergores bebatuan yang dia lewati. Kaki Nuha mulai terasa pegal dan perih. Nuha berhenti tatkala nafasnya terasa sesak karena kehabisan pasokan oksigen. Nafasnya naik turun dan dia mulai merasa kedinginan. Nuha merasa sangat syok mendengar sebuah fakta menyakitkan tentang dirinya. Ternyata Nuha bukanlah putri kandung Hilal, seorang ustaz yang shaleh-yang selalu dikaguminya dan menjadi panutan baginya. Nuha tak ubahnya anak haram yang hadir sebelum pernikahan secara sah. Nuha berteduh dan
Aruni terbangun setelah Naufal mencipratkan air ke wajahnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian Aruni meminum air putih yang diberikan Kania padanya.Aruni terbangun tetapi dia langsung menghambur memeluk Kania, seolah membutuhkan dukungan. Tangisannya tumpah, dia merasa kecewa pada dirinya sendiri karena telah merahasiakan tentang Naufal Alatas pada Nuha. Nuha pasti syok dan marah padanya.“Ummi, tenang saja, insyaallah Nuha tidak akan apa-apa. Mungkin dia hanya butuh waktu sendiri untuk menerima kebenaran itu.” Kania berusaha menenangkan Aruni yang terlihat sama syok nya melihat respon Nuha padanya. Sebetulnya Kania sangat mengkhawatirkan Nuha akan tetapi setelah dia berpikir sejenak mungkin Nuha memang butuh sendiri sebab dia pun mengalami hal yang sama.Hanya saja di luar hujan begitu deras. Mata Kania terbelalak saat melihat tas bahu Nuha tertinggal di atas meja. Suara telepon berbunyi berasal dari dalam tasnya. Diam-diam Kania mengambil ponsel Nuha dan mengangkatny
Pikiran Aruni terpecah antara memikirkan Salwa dan Nuha. Sebagai seorang ibu, Aruni mengkhawatirkan ke duanya. Namun Salwa dalam keadaan bahaya oleh karena itu Salwa harus segera ditolong.Saat tiba di sekitar curug Aruni sangat terkejut melihat ke bagian bawah jurang, sebuah mobil pikap bergelantung.Terlihat Salwa melihat Aruni dengan mata yang berkaca-kaca pada spion dan wajah yang pucat pasi saat lampu senter yang Aruni pegang menyorot tepat ke wajahnya. Suasana semakin mencekam karena hari sudah gelap.Dengan menggunakan headlamp di kepalanya, Aruni membuat penerangan buatan. “Salwa, lihat ke sini! Kau lompatlah dan ambil tambang itu. Ummi akan menarikmu.”Aruni berteriak berusaha menenangkan putrinya. “KAU JAGO SILAT, lompat sejauh itu kau bisa melakukannya,”Mengarahkan lampu senter, Aruni menunjuk sebuah celah batu yang lebar, yang bisa memudahkan Salwa berpijak. Dari celah batu tersebut Aruni dan Alwi bisa menarik Salwa naik ke atas dengan mudah.“Jangan lihat terus ke bawah
Di ruang operasi Arunika yang tangguh tengah berjuang antara hidup dan mati menjalani operasi besar. Semua orang merasa tegang menunggu kabarnya. Aruni mengalami luka di bagian kepala, tulang belakang patah dan pendarahan. Sudah hampir dua jam lebih Aruni berada di dalam ruangan tertutup tersebut ditemani tim dokter ahli bedah.Di luar ruangan ke dua anaknya terlihat sendu menunggunya dengan harap-harap cemas, mengkhawatirkan kondisinya yang tengah kritis. Melihat Salwa dan Rasyid yang duduk dengan tatapan kosong dan merana, Kania yang baru pulang dari mini market dengan menjinjing sekantong makanan dan minuman menghampiri mereka.Kania memilih tempat duduk di sisi Salwa, menaruh kantong belanjaannya di sampingnya. Tergerak hatinya mengusap kepala Salwa seolah Salwa adiknya. Adik Nuha berarti adik dirinya pula.“Salwa, sabar ya! Insyallah Ummi tidak kenapa-kenapa. Doakan saja operasinya lancar,”Kania memeluk Salwa dengan erat dan mengusap punggungnya.“Kau baru pulang sekolah pasti k
Darren memilih menjauh dari Nuha kemudian menghubungi Kania kembali dan menanyakan kondisi ibu mertuanya. Kania mengatakan padanya bahwa Aruni sudah ditangani oleh tim medis terbaik karena sang ayah telah mengurusnya. Darren merasa lega mendengarnya. Kemudian dia kembali mendekati Nuha yang berdiri dan bersandar pada pagar villa dengan tatapan kosong.Darren merasa tak sanggup untuk mengatakan kabar buruk Aruni pada Nuha. Dia benar-benar merasa sedih harus melihat Nuha menitikan air mata lagi dan lagi. Namun jika tidak mengatakannya, Darren khawatir jika terjadi apa-apa pada ibu mertuanya.Darren menarik nafas dalam. Dia harus tega mengatakan kabar tersebut akan tetapi setelah mereka tiba di rumah sakit. Darren takkan membiarkan istrinya menangis saat ini. Dia berusaha menahan diri.“Nuha, kau belum makan malam. Kita makan malam dulu yuk! Aku juga lapar,” seru Darren membujuk Nuha kemudian tatapannya tertuju pada pakaian Nuha yang lusuh dan kaki Nuha yang tak memakai sepatu.Darren me
Darren kembali menguatkan Nuha. Dia menyeka air matanya dengan jemarinya. Kemudian dia tautkan jari jemarinya pada jemari Nuha, menggenggam tangannya erat dan membantunya bangun, mengantarnya menuju ruang operasi di mana Aruni masih ditangani. Seketika air mata Nuha mulai surut dan dia memandangi tangan suaminya yang terus memeganginya erat, tak pernah meninggalkannya. Darren selalu hadir saat dirinya merasa bersedih. Nuha menjadi lebih kuat dan tegar seketika.Nuha berjalan dan melihat ke dua adiknya dan Kania berada di sana duduk menunggu di depan ruang operasi. Tak jauh di depan ruang operasi terlihat Naufal juga berada di sana, berdiri dengan tatapan sendu.“Nuha!”Kania berlari memeluk saudarinya. Nuha hanya diam membeku saat tangan Kania memeluknya. “Syukurlah kau tak apa-apa,” Kania merasa sangat bahagia melihat Nuha kembali dalam keadaan selamat.Kemudian Kania mengurai pelukannya. “Ummi masih di dalam ruang operasi. Mudah-mudahan operasinya berjalan lancar,” ucapnya lagi seda
Naufal hanya bisa mendesah kasar akan tetapi dia berusaha keras untuk kuat dan tegar melihat sikap Nuha padanya. Dia berjalan menghampiri dokter bedah kembali.“Dokter, tolong pastikan Bu Aruni mendapat penanganan yang terbaik. Dia harus dirawat di ruang VVIP, pastikan dia memperoleh suster yang terus mengawasinya selama di sini dan tak kekurangan sesuatu apapun.”Naufal mengingatkan sang dokter dengan sejelas-jelasnya. Dia hanya ingin Aruni memperoleh perawatan terbaik selama di sana. Kemudian menyerahkan sebuah kartu nama pada dokter tersebut. “Jika ada apa-apa tolong hubungi nomor ini!”“Tentu Pak Naufal, saya akan pastikan istri Bapak ditangani dengan baik. Jangan khawatir! Kami berusaha sebisa mungkin memberikan pelayanan yang terbaik bagi semua pasien tanpa memandang bulu,” jawab sang dokter muda dengan diplomatis.Naufal sedikit terkejut mendengar sang dokter mengira jika dirinya suami Aruni. Namun entah kenapa dia tidak mengelak, rasanya hanya membayangkannya saja sudah bahagi
Jonathan masih ingat betul gadis cantik yang pernah dia tolong sekitar dua puluh tahun silam. “Tuan Jonathan,” sapa Aruni dengan tersenyum getir. Aruni menatap Jonathan dengan tatapan yang merana.“Betul, kau masih mengingatku,” Jonathan menarik kursi dan duduk di dekat Aruni. “Maaf, aku sudah tua, aku tak bisa berdiri lebih lama. Berbeda denganmu, rasanya tak pernah berubah. Kau terlihat lebih dewasa saja dan agamis.”Jonathan mengingat Aruni dulu yang belum memakai pakaian tertutup seperti sekarang. Aruni dulu berpakaian terbuka meski masih terlihat sopan dengan rambut panjangnya yang hitam legam mirip putrinya.“Tentu saja. Kau telah menyelamatkanku dan bayi itu. Aku masih ingat. Hanya saja dulu Tuan masih kurus,” jawab Aruni dengan perasaan yang merasa bersalah dan senang dalam waktu bersamaan. Senang bisa berjumpa dengan pria yang pernah menolongnya dan merasa bersalah karena mengingat pertemuannya dengannya dalam kondisi dia tengah frustrasi.Jonatham melirik pada Nuha yang te
Setahun kemudian,Yusuf dan Farah kini sudah tinggal terpisah dari keluarganya masing-masing. Sebagai seorang suami yang bertanggung jawab, Yusuf membangun sebuah rumah mewah untuk istrinya. Tak kalah mewah dengan rumah keluarga istrinya.Karena Yusuf seorang yang paham agama sehingga ia meyakini bahwa ia harus memberikan yang terbaik untuk istrinya. Bahkan ia memberikan nafkah terbaik, lebih baik dari apa yang istrinya dapatkan dari ayahnya. Yusuf bekerja keras di perusahaan sang ayah. Ia juga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di akhir pekan untuk mengamalkan ilmunya dalam ilmu Quran dan hadist. Selain itu, pemuda tampan itu membuat buku dan banyak melakukan seminar dan workshop sebagai seorang penulis dan pendidik.Malam itu, Yusuf pulang terlambat ke rumah. Tepat pukul sembilan malam, ia baru saja memarkirkan kendaraan SUV miliknya di halaman rumahnya yang sangat asri.Rumah itu dibangun di atas lahan hektaran. Pemuda yang visioner itu ingin kelak memiliki banyak
Perlahan, Yusuf pun melepas jilbab Farah dan tersenyum menatapnya. Tangannya dengan lembut melepas ikatan rambut Farah hingga membuat rambutnya terburai. Rambutnya yang hitam nan panjang mencuri atensinya.Tanpa sàdar, Yusuf merengkuh sejumput rambutnya yang halus kemudian menciumnya seraya memejamkan matanya. Farah menatap suaminya dengan tatapan penuh damba. Pemuda tampan itu kita sudah menjadi miliknya seutuhnya.“Yusuf, aku mau mandi,” ucap Farah dengan gugup. Berdekatan dengan Yusuf sungguh membuat tubuhnya panas dingin. Ia butuh waktu untuk beradaptasi dengan suaminya.“Tentu, Sayang,” jawab Yusuf sembari berdiri. Pemuda tampan itu berjalan menuju lemari dan mengambil handuk. Kemudian ia menoleh ke arah Farah yang masih sibuk merapikan aksesoris pengàntin. “Sayang, ini handuknya. Aku taruh di atas nakas.”Dipanggil dengan sebutan sayang, Farah semakin salah tingkah. Ia lantas berpikir nama panggilan untuk suaminya. “Yusuf, aku harus memanggilmu apa? Hum, meskipun kita seumuran, k
Sebulan berlalu. Persiapan pernikahan Farah dan Yusuf sudah rampung. Hari bahagia yang dinantikan itu telah tiba. Setelah melewati berbagai macam ujian dan rintangan dalam kisah cinta mereka, akhirnya, Farah dan Yusuf bisa bersanding di sebuah tempat yang sakral dan suci.Pagi itu, pukul 09.00 WIB Farah dan Yusuf akan melangsungkan akad walimah yang diadakan di ballroom salah satu hotel bintang lima milik sang ayah. Di pelaminan, Yusuf dan sang ayah—Attar serta pamannya sudah bergabung dengan keluarga inti pihak perempuan; Darren Dash, Jonathan Dash yang kini sudah duduk di kursi roda, Naufal Alatas, Daniel Dash, penghulu, dan saksi. Di tempat yang berbeda Farah ditemani sang ibu dan keluarga perempuannya menunggu detik demi detik acara yang sakral itu dimulai. Pernikahan diadakan secara syariat di mana pihak lelaki dan perempuan dipisah.Suara microphone mulai menggema. Seorang MC mulai mengarahkan acara hingga tibalah waktunya Yusuf mengucapkan kalimat ijab qabul dengan lantang. Set
Darren mendapat telepon dari asistennya yang mengatakan bahwa putrinya mengendarakan mobil mewahnya dengan sangat cepat menuju pantai. Ia terkejut mendengarnya dan langsung berniat menyusul putrinya. Ia memiliki firasat buruk. Semenjak pagi ia merasa tak enak hati. Ia terus memikirkan putrinya.Tak biasanya putrinya pergi bepergian jauh tanpa mengabarinya. Terdengar aneh bukan!Darren Dash semakin tersulut emosi saat ia berada di jalan menuju pantai yang biasa putrinya kunjungi, ia melihat mobil Yusuf berada di depannya. Tak lain tak bukan, pemuda itu juga terlihat akan pergi ke pantai. Bahkan ia melajukan kendaraannya dengan sangat cepat. Sisi lain, Darren Dash memilih memelankan laju kendaraannya karena ingin tahu apa yang mereka lakukan di pantai berduaan. Tak bisa dibiarkan! Farah sudah keterlaluan.Darren berzikir untuk mengendalikan emosinya. Ia pun melihat mobil milik Yusuf sudah terparkir di area parkir yang luas area pantai. Pria dewasa itu terus melangkahkan kakinya, berjal
Setelah kejadian kecelakaan tadi, Yusuf tergesa-gesa mengejar kembali Farah meskipun kendaraannya ketinggalan jauh. Pemuda itu hanya mengkhawatirkan kondisi gadis itu yang tengah kalut. Kabar tentang cerita masa lalu ke dua orang tuanya sungguh melukai batinnya. Saat ini gadis bermanik hazel itu belum menerima fakta mengejutkan itu.“Argh! Farah jangan bertindak bodoh!” geram Yusuf usai membanting ponselnya hingga terbanting ke atas kursi. Beruntung, ponsel itu tidak jatuh ke kolong kursi mobil.Nomor telepon Farah tidaklah aktif. Yusuf hanya bisa menghela nafas berat mengingat karakter Farah yang memang keras kepala.“Allah, lindungilah Farah. Amin,” gumam Yusuf tak henti-hentinya berzikir. Yusuf mengedarkan pandangannya mencari mobil putih milik Farah. Sial, di jalan yang dilewatinya ada banyak mobil putih namun bukan mobil Farah barang tentu. Mobil Farah termasuk mobil mewah.Yusuf pun menepikan mobilnya menuju pom bensin terdekat. Ia akan mengisi bahan bakar terlebih dahulu untuk
Semua orang yang berada di cafe panik saat melihat adegan yang terjadi di antara Farah dan Elia.Tanpa belas kasih, Elia mengambil cangkir kopi dari nampan—yang dibawa pelayan kemudian menumpahkannya pada wajah Farah dengan gerakan yang sangat cepat.Namun, sebuah pertolongan datang. Dengan gerakan yang lihai dan gesit, sosok pemuda tampan maju, berusaha melindungi Farah. Ia memeluk Farah. Meski tidak benar-benar memeluk karena ke dua tangannya tidak menyentuh tubuh gadis itu.Farah hanya memejamkan matanya reflek saat air cipratan itu mengenai pipinya. Namun saat ia membelakan matanya, ia tersentak kaget, karena Yusuf berada di sana melindunginya dari aksi keji Elia. Kini punggung Yusuf yang terkena cipratan kopi yang panas itu.“Yusuf,” imbuh Farah dengan berurai air mata. Entahlah, perasaan Farah berkecamuk. Cerita dari bibir Elia tentang ayahnya dan menatap Yusuf yang selalu saja menjadi garda terdepan dalam menolongnya, membuat lelehan air mata terus menerus menetes.Tatapan Yusuf
Di sebuah ruang keluarga bernuansa mewah, terlihat sepasang suami dan istri yang sedang duduk berdua sembari menikmati tontonan chanel luar negeri—yang tengah menampilkan sebuah destinasi wisata di Eropa.“Mas, indah sekali ya? Aku pengen jalan-jalan lagi sekeluarga. Berkeliling Eropa dan menikmati musim semi yang indah di sana.”Nuha mengungkapkan keinginannya saat tatapannya tertuju pada colosseum Roma yang berdiri pongah.Darren hanya mengangguk pelan. Meskipun raganya berada di sana, namun pikiran Darren terseret pada memori-memori kelam nan buruk yang seringkali menghantuinya.“Mas, ini salad buah yang diminta,” ucap Nuha pada suaminya ketika ART menaruh semangkuk salad untuk menemani waktu rehat mereka. Darren pun melirik pada mangkuk salad kemudian ia berusaha mengambilnya.PrangTiba-tiba saja Darren menjatuhkan mangkuk salad buah itu. Namun dengan sigap, ART sudah langsung membereskan kekacauan yang ada. “Mas, kenapa?”Nuha terkejut saat melihat suaminya yang tampak syok dan
Dua orang wanita cantik berbeda usia sedang mengobrol di sebuah cafe. Suasana terasa tegang saat wanita berusia kepala lima itu mulai bercerita. Sebetulnya, wanita itu enggan bertemu dengannya setelah apa yang terjadi. Namun karena gadis muda itu bersikukuh akhirnya mau tak mau ia pun mengiyakan permintàan.Di sinilah mereka berada. Sebuah rooftop yang terletak di lantai dua sebuah kafe kopi yang berada tak jauh dari rumah sakit di mana gadis itu bertugas.Mereka adalah Farah dan Maesarah. “Jadi … Om Attar itu mantan tunangannya ibuku?”Farah pun menimpali cerita yang baru saja ibunya Yusuf katakan. Gadis bermanik hazel itu bertanya sekedar untuk mengkonfirmasi.Malam itu, Farah tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi di antara ibunya dan tantenya. Namun percakapan itu hanya sekilas sehingga ia dilanda penasaran.Jika Farah bertanya pada mereka, ia yakin mereka tidak akan memberikan jawaban apapun yang memuaskan hatinya.Oleh karena itu, Farah berinisiatif bertanya langsung pad
“Mas kenapa sih? Bete begitu!” beo Daniel pada sang kakak yang sedari tadi terlihat tidak fokus dalam bekerja. Daniel Dash sengaja datang ke kantor kakaknya, membawa sejumlah kontrak kerja hingga menjelaskan laporan soal saham perusahaan. Namun Darren Dash hanya terdiam dengan tatapan yang kosong mirip orang kesambet setan.Lama kelamaan Daniel mulai jenuh melihat respon kakaknya—yang seakan tidak menghargai usaha dirinya. Padahal ia sangat sibuk. Namun demi menyampaikan amanat perusahaan ia mengunjungi kantor pusat PT Jonathan Dash Group. “Mas Darren aku pamit pulang! Lain kali saja aku melapor,” ucap Daniel Dash kemudian membereskan berkas penting perusahaan dan memasukannya kembali ke dalam tas miliknya.“Tunggu! Apa? Kau bahas apa tadi? Sorry, Mas lagi banyak pikiran, jadi gak fokus,” imbuh Darren mengklarifikasi. Seharusnya, Darren juga bisa menahan diri untuk tidak melamun saat jam kerja. Namun siang itu seperti siang sebelumnya, ia masih kepikiran soal omongan Attar dan sikap